TUMPANG TINDIH UNDANG-UNDANG SEKTORAL TERHADAP

Download Report

Transcript TUMPANG TINDIH UNDANG-UNDANG SEKTORAL TERHADAP

TUMPANG TINDIH
UNDANG-UNDANG SEKTORAL
TERHADAP UNDANG-UNDANG
OTONOMI DAERAH,
MASALAH DAN SOLUSINYA
Drs. Agun Gunandjar Sudarsa, Bc.IP.,M.Si
A. Pendahuluan
• Point penting dalam otonomi daerah yaitu hubungan antara pusat dan
daerah yang antaranya mengenai pembagian urusan dan pembagian
wewenang pemerintahan antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerah.
• Pembagian urusan pemerintahan terdiri atas;
1. Urusan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah
pusat;
2. Urusan yang dibagi antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan,
yang selanjutnya dikenal adanya urusan pemerintah daerah terdiri
dari urusan wajib dan urusan pilihan.
• Point inilah yang akan menentukan sejauhmana pemerintah pusat dan
pemerintah daerah memiliki wewenang untuk menyelenggarakan urusanurusan pemerintahan. Dan lebih lanjut, objek urusan pemerintahan bisa
sama, tetapi wewenang atau ruang lingkupnya berbeda.
B. Permasalahan
Dalam hubungan antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah, terdapat permasalahan
pokok yaitu bagaimana mensikronkan hubungan
kewenangan dalam menyelenggarakan urusan
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah,
baik urusan yang diatur dalam UU Pemerintahan
daerah dan UU Perimbangan Keuangan, maupun
urusan-urusan yang diatur dalam berbagai UU
sektoral, sehingga selaras dengan prinsip
otonomi yang luas.
C. Pembahasan Masalah
Pelaksanaan otonomi daerah telah berjalan
belasan tahun dan mendapat apresiasi, namun masih banyak kekurangannya, salah
satunya yaitu kewenangan yang tumpang
tindih seperti:
* Adannya tumpang tindih perijinan di sektor
pertambangan akibat disharmonisasi Per Undang-Undangan yang berdampak:
• Arsip pendataan terhadap perijinan dibidang
kehutanan termasuk bidang pertambangan di
beberapa wilayah terkadang tidak terdata sehingga
kabupaten baru hasil pemekaran tersebut tidak
terdaftar
• Tidak adanya koordinasi antara Pemerintah Pusat
dengan Pemerintah Daerah dalam penentuan suatu
areal yang akan dijadikan sebagai pencadangan wilayah
arean suatu perijinan dibidang pertambangan sehingga
mengakibatkan ijin lokasi yang diberikan tumpang
tindih dengan perijinan lainnya.
• Belum jelasnya tata batas atau peta penunjukan
wilayah kabupaten, sehingga terjadi Kepala daerah
memberikan perijinan diluar wilayah kewenangannya,
menjadi salah satu faktor terjadinya tumpang tindih
perijinan.
• Adanya ketentuan penerbitan ijin yang saling
berkaitan maupun bersinggungan dalam pengelolaan
berbagai pertambangan, seperti:
* UU No. 4 tahun 2009 tentang Mineral dan
batubara;
* UU No. 32 tahun 2004 tentang otonomi daerah;
* UU No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan;
* UU No. 5 tahun 1990 tentang konservasi
sumberdaya alam hayati dan ekosistem;
* UU No. 32 tahun 2009 tentang perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup;
* UU No. 26 tahun 2007 tentang penataan ruang;
Dengan adanya kondisi yang demikian tersebut maka dampak implementasi
nya di lapangan adalah terjadi disharomonisasi dalam penerbitan perijinan,
seperti contohnya:
•
Belum serasinya antara Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) dengan Rencana Tata
Ruang Wilayah Provinsi (RTRW).
•
Terjadinya konflik aturan hukum dan disharmoni mengenai tata kelola sektor
keuangan antara pusat dan daerah yang diidentifikasikan dengan sebagai berikut:
1. Kurang efektifnya koordinasi antara Departemen Keuangan,
Departemen Teknis, dan Pemerintah Daerah dalam menentukan
besarnya realisasi Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam (SDA) sehingga
penyalurannya terlambat.
2. Tidak adanya harmonisasi dan konsistensi antara ketentuan Pasal 4
ayat 3 Peraturan Presiden Nomor 104 Tahun 2006 tentang Penetapan
Alokasi DAU dengan peraturan yang lebih tinggi sehingga beberapa
daerah mendapat alokasi DAU lebih daripada seharusnya.
• Solusi agar hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat
dan Pemerintah Daerah itu dapat berlangsung dengan adil
dan selaras jika dipenuhi beberapa aspek:
1. Selalu mengedepankan agenda reformasi birokrasi dalam
mengakomodasi prinsip-prinsip tata pengelolaan pemerintahan
yang baik dari mulai tingkat pusat hingga daerah (good
governance) dimana konsep tersebut tercermin dalam semangat
UU No.39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Dengan
mengimplemetasikan UU No.39 Tahun 2008 tersebut maka
diharapkan dapat terwujud reformasi birokrasi dari mulai tingkat
pusat hingga daerah sehingga terjadi efisiensi dan efektivitas
penyelenggaraan Pemerintahan.
2. Apakah Pemerintah Pusat telah menyerahkan
sumber-sumber keuangan yang cukup terutama
yang berhubungan dengan pajak daerah,
retribusi daerah, dan bagi hasil pajak dan SDA.
Pemberian sumber-sumber penerimaan
tersebut akan mencerminkan kemampuan atau
potensi di bidang keuangan dari suatu daerah.
3. Sejauh mana pemerintah pusat memberikan
subsidi yang adil dan terukur kepada masingmasing daerah untuk membiayai kekurangan
dana.
4. Terkait dengan Otonomi Daerah, jelaslah bahwa
keberadaan UU No.39 Tahun 2008 tentang
Kementerian Negara merupakan Support yang
mengakomodasi tuntutan penguatan
pelaksanaan otonomi daerah atau yang disebut
Desentralisasi Pemerintahan, sesuai dengan
amanah daripada UU 39 Tahun 2008 BAB VII
tentang Hubungan Kementerian Dengan
Pemerintah Daerah, Pasal 26.
• Berdasarkan uraian di atas maka hal yang perlu menjadi
perhatian adalah :
Arah kebijakan reformasi dan reorientasi dalam penyelenggaraan
Pemerintah Daerah di Indonesia seharusnya mengacu kepada
berbagai permasalahan yang selama ini selalu dijadikan bahan
perdebatan dalam melakukan kajian terhadap hubungan
Pemerintah Pusat dan Daerah antara lain adalah distribusi
kewenangan yang tergambar sebagai piramida terbalik.
Dimana kewenangan ditingkat pusat sangat besar dan di tingkat
daerah semakin mengecil terlebih-lebih pada Daerah Tingkat II.
Kondisi ini akibat adanya alasan pembenar yang ber-asumsi bahwa
Pemerintah Daerah belum dianggap mampu untuk melaksanakan
sebagian besar urusan-urusan pemerintah, karena dihadapkan pada
Sumber Daya Manusia yang terbatas.
D. Penutup
Guna mengantisipasi dan melakukan perbaikan terhadap
peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih,
pemerintah perlu menyiapkan suatu kebijakan yang
tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) 2010 – 2014 untuk melakukan efektifitas
peraturan perundang-undangan nasional. Sehingga pada
akhirnya salah satu misi Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang tertuang dalam Rencana Jangkan Panjang
Nasional (RPJPN) 2005 – 2025 yaitu mewujudkan
masyarakat demokratis berdasarkan hukum dapat
terlaksana.
Sekian
TERIMAKASIH