Drs. Agun Gunandjar Sudarsa, Bc.IP.,M.Si Ketua Komisi II DPR-RI

Download Report

Transcript Drs. Agun Gunandjar Sudarsa, Bc.IP.,M.Si Ketua Komisi II DPR-RI

KONFLIK-KONFLIK
PILKADA
YANG TERJADI SELAMA INI
Drs. Agun Gunandjar Sudarsa, Bc.IP.,M.Si
Ketua Komisi II DPR-RI
Konflik Pilkada
1. Daftar Pemilih tidak akurat;
2. Proses pencalonan yang bermasalah;
3. Pemasalahan pada Masa kampanye;
4. Manipulasi dalam penghitungan suara dan
rekapitulasi hasil penghitungan;
5. Penyelenggara Pilkada tidak adil dan netral;
6. Putusan MA dan MK yang kadang menimbulkan kontroversi;
7. Posisi kepala daerah/wakil kepala daerah incumbent dalam
Pilkada;
1. Daftar Pemilih Tidak Akurat.
Masalah ini sering dijadikan para pasangan calon yang kalah untuk
melakukan gugatan. Berdasar UU No. 15 Tahun 2011 tentang
Penyelenggara Pemilu Pasal 45 huruf (a) tentang Tugas,
wewenang, dan kewajiban PPS yaitu: “Membantu KPU, KPU Provinsi,
KPU Kabupaten/Kota, dan PPK dalam melakukan pemutakhiran data
pemilih, daftar pemilih semen-tara, daftar pemilih hasil perbaikan, dan
daftar pemilih tetap”; Melalui pengaturan ini jika dalam pemutakhiran data pemilih, melibatkan RT/RW sebagai petugas
pemutakhiran, maka permasalahan data pemilih yang tidak akurat
akan dapat diminimalisir, karena RT/RW yang paling mengetahui
penduduknya.
2. Proses Pencalonan Yang Bermasalah
Permasalahan dalam pencalonan seringkali timbul karena adanya konflik internal
parpol/gabungan partai politik dan keberpihakan para anggota KPUD dalam menentukan
pasangan calon yang akan mengikuti Pilkada.
Pasal 59 ayat (5) huruf a Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
menyatakan bahwa partai politik atau gabungan partai politik pada saat
mendaftarkan pasangan calon, wajib menyerahkan surat pencalonan yang
ditandatangani oleh pimpinan partai politik/ pimpinan partai politik yang
bergabung
Pasal 61 ayat (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menyatakan bahwa
penetapan dan pengumuman pasangan calon oleh KPUD bersifat final dan
mengikat.
Ke depan perlu pasangan calon perlu diberi ruang untuk mengajukan
keberatan ke pengadilan, jika dalam proses pencalonan dirugikan oleh KPUD.
3. Permasalahan Pada Masa Kampanye.
Pengaturan mengenai kampanye secara yuridis diatur dalam
pasal 75 sampai sampai dengan pasal 85 Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 yaitu meliputi pengaturan mengenai
teknis kampanye, waktu pelaksanaan, pelaksana kampanye,
jadwal kampanye, bentuk dan media kampanye, dan laranganlarangan selama pelaksanaan kam-panye. Kandidat dan tim
kampanyenya cenderung mencari celah pel-anggaran yang
menguntungkan dirinya. Dengan terbatasnya waktu untuk
kampanye maka sering terjadi pencurian start kampanye dan
kampanye diluar waktu yang telah ditetapkan. Untuk itu ke
depan perlu pengaturan masa kampanye yang cukup
dan peningkatan kualitas kampanye agar dapat
mendidik pemilih untuk menilai para calon dari segi
program.
4. Manipulasi Penghitungan Suara & Rekapitulasi Hasil
Penghitungan Suara.
Manipulasi perhitungan suara dan rekapitulasi hasil
penghitungan suara dapat terjadi di setiap tingkatan, yaitu
di KPPS, PPK, KPU Ka-bupaten, dan KPU Provinsi.
Permasalahan penghitungan suara dan rekapitulasi hasil
penghitungan suara akan manipulasi, disebabkan oleh
banyaknya TPS yang tersebar dalam wilayah yang luas.
Dengan banyaknya TPS yang tersebar luas membuat para
pasangan calon sulit mengontrolnya karena memerlukan
saksi yang banyak dan biaya besar. Kedepan sistem Pemilu
harus didesain mudah dan murah
5. Penyelenggara Pemilu Yang Tidak Adil dan Netral
a. KPU dan KPU Provinsi
Keberpihakan KPU atau KPU Provinsi kepada salah satu pasangan
calon dila-kukan kepada KPU Provinsi atau KPU Kabupaten dengan
memberhentikan atau membekukan para anggota KPU Provinsi atau
KPU Kabupaten. Padahal pengambil-alihan baru dapat
dilakukan jika KPU dibawahnya tidak dapat melaksanakan tahapan
Pilkada.
b. KPU Provinsi atau Kab/Kota
Keberpihakan KPU Prov atau KPU Kab/Kota kpd salah satu
pasangan calon dilakukan pada tahapan proses pencalonan,
penghitungan &rekapitulasi hasil penghitungan suara.
c. Panwaslu.
Keberpihakan Panwaslu kepada salah satu pasangan calon
dilakukan khususnya pada tahapan setelah hasil penghitungan
suara, dengan menjadi promotor bagi pasangan yang kalah.
Akibatnya pelaksanaan Pilkada menjadi ruwet, terjadi ketegangan di
tingkat grass root dan bahkan kadang sampai menimbulkan
kerusuhan.
6. Putusan MA atau MK yang Menimbulkan
Kontroversi di Masyarakat.
Sengketa Pilkada diatur di Pasal 106 UU No 32 Tahun 2004 yang pada
intinya menyatakan bahwa sengketa hasil penghitungan suara dapat
diajukan oleh pasangan calon kepada pengadilan tinggi untuk Pilkada
Bupati/Walikota dan kepada MA untuk Pilkda Gubernur. Putusan yang
dikeluarkan pengadilan tinggi/Mahkamah Agung bersifat final. Setelah
dikeluarkan UU No12 Tahun 2008 kewenangan penyelesaian sengketa
pilkada beralih dari Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi. Baik
dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahuri 2004 maupun UU No 12
Tahun 2008 kewenangan pengadilan untuk mengadili sengketa Pilkada
hanya terbatas pada sengketa hasil yang mempengaruhi pemenang
Pilkada, permasalahannya adalah bagaimana apabila terjadi sengketa di
luar hasil penghitungan suara, selain itu beberapa putusan baik
Mahkamah Agung maupun Mahkamah Konstitusi menimbulkan
kontroversi di masyarakat,akibatnya penyelesaian Pilkada berlarut-larut.
7. Posisi Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah
Incumbent Dalam Pilkada
Dalam rangka menjaga kesetaraan (fairness) dan menjaga
netralitas Pegawai Negeri Sipil (PNS) dalam Pilkada, kepala
daerah/wakil kepala daerah yang akan mencalonkan diri
sebagai kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah harus
mengundurkan diri dari jabatannya. Namun melalui Putusan
Nomor 17/PUU-VI/2008 tanggal 4 Agustus 2008, Mahkamah
Konstitusi telah membatalkan ketentuan dimaksud karena
menimbulkan ketidakpastian hukum (legal uncertainty,
rechtsonzekerheid) atas masa jabatan kepala daerah yaitu
lima tahun [vide Pasal 110 ayat (3) UU 32/2004] dan
sekaligus perlakuan yang tidak sama (unequal treatment)
antar sesama pejabat negara [vide Pasal 59 ayat (5) huruf i UU
32/2004], sehingga dapat dikatakan bertentangan dengan
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Kesimpulan
Dengan demikian untuk penyempurnaan penyelenggaraan
Pilkada ke depan harus dilakukan :
1. Peningkatan akurasi daftar pemilih.
2. Peningkatan akuntabilitas proses pencalonan.
3. Masa kampanye yang lebih memadai.
4. Peningkatan akuntabilitas penghitungan & rekap
penghitungan suara.
5. Peningkatan penyelenggara Pemilu yang adil dan
netral.
6. Minimalisasi politisasi birokrasi oleh kepala
daerah/wakil kepala daerah Incumbent dalam
pelaksanaan Pilkada.
Terima Kasih