AS-SUNNAH ATAU AL-HADITS As-Sunnah atau al-Hadits adalah sumber hukum Islam kedua setelah al-Qur’an, berupa perkataan (sunnah qauliyah), perbuatan (sunnah fi’liyah) dan sikap diam (sunnah.

Download Report

Transcript AS-SUNNAH ATAU AL-HADITS As-Sunnah atau al-Hadits adalah sumber hukum Islam kedua setelah al-Qur’an, berupa perkataan (sunnah qauliyah), perbuatan (sunnah fi’liyah) dan sikap diam (sunnah.

AS-SUNNAH ATAU AL-HADITS
As-Sunnah atau al-Hadits adalah sumber hukum
Islam kedua setelah al-Qur’an, berupa perkataan
(sunnah qauliyah), perbuatan (sunnah fi’liyah) dan
sikap diam (sunnah taqririyah atau sunnah
sukitiyah) Rasulullah yang tercatat dalam kitabkitab hadis.
Ucapan, perbuatan dan sikap diam Nabi
dikumpulkan tepat pada awal penyebaran Islam.
Orang-orang yang mengumpulkan Sunnah Nabi
1
menelusuri seluruh jalur riwayat ucapan, perbuatan
dan pendiaman Nabi. Di kalangan Sunni terdapat
enam kumpulan hadis utama.
Salah satu kumpulan hadis yang menonjol di
kalangan Syi’ah adalah Usul il-Kafi karya Kulaini.
Kitab-kitab hadis, baik di kalangan Sunni maupun
Syi’ah, adalah sumber pengetahuan yang
monumental tentang Islam, yang sekaligus
menjadi alat penafsir dan bagian yang
komplementer terhadap al-Qur’an. Sunnah,
terutama ucapan Nabi, membahas berbagai hal,
mulai dari metafisika sampai pada tata tertib di
meja makan.
2
Dan hampir segala hal yang berhubungan dengan
kehidupan rumah tangga, hukum, sosial, ekonomi,
politik, metafisika, kosmologi.
Pada penulis Barat banyak yang melancarkan
serangan terhadap as-Sunnah atau al-Hadits.
Dengan
pretensi
bersikap
ilmiah
dan
mempergunakan metode historis yang mereduksi
kebenaran agama menjadi fakta sejarah sematamata, penulis barat ini menyimpulkan bahwa asSunnah yang terdapat dalam kitab-kitab hadis
bukan asli berasal dari Nabi, melainkan telah
“dipalsukan” oleh generasi-generasi sesudahnya.
3
Dibalik kedok keilmiahan ini
bersembunyi asumsi a priori
bukanlah petunjuk Tuhan.
sesungguhnya
bahwa Islam
Secara jujur harus diakui bahwa ada hal-hal yang
terselip dalam kitab-kitab hadis itu yang diragukan
kebenarannya. Untuk menapis (menyaring) hadis
yang diragukan kebenarannya, para sarjana Islam
dahulu telah mengembangkan ilmu untuk meneliti
teks hadis (ilm al-jarh) dan validitas rangkaian
periwayatan hadis itu serta keadaan dan saat
mana sunnat al qaul diucapkan. Mereka
memisahkan dan memperbandingkan berbagai
hadis dan faktor-faktor yang mempengaruhinya
4
secara mendetail. Melalui proses itu beberapa hadis
diterima dan beberapa yang lain ditolak. Para
pengumpul hadis adalah orang-orang yang penuh
pengabdian, yang sering berkelana dari satu tempat
ke tempat lain, untuk menyelidiki kebenaran suatu
hadis.
Muslim yang baik akan selalu mempergunakan alQur’an dan as-Sunnah atau al-Hadits sebagai
pegangan hidupnya, mengikuti pesan Nabi :
“Kutinggalkan pada kalian dua pusaka yang sangat
berharga. Kalian tidak akan sesat selama-lamanya
selama kalian berpegang teguh kepada kedua
pusaka yang sangat berharga itu yaitu al-Qur’an dan
Sunnahku.”
5
Hadis Qudsi adalah hadis suci yang isinya berasal
dari Tuhan, disampaikan dengan kata-kata Nabi
sendiri.
Sunnah dalam istilah sunnatullah yang dalam
dunia ilmu pengetahuan disebut “hukum alam”
atau natural law. Perkataan sunnah dalam istilah
sunnatur rasul yakni perkataan, perbuatan dan
sikap diam Nabi Muhammad. Perkataan sunnah
atau sunat dalam hubungannya dengan al-ahkam
al-khamsah yang merupakan salah satu kaidah
dari lima kaidah hukum Islam bermakna anjuran.
6
Perkataan sunnah dalam ungkapan ahlus sunnah
wal jama’ah yaitu golongan umat Islam yang
berpegang kepada sunnah Nabi Muhammad.
Surinah dalam arti beramal ibadah sesuai contoh
yang diberikan Nabi.
Dasar hukum bahwa sunnah menjadi sumber kedua
hukum Islam adalah :
1. Syahadatain
2. al-Qur’an. surat an-Nisa : 59, Q.S al-Imran :
132, Q.S. an-Nisa : 80, Q.S. Al-Hasyr :7
3. Sunnah Nabi yang menyatakan bahwa “apa yang
diharamkan Rasulullah, sama dengan apa yang
diharamkan Allah”.
7
Sunnah Nabi Muhammad mempunyai fungsi
sebagai petunjuk pelaksanaan kaidah-kaidah
fundamental yang terdapat dalam al-Qur’an atau
sebagai penjelasan atau tafsiran yang otentik
mengenai ayat-ayat al-Qur’an atau sebagai
kaidah-kaidah
hukum
baru
yang
perlu
dikembangkan atau dirumuskan lebih lanjut oleh
akal pikiran manusia.
Kompilasi Sunnah Nabi Muhammad ke dalam
kitab, baru mulai dilaksanakan pada akhir abad
pertama Hijriyah.
8
Ketika Khalifah Umar bin Abdul Aziz dari dinasti
Umayyah, pada tahun 718 M memerintahkan para
gubernurnya untuk membukukan Sunnah Nabi
Muhammad agar tidak hilang atau dilupakan
orang. Perintah ini dilaksanakan oleh Muhammad
Syihab az-Zuhri di Medinah. Pada pemerintahan
al-Mansyur dari dinasti Abbasiyah (754-774 M)
kompilasi Sunnah ke dalam kitab-kitab hadis
dilakukan secara teratur dengan sistematik.
9
Pembukuan hadis yang tersusun secara sempurna
dilakukan oleh para ahli yang mengkhususkan diri
mengkaji Sunnah Nabi Muhammad dengan suatu
sistem tersendiri. Bukhari dan Muslim menentukan
syarat-syarat yang berat untuk menilai hadis-hadis
yang dapat diterima dan ditetapkan sebagai valid
atau sahih (sah).
10
Nabi Muhammad
Aisyah
A. Bakar
A. Hur
Umar
St. Khadijah
Gen. Sahabat
St. Zahra
Ibnu Abas
Syu’aib
Al-Hakim
Umi Habibah
Tabi’in
R.N
N
I As.Sy
Malik
A. Han
Tabi’ Tabi’in
Tirmizi
An Nasai
A Daud
Muslim
Bukhari
Penyusun
Kitab Hadits
11
Bukhari (m.d. 870 M), penyusun kitab yang terkenal
dengan sebutan Sahih Bukhari itu, menyusun
kitabnya selama 16 tahun. Waktu menyaring sekian
banyak hadis yang dikumpulkannya dari sekian
banyak orang di tempat yang berbeda-beda, ia
berpegang teguh pada kriteria yang ditetapkannya
dan sebelum menuliskan hadis yang kemudian
dikategorikannya sebagai hadis sahih, ia salat
istikharah (salat memohon petunjuk Allah) lebih
dahulu. Muslim, ahli hadis yang lain, yang meninggal
dunia pada tahun 875 M, menyusun kitab hadis lain
yang terkenal dengan nama Sahih Muslim.
12
Kedua kitab hadis sahih yang disusun oleh Bukhari
dan Muslim itu dipercayai keotentikannya oleh
ummat Islam dan dijadikan sumber hukum Islam
kedua setelah al-Qur’an. Bukhari dan Muslim
mempergunakan lima kategori dalam melakukan
kalasifikasi hadis-hadis yang dikumpulkannya.
Kategori-kategori itu adalah :
1. Kekuatan ingatan dan ketelitian perawinya
2. Integritas pribadi orang yang menyampaikannya
3. Tidak terputus mata rantai penghubungnya dari
generasi ke generasi
4. Tidak terdapat cacat mengenai isinya
5. Tidak janggal dilihat dari susunan bahasanya.
13
Kriteria inilah yang menentukan kualitas hadis itu
apakah ia sahih (otentik), hasan (baik) atau da’if
(lemah). Disebut sahih, kalau sebuah hadis
memenuhi kelima kriteria tersebut.
Menurut jumlah (banyaknya) orang yang
meriwayatkan Sunnah Nabi itu, hadis dibagi tiga
yaitu :
1. Sunnah atau hadis mutawatir
2. Sunnah atau hadis masyhur
3. Sunnah atau hadis ahad.
14
Dilihat dari kualitas atau integritas pribadi orangorang yang meriwayatkan secara lisan dari
generasi ke generasi berikutnya, sunnah atau
hadis yang terdapat dalam kitab-kitab hadis, dapat
diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok yaitu :
1. Sahih
2. Hasan
3. Da’if (lemah)
15
Sunnah atau hadis, yang sekarang terdapat dalam
kitab-kitab hadis terdiri dari dua bagian yaitu (1)
bagian isnad dan (2) bagian matan (matn).
1. Isnad atau sanad adalah sandaran untuk
menentukan kualitas suatu hadis, merupakan
rangkaian orang-orang yang menyampaikan
(meriwayatkan) sunnah secara lisan turuntemurun dari generasi ke generasi (sampai
sunnah itu dibukukan).
2. Matan atau matn adalah materi atau isi sunnah.
16
Sunnah Nabi yang terdapat dalam kitab-kitab hadis,
mungkin qathi mungkin juga zhanni.
Akal Pikiran (al-Ra’yu atau Ijtihad)
Perkataan al-’aql (bahasa Arab) berarti pikiran dan
intelek juga bermakna sesuatu yang mengikatkan
manusia dengan Tuhan, sebab arti lain perkataan
‘aql dalam bahasa Arab adalah ikatan.
Akal adalah wadah yang menampung aqidah,
syari’ah dan akhlak.
17
Dalam ajaran Islam ada ungkapan yang menyatakan
: al-’aqlu huwa-l-hayah, wal faqdu huwa-l-maut. Ada
akal berarti hidup, tidak berakal (lagi) berarti mati.
Akal dalam ajaran Islam tidak boleh bergerak dan
berjalan tanpa bimbingan, tanpa petunjuk. Wahyulah
yang menuntun, membimbing dan mengukur akal
manusia.
Akal pikiran manusia yang memenuhi syarat untuk
berijtihad yang menjadi sumber hukum Islam yang
ketiga ini, dalam kepustakaan disebut arra’yu atau
ijtihad saja (A. Azhar Basyir, 1983:6).
18
Dasar hukum untuk mempergunakan akal pikiran
atau ra’yu untuk berijtihad dalam pengembangan
hukum Islam adalah :
1. al-Qur’an surat an-Nisa (4) ayat 59 (yang telah
disebut diatas) yang mewajibkan juga orang
mengikuti ketentuan ulil amri (orang yang
mempunyai kekuasaan atau “penguasa”)
mereka.
2. Hadis Mu’az bin Jabal yang menjelaskan bahwa
Mu’az sebagai penguasa (ulil amri) di Yaman
dibenarkan oleh Nabi mempergunakan ra’yunya
untuk berijtihad.
19
3. Contoh yang diberikan oleh ulil amri lain yakni
Khalifah II Umar bin Khattab, beberapa tahun
setelah Nabi wafat, dalam memecahkan
berbagai persoalan hukum yang tumbuh dalam
masyarakat pada awal perkembangan Islam.
Ijtihad ulil amri itu, menurut Hazairin dapat dibagi dua
yaitu :
a. Yang berwujud pemilihan atau penunjukan garis
hukum yang setepat-tepatnya untuk diterapkan
pada suatu perkara atau kasus tertentu yang
mungkin langsung diambil dari ayat-ayat hukum
dalam al-Qur’an.
20
b. Ketentuan yang berwujud penciptaan atau
pembentukan garis hukum baru bagi keadaankeadaan baru menurut tempat dan waktu.
Ijtihad adalah usaha atau ikhtiar yang sungguhsungguh
dengan
mempergunakan
segenap
kemampuan yang ada dilakukan oleh orang (ahli
hukum) yang memenuhi syarat untuk merumuskan
garis hukum yang belum jelas atau tidak tidak ada
ketentuannya di dalam al-Qur’an dan Sunnah
Rasulullah. Orang yang berijtihad disebut mujtahid.
Ayat dan hadis hukum yang qath’i sifatnya baik
bukanlah menjadi lapangan atau obyek ijtihad.
21
Nas atau teks yang zhanni sifatnya merupakan obyek
ijtihad.
Dilihat dari jumlah pelakunya, ijtihad dapat dibagi dua
yakni :
a. Ijtihad individual (ijtihad fardi)
b. Ijtihad kolektif (ijtihad jama’i)
Dilihat dari obyek atau lapangannya, ijtihad dilakukan
terhadap :
a. Persoalan-persoalan hukum yang zhanni sifatnya
b.
Hal-hal yang tidak terdapat ketentuannya di dalam
al-Qur’an dan al-Hadist
c.
Mengenai masalah-masalah hukum baru yang
tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.
22
Syarat-syarat orang yang berhak berijtihad adalah :
1. Menguasai bahasa Arab untuk dapat memahami
al-Qur’an dan kitab-kitab hadis yang tertulis
dalam bahasa Arab
2. Mengetahui isi dan sistem hukum al-Qur’an serta
ilmu-ilmu untuk memahami al-Qur’an
3. Mengetahui hadis-hadis hukum dan ilmu-ilmu
hadis yang berkenaan dengan pembentukan
hukum
4. Menguasai sumber-sumber hukum Islam dan
cara-cara (metode) menarik garis-garis hukum
dari sumber-sumber hukum Islam.
23
5. Mengetahui dan menguasi kaidah-kaidah fikih
(qawa’id al-fiqhiyyah)
6. Mengetahui rahasia dan tujuan-tujuan hukum
Islam
7. Jujur dan ikhlas. Syarat-syarat ini diperlukan
untuk seorang mujtahid mutlak di masa lampau,
namun kini untuk melakukan ijtihad yang
peringkatnya lebih rendah dari mujtahid mutlak
syarat-syarat yang berat tersebut di atas, dapat
diringankan. Selain syarat-syarat tersebut di atas
yang dapat diperingan, untuk melakukan ijtihad
pada waktu ini, seorang mujtahid seyogyanya 24
8. Menguasai
ilmu-ilmu
sosial
(antropologi,
sosiologi) dan ilmu-ilmu yang relevan dengan
masalah yang diijtihadi
9. Serta dilakukan secara kolektif (jama’i) bersama
para ahli (disiplin ilmu) lain.
Ibnul Qayyim al-Jauziyah menggolongkan mujtahid
kedalam empat tingkat yakni :
1. Mujtahid mutlak
2. Mujtahid mazhab
3. Mujtahid fatwa
4. Muqalid atau disebut juga dengan istilah ahli
25
tarjih
Karena pentingnya ijtihad, menyebut ijtihad sebagai
the principle of movement dalam sturktur ajaran
agama Islam.
Metode-metode Berijtihad
1. Ijmak
2. Qiyas
3. Istidal
4. Al-masalih al mursalah
5. Istihsan
6. Istishab
7. ‘urf
26
1. Ijmak adalah persetujuan atau kesesuaian
pendapat para ahli mengenai suatu masalah pada
suatu tempat di suatu masa. Ijmak yang hakiki
hanya mungkin terjadi pada masa kedua
khulafaur rasyidin (Abu Bakar dan Umar) dan
sebagian masa pemerintahan khalifah yang ketiga
(Usman).
Sekarang
ijmak
hanya
berarti
persetujuan atau kesesuaian pendapat di suatu
tempat mengenai tafsiran ayat-ayat (hukum)
tertentu dalam al-Qur’an. Di Indonesia misalnya,
ijmak mengenai kebolehan beristri lebih dari
seorang berdasarkan ayat al-Qur’an surat an-Nisa
27
ayat 3 dengan syarat-syarat tertentu, selain dari
kewajiban berlaku adil yang disebut dalam ayat
tersebut, dituangkan dalam UU Perkawinan.
2.
Qiyas adalah menyamakan hukum suatu hal yang
tidak terdapat ketentuannya di dala al-Qur’an dan
di as-Sunnah atau al-Hadits dengan hal (lain)
yang hukumnya disebut dalam al-Qur’an dan
Sunnah Rasul (yang terdapat dalam kitab-kitab
hadis) karena persamaan illat (penyebab atau
alasan)nya.
Qiyas
adalah
ukuran,
yang
dipergunakan oleh akal budi untuk membanding
suatu hal dengan hal lain.
28
3. Istidal adalah menarik kesimpulan dari dua hal
yang berlainan. Misalnya menarik kesimpulan
dari adat-istiadat dan hukum agama yang
diwahyukan sebelum Islam. Adat yang telah
lazim dalam masyarakat dan tidak bertentangan
dengan hukum Islam (gono-gini atau harta
bersama) dan hukum agama yang diwahyukan
sebelum Islam tetapi tidak dihapuskan oleh
syari’at Islam, dapat ditarik garis-garis hukumnya
untuk dijadikan hukum Islam.
29
4. Masalihal-mursalah atau disebut juga maslahat
mursalah adalah cara menemukan sesuatu hal
yang tidak terdapat ketentuannya baik di dalam
al-Qur’an maupun dalam kitab-kitab hadis,
berdasarkan
pertimbangan
kemaslahatan
masyarakat atau kepentingan umum.
5. Istihsan adalah cara menentukan hukum dengan
jalan menyimpang dari ketentuan yang sudah
ada demi keadilan dan kepentingan sosial.
6. Istisab adalah menetapkan hukum sesuatu hal
menurut keadaan yang terjadi sebelumnya,
sampai ada dalil yang mengubahnya.
30
7. Adat-istiadat atau ‘urf yang tidak bertentangan
dengan hukum Islam dapat dikukuhkan tetap
terus
berlaku
bagi
masyarakat
yang
bersangkutan. Adat istiadat ini tentu saja yang
berkenaan dengan soal muamalah. Contohnya
adalah kebiasaan yang berlaku di dunia
perdagangan pada masyarakat tertentu melalui
inden misalnya, jual-beli buah-buahan di pohon
yang dipetik sendiri oleh pembelinya.
31
Hukum Islam dan Perkembangan Masyarakat
Jika ijtihad dengan berbagai metodenya tersebut di
atas mampu dikembangkan oleh ra’yu manusia
muslim yang memenuhi syarat secara baik dan
benar, tidak ada masalah yang timbul dalam
masyarakat yang tidak dapat dipecahkan dan
ditentukan hukumnya. Masalah bayi tabung,
pencangkokan kornea mata, misalnya dan masalahmasalah baru yang timbul sebagai akibat
perkembangan ilmu dan teknologi dapat saja
ditentukan hukumnya berdasarkan hukum Islam.
32
Hukum-hukum Allah ada yang jelas sebagaimana
yang tersurat dalam al-Qur’an, ada pula yang
tersirat, ada yang tersembunyi di balik al-Qur’an.
Hukum yang tersirat dan tersembunyi inilah yang
harus dicari, digali dan ditemukan oleh manusia
yang memenuhi syarat melalui penalarannya. Pada
hukum tersurat yang bersifat zhanni dalam al-Qur’an
dan as-Sunnah atau al-Hadits serta pada hukum
Allah yang tersirat dan tersembunyi di balik lafaz
atau kata-kata di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah
atau al-Hadits itulah ra’yu atau ijtihad manusia yang
memenuhi syarat berperan tanpa batas mengikuti
33
dan mengarahkan perkembangan masyarakat
manusia, menentukan hukum dan mengatasi
berbagai masalah yang timbul sebagai akibat
perkembangan zaman, ilmu dan teknologi yang
diciptakannya.
Untuk menemukan hukum yang tersirat dan
tersembunyi tersebut di atas diperlukan wawasan
yang jelas dan kemampuan untuk mencari dan
menggali hakikat hukum Ilahi serta tujuan Allah
menciptakan hukum-hukum-Nya. Tujuan hukum Ilahi
harus senantiasa dijadikan pegangan dan pedoman
oleh para mujtahid dalam berijtihad merumuskan 34
hukum tersurat yang bersifat zhanni dalam al-Qur’an
dan as-Sunnah. Dengan berpedoman kepada
kemaslahatan manusia tersebut di atas, para
mujtahid akan dapat selalu mengikuti dan
mengendalikan
perkembangan
masyarakat,
menemukan hukum bagi satu masalah baru yang
muncul dan merumuskan atau merumuskan kembali
garis-garis hukum mengenai hukum tersebut yang
bersifat zhanni yang terdapat dalam al-Qur`an dan
as-Sunnah atau al-Hadits.
35