Penalaran Fiqih

Download Report

Transcript Penalaran Fiqih

Penguatan Materi
Fiqih
3(‫)فإن خفتم أال تعدلوا فواحدة أو ما ملكت أيمانكم ذلك أدنى أال تعولوا‬
Apakah ayat di atas, dapat
dismpulkan bahwa Islam setuju dan
mentolelir perbudakan?
Antara Hukum Syar’i dan Fiqih
hukum syar’i biasanya
diartikan sebagai
ketentuan(Khithab)
Allah yang mengatur
perbuatan (lahir) para
mukallaf (subyek
hukum). Secara umum
ia dibedakan menjadi
wajib, sunnah, mubah,
makruh dan haram
Fiqih biasanya diartikan
sebagai pengetahuan ttg
hkm Syar’i yang amali
yang digali melalui
proses ijtihad ( al-ilmu
bi al-ahkam al-syar’iyah
al-amaliyah almuktasabah min
adillatuha al-tafsiliyah)
‫• ‪ -‬والمطلقات يتربصن بأنفسهن ثالثة قروء – البقرة ‪228‬‬
‫• ‪ -‬أياما معدودات فمن كان منكم مريضا أو على سفر فعدة من أيام‬
‫أخر وعلى الذين يطيقونه فدية طعام مسكين فمن تطوع خيرا فهو‬
‫خير له وأن تصوموا خير لكم إن كنتم تعلمون(‪)184‬‬
‫• ‪ -‬إن الذين يأكلون أموال اليتامى ظلما إنما يأكلون في بطونهم‬
‫نارا وسيصلون سعيرا(‪)10‬النساء‬
‫• ‪ -‬عن أبي سعيد الخدري قال قال رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم‬
‫ليس فيما دون خمسة أوساق من تمر وال حب صدقة‪ -‬رواه مسلم‬
‫• ‪ -‬أنه سمع جابر بن عبد اهلل يذكر أنه سمع النبي صلى اهلل عليه‬
‫وسلم قال فيما سقت األنهار والغيم العشور وفيما سقي بالسانية نصف‬
‫العشر ‪ -‬رواه مسلم‬
Pembagian Dalil
• Dalil Munsyi’ (panduan yang mencipta(,
• Dalil Mudzhir (panduan yang menyingkap)
atau dalil ijtihadi (panduan yang bersifat
ijtihadi).
Dampak Pembagian Dalil
• Melalui pembagian dalil tersebut bisa menimbulkan kesan
bahwa dalil seperti qiyas, istihsan dan semacamnya berada
di luar al-Qur’an dan al-Hadits, disadari atau tidak, kita
semua sering menggunakan qiyas dan semacamnya jika
dalam al-Qur’an dan hadits (menurut pemahaman kita(
sudah tidak kita temukan hukumnya. Jadi selama di dalam
ketentuan teks al-Qur’an dan hadit Nabi masih ada
ketentuan hukumnya, maka kita tidak akan menggunakan
dalil qiyas dan semacamnya, karena menganggap
ketentuan teks (sesuai pemahaman kita) lbih utama. Wujud
ekstrim dari pemahaman ini terlihat pada beberapa ulama
semisal Dawud al-Dzahiri (270 H/880 M) dan Ibnu Hazm
(456 H/1063 H) yang menolak menggunakan dalil mudzhir
apakah benar bahwa dalil mudzhir itu lebih rendah dari dalil
munsyi’. Benarkah hukum syar’i yang berdasar dalil mudzhir
saja yang bersifat ijtihadi, sedangkan hukum syar’i yang
berdasar dalil musyi’ (al-qur’an dan hadits secara tekstual(
tdak bersifat ijtihadiyah.?
1. bahwa al-qur’an dan hadits
Nabi memuat ttg hukum dan
non hukum. maka ayat-ayat
yang akan dijadikan dalil
hukum
haruslah
dipilih
berdasar keriterian tertentu..
Sebagian ayat-ayat hukum
disepakati oleh semua ulama,
tetapi tidak sedikit ayat-ayat
hukum yang diperselisihkan.
Kaadaan ini bisa menjadi
petunjuk bahwa
pemilihan
ayat
tersebut
(setidaknya
2. ayat-ayat hukum kaya dengan
nuansa. al-qur’an menggunakan
lafadz yang mungkin ditafsirkan
secara hakiki dan juga majazi.
Bagaimana cara memilih yang
paling tepat dan apa saja
indikatornya?. Dalam al-Qur’an
juga digunakan kata musytarak).
Bagaimana cara menggunakan dan
memilih makna yang tepat. Dls.
Menghadapi sekian banyak
persoalan ini para ulama telah
Simpulan
• Berdasar uraian tersebut di atas, dapat
disimpulkan bahwa penentuan apakah suatu
ayat disebut ayat hukum atau tidak
(sekurang-kurangnya sebagian ayat alqur’an dan hadits Nabi), hampir selalu
melalui proses ijtihad. Oleh karena itu
maka produk hukum yang dihasilkan juga
bersifat ijtihadiyah. Dengan demikian maka
hukum yang berasal dari dalil munsyi’ juga
berdasar ijtihad. sama dengan hukum syar’i
yang dihasilkan oleh dalil mudzhir.
Alternatif Penalaran Fiqih
Bayani
Ta’lili
Istislahi
1.
Penalaran Bayani
• semua penafsiran berdasar kaidah kebahasaan.
Dengan demikian maka yang disebut penalaran
bayani adalah pemahaman / penafsiran terhadap
al-Qur’an dan al-Hadits, untuk menemukan
hukum syar’i dengan menggunakan kaidah-kaidah
kebahasaan (al-qawa’id al-lughawiyah). Misalnya
penentuan lafadz am, khas, majar, hakiki, kalimat
perintah (amar), nahi, kata-kata musytarak dan
sebagainya.
2.
Penalaran Ta’lili
• Yaitu semua kegiatan penafsiran terhadap
al-Qur’an/ hadits, untuk menemukan hukum
syar’i, dengan menggunakan pertimbangan
illat hukum (rasio legis). Ke dalam
penalaran ini dimasukkan semua kegiatan
penafsiran
hukum
yang
berupaya
menemukan apa illat dari suatu aturan
(norma).
Illat hukum dibedakan menjadi
tiga.
• 1). Illat tasyri’i, yaitu illat yang digunakan untuk
mengetahui apakah suatu ketentuan hukum dapat terus
berlaku, atau sudah sepantasnya berubah, karena illat yang
mendasarinya telah berubah. Perubahan hukum tersebut
bisa dilihat dari dua sisi. Pertama, pemahaman tentang illat
hukum itu sendiri telah mengalami perubahan sesuai
dengan perkembangan zaman. Contohnya illat zakat
pertanian. Kedua, pemahaman terhadap illat tidak berubah,
tetapi tujuan penerapan hukum tersebut sudah tidak sesuai
lagi dengan yang di harapkan. Contohnya adalah
penbagian tanah Fai’.
• 2) Illat qiyasi, adalah illat yang dipergunakan untuk
mengetahui apakah perluasan hukun dari suatu nash dapat
diberlakukan terhadap kasus lain.
•
• 3) Illat Istihsani, yaitu illat husus yang digunakan untuk
mengetahui apakah perluasan hukum dari suatu nash itu ,
tetap diberlakukan pada kasus lain atau dikecualikan.
Contohnya terdapat sebuah hadits yang menyatakan bahwa
sisa minuman binatang buas adalah najis. Melalui
pendekatan qiyas, aturan ini seharusnya dibelakukan juga
bagi sisa minuman burung buas., tetapi para ulama
menganggap ada illat lain yang lebih kuat, sehingga
hukum tersebut tidak bisa di samakan.
‫‪Contoh‬‬
‫• ال تأخذواالصدقة إالمن هذه االصناف االربعة الشعري واحلنطة‬
‫والزبيب والتمر –رواه احلاكم والطرباين‬
‫• حدثنا حممد بن املثىن وحممد بن بشار قاال حدثنا حممد بن‬
‫جعفر حدثنا شعبة قال مسعت قتادة حيدث عن أنس بن مالك‬
‫أن النيب صلى اهلل عليه وسلم أيت برجل قد شرب اخلمر فجلده‬
‫جبريد تني حنو أربعني قال وفعله أبو بكر فلما كان عمر استشار‬
‫الناس فقال عبد الرمحن أخف احلدود مثانني فأمر به عمر‪-‬‬
‫مسلم‬
‫• واعلموا أنما غنمتم من شيء فأن هلل خمسه وللرسول‬
‫ولذي القربى واليتامى والمساكين وابن السبيل إن كنتم‬
‫ءامنتم باهلل وما أنزلنا على عبدنا يوم الفرقان يوم التقى‬
‫الجمعان وهللا على كل شيء قدير‪al-Anfal 41-‬‬
‫• إنما الصدقات للفقراء والمساكين والعاملين عليها والمؤلفة‬
‫قلوبهم وفي الرقاب والغارمين وفي سبيل هللا وابن السبيل‬
‫فريضة من هللا وهللا عليم حكيم ‪– al-Taubah 60 -‬‬
3.
Penalaran Istislahi
• Yaitu segala kegiatan pengambilan keputusan hukum yang
didasari atas pertimbangan kemaslahatan karena tidak
ditemukan atau tidak ada nash yang tegas yang dapat
digunakan secara spesifik untuk menetapkan hukumnya.
Dalam kegiatan ini ayat-ayat/hadits Nabi
yang
mengandung kemaslahatan digabungkan satu sama lain,
kemudian
dijadikan sebagai patokan umum untuk
menyelesaikan kasus-kasus hukum. Misalnya aturan
kegiatan lalu lintas dan sebagainya.
Penutup
• catatan penting untuk diketahi adalah posisi dan hubungan ketiga pola
penalaran di atas, tidaklah setingkat. Hal ini terjadi karena al-qur’an dan
hadits di turunkan kepada kita dalam bahasa Arab. Maka penguasaan kaidah
kebahasaan (sampai pada batas-batas tertentu) merupakan syarat mutlak
bagi orang yang akan menafsirkannya. Atas dasar kenyataan ini, maka
penalaran bayani merupakan pola penalaran yang paling dasar., sebab
penalaran ta’lili-pun memerlukan kaidah kebahasaan juga, di samping
penguasaan wawasan tentang kaadaan sosial bangsa Arab pada zaman Nabi,
dan untuk lebih sempurnanya penguasaan ilmu modern, seperti sosiologi,
antropologi dan ekonomi, juga perlu dikuasai. Sungguhpun demikian harus
tetap diingat bahwa penerapan penalaran ta’lili ini tidak bisa diterapkan
untuk semua masalah hukum, sebab tidak semua ketentuan hukum bisa
diketahui illatnya. Adapun
penalaran istislahi mempersyaratkan
pennguasaan kedua penalaran sebelumnya, sebab penalaran yang terahir ini
baru akan digunakan jika sekiranya dua penalaran tersebut tidak mungkin
digunakan .
Sambungan penutup
• Di samping catatan di atas perlu diketahui pula bahwa ke
tiga penalaran ini tidak memberi ruang bagi “dalil
ijma”(dalam tanda kutip( Namun perlu diingat pula bahwa
ijma’ itu merupakan hasil konsensus, yang munculnya baru
terjadi setelah proses penalaran dilakukan. Oleh karena itu
tidak ada halangan (jika mungkin( untuk dilakukan ijma’
(konsensus) atas hasil penalaran yang dilakukan
sebelumnya. Ahmad Hasan (guru besar ilmu hukum di
Pakistan) menyatakan bahwa ijma itu posisinya berada
setelah qiyas, tetapi berhubung ia memperoleh dukungan
orang banyak , maka kemudian naik lebih tinggi dibanding
qiyas yang dilakukan oleh orang-perorang
Terima Kasih
• Semoga Bermanfaat
• dan Mohon Maaf
Data Pribadi
• Nama : M. Nawawi
• Alamat : Bungah Gresik
• Pend. : Islamic Study Pascasarjana IAIN
Ar Raniri Banda Acah