Materi Hukum Kepegawaian Utama

Download Report

Transcript Materi Hukum Kepegawaian Utama

Materi Kuliah
Hukum Kepegawaian
Disusun oleh :
Tedi Sudrajat, S.H.
Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman
Purwokerto
2009
Perubahan Paradigma Dalam Hukum Kepegawaian
Berdasarkan sejarah Indonesia, khususnya pada era orde baru
terdapat permasalahan dalam pelaksanaan sistem pemerintahan
Indonesia. Bentuk permasalahannya berupa pola pikir pemerintah
dalam struktur pemerintahan, dimana titik berat kekuasaan berada
pada tangan penguasa birokrasi pemerintah yang mengakibatkan
rakyat sebagai unsur utama demokrasi tidak mempunyai peran yang
dapat mengontrol birokrasi pemerintah secara maksimal. Kekuasaan
ini disalahgunakan oleh penguasa Orde Baru untuk menguasai
struktur birokrasi pemerintahan dengan konsep monoloyalitas.
Semua pejabat termasuk pegawai dari berbagai lini dan layer
mempunyai jabatan dan kewajiban rangkap memihak kepentingan
golongan yang berkuasa. Keadaan seperti ini yang membuat sistem
sentralisasi pemerintahan menjadi kuat. Konsep monoloyalitas ini
berdampak terhadap penataan kepegawaian atau sumber daya
aparatur pemerintah
Secara garis besar, permasalahan yang dihadapi birokrasi pemerintah adalah
sebagai berikut :
a.
Kelembagaan birokrasi pemerintah yang besar dan tidak didukung dengan
sumber daya aparatur yang profesional;
b.
Mekanisme kerja yang sentralistik masih mewarnai kinerja birokrasi
pemerintah;
c.
Kontrol terhadap birokrasi pemerintah masih dilakukan oleh pemerintah,
untuk pemerintah, dan dari pemerintah;
d.
Patron-klien (KKN) dalam birokrasi pemerintah merupakan halangan
terhadap upaya mewujudkan merirokrasi dan birokrasi;
e.
Tidak jelas dan cenderung tidak ada ”sense of accountability” baik secara
kelembagaan maupun secara individu;
f.
Jabatan birokrasi yang hanya menampung jabatan struktural dan
pengisiannya sering kali tidak berdasarkan kompetensi yang dibutuhkan;
g.
Penataan sumber daya aparatur tidak disesuaikan dengan kebutuhan dan
penataan kelembagaan birokrasi.
Pergeseran paradigma dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan berdampak
pada sistem kelembagaan, ketatalaksanaan, dan sumber daya manusia.
Tantangan yang dihadapi di bidang kelembagaan, adalah menata ulang struktur
organisasi dengan prinsip rasional dan realistik (sesuai kebutuhan) dan perangkat
kelembagaan yang lebih efektif serta efisien yang berorientasi pada peningkatan
pelayanan masyarakat. Hal ini menuntut penyediaan sarana dan prasarana
pemerintahan yang dapat mendukung terwujudnya pelayanan prima.
Di bidang ketatalaksanaan, tantangan yang dihadapi adalah kualitas dan
transparansi pelayanan masyarakat yang kurang adaptif terhadap perubahanperubahan dan tuntutan-tuntutan masyarakat, oleh karena itu diperlukan
penyempurnaan sistem ketatalaksanaan dalam penyelenggaraan tugas-tugas umum
pemerintahan dan pembangunan di daerah.
Bidang sumber daya manusia aparatur menghadapi tantangan untuk
mengembangkan sistem perencanaan Sumber Daya Manusia aparatur pemerintah
sesuai hasil penataan struktur dan perangkat kelembagaan daerah. Konsekuensinya
adalah pembentukan disiplin, etika dan moral yang bertujuan untuk meningkatkan
produktivitas kerja dan tuntutan terhadap perwujudan aparatur pemerintah yang
bebas Korupsi Kolusi. Nepotisme (KKN) dan lebih profesional.
Hubungan antara Hukum Administrasi Negara
dengan Hukum Kepegawaian
Sistem administrasi pemerintahan terbagi menjadi dua bagian
yaitu pegawai negeri dan masyarakat.
Pegawai negeri mempunyai otoritas dan wewenang secara
hukum, sedangkan masyarakat tidak memiliki wewenang.
Berdasarkan kewenangan yang diberikan tersebut maka
terdapat hubungan antara Hukum Administrasi Negara
dengan Hukum Kepegawaian yang disebut sebagai openbare
dienstbetrekking (hubungan dinas publik) terhadap negara
(pemerintah). Adapun openbare dientsbetrekking yang
melekat pada hubungan hubungan hukum kepegawaian itu
lebih merupakan hubungan sub-ordinatie antara atasan
dengan bawahan.
Menurut Logemann hubungan dinas publik adalah bilamana
seseorang mengikat dirinya untuk tunduk pada perintah dari
pemerintah untuk melakukan sesuatu atau beberapa macam
jabatan yang dalam melakukan suatu atau beberapa macam
jabatan itu dihargai dengan pemberian gaji dan beberapa
keuntungan lain. Hal ini berarti bahwa inti dari hubungan dinas
publik adalah kewajiban bagi pegawai yang bersangkutan untuk
tunduk pada pengangkatan dalam beberapa macam jabatan
tertentu yang berakibat bahwa pegawai yang bersangkutan tidak
menolak (menerima tanpa syarat) pengangkatannya dalam satu
jabatan yang telah ditentukan oleh pemerintah di mana sebaliknya
pemerintah berhak mengangkat seseorang pegawai dalam jabatan
tertentu tanpa harus adanya penyesuaian kehendak dari yang
bersangkutan. Dalam hal ini, hubungan tersebut menimbulkan
‘Suatu perjanjian” yakni karena adanya persesuaian kehendak
atau vrye verdrag (kontrak sukarela) antara pegawai dengan
pemerintah
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa hubungan
antara Hukum Kepegawaian dengan Hukum Administrasi Negara adalah :
1. Obyek Hukum Administrasi Negara adalah kekuasaan pemerintah;
2. Penyelenggaraan pemerintahan sebagian besar dilakukan oleh
Pegawai Negeri;
3. Tugas dan wewenang Pegawai Negeri berupa public service
dituangkan dalam Pasal 3 ayat (1) UU No. 43 tahun 1999 yang
menyatakan bahwa Pegawai negeri berkedudukan sebagai unsur
aparatur Negara yang bertugas untuk memberikan pelayanan
kepada masyarakat secara professional, jujur adil dan merata
dalam penyelenggaraan tugas Negara, pemerintahan dan pembangunan.
4. Hubungan antara Pegawai Negeri dengan negara adalah hubungan
dinas publik;
5. Sengketa kepegawaian merupakan sengketa Tata Usaha Negara.
Materi 1
ETIKA PEGAWAI NEGERI SIPIL
Istilah etika berasal dari bahasa yunani: ethos, yang
berarti kebiasaan atau watak. Jadi,
etika
merupakan pola perilaku atau kebiasaan yang baik dan
dapat diterima oleh lingkungan pergaulan seseorang
atau sesuatu organisasi tertentu.
Dalam konteks organisasi administrasi publik atau
pemerintah, pola-pola sikap dan perilaku serta
hubungan antar manusia dalam organisasi maupun
hubungannya dengan pihak luar organisasi pada
umumnya diatur dalam peraturan perundangan yang
berlaku.
Kode Etik Pegawai Negeri Sipil
Kode etik adalah sekumpulan norma, asas, dan nilai yang menjadi pedoman bagi
anggota kelompok profesi tertentu dalam bersikap, berperilaku dan melaksanakan
kegiatan-kegiatan sebagai anggota kelompok profesi tersebut.
KORPRI telah memiliki kode etik KORPRI yaitu Panca prasetya KORPRI :
1. Setia dan taat kepada Negara Kesatuan dan Pemerintah Indonesia, yang
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
2. Menjunjung tinggi kehormatan bangsa dan negara serta memegang teguh
rahasia jabatan dan rahasia negara;
3. Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat di atas kepentingan pribadi
dan golongan;
4. Bertekad memelihara persatuan dan kesatuan bangsa serta kesetiakawanan
KORPRI;
5. Berjuang menegakan kejujuran dan keadilan, serta meningkatkan kesejahteraan
dan profesionalisme
Menurut Kandungan nilainya, Panca Prasetya KORPRI
dapat dikelompokan menjadi 2 (dua) kelompok :
1. Kelompok Pertama
Prasetya pertama, kedua dan ketiga menunjukan harkat jati
diri anggota KORPRI yaitu sebagai warga negara yang setia
kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dan
bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, yang diwujudkan
sebagai pejuang dan pengabdi terhadap negara dan
bangsanya;
2. Kelompok Kedua
Prasetya keempat, dan kelima menunjukan sikap dan
perilaku yang harus diperankan oleh anggota KORPRI
sebagai aparatur negara, abdi negara dan abdi masyarakat.
Sumpah/Janji Pegawai Negeri Sipil
Kewajiban yang harus dilakukan oleh setiap PNS adalah
sumpah/janji pengangkatan PNS .
Mengenai sumpah/janji pengangkatan PNS telah diatur dalam
Pasal 26 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999,
PP Nomor 21 Tahun 1975, dan Surat Edaran Kepala BAKN
Nomor 14/SE/1975.
Sumpah/Janji menurut Penjelasan Undang-undang Nomor 43
Tahun 1999 adalah suatu kesanggupan untuk menaati keharusan
atau untuk tidak melakukan larangan yang ditentukan, yang
diikrarkan di hadapan atasan yang berwenang menurut agama
atau kepercayaannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Sanksi Pelanggaran Kode Etik dan Sumpah/Janji
Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil
Berdasarkan Pasal 23 angka (3a) Undang-undang Nomor 43 Tahun
1999 menetapkan bahwa PNS dapat diberhentikan dengan hormat atau
tidak diberhentikan karena melanggar sumpah/janji PNS dan sumpah/janji
jabatan selain pelanggaran sumpah/janji PNS dan sumpah/janji jabatan
karena tidak setia kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara,
dan Pemerintah. Dalam proses pemberhentiannya tergantung kepada berat
ringannya pelanggaran atau memperhatikan jasa-jasa dan pengabdian PNS
yang bersangkutan.
Pasal 23 angka (5a) Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999
menetapkan bahwa PNS dapat diberhentikan tidak dengan hormat karena
melanggar sumpah/janji PNS dan sumpah jabatan karena tidak setia
kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara dan Pemerintah.
Dalam proses pemberhentiannya, PNS yang dikenakan pasal ini tidak
berhak menerima pensiun karena dianggap telah membuat kesalahan yang
fatal
Berdasarkan Pasal 8 PP No. 32 Tahun 1979 tentang
Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil, setiap Pegawai Negeri
Sipil dapat diberhentikan tidak dengan hormat sebagai
Pegawai Negeri Sipil karena :
a. melanggar Sumpah/Janji Pegawai Negeri Sipil,
Sumpah/Janji Jabatan Negeri atau Peraturan Disiplin
Pegawai Negeri Sipil; atau
b. dihukum penjara, berdasarkan keputusan Pengadilan
yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, karena
dengan sengaja melakukan suatu tindak pidana kejahatan
yang diancam dengan pidana penjara setinggi-tingginya 4
(empat) tahun, atau diancam dengan pidana yang lebih
berat.
Materi 2
NETRALITAS PEGAWAI NEGERI SIPIL
Pada era Orde Baru, ketentuan yang mengatur PNS
kaitannya dengan politik adalah UU. No. 3 Tahun 1985
tentang Partai Politik dan Golongan Karya,
Pasal 8 ayat (2) yang menyatakan bahwa :
a. PNS dapat menjadi anggota partai politik dan Golongan
Karya dengan sepengetahuan pejabat yang berwenang;
b. PNS yang memegang jabatan-jabatan tertentu tidak dapat
menjadi anggota partai politik dan golongan karya, kecuali
dengan izin tertulis dari pejabat yang berwenang.
Secara normatif, pasal 8 memberi kebebasan PNS menjadi
anggota dan pengurus partai politik, namun dalam realitasnya
izin tersebut menjadi permasalahan hukum tersendiri.
Pemberian izin selalu tidak transparan. Hal ini mengakibatkan
banyak PNS yang dirugikan dengan alasan izin.
Pemberian izin inilah pada masa Orde Baru disalahgunakan
oleh pejabat yang berwenang. Izin digunakan oleh pejabat
yang berwenang sebagai alasan penolakan dengan alasan
mengganggu pelaksanaan tugas. Apabila pejabat konsisten,
PNS yang menjadi anggota dan pengurus Organisasi
Kemasyarakatanpun seharusnya juga dilarang karena dapat
mengganggu pelaksanaan tugas. Melihat realitas ini,
pemerintah Orde Baru dalam pemberian izin tidak konsisten.
Selain alasan tersebut pada masa Orde Baru PNS dalam
partai politik selalu dikaitkan dengan monoloyalitas.
Pada era reformasi, keanggotaan dan kepengurusan PNS di
dalam partai politik diatur dalam UU No.43 tahun 1999, PP
No. 5 tahun 1999 jo PP No. 12 tahun 1999, PP No.37 Tahun
2004 tentang Larangan Pegawai Negari Sipil Menjadi
Anggota Partai Politik, Surat Keputusan Badan Administrasi
kepegawaian Negara (BAKN) No.02/BA/1999 tentang
Pedoman Pelaksanaan Peraturan Pemerintah, dan
kemudian disempurnakan melalui Surat Edaran Menteri
Pendayagunaan
Aparatur
Negara
Nomor
:
SE/08/M.PAN/3/2005 tanggal 31 Maret 2005 Tentang
Netralitas Pegawai Negeri Sipil Dalam Pemilihan Kepala
Daerah.
Menurut S.F. Marbun, makna netralitas yang termaktub dalam UU
kepegawaian adalah
Bebasnya Pegawai Negeri Sipil dari pengaruh kepentingan partai
politik tertentu atau tidak memihak untuk kepentingan partai
tertentu atau tidak berperan dalam proses politik. Namun Pegawai
Negeri Sipil masih tetap mempunyai hak politik untuk memilih, dan
berhak untuk dipilih dalam pemilihan umum. Namun tidak
diperkenankan aktif menjadi anggota dan pengurus partai politik.
Maksud netralitas yang lain adalah jika seorang Pegawai Negeri
Sipil aktif menjadi pengurus partai politik atau anggota legislatif,
maka ia harus mengundurkan diri. Dengan demikian birokrasi
pemerintahan akan stabil dan dapat berperan mendukung serta
merealisasikan kebijakan atau kehendak politik manapun yang
sedang berkuasa dalam pemerintahan.
Materi 3
MANAJEMEN KEPEGAWAIAN INDONESIA
Pengertian Manajemen Kepegawaian
Kata manajemen merupakan perkembangan dari pengertian
administrasi. Istilah administrasi dalam Ilmu Administrasi
Negara berasal dari bahasa Latin “administrare”, asal kata
ad dan ministrare yang diartikan sebagai “pemberian jasa
atau bantuan”. Kata administrasi mengandung arti
“melayani” (to serve), pimpinan (administrator) atau
memimpin (to manage) yang akhirnya berarti manajemen.
Dalam hal ini, manajemen merupakan inti dari administrasi,
sehingga pembicaraan masalah manajemen sekaligus juga
membicarakan masalah administrasi.
Administrasi pada dasarnya berfungsi untuk
menentukan tujuan organisasi dan merumuskan
kebijakan umum, sedangkan manajemen berfungsi
untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan yang perlu
dilaksanakan dalam rangka pencapaian tujuan dalam
batas-batas kebijaksanaan umum yang telah
dirumuskan.
Secara
etimologis,
manajemen
(management) berasal dari kata manus (berarti
tangan) dan agere (berarti melakukan) yang setelah
digabung menjadi kata manage (bahasa Inggris) yang
berarti mengurus, atau managiere (bahasa Latin) yang
berarti melatih.
Dalam hukum positif, istilah yang digunakan untuk
menyebutkan administrasi kepegawaian adalah manajemen
kepegawaian, oleh karena itu kedua istilah tersebut
digunakan secara bersamaan dengan pengertian yang
sama. Menurut Miftah Thoha :
”Administrasi kepegawaian seringkali disebut manajemen
kepegawaian, yang tidak asing lagi bagi kegiatan
administrasi instansi pemerintah. Istilah administrasi
kepegawaian merupakan peristilahan yang terancang
secara umum, yang dapat diperbandingkan dengan istilah
manajemen tenaga kerja atau manajemen sumber daya
tenaga kerja (man power or human resources
management). Dalam industri istilah yang searti ialah
“industrial relation” dengan memberikan penekanan pada
perencanaan kepegawaian atau personnel programs. “
Ruang Lingkup Manajemen Kepegawaian
Felix A. Nigro dan Lloyd G. Nigro berpendapat bahwa manajemen
kepegawaian meliputi kegiatan pengangkatan dan seleksi, pengembangan
yang meliputi latihan jabatan (in-service training), promosi dan
pemberhentian. Kemudian Flippo memberikan batasan tentang
manajemen kepegawaian (personnel management) sebagai perencanaan,
pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan terhadap pengadaan,
pembinaan, kompensasi (pemberian gaji dan upah), integrasi,
pemeliharaan dan pemberhentian/pensiun. Dalam batasan ini terdapat dua
fungsi pokok, yakni:
1) Fungsi manajemen, meliputi;
pengarahan dan pengawasan.
perencanaan,
pengorganisasian,
2) Fungsi operatif kepegawaian, meliputi; pengadaan, pembinaan/
pengembangan,
kompensasi,
perawatan/pemeliharaan,
dan
pemberhentian.
Fungsi-fungsi manajemen merupakan kerangka dasar
dari peran kegiatan manajerial secara universal. Fungsi
manajemen dikategorikan sebagai berikut:
1.
Perencanaan (Planning);
2.
Pengorganisasian (Organizing);
3.
Pemberian motivasi (Motivating) yang terbagi dalam
a. Pengisian Staf (Staffing);
b. Mengarahkan (Directing);
4.
Pengawasan (Controlling);
5.
Penilaian (Evaluating)
Paparan di atas menunjukkan bahwa manajemen kepegawaian
meliputi kegiatan-kegiatan :
1).Pengadaan dan seleksi tenaga kerja/pegawai, yang diketahui
dari rangkaian kegiatan tentang pengadaan, seleksi, dan
pengangkatan melalui ujian calon pelamar menjadi pegawai.
2).Penempatan dan penunjukan, diketahui melalui rangkaian
ditempatkannya calon pegawai pada jabatan atau fungsi tertentu
yang telah ditetapkan.
3).Pengembangan, yang diketahui dari segenap proses latihan
(training) baik sebelum atau sesudah menduduki jabatan dikaitkan
promosi pegawai.
4).Pemberhentian, yang diketahui melalui proses diberhentikannya
tenaga kerja/pegawai baik sebelum masanya maupun sudah
saatnya (pensiun).
Materi 4
Konsep Reformasi Birokrasi
Pelayanan Publik
Dalam Perspektif Hukum
Kepegawaian
Birokrasi memiliki asal kata dari Bureau, sedangkan
kata akhiran cracy diturunkan dari kata kratein (Yunani)
yang berarti mengatur (to rule).
Menurut kamus bahasa Jerman edisi 1813, birokrasi
didefinisikan sebagai "wewenang atau kekuasaan yang
oleh berbagai departemen pemerintah dan cabangcabangnya diperebutkan untuk diri mereka sendiri, atas
sesama warga negara”.
Menurut kamus teknik Bahasa Italia yang terbit tahun
1828 didefinisikan sebagai kekuasaan pejabat di dalam
administrasi pemerintahan
Birokratisasi
Sistem pemerintahan yang dijalankan oleh
Pegawai di dalam suatu negara
atau diartikan pula sebagai
Cara pemerintahan yang sangat dikuasai
oleh Pegawai Negeri
Terdapat 3 alasan pemikiran birokrasi dapat mendorong good
governance :
1. Perbaikan kinerja birokrasi dinilai penting oleh stakeholder.
Pemerintah berkepentingan dengan legitimasi, semakin
membaiknya birokrasi akan memperkecil biaya yang dapat
memperbaiki kesejahteraan warga pengguna dan efisiensi
mekanisme pasar ;
2. Semakin membaiknya birokrasi, maka stakeholder percaya
bahwa pemerintah serius melakukan perubahan. Adanya
kepercayaan (trust) merupakan prasyarat untuk mendukung
praktik good governance;
3. Nilai-nilai yang mencirikan praktik good governance dapat
diterjemahkan secara sederhana melalui birokratisasi.
Alasan keterkaitan norma hukum dengan birokrasi :
Pertama, kekuasaan menjalankan fungsi birokrasi
diletakkan pada kekuasaan (eksekutif) sebagai
pelaksana peran. Kedua, kekuasaan dalam
penyelenggaraan pemerintahan bersumber dari
wewenang formil (formil authority) yang diberikan
kepada seseorang/suatu pihak dalam bidang tertentu.
Ketiga, kewenangan yang diberikan tersebut
didasarkan pada hukum yang menjadi landasan dalam
melaksanakan fungsi melalui pelimpahan kekuasaan
yang diberikan oleh negara
Konsep administrative governance melalui penerapan good
governance merupakan isu yang digulirkan oleh UNDP
(United Nation Development Program) dan World Bank sejak
tahun 1997 sebagai syarat dalam penyaluran dana guna
menyelesaikan permasalahan krisis moneter di Indonesia.
Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah jalur birokrasi
dalam pemerintahan dan secara tidak langsung sebagai
upaya mempermudah akses masuknya perdagangan bebas
melalui birokratisasi yang sederhana.
Melalui konsep Good Governance tersebut
kemudian dikeluarkan TAP MPR No.VIII/MPR/1998
berupa agenda aksi reformasi dalam upaya
menciptakan pemerintahan yang baik dan bersih.
Berdasarkan hal tersebut, peranan pemerintah
dikurangi dan peranan masyarakat ditingkatkan
dan semakin terbuka aksesnya. Perspektif
good governance tersebut mengimplikasikan
adanya pengurangan peran dari pemerintah, namun
hal ini tidak serta merta meninggalkan peran
pemerintah begitu saja.
Terdapat 6 (enam) prinsip yang menyatakan terdapatnya peran
pemerintah yang signifikan dalam proses governing
1. Dalam kolaborasi yang dibangun, negara (pemerintah)
tetap bermain sebagai figur kunci namun tidak
mendominasi, serta memiliki kapasitas mengkoordinasi
(bukan memobilitasi)
2. Kekuasaan yang dimiliki negara harus ditransformasikan,
dari yang semula dipahami sebagai ”kekuasaan atas”
menjadi
”kekuasaan
untuk”
menyelenggarakan
kepentingan, kebutuhan, menyelesaikan masalah publik
3. Negara, NGO, swasta dan masyarakat lokal merupakan
aktor-aktor yang memiliki posisi dan peran yang saling
menyeimbangkan (untuk tidak menyebut setara)
4.Negara harus mendesain ulang struktur dan kultur
oraganisasinya agar siap dan mampu menjadi katalisator
bagi institusi lainnya untuk menjalin sebuah kemitraan
yang kokoh, otonom dan dinamis.
5.Negara harus melibatkan semua pilar masyarakat dalam
proses kebijakan mulai dari formulasi, implementasi dan
evaluasi kebijakan serta penyelenggaraan layanan publik;
6.Negara harus mampu meningkatkan kualitas
responsivitas, adaptasi dan akuntabilitas publik dalam
penyelenggaraan kepentingan, pemenuhan kebutuhan,
dan penyelesaian masalah publik
UNDP (United nation Development Program), mengemukakan
bahwa karakteristik tata prinsip yang harus dianut dan
dikembangkan dalam praktik good governance meliputi :
1. Partisipasi (participation)
2. Aturan Hukum (Rule of Law)
3. Transparansi (Tranparency)
4. Daya Tanggap (Responsivenes)
5. Berorientasi konsensus (Concencuss Orientation)
6. Berkeadilan (Equity)
7. Efektivitas dan Efisiensi (Effectiveness adn Efficiency)
8. Akuntabilitas (Accountability)
9. Visi strategis (Strategic Vision)
Berdasarkan prinsip-prinsip yang dikemukakan di atas, maka
global administrative governance memberikan pengaruh
terhadap perubahan paradigma dalam sistem birokratisasi.
Pengaruh di bidang kelembagaan adalah menata ulang
struktur organisasi dengan prinsip rasional dan realistik
(sesuai kebutuhan) dan perangkat kelembagaan yang lebih
efektif serta efisien yang berorientasi pada peningkatan
pelayanan masyarakat.
Di bidang ketatalaksanaan adalah penyempurnaan kualitas
dan transparansi pelayanan masyarakat terhadap
perubahan-perubahan dan tuntutan-tuntutan masyarakat,
oleh karena itu diperlukan penyempurnaan sistem
ketatalaksanaan dalam penyelenggaraan tugas-tugas umum
pemerintahan dan pembangunan.
Bidang sumber daya manusia aparatur sebagai pilar utama
penyelenggaraan pemerintahan berpengaruh pada
pengembangan sistem perencanaan Sumber Daya Manusia
aparatur pemerintah sesuai hasil penataan struktur dan
perangkat kelembagaan daerah. Konsekuensinya adalah
pembentukan disiplin, etika dan moral di tingkat pelaksana yaitu
Pegawai Negeri Sipil yang bertujuan untuk meningkatkan
produktivitas kerja dan tuntutan terhadap perwujudan aparatur
pemerintah yang bebas Korupsi Kolusi. Nepotisme (KKN) dan
lebih profesional.