Resilience pada Wanita Bekerja

Download Report

Transcript Resilience pada Wanita Bekerja

Logo
Resilience pada Wanita Bekerja
Dra. Fifie Nurofia Psik., MM.
Logo
Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha Bandung
Pendahuluan
Wanita merupakan tokoh sentral dalam kehidupan, karena mereka melahirkan dan
mendidik generasi selanjutnya. Peran yang dilakoninya bukanlah sekedar melahirkan dan
merawat melalui memberi makan dan minum tetapi memberikan kualitas pendidikan bagi
putra-putrinya sehingga putra-putrinya ini kelak tumbuh tidak sekedar pandai dan
berpendidikan tetapi memiliki integritas yang tinggi, serta memiliki bekal untuk selanjutnya
mendidik cucu2 mereka. Sebagai istri, wanita diharapkan dapat memerankan lakon sebagai
teman dan sahabat, dan sekaligus partner dalam berdiskusi dengan suami.
Peran ini semakin rumit ketika mereka memasuki dunia kerja. Bekerja tidak sekedar
mendapatkan penghasilan untuk membantu perekonomian keluarga, tetapi bekerja adalah
merupakan personal identification dan self worth (Bandura, 1997:422). Untuk memenuhi
ekspektasi ini, maka berkinerja secara optimal dan menjaga integritas keluarga menjadi
prioritas utama. Apa artinya keberhasilan dipekerjaan jika tidak berhasil dalam menjaga
keutuhan keluarga.
Goal wanita bekerja ini tidak mudah untuk dicapai, berbagai kesulitan menghantam
setiap saat pada waktu yang tidak direncanakan. Hantaman kesulitan ini dapat
mengakibatkan wanita bekerja ini merasa tidak berdaya dan menyerah pada keadaan.
Namun dilain pihak sejumlah wanita bekerja lainnya tetap tangguh menghadapi hantaman
demi hantaman dengan tetap komit terhadap masalah yang dihadapinya, berusaha untuk
mengendalikan output/hasil, dan berusaha untuk memahami, mempelajarinya dan
mensolusikannya. Ketangguhan ini menurut Salvatore R. Maddi dan Deborah M. Khoshaba
disebut sebagai resilience.
Kajian teoretik ini akan membahas bagaimana multiple peran yang dihadapi wanita
bekerja yang menjadi sumber kesulitan dan bagaimana resilience dapat mengubah kesulitan
yang dihadapinya menjadi tantangan bahkan memenangkannya melalui aspek-aspeknya
yaitu 3C (commitment, Control & Challenge).
Pembahasan
Multi peran yang melekat pada wanita bekerja, sarat dengan ekspekasi yang berbeda
yang bisa terjadi pada waktu yang sama. Ekspektasi ini ini bisa berbentuk kompetisi
maupun konflik (Backman & Seccord, 1974:431) . Kesulitan yang dihadapi oleh wanita
bekerja ini ketika menghadapi kompetisi ekspektasi dan konflik adalah dirasakannya
stress yang dapat berdampak pada melemahnya fisik, mental dan perilaku. Melemahnya
fisik dapat menggejala dalam bentuk sakit fisik seperti nyeri punggung, sakit perut dan
gangguan pencernaan, sakit kepala, dsb. Melemahnya mental terlihat dari munculnya
kecemasan, kurang sabar, mudah lupa, sulit konsentrasi, sedih, pesimis, depresi, dsb.
Sedangkan terganggunya perilaku akibat stress dapat berbentuk sulit tidur, mudah marah,
menjauh dari lingkungan sosial, performance menurun/buruk, dsb (Maddi & Khoshaba,
2005:30).
Resilience dapat tumbuh pada wanita bekerja ketika dia menghadapi konflik maupun
kompetisi ekspektasi akibat multi peran yang dia lakoni dalam kesehariannya. Dengan
tetap komit terhadap permasalahan yang dihadapinya, mereka akan engage secara total
baik dalam pekerjaan, maupun dalam kehidupan keluarganya. Mereka tetap melibatkan
diri dalam proses pelaksanaan tugas-tugas pekerjaannya, mereka juga akan tetap
melibatkan diri dengan perkembangan putra-putrinya dan kebutuhan suaminya, dengan
senantiasa membangun komunikasi yang berkualitas dengan keluarganya dan organisasi
dimana mereka bekerja (commitment). Dengan terlibat langsung dalam proses
pelaksanaan tugas maupun perkembangan kondisi keluarganya, maka mereka dapat
mengendalikan outcome dari kedua faset kehidupannya tadi yaitu di pekerjaannya
maupun di keluarganya (control). Dengan memperlakukan masalah sebagai tantangan
melalui usahanya yang kontinu untuk memahami, belajar dan men-solusikan-nya
(challenge), maka mereka memiliki keberanian dan motivasi untuk melakukan coping.
Dampaknya adalah berkembangnya transformational coping skill dan social interaction,
sehingga outcome yang dihasilkanya integritas keluarga dan tingkat produktivitas yang
terjaga.
Bagan Kerangka Pikir
Kerangka teoretik
Resilience adalah kapasitas untuk bertahan dan berkembang dibawah situasi stress
(Maddi & Khoshaba, 2005:27). Stress merupakan kondisi terdapatnya jarak antara apa
yang diinginkan dan apa yang didapat. Terdapat 2 jenis stress yaitu stress yang akut dan
kronis. Kedua jenis stress ini berdampak pada melemahnya fisik, mental dan perilaku.
Disisi lain stress tidak selamanya buruk. Stress menarik keluar mekanisme untuk
mengatasinya yang dikenal dengan coping stress. Ketrampilan coping stress berkembang
seiring dengan terdapatnya keberanian dan motivasi untuk mengatasi stress yang
dihadapi. Keberanian dan motivasi ini merupakan Hardiness atau Ketangguhan yang
terbentuk melalui pola sikap yaitu Commitment, Control & Challenge. Hardiness
mengubah keadaan yang stressfull menjadi peluang dan mendorong berkembangnya
ketrampilan interaksi sosial, sehingga ia mampu menerima dan memberi bantuan dari dan
kepada orang lain. Hardiness membantu individu yang mengalami stress, bangkit dan
menghadapinya secara lebih bertanggung jawab. Ketangguhan ini selanjutnya menjamin
outcome yang resilience. Hardiness ini merupakan hakekat dari resilience (Maddi &
Khoshaba, 2005:27). Tetapi jika coping sudah dilakukan dan stress masih terus
berlangsung, adakalanya individu akan jatuh ke perasaan tidak berdaya, dan menjauhkan
diri dari sumber stress tsb. Individu seperti ini dikatakan lemah dalam ketangguhannya.
Sikap Commitment merupakan sikap seseorang dalam memandang pekerjaannya
sebagai penting dan pantas mendapatkan perhatian penuh, imajinasi dan upaya;
sehingga dengan commitment ia akan engage secara total dalam pekerjaan dan
kehidupan. Control merupakan usaha yang dilakukan untuk secara positif mempengaruhi
outcome atas permasalahan yang terjadi pada diri seseorang. Dengan control ia dapat
secara langsung men-transformasi-kan permasalahan melalui sumber daya yang ada.
Challenge melihat permasalahan sebagai cara baru untuk menjalani dan memenuhi
kehidupan, dengan berusaha memahami, belajar dan men-solusi-kannya. Masalah
didekati dan bukan dihindari. Dengan challenge seseorang melihat permasalahan sebagai
tantangan dan melihat peluang disetiap kesulitan yang dihadapinya.
Keberanian dan motivasi dari ketiga attitude menghasilkan transformational coping
skills dan social support skills. Pada Transformational coping, individu membuka
perspektif sehingga situasi stress menjadi lebih tolerable, dan problem solving dapat
dilakukan dalam situasi yang tidak panik atau depresif. Pada social support, individu
menjaga relasi sosial dan mencegah terjadinya konflik interpersonal, dan menurut mereka
problem merupakan peluang untuk memperkuat relasi sosial (Maddi & Khoshaba,
2005:18-19).
Pada dasarnya setiap orang sudah memiliki kemampuan coping dan skill interaksi
sosial, tetapi kemampuan menggunakannya yang berbeda. Menurut Maddi & Khoshaba,
resilience dapat dilatihkan, sehingga setiap individu dapat memiliki ketangguhan untuk
menghadapi masalah dan mengubahnya menjadi peluang. Pelatihan dilakukan dengan
mengembangkan transformational coping dan supportive social interactions (Maddi &
Khoshaba, 2005:44-45).
Wanita bekerja
dengan multi peran
• Konflik peran
• Kompetisi
ekspektasi
Hardiness →
resilience
stress
• Acute
• chronic
• Commitment
• Control
• challenge
outcomes
• productivity
Simpulan
Wanita bekerja dengan multi peran yang berpotensi untuk mengalami konflik peran
atau konflik ekspektasi dan kompetisi ekspektasi atas peran-peran yang melekat padanya.
Konflik peran dan kompetisi ekspektasi yang dihadapinya dikesehariannya baik di
pekerjaan maupun di kehidupan keluarganya, berdampak pada dirasakannya stress baik
akut maupun kronis. Dengan resilience, wanita bekerja ini dapat menghadapi kesulitan
yang dihadapinya dengan lebih berani dan termotivadi, sehingga mereka lebih tangguh
dan dapat merubah kesulitan menjadi tantangan untuk dimenangkannya. Dengan
demikian, keutuhan dan pendidikan di dalam keluarga maupun keberhasilan di pekerjaan
dan karir dapat dipertahankan.
Tanpa resilience, para wanita bekerja ini akan jatuh dalam keadaan tidak berdaya dan
sulit untuk berhasil dalam mengatasi permasalahan demi permasalahan baik dalam
keluarga maupun dalam pekerjaannya, disebabkan lemahnya motivasi dan keberanian
untuk menghadapinya.
Lemahnya ketangguhan akan resiliensi, dapat diatasi dengan pelatihan, sehingga
wanita bekerja ini dapat lebih optimal dalam melaksanakan multiperannya, baik sebagai d
tokoh sentral dalam keluarga maupun sebagai pekerja.
Daftar pustaka
1. Bandura, Albert, 1997, pp. 422-476, “Self-Efficacy : The Exercise of Control”,
W.H.Freeman & Company, New York.
2. Maddi, Salvatore R., & Khoshaba, Deborah M., 2005, “ Resilience at Work : How
to Succeed No Matter What Life Throw at you”, American Management
Association, New York.
3. Sears, David O., Peplau, Letitia Anne, Taylor, Shelley E.,, 1991, pp.455-460,
“Social Psychology”, 7th edition, Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliffs, New
Jersey
4. Seccord, Paul F., & Backman, Carl W., 1974, pp. 420-456, “Social Psychology”,
2nd edition, McGraw-Hill Kogakusha, Ltd., Tokyo.