Kebijakan strategis TkD dan DD 2016

Download Report

Transcript Kebijakan strategis TkD dan DD 2016

Kebijakan Strategis Transfer ke Daerah dan Dana Desa 2016
Oleh Joko Tri Haryanto, pegawai Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI*
Pembangunan daerah dan desa menjadi salah satu agenda utama pemerintahan baru
sebagaimana yang tercantum dalam Nawa Cita ketiga ”membangun Indonesia dari
pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan”.
Hal tersebut sekiranya selaras dengan kebijakan yang sudah dijalankan oleh pemerintah
terkait pola hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, dimana sejak 1 Januari 2001
Indonesia resmi mengimplementasikan pola otonomi daerah dari sisi kewenangan serta
desentralisasi fiskal dari sisi keuangannya. Kebijakan tersebut didasarkan kepada UndangUndang (UU) Nomor 32 Tahun 2004 yang sudah direvisi menjadi UU No 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah serta UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Meskipun sudah dijalankan sejak era Orde Lama, ada hal yang membedakan pelaksanaan
desentralisasi fiskal di era reformasi saat ini. Jika sebelumnya otonomi daerah diletakkan di
level provinsi, maka desentralisasi fiskal yang dijalankan saat ini justru menitikberatkan
penyerahan kewenangan di level kabupaten/kota demi memperpendek rentang birokrasi.
Di sisi lain, desentralisasi fiskal juga dimaksudkan sebagai salah satu policy bagi
pemerintah untuk menciptakan aspek kemandirian dalam memenuhi aspek penciptaan
kesejahteraan masyarakat dan pelayanan umum. Karenanya, seluruh fungsi kewenangan
diserahkan kepada daerah, kecuali di 5 bidang kewenangan yakni keuangan dan moneter,
pertahanan dan keamanan, sistem peradilan, keagamaan, dan politik luar negeri yang
masih menjadi urusan Pemerintah Pusat.
Sebagai konsekuensi penyerahan kewenangan kepada daerah, pemerintah juga wajib
mengalihkan sumber-sumber pembiayaan kepada daerah sesuai asas money follows
function. Selain penyerahan sumber-sumber pembiayaan tersebut, kepada masing-masing
daerah juga diberikan keleluasaan untuk menciptakan sumber-sumber penerimaan
daerahnya sendiri dengan tetap memperhatikan aspek legalitas hukum nasional.
Sayangnya, heterogenitas daerah di Indonesia sangat beragam. Beberapa daerah memiliki
kekayaan sumber daya alam (SDA) yang luar biasa. Beberapa daerah lainnya memiliki
sumber pajak yang besar. Namun hampir sebagian besar daerah lainnya justru tidak
dikaruniai SDA dan sumber pajak yang memadai. Akibatnya, pemerintah tetap harus
memberikan bantuan kepada daerah melalui mekanisme Transfer ke Daerah (TkD).
TkD dalam APBN terdiri dari Dana Perimbangan (Daper) dan Dana Otonomi Khusus dan
Penyesuaian (Otsus). Daper terdiri dari Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum
(DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). DBH dan DAU diberikan kepada daerah dalam
bentuk block grant, dan dapat digunakan secara mandiri oleh daerah tanpa ada aturan
penggunaannya. Sementara DAK bersifat spesifik dengan aturan yang tegas dalam
mekanisme pemanfaatan di daerah. Secara filosofi, DAU dan DAK digunakan sebagai alat
pemerataan antardaerah (horizontal imbalances), sementara DBH digunakan sebagai
pemerataan fiskal antara pusat dan daerah sekaligus sebagai koreksi atas eksploitasi SDA
di era Orde Baru.
Sebagai sebuah mekanisme penyeimbang, idealnya besaran TkD ini berkurang seiring
dengan meningkatnya aspek kemandirian di daerah. Faktanya, kondisi ini justru tidak
terjadi di lapangan. Secara umum, besaran TkD justru terus meningkat setiap tahunnya.
Berdasarkan data pemerintah, dalam tahun 2006, alokasi TkD telah mencapai Rp226,4
triliun atau 33,7% total Belanja Negara. Sementara dalam APBN-P 2012, besaran TkD
mencapai Rp478,7 triliun atau 30,9% dari total Belanja Negara. Hasil kesepakatan APBN-P
2014 menetapkan besaran TkD sebesar Rp596,5 dengan tambahan alokasi Dana Desa
(DD).
Bersama dengan alokasi belanja subsidi, anggaran TkD ini kemudian membebani APBN
setiap tahunnya. Ketika pemerintah berhasil mereformasi kebijakan subsidi BBM di era
pemerintahan yang baru, beban TkD dalam APBN masih terjadi hingga saat ini. TkD juga
menimbulkan pola ketergantungan baru daerah terhadap Pemerintah Pusat. Jika
sebelumnya alokasi subsidi BBM dianggap sebagai salah satu pemicu munculnya
kemacetan di beberapa kota besar, alokasi TkD khususnya DAU, justru habis hanya untuk
belanja rutin pegawai semata. Hampir di semua daerah, persentase alokasi belanja rutin
pegawainya mencapai di atas 50%, bahkan ada beberapa daerah yang mencapai 70%.
Dengan persentase alokasi tersebut, tujuan penciptaan kemandirian di daerah terasa
semakin jauh dari harapan. Ruang fiskal APBD yang sedianya dialokasikan untuk belanja
pembangunan dan infastruktur, semakin lama semakin mengecil serta tidak signifikan
dalam mengentaskan permasalahan pembangunan dan kemiskinan di daerah. Sebetulnya
daerah masih memiliki sumber pendanaan asli daerah (PAD) yang berasal dari pajak dan
retribusi daerah, BUMD dan berbagai PAD lainnya. Namun dengan rata-rata kemampuan
PAD seluruh daerah hanya berkisar antara 15%-20% dari total kebutuhan daerah, tentu
jauh dari yang diharapkan. Angka tersebut sekaligus mengindikasikan rendahnya
kemandirian daerah dalam membiayai pelaksanaan kewajiban dan kewenangannya.
Pembatasan belanja pegawai
Tingginya beban alokasi belanja pegawai ini kemudian dipandang sebagai permasalahan
utama rendahnya kemampuan membangun di daerah, bersama dengan persoalan
kelembagaan dan korupsi. Keseluruhan masalah inilah yang kemudian harus dipandang
secara serius oleh pemerintah terkait dengan evaluasi pelaksanaan desentralisasi fiskal.
Jangan sampai pelaksanaan desentralisasi justru dianggap gagal dan Indonesia akan terus
berada dalam situasi yang mengarah kepada jurang kehancuran.
Sementara itu sinyal positif sepertinya diperlihatkan oleh pemerintah seiring dengan
pembahasan draf revisi UU Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Dalam keterangannya, pemerintah
menyampaikan adanya rencana pembatasan porsi belanja pegawai maksimal 50% dari
total Belanja Daerah. Jika belanja pegawai dapat dibatasi hingga maksimal 50%, maka
alokasi belanja pembangunan dan infrastruktur pelayanan umum dapat ditingkatkan di level
yang signifikan. Dalam konteks kekinian, pemerintah juga mewajibkan masing-masing
daerah untuk membatasi alokasi belanja pegawainya demi mengakomodasi kebutuhan
Pilkada serentak yang akan segera dijalankan.
Dalam kesempatan lainnya, Menteri Keuangan (Menkeu) juga menyebutkan bahwa
pemerintah sendiri telah menyusun rencana kebijakan strategis TkD dan DD tahun 2016 di
antaranya adalah memenuhi arahan Presiden terkait penyediaan dana block grant
pembangunan infrastruktur 100 miliar per kabupaten/kota, melanjutkan affirmative policy
terkait DAK untuk daerah-daerah tertinggal, terluar, terpencil serta yang kapasitas
pemerintahannya belum memadai dalam memberikan fungsi pelayanan publik.
Berikutnya adalah kebijakan pengalokasian DAU tetap difokuskan untuk mengurangi
ketimpangan fiskal antardaerah sehingga bobot terbesar wajib diberikan kepada daerahdaerah dengan kapasitas fiskal rendah. Terakhir adalah pemenuhan alokasi DD sebesar
10% dari dan diluar dana TkD. Rencana tersebut kemudian diapresiasi secara positif oleh
beberapa pengamat. Meskipun dinilai normatif, namun rencana tersebut menawarkan
konsep reformasi kebijakan anggaran di daerah.
Dalam kacamata penulis, rencana tersebut sebetulnya cukup baik namun perlu
disempurnakan dengan beberapa kebijakan mendasar lainnya. Reformasi formula
penghitungan DAU misalnya menjadi catatan yang perlu diperhatikan khususnya dari
aspek transparansi dan akuntabilitas. Alokasi dasar belanja pegawai daerah juga wajib
dikeluarkan dalam formulasi penghitungan DAU. Jika tidak, selamanya beban belanja
pegawai daerah akan selalu membebani APBN.
Catatan berikutnya terkait dengan komposisi besaran DAU dan DAK. Sebagai mekanisme
anggaran yang bersifat spesifik (ear marking), DAK sepertinya perlu diperluas
komposisinya demi menciptakan pertumbuhan dan pembangunan di daerah. DAU justru
perlu untuk ditinjau kembali besarannya seiring dengan pembatasan belanja pegawai,
karena faktanya DAU hanya merepresentasikan belanja pegawai semata. Mekanisme
evaluasi dan transparansi kebijakan anggaran daerah juga perlu dipertegas. Instrumen
reward and punishment perlu benar-benar dijalankan sesuai sistem penganggaran kinerja.
Daerah yang berprestasi perlu diberikan reward sementara daerah yang kinerjanya buruk
perlu diberi punishment baik dalam bentuk penundaan anggaran atau pengurangan
anggaran. pemerintah juga perlu melakukan berbagai inovasi dan berpikir out of the box.
Janganlah semua permasalahan di daerah hanya diatasi dengan memberikan tambahan
anggaran. Perlu dipikirkan inovasi pengentasan kemiskinan di daerah misalnya dengan
pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan pariwisata berbasis masyarakat atau
berbagai kegiatan yang bersifat komunal lainnya. Justru ke depannya, jika pemberdayaan
sektor komunal tersebut dapat diciptakan, Pemerintah Pusat tidak perlu campur tangan
dalam mengatasi berbagai permasalahan kemiskinan, pengangguran dan masalah sosial di
daerah lainnya.
Jika relasi hubungan masyarakat, pemerintah dan seluruh stakeholders tersebut dapat
diwujudkan, penulis yakin bahwa pola desentralisasi fiskal di Indonesia akan menjadi best
practice yang akan dirujuk oleh seluruh negara di dunia, karena memang kita memiliki
kapasitas dan kemampuan untuk mewujudkannya.
*Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana
penulis bekerja