Hukum Onani - My Salafy

Download Report

Transcript Hukum Onani - My Salafy

Bersumber dari:
http://asysyariah.com/syariah.php?
menu=detil&id_online=937
Microsoft PowerPoint By [email protected]&JuRaiZ
Apa hukum onani/masturbasi bagi pria dan wanita?
Dijawab oleh: Al-Ustadz Abu Abdillah As Sarbini Al- Makassari
Permasalahan onani/masturbasi (istimna’) adalah permasalahan yang
telah dibahas oleh para ulama. Onani adalah upaya mengeluarkan
mani dengan menggunakan tangan atau yang lainnya. Hukum
permasalahan ini ada rinciannya sebagai berikut:
1. Onani yang dilakukan dengan bantuan tangan/anggota tubuh
lainnya dari istri atau budak wanita yang dimiliki. Jenis ini hukumnya
halal, karena termasuk dalam keumuman bersenang-senang dengan
istri atau budak wanita yang dihalalkan oleh Allah Subhanahu wa
Ta’ala.1 Demikian pula hukumnya bagi wanita dengan tangan suami
atau tuannya (jika ia berstatus sebagai budak, red.). Karena tidak ada
perbedaan hukum antara laki-laki dan perempuan hingga tegak dalil
yang membedakannya. Wallahu a’lam.
1
2. Onani yang dilakukan dengan tangan sendiri atau
semacamnya. Jenis ini hukumnya haram bagi pria maupun
wanita, serta merupakan perbuatan hina yang bertentangan
dengan kemuliaan dan keutamaan. Pendapat ini adalah
madzhab jumhur (mayoritas ulama), Al-Imam Asy-Syafi’i
rahimahullahu, dan pendapat terkuat dalam madzhab AlImam Ahmad rahimahullahu. Pendapat ini yang difatwakan
oleh Al-Lajnah Ad-Da’imah (yang diketuai oleh Asy-Syaikh
Ibnu Baz), Al-Albani, Al-’Utsaimin, serta Muqbil Al-Wadi’i
rahimahumullah.
2
3
Dalilnya adalah keumuman firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
ُ ِ‫ج ِه ْم َحاف‬
ْ ‫ج ِه ْم ْأو َما َملَ َك‬
.‫ين‬
َ ‫ت أَ ْي َما ُن ُه ْم َفإِ َّن ُه ْم َغ ْي ُر َملُو ِم‬
َ ‫ظ‬
َ ‫َوالَّ ِذ‬
ِ ‫ إِ ََّّل َعلَى أَ ْز َوا‬.‫ون‬
ِ ‫ين ُه ْم لِفُرُو‬
‫ون‬
َ ‫ك ُه ُم ْال َعا ُد‬
َ ‫ك َفأُولَ ِئ‬
َ ِ‫َف َم ِن ا ْب َت َغى َو َرا َء َذل‬
“Dan orang-orang yang menjaga kemaluan-kemaluan mereka
(dari hal-hal yang haram), kecuali terhadap istri-istri mereka
atau budak-budak wanita yang mereka miliki, maka
sesungguhnya mereka tidak tercela. Barangsiapa mencari
kenikmatan selain itu, maka merekalah orang-orang yang
melampaui batas.” (Al-Mu’minun: 5-7, juga dalam surat AlMa’arij: 29-31)
4
Perbuatan onani termasuk dalam keumuman mencari kenikmatan
syahwat yang sifatnya melanggar batasan syariat yang dihalalkan, yaitu di
luar kenikmatan suami-istri atau tuan dan budak wanitanya.
Sebagian ulama termasuk Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu
berdalilkan dengan hadits ‘Abdillah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu:
ْ‫ َو َمنْ لَ ْم َيسْ َتطِ ع‬،‫صنُ ل ِْل َفرْ ِج‬
َ ْ‫ص ِر َوأَح‬
َ ‫اع ِم ْن ُك ُم ْال َبا َء َة َف ْل َي َت َزوَّ جْ َفإِ َّن ُه أَ َغضُّ ل ِْل َب‬
َ ‫ َم ِن اسْ َت َط‬،ِ‫َيا َمعْ َش َر ال َّش َباب‬
‫َف َعلَ ْي ِه ِبالص َّْو ِم َفإِ َّن ُه لَ ُه ِو َجاء‬
“Wahai sekalian pemuda, barangsiapa di antara kalian yang telah mampu
menikah, maka menikahlah, karena pernikahan membuat pandangan dan
kemaluan lebih terjaga. Barangsiapa belum mampu menikah, hendaklah
dia berpuasa, karena sesungguhnya puasa merupakan obat yang akan
meredakan syahwatnya.” (Muttafaq ‘alaih)
5
Al-’Utsaimin rahimahullahu berkata: “Sisi pendalilan dari hadits ini
adalah perintah Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi yang tidak
mampu menikah untuk berpuasa. Sebab, seandainya onani
merupakan adat (perilaku) yang diperbolehkan tentulah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan membimbing yang tidak mampu
menikah untuk melakukan onani, karena onani lebih ringan dan
mudah untuk dilakukan ketimbang puasa.”
Apalagi onani sendiri akan menimbulkan mudharat yang merusak
kesehatan pelakunya serta melemahkan kemampuan berhubungan
suami-istri jika sudah berkeluarga, wallahul musta’an.2
6
Adapun hadits-hadits yang diriwayatkan dalam hal ini adalah hadits-hadits yang
dha’if (lemah). Kelemahan hadits-hadits itu telah diterangkan oleh Al-Hafizh Ibnu
Hajar rahimahullahu dalam At-Talkhish Al-Habir (no. 1666) dan Al-Albani dalam
Irwa’ Al-Ghalil (no. 2401) serta As-Silsilah Adh-Dha’ifah (no. 319). Di antaranya
hadits ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma:
ُ ‫َسب َْعة َّلَ َي ْن‬
.... ُ‫ َوال َّنا ِك ُح َيدَ ه‬... :‫ار َم َع ال َّدا ِخلِي َْن‬
َ ‫ ْاد ُخلُ ْوا ال َّن‬:‫ظرُ هللاُ َع َّز َو َج َّل إِلَي ِْه ْم َي ْو َم ْال ِق َيا َم ِة َوَّلَ ي َُز ِّكي ِْه ْم َو َيقُ ْو ُل‬
َ ‫ْال َح ِدي‬
‫ْث‬
“Ada tujuh golongan yang Allah tidak akan memandang kepada mereka pada hari
kiamat, tidak akan membersihkan mereka (dari dosa-dosa) dan berkata kepada
mereka: ‘Masuklah kalian ke dalam neraka bersama orang-orang yang masuk ke
dalamnya!’ (di antaranya): … dan orang yang menikahi tangannya (melakukan
onani/masturbasi) ….dst.” (HR. Ibnu Bisyran dalam Al-Amali, dalam sanadnya ada
Abdullah bin Lahi’ah dan Abdurrahman bin Ziyad bin An’um Al-Ifriqi, keduanya
dha’if [lemah] hafalannya)
7
Namun apakah diperbolehkan pada kondisi darurat, yaitu pada suatu
kondisi di mana ia khawatir terhadap dirinya untuk terjerumus dalam
perzinaan atau khawatir jatuh sakit jika air maninya tidak
dikeluarkan? Ada khilaf pendapat dalam memandang masalah ini.
Jumhur ulama mengharamkan onani secara mutlak dan tidak
memberi toleransi untuk melakukannya dengan alasan apapun.
Karena seseorang wajib bersabar dari sesuatu yang haram. Apalagi
ada solusi yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
untuk meredakan/meredam syahwat seseorang yang belum mampu
menikah, yaitu berpuasa sebagaimana hadits Ibnu Mas’ud
radhiyallahu ‘anhu di atas.
8
Sedangkan sekelompok sahabat, tabi’in, dan ulama termasuk Al-Imam Ahmad
rahimahullahu memberi toleransi untuk melakukannya pada kondisi tersebut
yang dianggap sebagai kondisi darurat.3 Namun nampaknya pendapat ini harus
diberi persyaratan seperti kata Al-Albani rahimahullahu dalam Tamamul
Minnah (hal. 420-421): “Kami tidak mengatakan bolehnya onani bagi orang
yang khawatir terjerumus dalam perzinaan, kecuali jika dia telah menempuh
pengobatan Nabawi (yang diperintahkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam), yaitu sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kaum pemuda
dalam hadits yang sudah dikenal yang memerintahkan mereka untuk menikah
dan beliau bersabda:
‫ َفإِ َّن ُه لَ ُه ِو َجاء‬،‫َف َمنْ لَ ْم َيسْ َتطِ عْ َف َعلَ ْي ِه ِبالص َّْو ِم‬
“Maka barangsiapa belum mampu menikah hendaklah dia berpuasa, karena
sesungguhnya puasa merupakan obat yang akan meredakan syahwatnya.”
9
Oleh karena itu, kami mengingkari dengan keras orangorang yang memfatwakan kepada pemuda yang khawatir
terjerumus dalam perzinaan untuk melakukan onani, tanpa
memerintahkan kepada mereka untuk berpuasa.”
Dengan demikian, jelaslah kekeliruan pendapat Ibnu Hazm
rahimahullahu dalam Al-Muhalla (no. 2303) dan sebagian
fuqaha Hanabilah yang sekadar memakruhkan onani
dengan alasan tidak ada dalil yang mengharamkannya,
padahal bertentangan dengan kemuliaan akhlak dan
keutamaan.
10
Yang lebih memprihatinkan adalah yang sampai pada tahap
menekuninya sebagai adat/kebiasaan, untuk bernikmat-nikmat atau
berfantasi/mengkhayalkan nikmatnya menggauli wanita. Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata dalam Majmu’ Al-Fatawa
(10/574): “Adapun melakukan onani untuk bernikmat-nikmat
dengannya, menekuninya sebagai adat, atau untuk mengingatngingat (nikmatnya menggauli seorang wanita) dengan cara
mengkhayalkan seorang wanita yang sedang digaulinya saat
melakukan onani, maka yang seperti ini seluruhnya haram. Al-Imam
Ahmad rahimahullahu mengharamkannya, demikian pula yang
selain beliau.” Wallahu a’lam.
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala membimbing
para pemuda dan pemudi umat ini untuk menjaga
diri mereka dari hal-hal yang haram dan hina serta
merusak akhlak dan kemuliaan mereka. Amin.
Washallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala
alihi washahbihi wasallam, walhamdulillahi Rabbil
‘alamin.
11
Apakah pelaku onani/masturbasi mendapat dosa seperti
orang yang berzina?
Adi Wicaksono, lewat email
Penetapan kadar dan sifat dosa yang didapatkan oleh seorang
pelaku maksiat, apakah sifatnya dosa besar atau dosa kecil
harus berdasarkan dalil syar’i. Perbuatan zina merupakan dosa
besar yang pelakunya terkena hukum hadd. Nash-nash tentang
hal itu sangat jelas dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
12
13
Adapun masturbasi/onani dengan tangan sendiri atau semacamnya
(bukan dengan bantuan tangan/anggota tubuh dari istri atau budak
wanita yang dimiliki), terdapat silang pendapat di kalangan ulama.
Yang benar adalah pendapat yang menyatakan haram. Hal ini
berdasarkan keumuman ayat 5-7 dari surat Al-Mu’minun dan ayat
29-31 dari surat Al-Ma’arij. Onani termasuk dalam keumuman
mencari kenikmatan syahwat yang haram, karena melampaui batas
syariat yang dihalalkan, yaitu kenikmatan syahwat antara suami istri
atau tuan dengan budak wanitanya. Adapun hadits-hadits yang
diriwayatkan dalam hal ini yang menunjukkan bahwa onani adalah
dosa besar merupakan hadits-hadits yang dha’if (lemah) dan tidak
bisa dijadikan hujjah.
14
Di antaranya:
ُ ‫َس ْب َعة َّلَ َي ْن‬
... :‫ار َم َع ال َّدا ِخلِي َْن‬
َ ‫ ْاد ُخلُ ْوا ال َّن‬:‫ظ ُر هللاُ َع َّز َو َج َّل إِلَي ِْه ْم َي ْو َم ْالقِ َيا َم ِة َوَّلَ ُي َز ِّكي ِْه ْم َو َيقُ ْو ُل‬
َ ‫ ْال َح ِدي‬.... ُ‫َوال َّنا ِك ُح َي َده‬
‫ْث‬
“Ada tujuh golongan yang Allah tidak akan memandang kepada
mereka pada hari kiamat, tidak akan membersihkan mereka (dari
dosa-dosa) dan berkata kepada mereka: ‘Masuklah kalian ke dalam
neraka bersama orang-orang yang masuk ke dalamnya!’: … dan orang
yang menikahi tangannya (melakukan onani/masturbasi) ….dst.”4
Sifat onani yang paling parah dan tidak ada seorang pun yang
menghalalkannya adalah seperti kata Syaikhul Islam dalam Majmu’ AlFatawa (10/574): “Adapun melakukan onani untuk bernikmat-nikmat
dengannya, menekuninya sebagai adat, atau untuk mengingatngingat/mengkhayalkan (nikmatnya menggauli seorang wanita)
dengan cara mengkhayalkan seorang wanita yang sedang digaulinya
saat melakukan onani, maka yang seperti ini seluruhnya haram.
15
Al-Imam Ahmad rahimahullahu mengharamkannya, demikian pula
selain beliau. Bahkan sebagian ulama mengharuskan hukum hadd
bagi pelakunya.”
Penetapan hukum hadd dalam hal ini semata-mata ijtihad sebagian
ulama mengqiyaskannya dengan zina. Namun tentu saja berbeda
antara onani dengan zina sehingga tidak bisa disamakan. Karena
zina adalah memasukkan kepala dzakar ke dalam farji wanita yang
tidak halal baginya (selain istri dan budak wanita yang dimiliki).
Oleh karena itu, yang benar dalam hal ini adalah pelakunya hanya
sebatas diberi ta’zir (hukuman) yang setimpal sebagai pelajaran dan
peringatan baginya agar berhenti dari perbuatan maksiat tersebut.
Pendapat ini adalah madzhab Hanabilah, dibenarkan oleh Al-Imam
Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu dalam Asy-Syarhul Mumti’ Kitab AlHudud Bab At-Ta’zir dan difatwakan oleh Al-Lajnah Ad-Da’imah
yang diketuai oleh Al-Imam Ibnu Baz rahimahullahu dalam Fatawa
Al-Lajnah (10/259).
Adapun bentuk hukumannya kembali kepada ijtihad hakim,
apakah dicambuk (tidak lebih dari sepuluh kali), didenda, dihajr
(diboikot), didamprat dengan celaan, atau lainnya, yang
dipandang oleh pihak hakim dapat membuatnya jera dari
maksiat itu dan bertaubat.5 Wallahu a’lam.
16
17
Kesimpulannya, masturbasi tidak bisa disetarakan dengan
zina, karena tidak ada dalil yang menunjukkan hal itu.
Namun onani adalah maksiat yang wajib untuk dijauhi.
Barangsiapa telah melakukannya hendaklah menjaga aibnya
sebagai rahasia pribadinya dan hendaklah bertaubat serta
memohon ampunan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Apabila
urusannya terangkat ke mahkamah pengadilan, maka pihak
hakim berwenang untuk memberi ta’zir (hukuman) yang
setimpal, sebagai pelajaran dan peringatan baginya agar jera
dari perbuatan hina tersebut. Wallahu a’lam.
18
1 Pertama kali kami mendengar faedah ini dari guru besar kami, AlWalid Al-Imam Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullahu dalam
majelis beliau. Silakan lihat pula Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah
(10/259), Al-Iqna’ pada Kitab An-Nikah Bab ‘Isyratin Nisa’. Hal ini
merupakan ijma’ (kesepakatan) ulama sebagaimana dinukilkan oleh
Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullahu dalam kitabnya yang berjudul
Bulughul Muna fi Hukmil Istimna’, walhamdulillah –pen.
2 Lihat tafsir surat Al-Mu’minun dalam Tafsir Ath-Thabari, Tafsir Ibnu
Katsir, Tafsir Al-Baghawi, Majmu’ Al-Fatawa (10/574, 34/229), Fatawa
Al-Lajnah (10/259), Tamamul Minnah (hal. 420), Majmu’ Ar-Rasa’il
(19/234, 235-236), Asy-Syarhul Mumti’ Kitab Al-Hudud Bab At-Ta’zir –
pen.
3 Lihat Majmu’ Al-Fatawa (10/574, 34/229-230) –pen.
4 Lihat penjelasan hadits ini dalam Problema Anda: Hukum
Onani/Masturbasi.
5 Lihat Asy-Syarhul Mumti’ Kitab Al-Hudud Bab At-Ta’zir –pen.
Di Buat Agar Mudah Di Baca
Download PowerPoint Yang Lain di
http://mysalafy.wordpress.com
Sumber Artikel ini bisa di lihat di
http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_onli
ne=937