SERAT SASTRA MIRUDA

Download Report

Transcript SERAT SASTRA MIRUDA

Oleh :
Made Panji Wilimantara
SERAT SASTRAMIRUDA
•
•
•
•
Judul Buku
: Serat Sastra Miruda
Alih Bahasa : Kamajaya
Alih Aksara : Sudibjo Z. Hadisutjipto
Dicetak oleh : Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan
• Dalam Rangka : Proyek Penerbitan Buku
Sastra Indonesia dan Daerah.
• Tahun cetak : 1981
Serat Sastramiruda adalah sebuah
karya sastra Jawa dalam bentuk
wawancara
antara
guru
ahli
Pedalangan Wayang Purwa dan
muridnya. Sang guru ialah Kanjeng
Pangeran Arya (KPA) Kusumadilaga,
dan muridnya, Mas Sastramiruda.
Nama murid ini diambil menjadi judul
bukunya.
Tidak ada angka tahun penulisan kitab ini,
namun terdapat uraian bahwa kitab ini mulai
ditulis pada hari Ahad/minggu malam tanggal 1
bulan Besar, wuku Langkir, mangasa Ke-enam,
tahun Be, 1808. Dapat diketahui, bahwa K.P.A.
Kusumadilaga hidup dijaman Sri Susuhunan
Paku Buwana IX yang bertahta di Kraton
Surakarta dari tahun 1863 hingga 1893 M.
Sri Sasuhunan Paku Bhuwono IX
Di Bagian muka terdapat keterangan:
“Semua cara-cara menjalankan tugas
mendalang dijelaskan dengan lengkap. Cerita
itu kemudian disampaikan kepada Raden
Mas Panji Kusumawardaya, kerabat
keraton di Negeri Surakarta”.
Kitab ini memuat Penjelasan
mengenai:
• Asal Mula adanya gambar Wayang Purwa dan
permuulanya , hingga perkembangannya.
• penjelaskan ketika para Jawata (Dewa) menciptakan
bunyi-bunyian yang dinamakan Lokanata yang
selanjutnya digubah menjadi gambelan Salendro.
• adanya tari Badaya, Sarimpi, Wireng Lawung, Dadap dan
sebagainya.
• mengenai alat-alat yang digunakan untuk dalang
mewayang (mendalang), dan jenis-jenis gending, dengan
suluk Gereget-Saut (Gaya-siaganya).
• Diuraikan pula tentang cara memilih niyaga (pemukul
gamelan) hingga caranya mendaalang.
• pedoman mendalang dalam bentuk pakem, yaitu lakon
“Palasara Kawin” atau disebut pula “Lahirnya Abiyasa”.
Mas Sastra Miruda menanyakan berbagai macam Pertanyaan kepada
K.P.A. Kusumadilaga mengenai prihal petunjuk dan asal-usul
Pewayangan Jawa. Mas Sastra Miruda memohon K.P.A.
Kusumadilaga berkenan menerangkan siapakah yang menciptakan
Wayang Purwa dan Apakah Pedomannya, Bahwa Wayang, baik lakilaki maupun perempuan diberi lubang pada kedua daun telinganya.
K.P.A. Kusumadilaga menceritakan kepada Mas
Sastramiruda asal mula adanya gambar Wayang
Purwa dan permuula\nnya menjadi wayang Beber,
Gedog, Krucil, Golek, Kllithik, Wayang Orang,
dan Topeng, dengan urutan para penciptanya di
jaman kuna sampai keadaan Wayang kulit di
Kraton Surakarta.
Perkembangan Wayang Kulit di Tanah Jawa
sampai zaman kerajan Surakarta
Perkembangan Wayang Kulit di Tanah Jawa
sampai zaman kerajan Surakarta
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Prabu Jayabaya bertahta di Mamenang. Membuat Wayang diatas lontar.
Empu Ajisaka (Prabu Widayaka) di negeri Purwacarita
Prabu Suryamisesa yang bertahta di Kraton Jenggala
Raden Kudalaleyan bertahta di Kerajaan Jenggala
Raden Jasusuruh, bergelar Prabu Bratana. Istananya di Negeri Majapahit
Prabu Brawijaya yang bertahta di Majapahit
Hancurnya kraton dan Negeri Majapahit, Sultan Syah Alam Akbar (Raja
Demak Pertama/Raden Patah) bertahta.
8. Raden Trenggana menjadi raja
9. Sri Ratu di Tunggul Giri (Sunan Giri) membuat wayang Gedong
10. Sunan Bonang mengubah Kitab Damarwulan
11. Raden Jaka di Tingkir duduk di atas kerajaan Pajang dengan gelar Sri
Sultan Adiwijaya
12. Sri Sunan di Kalijaga berkenan mencipta topeng.
13. Kanjeng Penembahan Senapati ing Ngalaga memperbaharui bentuk
Wayang Purwa.
14. Sri Sunan Prabu Suda Anyakrawati,
15. Sri Sultan Agung Prabu Anyakrakusuma
16. Sri Sunan Mangkurat Mataram
17. Sri Susuhunan Mangkurat memperbaiki bentuk Wayang Gedog
18. Kanjeng Sinuhun Amangkurat bertahta
19. K.P.A. Puger di Kartasura (kemudian bertahta menjadi Sinuhun Paku
Buwana I)
20. Sri Susuhunan Paku Buwana ke-2
21. Waktu Sri Susuhunan (PB II) membangun bentuk Wayang Gedong
22. K.P. Adipati Anom ke-2 di Surakarta
23. K.G.P.A. Anom membuat wayang lagi menurut pola Kyai Pramukanya
24. Sri Susuhunan Paku Buwana ke-4 di Surakarta
25. Sri Sunan (P.B. IV) membuat Wayang Kulit lagi dengan menggunakan pola
wayang Kyai Kanyut,
26. Ada seorang nyonya bangsa Eropa, karena sangat tertarik
kepada kebudayaan bangsa Jawa membuat wayang orang
dengan melakukan cerita Purwa
27. K.P.G.A. Anom ke-3 di Surakarta membuat Wayang Rama
Kemudian
Sastra
Miruda
menanyakan,
Bagaimanakah orang dapat mengetahui perbedaan
wayang pahatan Cremapangrawit dengan pahatan
Kyai Ganda. K.P.A. Kusumadilaga menjawab,
Pahatan Cremapangrawit lebih halus, sedangkan
pahatan Kyai Ganda seperti yang dikatakan
“anyangkaruk padang” (jelas bersih keindahannya)
WALI SONGO
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim
Sunan Ampel atau Raden Rahmat
Sunan Bonang atau Raden Makhdum Ibrahim
Sunan Drajat atau Raden Qasim
Sunan Kudus atau Jaffar Shadiq
Sunan Giri atau Raden Paku atau Ainul Yaqin
Sunan Kalijaga atau Raden Said
Sunan Muria atau Raden Umar Said
Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah
A.
Hadits Bukhari dan Muslim (muttafaq alaih): ‫إن أشد الناس عذابا يوم القيامة المصورون‬
Artinya: Yang paling parah siksanya di hari kiamat adalah mushawwir (tukang
membuat patung/tukang gambar) .
B.
Hadits Bukhari ‫نهى عن ثمن الدم وثمن الكلب وكسب البغي ولعن آكل الربا وموكله والواشمة‬
‫والمستوشمة والمصور‬
Artinya: .... Allah melaknat pemakan riba ... dan tukang membuat patung/tukang
gambar.
C.
Hadits Bukhari Muslim (muttafaq alaih): ‫من صور صورة في الدنيا كلف أن ينفخ فيها الروح‬
‫وليس بنافخ‬
Artinya: Barangsiapa menggambar di dunia maka i` akan dipaksa untuk
meniupkan nyawa pada patung/gambar itu. Padahal dia bukanlah orang yang
dapat memberi nyawa.
D.
Hadits Bukhari Muslim (muttafaq alaih): ‫إن المالئكة ال تدخل بيتا فيه تماثيل أو تصاوير‬
Artinya: Malaikat tidak masuk ke dalam rumah yang ada patung atau gambar.
Inti dari semua hadits-hadits sahih di atas adalah larangan membuat bentuk
makhluk bernyawa (manusia dan hewan/binatang) dalam format gambar atau
fisik tiga dimensi (mujassimah) seperti patung.
Transformasi bentuk wayang dari Zaman Hindu ke
Zaman Islam
Walaupun kebanyakan masyarakat
Jawa sudah terintegrasi kedalam
Agama
Islam,
Namun
tradisitradisi
Hindu
warisan
nenek
moyang
terdahulu
tetap
dilaksanakan.
Teknis Pertunjukan Wayang Kulit
Jawa
Teknis Pertunjukan Wayang dalam Serat Sastramiruda
Dalam permainan wayang, layar dibagi tiga. Diukur
dari tengah-tengah dimana terdapat blencong;
kesamping kiri sepanjang satu hasta (lengan) lebih
sejengkal dan kesamping kanan sehasta saja. Itulah
tempat “paseban”. Di kanan kiri “paseban” itulah yang
disebut panggungan. Jadi, yang disebut panggunngan
itu ialah wayang yang terpasang (ditancapkan)
dipanggungan. Mengatur wayang yang demikian itu
disebut nyumping. Karena caranya memasang wayang
pada sumping kiri dan kanan tidak boleh berselisih,
harus teratur berurutan, seperti sumping yang letaknya
tepat pada tempat tertentu.
Wayang Dugangan:
Segala macam wayang termasuk wadya
punggawa, kera dan raksasa yang tidak
dipancangkan
Wayang ricikan:
Yakni wayang pelengkap seperti kayon
(gunungan), kuda, gajah, kereta dan alat senjata
Wayang Dagelan :
berwujud raksasa kecil tanpa perlengkapan, yang
juga oleh kebanyakan orang disebut wayang
setanan
Wayang kantep :
ialah semua bentuk wayang yang berkaki
panjang tidak seimbang dengan bentuk
badannya.
Wayang Murgan (istimewa):
Wayang yang dibuat tidak dengan
menggunakan pola dasar, misalnya membuat
Arjuna yang tua,berwajah tidak menurut
Jimat-Mangu-Kanyut
Dalam pergelaran Wayang Purwa, biarpun
dengan banyolan (lelucon) yang dibawakan
oleh lucunya ki dalang yang mewayang, tetapi
dalam mementaskan “lakon jejer” (baku),
tentu ada banyolan yang tetap, ialah banyolan
atau lelucon yang sudah ditentukan seperti
pedoman lakon, bahwa harus ada adegan
banyolan tari. Karena itu jika anda dapat
mendalang, seyogyanya melaksanakan “lakon
jejer” yang ucapan-ucapan banyolan dan gaya
irama percakapannya sudah dimuat di dalam
buku pedoman.
Adapun perbedaan antara ucap-ucapan
dalang dan pocapan itu, ialah : pocapan
itu untuk percakapan (dialog) wayang dan
ucapan-ucapan ialah cerita dalang tentang
adegan lakon wayang.
Teknis Gamelan Pengiring Dalam
Pertunjukan Wayang
K.P.A. Kusumadilaga menjelaskan bahwa pemain
gamelan untuk pementasan wayang harus dipilih.
Syukurlah jika mereka itu sudah biasa mengiringi
pertunjukan wayang, biarpun ia mahir dalam
gending, namun bilamana belum pandai
menyesuaikan diri untuk pertunjukan wayang,
niscaya tak akan dapat serta bermain mengiringi
pertunjukan wayang, sebab kendor atau
kencangnya irama gamelan untuk iringan
wayang, tidak menentu.
Andaikata para pemain gamelan tidak
semuanya biasa mengiringi pertunjukan
wayang, maka pertunjukan akan berjalan baik,
asalkan beberapa pemain sudah biasa
mengiringi pewayangan, yaitu:
1. Pemain gender,
2. Pemain rebab,
3. Pemain kendang dan
4. Pemain gong.
Pedoman Pedalangan Dalam Serat
Sastra Miruda
1. Amardawagung, artinya : Dalang harus paham akan gending
atau tembang kawi yang dipakai untuk Suluk Wayang.
2. Amardibasa, artinya : Dalang harus dapat mengetahui
bahasa dalam pewayangan, misalnya: bahasa keraton dan
ucapan-ucapan Dewa, manusia, raksasa, wadya, pendeta dan
beda-bedanya sesuatu wayang, jangan sampai ada suara
yang sama. Itu namanya “antawacana” (pengaturan
bercakap-cakap= dialog)
3. Awicarita, artinya : Dalang harus mempunyai banyak cerita
atau paham sekali tentang cerita (lakon-lakon ) wayang.
4. Pramakawi, artinya : Dalang harus mengetahui bahasa Kawi
yang dipakai, dalam cerita dan harus diberikan artinya dalam
kata-kata lain (dasa nama Jw. sinonim)
5. Pramasastra, artinya : Dalang harus memahami pengetahuan
tentang buku-buku atau paham aksara agar mengetahui
urutan-urutan lakon.
6. Dalang kalau mewayang, jangan sampai merobah rangka
lakon wayang, atau jangan sampai kekurangan waktu
menyelesaikan sesuatu lakon dalam satu malam
(kebogelan Jw.) dan jangan sampai pula belum selesai
pada waktu matahari terbit (karainan Jw. rina = siang).
7. Dalang jika mewayang jangan sampai bercerita hal-hal di
luar kelir (lakonnya) dan janganlah melucu (membanyol,
mendagel) yang rusuh (porno) dan jangan pula sampai
membosankan penonton
8. Ranggep artinya : jangan sampai turun semangat dalam
melaksanakan pementasan (antiklimaks) dan jangan
sampai amat menyukai atau membenci sesuatu wayang
9. Sabet, artinya : Dalang jika memegang wayang, jangan
canggung (kaku) dan dalam mementaskan perang,
haruslah tampak jelas; tangannya jangan memegang kulit
wayang (uang dipegang tangkai wayang = cempurit).
Cara dan mengatur (menancapkan)
wayang
Sesudah kerangka kelir dipasang dan batang pohon pisang
disangga oleh kayu penyangga ,yang disebut “tapak dara”,
maka sebatang pohon pisang ditempatkan lebih tinggi dari
yang lainnya. Yang rendah itu untuk “paseban” (tempat patih,
punggawa dan sebagainya menghadap raja). Ukuran tingginya
batang pohon pisang yang di atas, disesuaikan dengan
tingginya ketiak dari yang akan mendalang (mengangkat
wayang). Tepi layar kiri dan kanan diberi kain pinggiran
berwarna merah atau hitam menurut kesukaannya, di tepi batas
berukuran selebar tangan sebagai langit-langitnya dan di
bagian bawah selebar tangan kain hitam atau merah sebagai
landasan wayang berpijak pada gligen tancapan berjajar-jajar,
Ini disebut “palemahan” (tanah, bumi). Kelir yang sebelah kiri
dan kanan dibuat lobang seperti kantong untuk memasukkan
kayu yang disebut “gligen”.
Ukuran jauh dekatnya api belencong dari kelir, kirakira satu jengkal lebih selebar tangan, agar supaya bila
dalang menggerakkan wayang tidak akan menyentuh api
balencong. Jaraknya dari belencong ke kanan satu hasta
(sepanjang lengan bawah dari siku sampai ke ujung jari
tengah), sedang di sebelah kiri dengan jarak satu hasta di
tambah satu jengkal tangan.
Penggunaan Kayonan
Bahwa wayang kayon ciptaan para Wali, diambil dari
perkataan bahasa Arab: Khayan= hidup, salah satu
dari duapuluh sifat tuhan. Dan “kayun” dalam bahasa
Kawi yang artinya kemauan. Itu berarti pula, bahwa
“paseban” itu perumpamaan; dunia yang
terbentang. Oleh karena itu jika ada cerita dalang
tidak dengan mengeluarkan wayangnya, disebut
cerita “pagedongan” (di belakang layar), artinya:
yang dibawakan ki dalang hanyalah ceritanya saja,
tetapi wayangnya tidak maksud ki dalang akan
mempergelarkan wayang harus menancapkan kayon
di tengah-tengah layar paseban, yaitu sebagai isyarat
kepada niyaga.dipertunjukkan sebab peristiwanya
sudah lampau. Bilamana hendak menceritakan “garagara”.
Dibagian akhir Serat Sastramiruda, K.P.A.
Kusumadilaga memaparkan sebuah contoh lakon
Wayang Purwa dalam adegan jejer dan yang
dilakukan oleh hamba keraton Dalang Kasepuhan.
K.P.A. Kusumadilaga menguraikan tentang Lakon
“Palasara” yang dikutip dari “Pedoman
Pedalangan Kraton”.
SEKIAN