3. Ahli Waris

Download Report

Transcript 3. Ahli Waris

Ahli Waris

Para ahli waris dalam hukum adat yang Parental atau
Bilateral :
1. Ahli waris sedarah dan tidak sedarah.
Ahli waris yang sedarah terdiri dari anak
kandung, orang tua, saudara dan cucu,
sedangkan ahli waris yang tidak sedarah, yaitu
anak angkat, Janda/Duda.
2. Kepunahan atau nunggul pinang.
Apabila pewaris tidak mempunyai ahli waris
(punah) atau lazim disebut nunggul pinang,
maka barang atau harta peninggalannya akan
diserahkan kepada desa.
Ahli Waris
Djojodigoeno :
alur pewarisan menurut Hukum Waris Adat dengan
menggunakan falsafah AIR MENGALIR KEBAWAH
dan
dalam
distribusinya
(pembagiannya)
menggunakan TEORI KRAN AIR, artinya kematian
seseorang menjadikan kran air menjadi terbuka,
sehingga air menjadi mengalir mengikuti pipa air
dengan prinsip seperti air, yaitu selalu mengalir
ketempat yang lebih rendah. Apabila tempat yang
rendah tersebut tertutup (tidak ada ahli waris) maka air
akan naik lagi, selanjutnya akan mencari kran yang
terbuka dan mengalir kembali mengikuti prinsip air
mengalir kebawah, sampai ahli waris asal lainnya
sampai derajat yang lebih jauh.
Konsekuensi secara yuridis dari prinsip air
mengalir
kebawah
dan
teori
kran
:
apabila ada anak yang meninggal lebih dulu dari
orang tuanya pada saat warisan terbuka,
posisinya digantikan oleh anak-anaknya dengan
bagian mereka sebesar yang diterima oleh
orang tuanya (lembaga penggantian tempat ahli
waris).
DERAJAT KEKERABATAN MASYARAKAT JAWA









saudara kandung (keturunan derajat pertama)
saudara misan (satu kakek dan nenek)
saudara mindo (kakek dan nenek ke dua)
cucu (keturunan derajat ke dua)
buyut (keturunan derajat ketiga)
canggah (keturunan derajat ke empat)
wareng (keturunan derajat ke lima)
udeg-udeg gantung siwur (keturunan derajat ke
enam)
petarangan bubrah (keturunan derajat ketujuh)
Anak



Anak-anak yang dimaksud disini adalah anak kandung
memiliki kedudukan selaku ahli waris adalah kuat, dalam
arti tidak mudah diputuskan atau sulit kehilangan hak
mewarisnya. Hal ini didasarkan pada dasar hubungan
kodrat, yaitu hubungan yang membuat bukan manusia akan
tetapi hubungan yang dibuat oleh Tuhan.
Apapun yang terjadi hak mewaris anak dilindungi oleh
hukum, setiap usaha dari orang tua yang menyebabkan anak
selaku ahli waris menjadi kehilangan hak mewarisnya adalah
tidak sah, dan batal demi hukum.
Sesuai dengan Putusan Mahkamah Agung Republik
Indonesia tanggal 18 – 3 – 1959 No. 391 K/Sip/1958
menyatakan : Menurut Hukum Waris Adat yang berlaku di
Jawa Tengah dilarang pencabutan hak untuk mewaris.


Terhadap anak yang sakit ingatan, sakit berat atau diusir oleh
orang tuanya karena nakal, atau anak yang pergi merantau tanpa
berita, hak mewarisnya tetap dilindungi oleh hukum, hanya saja
secara teknis pelaksanaannya bisa bervariasi karena bisa terjadi
mereka telah memiliki suami/isteri dan anak-anak.
Asas yang menyebutkan “Para ahli waris memiliki hak dan bagian
yang sama terhadap harta peninggalan orang tuanya”,
Menurut Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal 1–
11– 1961 No. 179 K/Sip/1961 menyatakan : Anak perempuan dan
anak laki-laki dari seorang peninggal warisan bersama berhak
atas harta warisan dalam arti, bahwa bagian anak laki-laki adalah
sama dengan anak perempuan.
Putusan MA. RI. tanggal 18 – 11 – 1976 No. 400
K/Sip/1976 menyatakan : Barang gono-gini harus jatuh
pada anak kandung, bukan kepada anak gawan, oleh
karena
itu
hibah
tanpa
sepengetahuan
yang
berkepentingan patut dibatalkan.
Dari Putusan MA. RI. tersebut dapat dirinci ada 2 (dua)
hal penting, sebagai berikut :
1. Mengenai hak yang berorientasi pada kualitas
anak selaku ahli waris berhadapan dengan anak
gawan;
2. Adanya tindakan orang tua yang berupa hibah
kepada anak gawan, dalam pandangan hukum
sebagai patut dibatalkan.
Ke dua hal tersebut di atas menjelaskan bagaimana
kedudukan anak selaku ahli waris adalah kuat.
Mencabut hak mewaris anak bisa terjadi dan
dibolehkan oleh hukum




Membunuh atau berusaha menghilangkan nyawa
pewaris atau anggota keluarga pewaris;
Melakukan penganiayaan atau berbuat merugikan
kehidupan pewaris;
Melakukan perbuatan tidak baik, menjatuhkan nama
baik pewaris atau nama kerabat pewaris karena
perbuatan tercela;
Murtad dari agama atau berpindah agama dan
kepercayaan.

ANAK KANDUNG & ANAK SAH
Anak kandung berorientasi pada konsep
biologis, yang artinya adalah anak yang beribu
wanita yang melahirkannya dan berayah lakilaki suami ibunya dan yang penyebab kelahiran
dia.

Sedangkan Anak Sah berorientasi pada konsep
yuridis, artinya adalah anak yang lahir selama
dan sebagai akibat perkawinan yang sah.
Anak luar kawin atau anak tidak sah (anak kampang,
anak haram jadah, anak kowar),





Anak dari kandungan ibu sebelum terjadi
pernikahan;
Anak dari kandungan ibu setelah bercerai lama dari
suaminya;
Anak dari kandungan ibu tanpa melakukan
perkawinan sah;
Anak dari kandungan ibu karena dberbuat zina
dengan orang lain;
Anak dari kandungan ibu yang tidak diketahui siapa
ayahnya.
Anak Tiri



Anak tiri yang di Jawa dikenal sebagai anak gawan adalah Anak yang
dibawa masuk ke dalam perkawinan yang baru oleh suami atau isteri.
Jadi pada hakekatnya anak tiri adalah anak dari suami atau isteri
dengan isteri atau suaminya yang terdahulu, akan tetapi dibawa
masuk ke dalam perkawinan yang baru, karena orang tuanya kawin
lagi.
Menurut Hukum Waris Adat Anak tiri hanya mewaris dari orang tua
kandungnya saja anak tiri tidak mewaris dari orang tua tirinya.
Namun dalam kehidupan sehari-harinya ia dapat ikut menikmati
kesejahteraan rumah tangga bersama bapak tirinya atau ibu tirinya
bersama-sama dengan saudara-saudara tirinya.
Putusan Mahkamah Agung Republik IndonesiaI. tanggal 18 – 11- 1976.
No. 400K/Sip/1975, yang menyatakan : Barang gono gini harus jatuh
pada anak kandung, bukan kepada anak gawan, oleh karena itu hibah
tanpa sepengetahuan yang berkepentingan patut dibatalkan.
Anak Angkat


Pada masyarakat patrilinial :
hubungan antara anak angkat dengan orang tua
kandungnya secara kelembagaan menjadi putus. Si
anak angkat menjadi masuk ke dalam marga orang tua
angkatnya, sehingga anak angkat tidak mewaris dari
harta peninggalan orang tua kandungnya.
Pada masyarakat parental :
Secara kelembagaan masih ada hubungan anak angkat
dengan orang tua kandungnya (masih memiliki dua
orang tua), oleh karena itu si anak angkat mengambil
air dari dua sumber yaitu dari orang tua angkatnya
dan orang tua kandungnya.
Dampak Pengangkatan Anak


Perwalian
sejak putusan diucapkan oleh pengadilan, maka orang
tua angkat menjadi wali dari anak angkat tersebut.
Sejak saat itu pula, segala hak dan kewajiban orang
tua kandung beralih pada orang tua angkat. Kecuali
bagi anak angkat perempuan beragama Islam, bila dia
akan menikah maka yang bisa menjadi wali nikahnya
hanyalah
orangtua
kandungnya
atau
saudara
sedarahnya.
Waris
Khazanah hukum kita, baik hukum adat, hukum Islam
maupun hukum nasional, memiliki ketentuan mengenai
hak waris. Ketiganya memiliki kekuatan yang sama,
artinya seseorang bisa memilih hukum mana yang akan
dipakai untuk menentukan pewarisan bagi anak angkat.

Hukum Adat
Bila menggunakan lembaga adat, terjadi hubungan
hukum antara orang yang mengangkat dengan anak
yang diangkat, hubungan hukum sama dengan
hubungan hukum yang terdapat antara orang tua
dengan anak kandung, kecuali ada 2 (dua) hal yaitu :
1. Anak angkat boleh mengawini anak kandung dari
orang tua angkatnya, jika antara mereka tidak
terdapat larangan perkawinan karena hal lain.
2. Anak angkat boleh mengawini anak kandung dari
orang tua angkatnya, jika antara mereka tidak
terdapat larangan perkawinan karena hal lain.


Hukum Islam
Dalam hukum Islam, pengangkatan anak tidak
membawa akibat hukum dalam hal hubungan darah,
hubungan wali-mewali dan hubungan waris mewaris
dengan orang tua angkat. Ia tetap menjadi ahli waris
dari orang tua kandungnya dan anak tersebut tetap
memakai nama dari ayah kandungnya.
Peraturan Per-Undang-undangan
Dalam Staatblaad 1917 No. 129, akibat hukum dari
pengangkatan anak adalah anak tersebut secara
hukum memperoleh nama dari bapak angkat, dijadikan
sebagai anak yang dilahirkan dari perkawinan orang
tua angkat dan menjadi ahli waris orang tua angkat.
Artinya, akibat pengangkatan tersebut maka terputus
segala hubungan perdata, yang berpangkal pada
keturunan karena kelahiran, yaitu antara orang tua
kandung dan anak tersebut.
KEDUDUKAN DAN HAK MEWARIS ANAK ANGKAT


Anak angkat memiliki kedudukan yang sama dengan
anak kandung, hanya perbedaannya adalah anak angkat
hanya menjadi anggota keluarga dari orang tua yang
mengangkatnya saja, tidak memiliki hubungan dengan
keluarga besarnya (tidak termasuk ahli waris
genealogis), .kecuali di beberapa daerah tertentu yang
dilakukan dengan upacara adat setempat, akan
memiliki keterkaitan dengan masyarakat adat yang
mengangkatnya
Sebagai konsekuensi dari kedudukan tersebut dalam
keluarga orang tua angkat, maka anak angkat menjadi
ahli waris bersama dengan anak kandung terhadap
harta bersama orang tua angkatnya.
PUTUSAN M.A. RI
HAK MEWARIS ANAK ANGKAT
Menurut Hukum Adat Periangan seorang anak kukut atau anak angkat
tidak dapat mewaris barang-barang pusaka (asli) dari orang tua
angkatnya. Barang pusaka itu hanya dapat diwaris oleh ahli waris
keturunan darah (dalam perkara ini saudara-saudara) dari yang
meninggal (Perkara : Ahmad K. lawan Ny. Rukmini Cs. MA. No. 82
K/Sip/1957 tanggal 5 Maret 1958).

Menurut Hukum Adat di Jawa Tengah anak angkat hanya
diperkenankan mewarisi harta gono-gini dari orang tua angkatnya, jadi
terhadap barang pusaka (asli) anak angkat tidak berhak mewarisinya
(Perkara : Ny. Suriyah lawan Kartomejo k.Cs. MA. No. 37 K/Sip/1959
tanggal 18 Maret 1959).

Menurut Hukum Adat yang berlaku seorang anak angkat berhak
mewarisi harta gono-gini orang tua angkatnya sedemikian rupa,
sehingga ia menutup hak mewaris para saudara orang tua angkatnya
(ahli waris asal) – Perkara Kasrim lawan Ny. Siti Maksum Cs. MA. No.
102 K/Sip/1972 tanggal 23 Juli 1977.
Dari putusan M.A. R.I. di atas terlihat jelas bahwa hak mewaris dari anak
angkat dirumuskan sebagai berikut :
1.
Anak angkat berhak mewaris terbatas pada harta gono-gini (harta
bersama).
2.
Anak angkat tidak berhak mewaris terhadap harta pusaka (asli).
3.
Anak angkat bisa menutup hak mewaris ahli waris asal

JANDA

Janda Bukan Ahli Waris
Mengingat pengertian pewarisan : proses penerusan,
pengoperan, peralihan harta kekayaan materiil dan
immateriil dari satu generasi ke generasi berikutnya.
- Janda adalah satu generasi dengan pewaris
(suaminya almarhum).
- Dalam masyarakat genealogis tidak termasuk
sebagai anggota masyarakat genealogis dari
suaminya.
- Tujuan pewarisan adalah mempertahankan
eksistensi masyarakat genealogis, maka janda bukan
sebagai ahli waris terhadap harta peninggalan
suaminya.
Secara sosiologis, kematian suami merupakan suatu keadaan yang
memberatkan bagi seorang janda karena akan dihadapkan kepada :
1. Para ahli waris asal apabila dalam perkawinannya
tidak menghasilkan anak.
2. Para ahli waris anak (anak-anaknya sendiri).
Hal itulah yang menjadi potensi untuk timbulnya sengketa antara
janda dengan ahli waris almarhum suaminya, sebab dengan
meninggalnya suami maka :
1. Warisan menjadi terbuka.
2. Hak ahli waris menjadi terbuka, artinya ahli waris
dapat menuntut dibaginya warisan.
3. Muncul kepentingan yang saling berhadapan antara janda dengan
para ahli waris.
4. Apabila harta peninggalan suaminya hanya harta asal dan tidak ada
harta bersama, sedangkan dari perkawinannya tidak ada harta
bersama, maka bisa menjadi tidak berkuasa lagi atas harta
peninggalan suaminya tersebut.
5. Selanjutnya si janda berada dalam posisi terjepit antara
kepentingannya untuk dapat hidup layak dan kepentingan para ahli
waris terhadap harta warisan tersebut.
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI JANDA
Dengan memberikan jaminan berupa hak yang bersifat
sementara untuk penghidupan secara layak sepeninggal
suaminya yaitu :
1. Hak untuk menikmati harta peninggalan suaminya
sampai ia kawin lagi atau mati.
2. Hak untuk dapat menunda dibaginya harta peninggalan
suaminya untuk kepentingan hidup janda, sampai ia
kawin lagi atau mati
Persoalan menjadi berkembang apabila anak-anak masih
kecil si janda kawin lagi, lantas bagaimana pengelolaan
harta warisan anak-anaknya ?
KESIMPULAN SECARA UMUM





Dasar dari status janda sebagai ahli waris
adalah pandangan keadilan atas dasar
persamaan kedudukan antara pria dan
wanita.
Nilai Hukum Adat yang bersifat komunal,
mulai terkikis secara bertahap oleh nilai
baru yang bersifat individualis.
Bagian mewaris janda sama dengan hak
mewaris anak.
Hak mewaris janda tidak sama dengan hak
mewaris anak.
Anak dapat menutup hak mewaris ahli waris
asal.





Janda tidak dapat menutup hak mewaris ahli waris
asal, apabila tidak ada anak.
Janda disamping sebagai ahli waris dengan bagian
sama dengan bagian anak, juga menerima ½ bagian
harta bersama atas haknya sendiri.
Belum ada kejelasan lebih lanjut hak mewaris janda
apabila dihadapkan pada harta asal dari suaminya.
Pemberian hak mewaris kepada janda secara penuh
akan semakin menyebabkan semakin terkikis nilainilai kemasyarakatan menurut Hukum Adat.
Apakah bisa diproyeksikan bahwa dengan nilai baru
tersebut, struktur kemasyarakatan Patrilinial dan
Matrilinial suatu saat akan berubah menjadi
masyarakat Parental, atas dasar persamaan
kedudukan antara pria dan wanita.