Tindak Pidana Tertentu dalam KUHP Pertemuan 3

Download Report

Transcript Tindak Pidana Tertentu dalam KUHP Pertemuan 3

EUTHANASIA
Definisi

Euthanasia adalah hak untuk menentukan
kematiannya sendiri bilamana dokter
memutuskan bahwa seorang pasien
sudah tidak ada harapan untuk hidup.

Pesatnya perkembangan teknologi
kedokteran, memungkinkan dokter untuk
memprediksi kematian seorang pasien
dengan lebih tepat. Hal ini dapat
menimbulkan masalah yang pelik dan
rumit bagi perkembangan dunia medis.
Seperti halnya yang terjadi di negaranegara Barat, yang bersistem liberalis dan
berpaham sekuler.

Sebagai bagian dari kemajuan teknologi
kedokteran, euthanasia telah dilegalkan secara
khusus dan tertulis oleh sebagian negaranegara maju, seperti yang terjadi di Belanda,
walaupun disertai dengan syarat-syarat tertentu.
Pelegalan euthanasia ini, menjadi perdebatan
pro dan kontra, baik dari sudut pandang dunia
medis, yuris atau religi. Dengan informasi
teknologi global yang berpengaruh terhadap
nilai-nilai budaya, memungkinkan kasus ini
merambah ke Indonesia. Akan tetapi, apakah
hukum kita mampu mengantisipasi
kemungkinan terjadinya kasus ini.

Permasalahan inilah yang akan dikaji
penulis, dengan mengkomparasikan kasus
euthanasia yang terjadi di luar negeri dan
meninjau pengaturannya di Indonesia dari
sudut pandang hukum pidana Indonesia
(KUHP) dan hukum Islam, mengingat
permasalahan yang akan dibahas belum
mempunyai peraturan yang khusus.

Berangkat dari hal tersebut diatas, penulis
berharap bahwa hasil penelitian ini dapat
dipergunakan sebagai sumbang saran
dalam dunia ilmu pengetahuan hukum,
khususnya hukum pidana serta dapat
membuka wacana pemikiran tentang
perlunya diundangkan peraturan tersendiri
tentang euthanasia.

Euthanasia dalam KUHP dikategorikan sebagai
kejahatan terhadap nyawa. Euthanasia secara hukum
merupakan pembunuhan atas permintaan korban, yakni
permintaan pasien pada dokter. Pasal-pasal yang dapat
diterapkan berkaitan dengan euthanasia adalah pasal
mengenai pembunuhan, yakni pasal 338, 340, 344 dan
345 KUHP. Terdapatnya asas lex specialis de rogat legi
generalli dalam pasal 63 ayat (2) KUHP, memungkinkan
dokter sebagai pelaku euthanasia dijerat dengan pasal
344 KUHP, yang didalamnya harus terpenuhi unsur
“atas permintaan sendiri yang jelas dinyatakan dengan
kesungguhan hati”. Bilamana unsur ini mendatangkan
kesulitan bagi jaksa, maka alternatif hukum dengan
menggunakan pasal 338 KUHP sebagai pasal umum
yang mengatur pembunuhan, yang unsurnya hanyalah
terjadinya kematian seorang lain akibat perbuatannya

Taisir al-Maut (euthanasia) secara tegas dan jelas
dilarang oleh Islam, pelarangan ini terdapat pada
euthanasia aktif / positif (taisir al-maut al-faal)
sebagaimana firman Allah dalam surat An-Nisaa’ 93 dan
Surat Al-Israa 33. Tindakan euthanasia aktif ini,
disamakan dengan pembunuhan dengan kesengajaan,
yang mana pelakunya dapat dihukum qishash,
sebagaimana hadits Nabi yang berbunyi; “Barangsiapa
membunuh dengan sengaja, maka ia harus dihukum
qishash”(HR. Ibnu Majjah). Sedang pada euthanasia
pasif / negatif (taisir al-maut al-munfa’il), yang
merupakan tindakan penghentian perawatan atau
pengobatan dalam Islam tidak dilarang, akan tetapi,
tindakan penghentian ini haruslah tidak berdasarkan
keinginan untuk mempercepat kematian, karena hal itu
dapatlah disamakan dengan bunuh diri.

Bagi ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS), terdapat
pro dan kontra dalam hal mengeuthanasiakan
penyakit ini. KH. Ibrahim Husain, misalnya yang
mendukung euthanasia bagi penderita AIDS,
dengan mempertimbangkan dua segi, yakni ;
penderita AIDS mengalami penderitaan yang
berkepanjangan dan tidak bisa disembuhkan
dan karena mengingat daya tular penyakit
tersebut. (Husain dalam Assyaukanie, 1998 :
180). Pendapat ini juga didukung oleh Abdul
Madjid, akan tetapi harus dengan
mempertimbangkan berbagai aspek, termasuk
didalamnya pertimbangan medis.

Sedangkan larangan euthanasia bagi penderita
AIDS dikemukakan oleh DR. Sujudi serta
Masjfuk Zuhdi. Pendapat ini diikuti oleh penulis,
dengan memandang dari dua segi, yakni segi
agama, bahwa penyakit itu datangnya dari Allah,
yakni sebagai cobaan atau ujian dan dari segi
hak asasi penderita, bahwa ODHA mempunyai
hak untuk hidup dalam komunitas masyarakat,
serta hak-hak lain yang timbul sebagai anggota
masyarakat. Dan secara etik, euthanasia tidak
sesuai dengan nilai-nilai budaya Indonesia,
seperti dalam ketentuan kode etik kedokteran
Indonesia serta dalam lafal sumpah dokter.

Dengan demikian, hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa persoalan euthanasia
berkaitan erat dengan nilai-nilai budaya bangsa
yang sampai sekarang belum dapat diterima
kehadirannya dan dinyatakan dilarang. Untuk
itu, agar dapat tercapainya kepastian hukum,
yang mencerminkan keberadaaan negara
hukum, maka perlulah kiranya dipertimbangkan
penyusunan undang-undang atau peraturan
yang menyangkut tentang euthanasia dan perlu
juga kiranya dipertimbangkan mengenai
euthanasia bagi penderita AIDS, serta berbagai
aspek pertimbangan lainnya.
Deskripsi Alternatif

Pesatnya perkembangan teknologi kedokteran,
memungkinkan dokter untuk memprediksi
kematian seorang pasien dengan lebih tepat.
Hal ini dapat menimbulkan masalah yang pelik
dan rumit bagi perkembangan dunia medis.
Seperti halnya yang terjadi di negara-negara
Barat, yang bersistem liberalis dan berpaham
sekuler, dengan beranggapan bahwa manusia
mempunyai hak untuk menentukan kematiannya
sendiri (euthanasia), bilamana dokter
memutuskan bahwa seorang pasien sudah tidak
ada harapan untuk hidup.

Sebagai bagian dari kemajuan teknologi
kedokteran, euthanasia telah dilegalkan secara
khusus dan tertulis oleh sebagian negaranegara maju, seperti yang terjadi di Belanda,
walaupun disertai dengan syarat-syarat tertentu.
Pelegalan euthanasia ini, menjadi perdebatan
pro dan kontra, baik dari sudut pandang dunia
medis, yuris atau religi. Dengan informasi
teknologi global yang berpengaruh terhadap
nilai-nilai budaya, memungkinkan kasus ini
merambah ke Indonesia. Akan tetapi, apakah
hukum kita mampu mengantisipasi
kemungkinan terjadinya kasus ini.

Permasalahan inilah yang akan dikaji
penulis, dengan mengkomparasikan kasus
euthanasia yang terjadi di luar negeri dan
meninjau pengaturannya di Indonesia dari
sudut pandang hukum pidana Indonesia
(KUHP) dan hukum Islam, mengingat
permasalahan yang akan dibahas belum
mempunyai peraturan yang khusus.

Berangkat dari hal tersebut diatas, penulis
berharap bahwa hasil penelitian ini dapat
dipergunakan sebagai sumbang saran
dalam dunia ilmu pengetahuan hukum,
khususnya hukum pidana serta dapat
membuka wacana pemikiran tentang
perlunya diundangkan peraturan tersendiri
tentang euthanasia.

Euthanasia dalam KUHP dikategorikan sebagai
kejahatan terhadap nyawa. Euthanasia secara hukum
merupakan pembunuhan atas permintaan korban, yakni
permintaan pasien pada dokter. Pasal-pasal yang dapat
diterapkan berkaitan dengan euthanasia adalah pasal
mengenai pembunuhan, yakni pasal 338, 340, 344 dan
345 KUHP. Terdapatnya asas lex specialis de rogat legi
generalli dalam pasal 63 ayat (2) KUHP, memungkinkan
dokter sebagai pelaku euthanasia dijerat dengan pasal
344 KUHP, yang didalamnya harus terpenuhi unsur
“atas permintaan sendiri yang jelas dinyatakan dengan
kesungguhan hati”. Bilamana unsur ini mendatangkan
kesulitan bagi jaksa, maka alternatif hukum dengan
menggunakan pasal 338 KUHP sebagai pasal umum
yang mengatur pembunuhan, yang unsurnya hanyalah
terjadinya kematian seorang lain akibat perbuatannya

Taisir al-Maut (euthanasia) secara tegas dan jelas
dilarang oleh Islam, pelarangan ini terdapat pada
euthanasia aktif / positif (taisir al-maut al-faal)
sebagaimana firman Allah dalam surat An-Nisaa’ 93 dan
Surat Al-Israa 33. Tindakan euthanasia aktif ini,
disamakan dengan pembunuhan dengan kesengajaan,
yang mana pelakunya dapat dihukum qishash,
sebagaimana hadits Nabi yang berbunyi; “Barangsiapa
membunuh dengan sengaja, maka ia harus dihukum
qishash”(HR. Ibnu Majjah). Sedang pada euthanasia
pasif / negatif (taisir al-maut al-munfa’il), yang
merupakan tindakan penghentian perawatan atau
pengobatan dalam Islam tidak dilarang, akan tetapi,
tindakan penghentian ini haruslah tidak berdasarkan
keinginan untuk mempercepat kematian, karena hal itu
dapatlah disamakan dengan bunuh diri.

Bagi ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS), terdapat
pro dan kontra dalam hal mengeuthanasiakan
penyakit ini. KH. Ibrahim Husain, misalnya yang
mendukung euthanasia bagi penderita AIDS,
dengan mempertimbangkan dua segi, yakni ;
penderita AIDS mengalami penderitaan yang
berkepanjangan dan tidak bisa disembuhkan
dan karena mengingat daya tular penyakit
tersebut. (Husain dalam Assyaukanie, 1998 :
180). Pendapat ini juga didukung oleh Abdul
Madjid, akan tetapi harus dengan
mempertimbangkan berbagai aspek, termasuk
didalamnya pertimbangan medis.

Sedangkan larangan euthanasia bagi penderita
AIDS dikemukakan oleh DR. Sujudi serta
Masjfuk Zuhdi. Pendapat ini diikuti oleh penulis,
dengan memandang dari dua segi, yakni segi
agama, bahwa penyakit itu datangnya dari Allah,
yakni sebagai cobaan atau ujian dan dari segi
hak asasi penderita, bahwa ODHA mempunyai
hak untuk hidup dalam komunitas masyarakat,
serta hak-hak lain yang timbul sebagai anggota
masyarakat. Dan secara etik, euthanasia tidak
sesuai dengan nilai-nilai budaya Indonesia,
seperti dalam ketentuan kode etik kedokteran
Indonesia serta dalam lafal sumpah dokter.

Dengan demikian, persoalan euthanasia
berkaitan erat dengan nilai-nilai budaya bangsa
yang sampai sekarang belum dapat diterima
kehadirannya dan dinyatakan dilarang. Untuk
itu, agar dapat tercapainya kepastian hukum,
yang mencerminkan keberadaaan negara
hukum, maka perlulah kiranya dipertimbangkan
penyusunan undang-undang atau peraturan
yang menyangkut tentang euthanasia dan perlu
juga kiranya dipertimbangkan mengenai
euthanasia bagi penderita AIDS, serta berbagai
aspek pertimbangan lainnya.