II. Tindakan-tindakan Sebelum dan Selama Sidang

Download Report

Transcript II. Tindakan-tindakan Sebelum dan Selama Sidang

II. Tindakan-tindakan Sebelum
dan Selama Sidang
1
A. Mengajukan Gugatan
1. Tuntutan Hak.
Tuntutan hak dalam hukum acara perdata ada
dua macam, yaitu :
a. Tuntutan hak yang mengandung sengketa
(contentieus jurisdictie atau jurisdictio
contentiosa), yang disebut dengan gugatan
dan
b. Tuntutan hak yang tidak mengandung
sengketa (voluntaire jurisdictie atau jurisdictio
voluntario) , disebut permohonan.
2
•
Perbedaan antara gugatan dan permohonan
adalah sbb:
a.
Pada gugatan, ada sengketa, sedangkan pada
permohonan tidak ada sengketa;
Pada gugatan, sekurang-kurangnya ada dua pihak
(penggugat dan tergugat), sedangkan pada
permohonan hanya ada satu pihak (pemohon);
Pada gugatan, hakim yang memeriksanya pada
umumnya terdiri dari tiga orang (majelis),
sedangkan pada permohonan hakim yang
memeriksanya hanya hakim tunggal;
Pada gugatan, hasil akhir dari pemeriksaan ialah
putusan (vonnis), sedangkan pada permohonan,
hasil akhir ialah berupa penetapan (beschikking),
atau lazim disebut putusan declaratoir
b.
c.
d.
3
• Pada permohonan, misalnya : apabila segenap
ahli waris dari seorang almarhum secara
bersama-sama menghadap pengadilan untuk
mendapat suatu penetapan perihal bagian
masing-masing dari harta warisan almarhum
berdasarkan ketentuan Psl 236 a HIR. Disini
hakim hanya sekedar memberi jasa-jasanya sbg
seorang tenaga tata usaha negara. Contoh lain
dari permohonan adalah : permohonan
pengangkatan anak (adopsi), permohonan
pengangkatan untuk menjadi wali, perubahan
nama, penambahan nama, dsb.
4
• Suatu tuntutan hak (gugatan), orang yang
mengajukannya haruslah mempunyai
kepentingan yang cukup, dan ini merupakan
syarat utama untuk diterimanya suatu tuntutan
hak (gugatan) oleh pengadilan.
• Jadi orang yang berkepentinganlah yang dapat
mengajukan tuntutan hak (gugatan) ke
pengadilan. Kalau tuntutan hak (gugatan)
diajukan oleh orang yang tidak berkepentingan,
maka tuntutan hak (gugatan) itu akan ditolak,
apabila terbukti penggugat adalah orang yang
tidak berkepentingan terhadap perkara itu.
5
2. Syarat-syarat atau Isi dari Surat Gugatan
•
•
Mengenai syarat-syarat atau isi dari surat
gugatan, HIR dan RBg tidak mengaturnya.
Dalam praktek hukum acara perdata, selalu
berpedoman kepada ketentuan dalam Rv yang
merupakan syarat substansif, yakni dalam
Pasal 8 ayat 3 Rv, yaitu :
a. Identitas para pihak
b. Posita (Fundamentum petendi) : dalil-dalil gugatan
c. Petitum (tuntutan)
6
• Selain syarat substansif yang diatur dalam
Pasal 8 ayat 3 Rv, dalam praktek juga ada
syarat formal, yaitu :
– Tempat dan tanggal pembuatan surat
gugatan
– Meterai
– Tandatangan oleh Penggugat atau kuasanya
7
a. Identitas Para Pihak
• Identitas para pihak, yang memuat informasi:
–
–
–
–
Nama lengkap
Umur/tempat dan tanggal lahir
Pekerjaan
Alamat atau tempat tinggal atau domisili
Dalam hal badan hukum sbg para pihak, harus
disebutkan nama badan hukumnya, dan nama
orang yang berwenang mewakili badan hukum
tsb menurut anggaran dasar atau peraturan
yang berlaku. Jika merupakan cabang dari
badan hukum, maka tetap harus disebutkan
identitas dari badan hukum tersebut.
8
• Jika gugatan diajukan kepada beberapa orang/
badan hukum, maka harus dikualifikasikan sbg
Tergugat I, Tergugat II dst. Jika gugatan
diajukan oleh beberapa orang, maka harus
dikualifikasikan sbg Pggt I, Pggt II dst.
• Pggt harus benar-benar pihak yang berhak
untuk mengajukan gugatan tsb. Jika diajukan
oleh orang yang tidak berhak, maka gugatan
tidak dapat diterima
• Pggt harus benar-benar lengkap (semua sudah
termasuk). Jika gugatan tidak lengkap para
pihaknya, maka gugatan akan dinyatakan tidak
dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard =
NO).
9
b. Posita (fundamentum petendi)
•
•
Posita (fundamentum petendi) adalah
dalil-dalil konkret tentang adanya
hubungan hukum yang merupakan dasar
atau alasan dari tuntutan.
Posita terdiri dari dua bagian, yaitu
a. Bagian yang menguraikan tentang kejadian
atau peristiwanya;
b. Bagian yang menguraikan tentang
hukumnya
10
Posita …..Lanjutan
a. Bagian yang menguraikan tentang kejadian
atau peristiwanya merupakan penjelasan
tentang duduk perkaranya,
b. Mengenai uraian tentang hukumnya
merupakan uraian tentang adanya hak /
hubungan hukum yang menjadi dasar yuridis
daripada tututan. Uraian yuridis ini bukanlah
merupakan penyebutan peraturan hukum yang
dijadikan tuntutan. Hal ini dapat dilihat dalam
Psl 163 HIR / 283 RBg / 1865 KUHPer, yang
menyatakan sbb:
11
Posita …..Lanjutan
“Barang siapa yang mengaku mempunyai
suatu hak atau menyebut suatu peristiwa atau
untuk meneguhkan haknya atau untuk
membantah hak orang lain, harus
membuktikan adanya hak atau peristiwa itu”
Dari bunyi pasal di atas dapat disimpulkan
bahwa hak atau peristiwa yang harus
dibuktikan di persidangan nanti harus dimuat
dalam posita / fundamentum petendi sbg dasar
tuntutan, yang memberi gambaran hukum
kejadian materil / sebenarnya yang merupakan
dasar tuntutan.
12
Teori mengenai posita
• Terhadap posita (fundamentum petendi)
ini, seberapa jauh harus diberikan
perincian, ada dua teori, yaitu :
substantieringstheorie (teori substansi)
dan individualiseringstheorie (teori
individual).
13
Substantieringstheorie
(teori substansi)
• Menurut substantieringstheorie, bahwa
dalam gugatan tidak cukup disebutkan
peristiwa hukum yang menjadi dasar
tuntutan, akan tetapi harus pula
disebutkan kejadian-kejadian nyata yang
mendahului peristiwa hukum itu yang
menjadi dasar gugatan / yang menjadi
sebab timbulnya peristiwa hukum itu.
14
Substantieringstheorie
Misalnya : bagi pggt yang menuntut
miliknya tidak cukup disebutkan dalam
gugatannya bahwa ia adalah pemiliknya,
tetapi juga harus disebutkan bahwa ia
menjadi pemilik karena barang/mobil itu
telah dibelinya. Jadi sejarah terjadinya hak
/ hubungan hukum harus disebutkan.
15
Individualiseringstheorie
(Teori Individual)
• Menurut Individualiseringstheorie, kejadian
yang disebutkan dalam surat gugatan
sudah cukup menunjukkan adanya
hubungan hukum yang menjadi dasar
tuntutan tanpa harus menyebutkan
peristiwa / sejarah terjadinya atau
peristiwa yang mendahuluinya. Hal ini
dapat dikemukakan dalam persidangan
pengadilan dan disertai dengan
pembuktian.
16
Teori mana yang berlaku dalam praktek?
• Menurut Mahkamah Agung RI dalam
putusannya tanggal 15 Maret 1972 No. 547
K/Sip/1971 : “Bahwa perumusan kejadian
materil secara singkat sudah memenuhi syarat.
• Dengan demikian, terhadap uraian posita /
fundamentum petendi yang dipakai sekarang
adalah Individualiseringstheorie, sedangkan
substantieringstheorie telah ditinggalkan.
17
Komposisi dari posita
a. Obyek perkara: Uraian mengenai untuk hal
apa gugatan itu diajukan. Misalnya sengketa
mengenai kepemilikan tanah, sengketa
mengenai perjanjian jual beli atau sengketa
mengenai merk dagang.
b. Fakta-fakta hukum: Uraian mengenai hal-hal
yang menyebabkan timbulnya sengketa,
misalnya apakah ada perjanjian antara
penggugat dan tergugat.
18
Komposisi ..…..lanjutan
c.
d.
Kualifikasi perbuatan tergugat: Perumusan
perbuatan meteriil atau formal dari tergugat yang
dapat merupakan perbuatan melawan hukum,
wanprestasi dsb. Diuraikan pula bagaimana caranya
perbuatan itu dilakukan oleh tergugat, misalnya tidak
melaksanakan kewajibannya berdasarkan perjanjian,
atau melanggar Undang-Undang dsb.
Uraian kerugian: Perincian kerugian yang diderita
oleh penggugat sebagai akibat perbuatan tergugat.
Perincian kerugian materiil didukung dengan buktibukti tertulis. Kerugian moril (immateriil) hanya
berdasarkan taksiran.
19
Komposisi ..…..lanjutan
e. Hubungan posita dengan petitum:
Posita merupakan dasar dari petitum,
oleh karena itu hal-hal yang tidak
dikemukakan dalam posita tidak dapat
dimohonkan dalam petitum. Hal-hal yang
dimintakan dalam petitum dapat
dikabulkan asalkan hal itu telah
dikemukakan dalam posita.
20
c. Petitum atau tuntutan
• Petitum adalah apa yang oleh pggt dimintakan atau
diharapkan agar diputus oleh hakim. Jadi petitum
akan mendapatkan jawabannya dalam amar atau
diktum putusan. Oleh karena itu pggt harus
merumuskan petitum dengan jelas dan tegas.
Petitum yang tidak jelas atau tidak sempurna dapat
berakibat tidak diterimanya tuntutan tsb. Demikian
pula gugatan yang berisi pernyataan yang saling
bertentangan satu sama lain, berakibat tidak
diterimanya gugatan tsb. Gugatan yang seperti ini
disebut “obscuur libel” yaitu gugatan yang tidak jelas
dan tidak dapat dijawab dengan mudah oleh tggt
sehingga menyebabkan ditolaknya gugatan itu.
21
Petitum …..lanjutan
• Dalam praktek tuntutan atau petitum terdiri dari dua
bagian yaitu tuntutan primair dan tuntutan subsidiair.
• Tuntutan primair merupakan tuntutan yang
berhubungan/berkaitan langsung dengan pokok perkara,
sedangkan tuntutan subsidiair merupakan tuntutan
pengganti, misalnya : pada peradilan yang baik mohon
putusan yang seadil-adilnya. (ex aequo et bono) atau
apabila pengadilan (hakim) berpendapat lain, mohon
putusan yang seadil-adilnya. (ex aequo et bono)
• Dalam gugatan perlu juga dimintakan sita, tujuannya
agar barang yang dikuasai tggt berada dalam
pengawasan pengadilan sampai ada putusan tetap atas
gugatan.
22