Amm & Khas - RINNANIK,SHI

Download Report

Transcript Amm & Khas - RINNANIK,SHI

USUL FIQH
KAIDAH USHULIYAH
‘AMAR, NAHI, ‘AMM, & KHOS
KATA PENGANTAR
ALHAMDULILLAH penulis panjatkan kehadirat
Allah yang Al-qodir yang telah menganugrahkan
kesehatan, akal sehat sehingga penulis mampu
menyelesaikan tugas Makalah Metodologi Study
Islam ini walau penuh rintangan dan cobaan.
Sholawat beserta salam semoga tetap
tercurahkan keharibaan Nabi Agung, sang
Revolusionir ulung Muhammad SAW, yang
merupakan salah satu manusia yang telah
mencapai Tingkatan Insan Kamil.
•Selanjutnya, ucapan terima kasih kami
haturkan kepada Ibu. Rinnanik selaku Dosen
mata kuliah Usul Fiqh I, yang telah memberikan
Bimbingan kepada penulis untuk Menyusun
sebuah makalah yang berjudul “ Kaidah
Ushuliyah ‘Lafadz ‘Amm, Lafadz Khos, Amar
(perintah) dan Nahi (larangan) ” ini
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh
dari kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan
saran sangat diharapkan dari semua pihak demi
kesempurnaan makalah ini.
Sumbersari, 05 April 2010
Penyusun
2
BAB I
PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG MASALAH
Merupakan suatu kewajiban bagi Setiap muslim
untuk memahami hukum islam secara menyeleruh
berdasarkan sumber agama islam (Al-Qur’an & AlHadist). Karena ditakutkan ketika dalam memahami
islam hanya setengah-setengah hanya akan memberikan
dampak negatif. Seperti timbulnya aksi para teroris yang
mengatas namakan islam dalam meluncurkan agresinya.
Mereka memahami islam hanya sebagai sosok yang
memberikan
motivasi
untuk
berjihad
tanpa
memperdulikan wajah-wajah islam yang lain.
Oleh karena itu, usaha yang dilakukan untuk
memahami islam adalah kita harus mampu membuka
setiap kata dan makna yang terkandung dalam sumbersumber islam yaitu Al-qur’an dan Al-Hadist itu. Untuk
itu, kita memerlukan sebuah metode istimbat
(Penggalian Hukum) yakni usul fiqh.
Disini penulis akan mencoba sedikit mengulas
tentang metode istimbat dalam usul fiqh yang berkisar
pada “Amar, Nahi, ‘Amm, dan khos, dengan harapan
semoga sedikit membantu dalam memahami Al-Qur’an
dan Al-Hadist.
2. RUMUSAN MASALAH
a. Apakah pengertian “Amar, Nahi, ‘Amm, dan khos”?
b. Apakah hukum yang ditunjukan oleh “Amar, Nahi,
‘Amm, dan khos”...?
3
BAB II
PEMBAHASAN
(METODE ISTIMBAT DARI SEGI
BAHASA)
A.
LAFADZ AL- ‘AMM
1. Definisi dan bentuk-bentuk al-’amm
Al-’Amm
menurut
bahasa
lafadz
yang
menunjukan akan mencakupnya terhadap
keseluruhan satuan yang sesuai dengan
maknanya tanpa ada yang membatasi. Ada
bebrapa lafadz yang menunjukan makna umum,
diantaranya :
a.
Kata Kull )ّ‫ (كل‬dan kata Jami’ )‫ (جميع‬seperti yang
terdapat ayat :
)21 :‫ئ بما كسب رهين (الطو ّر‬
ّ ‫…كلّ امر‬
)29:‫(البقرة‬.....ّ‫ه ّو الذي خلق لكم ما فى األرض جميعا‬
b.
kata Jama’ yang disertai alif dan Lam
diawalnya, seperti pada lafadz Al-Walidatu
(para ibu) dalam surat al-Baqarah :233.
c.
Kata Tunggal yang dima’rifatkan dengan Alif
dan Lam. Contoh lafadz AL-Insan dalam surat
al-Ashr :2.
d.
Isim Isyarah (kata benda yang disyaratkan)
seperti kata man ) ّ‫ ) َمن‬dalam suratan-Nisa’ :92.
e.
Isim Nakirah (indenfinite noun) yang dinafikan
seperti lafadz la junaha )‫ (الجناح‬dalam surat alMumtahanah :10.
f.
Isim mausul (kata ganti penghubung), seperti
kata Alladzina (‫ (الذين‬dalam ayat 10 surat anNisa’.
ّ‫إنّ الذين يأكلونّ أموال اليتمى ظلماّ أنما يأكلونّ فى بطونهم ناراّ وسيصلونّ سعيرا‬
)10:‫(النسأ‬
4
2. PEMBAGIAN LAFADZ ‘AMM
Lafadz umum yang dikehendaki keumumannya
karena terdapat dalil atau indikasi yang menutup
kemungkinan adanya Takhsis (pengkhususan). Misalnya
surat Hud :6.
: ‫إال على هللا رزقها ويعلم مستقرها ومستودعها كلّ فى كتاب مبين (هود‬
ّ ‫وما من دابة فى األرض‬
)6
yang dimaksud binatang melata pada ayat tersebut
adalah bersifat umum,mencakup semua jenis binatang
tanpa terkecuali. Karena diyakini bahwa yang
memberikan rizki bagi semua mahluk adalah Allah swt.
•Lafadz ‘Amm akan tetapi yang dimaksud adalah khusus
karena ada indikasi yang menunjukkan makna tersebut.
Contoh Qs. At-Taubah : 120.
‫ماكان من أهل املدينة َومنّ حوله من األعراب أن يتخلفوا عن رسولّ هللا و ّال يرغبوا بأنفسهم‬
)120 : ‫(التوبة‬.... ‫عن نفسه‬
sepintas ketika kita memahami ayat tersebut
diperuntukan kepada semua masyarakat madinah dan
bangsa arab yang ada disekitarnya. Namun, yang
dimaksud ayat tersebut bukanlah makna umum, tetapi
hanyalah orang-orang yang mampu.
•Lafadz al-Amm yang ditakhsis. Yaitu al-’Amm yang
mutlak, tidak disertai dengan alasan yang yang
meniadakan kemungkinan adanya takhsis, tidak pula
alasan yang menunjukkan atas keumumannya secara
pasti. Lafadz ini secara lahir umum, sampai terdapat
dalil yang mengkhususkanya. Seperti terdapat pada ayat
228 surat al-Baqarah.
) 228 : ‫(البقرة‬....ّ‫واملطلقا ت يتربصن بأنفسهنّ ثالثة قروء‬
Lafadz umu pada ayat tersebut (Al-muthallqat / wanitawanita yang ditalak), terbebas dari indikasi yang
menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah makna
umumnya atau sebagianya. Dalam hal ini menurut
jumhur ulama’ usul fiqh, seperti yang dikemukakan oleh
Muhammad Adib Shaleh, kaidah usul fiqh yang berlaku
adalah bahwa sebelum terbukti adanya penakhsisnya,
ayat itu harus diterapkan pada semua satuan cakupannya
secara umum.
5
Berkaitan dengan kata umum, maka perlu dibahas
pula pembahasan tentang takhsis, seperti yang
dikemukakan oleh Khudlori Bik, Takhsis adalah
bahwa yang dimaksud lafadz umum adalah sebagian
dari cakupannya, bukan keseruhanya. Dengan kata
lain mengeluarkan sebagiandari satuan-satuan yang
dicakup
oleh
lafadz
umum
dengan
dalil.
Diantara dalil pen takhsis adalah takhsis dengan ayat
al-qur’an, takhsis dengan sunah, dan takhsis dengan
Qiyas. Lafadz umum yang ditelah ditakhsis akan
menjadi khusus. Makna sebagian yang tinggal itulah
sesungguhnya yang dimaksud ayat tersebut sejak
diturunkan
atauhadist
sejak
diucapkan.
B. Lafadz Khusus (khos)
Lafadz khusus adalah lafadz yang mengandung satu
pengertian secara tunggal atau beberapapengertian
yang terbatas. Abu Zahrah menyatakan, bahwa
lafadz khos dalam nas syara’ menunujuk kepada
pengertiannya yang secata qoth’I (pasti) dan hukum
yang dikandungnya bersifat pasti pula selama tidak
terdapat indikasi terhadap pengertian lain. Contoh
lafadz khos adalah QS. Al-Maidah : 80.
)89 :‫(المائدة‬...‫فكفارته إطعام عشرة مساكين من أوسط ما تطعمون أهليكم وكسوتهم‬...
kata ‘asyara pada ayat tersebut diciptakan hanya
untuk bilangan sepuluh, tidak kurang dan tidak lebih.
Arti
sepuluh
itu
sendiri
tidak
terdapat
kemungkinanpengertian lain. Begitulah dipahami
setiap lafadz dalam al-qur’an, selama tidak aeda
dalil yang memalingkan kepada pengertian lain
seperti lafadz majazi (metafora. Jika terdapat
indikasi yang menunjukan bahwa yang dimaksud
adalah bukan makna hakikatnya melainkan makna
majazi, maka terjadilah ta’wil yaitu memalingkan
6
kepada majazi yang akan dijelaskan pada
pembahasan Mutlaq dan Muqoyyad.
C. Lafadz Amar (Perintah)
a. Pengertia Amar dan bentuk-bentuknya.
Mayoritas ulama’ mendefinisikan amar sebagai
sebuah tuntutan (perintah) dari orang yang lebih
tinggi derajatnya kepada orang yang lebih rendah
derajatnya. Perintah untuk melakukan suatu
perbuatan seprti yang dikemukakan Khudlori Bik
dalam bukunya Tarikh At-Tasyri’, disampaikan
dalam berbagai redaksi anatara lain.
• Perintah tegas dengan menggunakan lafadz amara
(‫( أمر‬dan yang seakar dengannya. QS. An-Nahl : 90.
• Perintah dalam bentuk pemberitaan bahwa
perbuatan itu diwajibkan atas seseorang dengan
memakai lafadz Kutiba (‫)كتب‬. QS. Al-Baqarah : 178.
• Perintah dengan memakai redaksi pemberitaan
(Jumlah khobariyah) namun yang dimaksud adalah
perintah. QS. Al-Baqarah : 28.
• Perintah dengan memakai kata kerja perintah
secara langsung. QS. Al-Baqarah : 238.
• Perintah dengan menggunakan Lafadz Fi’il
Mudhore’ yang disertai lam Amar.QS. Al-Hajj : 29.
• Perintah dengan menggunakan lafadz Faradho
(‫)فرض‬/ mewajibkan. QS. Al-Ahzab : 29.
• Perintah dalam bentuk penilaian bahwa perbuatan
tersebut adalah baik. QS. Al-Baqarah : 220.
• Perintah dalam bentuk menjanjikan kebaikan yang
banyak kepada pelakunya. QS. Al-Baqarah : 245.
7
b. Hukum-hukum yang ditunjukkan oleh bentuk
amar (perintah
• Suatu bentuk perintah bisa menunjukkan berbagai
perngertian sebagaimana yang telah dikemukakan
oleh guru besar usul fiqh universitas Damaskus.
Diantaranya Sebagai berikut.
• Menunujukan hukum wajib, seperti perintah untuk
melakukan sholat.
• Menjelaskan bahwa sesuatu itu booleh dilakukan.
Qs. al-mu’minun : 51.
• Sebagai anjuran. QS. Al-Baqarah : 282.
• Untuk melemahkan. QS. Al-Baqarah : 23.
• Sebagi ejekan atau hinaan. QS. Ad-Dukhan : 49.
8
c. Kaidah-kaidah Yang Berhubungan Dengan Amar
• Kaidah Pertama : “‫ “األصل فى األمر للوجوب‬meskipun
suatu perintah menunjukkanberbagai perngertia,
namun pada dasarnya suatu perintah menunjukan
hukum wajib dilaksanakan, kecuali terdapat
indikasi lain yang memalingkan dari hukum
tersebut.
• Kaidah Kedua : “ ‫“داللة األمر علي ال ّتكرار او الوحدة‬, adalah
suatu perintah haruslah dilakukan berulang kali
atau hanya sekali. Menurut jumhur ulama’ usul
fiqh, pada dasarnya suatu perintah tidak
menunjukkan harus berulang-ulang kali dilakukan
kecuali ada dalil yang menunjukan untuk itu.
• Kaidah ketiga : “‫ “داللة األمر علي الفور او ال ّتراخى‬adalah
suatu perintah haruslah dilakukan sesegera
mungkin atau ditunda-tunda. Menurut jumhur
ulama’ usul fiqh, pada dasarnya suatu perintah
tidak menunjukkan harus segera dilakukan kecuali
ada dalil yang menunjukan untuk itu. Karena yang
dimaksud
oleh
suatu
perintah
hanyalah
terwujudnya perbuatan yang diperintahkan.
9
d. Nahi atau larangan
a. Pengertia Amar dan bentuk-bentuknya.
Mayoritas ulama’ mendefinisikan Nahi sebagai
sebuah larangan mengerjakan suatu perbuatan
dari orang yang lebih tinggi derajatnya kepada
orang yang lebih rendah derajatnya. Dalam
melarang suatu perbuatan Alah memakai berbagai
gaya bahasa, diantaranya :
• Larangan secara tegas dengan menggunakan lafadz
Naha (‫( نهىى‬dan yang seakar dengannya. QS. AnNahl : 90.
• Larangan dengan menjelaskan bahwa suatu
perbuatan itu diharamkan. QS. Al-’A’raf ; 33.
• Larangan dengan menjelaskan bahwa suatu
perbuatan itu tidak halal dikerjakan. QS. An-Nisa’
: 19.
• Larangan dengan memakai kata perintah namun,
bermakna tuntutan untuk meninggalkannya. QS.
a-l-’an’am : 120 .
• larangan dengan menggunakan Fi’il Mudhore’ yang
disertai lam Nahi. QS. a-l-’an’am : 152 .
• Larangan dengan cara mengancam pelakunnya
dengan siksaan yang pedih. QS. At-Taubah : 34.
• Larangan dengan mensifati perbuatan itu dengan
keburukan. QS. Ali ‘Imron : 180.
• Larangan dengan meniadakan wujud perbuatan itu
sendiri. QS. Al-Baqarah : 193
10
b. Hukum-hukum yang ditunjukkan oleh bentuk
Nahi (Larangan)
adib Sholeh mengemukakan, bahwa bentuk
larangan
dalam
penggunaanya
mungkin
menunjukan berbagai pengertian. Diantarnya :
• Menunujukan hukum haram, seperti dalam surat
al-Baqarah ayat 221.
• Sebagai anjuran untuk dtinggalkan. QS.al-maidah :
101.
• penghinaan. QS. At-Tahrim : 7.
• Untuk menyatakan permohonan. QS. al-Baqarah
ayat 286.
11
c. Kaidah-kaidah yang berhubungan dengan Nahi
• Para ulama’ Ushul Fiqh merumuskan kaidah yang
berhubungan dengan larangan, diantanranya
sebagai berikut :
• Kaidah Pertama : “ ‫“األصل فى ال ّنهى ال ّتحريم‬pada
dasarnya suatu larangan menunjukan hukum
haram dilaksanakan, kecuali terdapat indikasi lain
yang memalingkan dari hukum tersebut.
• Kaidah Kedua : “ ‫“األصل فى ال ّنهى يطلق الفساد مطلقا‬,
adalah suatu larangan menunjukan fasad (rusak)
perbuatan yang dilarang itu jika dikerjakan. Para
ulama’ ushul fiqh bersepakat bilamana larangan
tersebut tertuju pada zat atau esensi dari
perbuatan, bukan terhadap hal-hal yang terletak
diluar esensi perbuatan tersebut.
contoh dari larangan terhadap zat adalah larangan
berzina, menjual bangkai, shalat dalam keadaan
hadas.
Larangan-larangan
dalam
hal-hal
tersebutmenunjukkan
batalnya
perbuatanperbuatan tersebut bilamana dikerjakan.
• Kaidah ketiga : “ ‫ “ ال ّنهي شيئ أمر بض ّده‬suatu larangan
terhadap sesuatu berarti perintah terhadap
perintah terhadap kebalikannya.
12
BAB III
KESIMPULAN
1.
Al-’Amm menurut bahasa lafadz yang
menunjukan akan mencakupnya terhadap
keseluruhan satuan yang sesuai dengan
maknanya tanpa ada yang membatasi.
2.
Lafadz khusus adalah lafadz yang
mengandung satu pengertian secara
tunggal atau beberapapengertian yang
terbatas. Abu Zahrah menyatakan, bahwa
lafadz khos dalam nas syara’ menunujuk
kepada pengertiannya yang secata qoth’I
(pasti) dan hukum yang dikandungnya
bersifat pasti pula selama tidak terdapat
indikasi terhadap pengertian lain.
3.
Mayoritas
ulama’
mendefinisikan
amar sebagai sebuah tuntutan (perintah)
dari orang yang lebih tinggi derajatnya
kepada
orang
yang
lebih
rendah
derajatnya.
4.
Mayoritas
ulama’
mendefinisikan
amar sebagai sebuah tuntutan (perintah)
dari orang yang lebih tinggi derajatnya
kepada
orang
yang
lebih
rendah
derajatnya.
13
DAFTAR PUSTAKA
• Prof. Dr. Abdul Wahhab Kholaf, Ilmu Usul
Fiqh, Jakarta : Pustaka Amani, 2003.
• Prof. Dr. H. Satria Efendi, M. Zein, M.A. ,
Ushul Fiqh, Jakarta : Kencana, 2008.
14