MULTIKULTURALISME

Download Report

Transcript MULTIKULTURALISME

MULTIKULTURALISME
MULTIKULTURALISME
MULTIKULTURALISME
MULTIKULTURALISME
MULTIKULTURALISME
MULTIKULTURALISME
MULTIKULTURALISME
ASUMSI KEANEKARAGAMAN



Keanekaragaman identitas budaya (dalam
arti luas) merupakan suatu kenyataan. Di sisi
yg lain keanekaragaman identitas budaya
mengandung potensi kerawanan.
Masyarakat Majemuk (Plural Society)
menunjukkan keanekaragaman suku bangsa
dan kebudayaan sukubangsa.
Pluralisme kebudayaan (Cultural Pluralism)
menekankan kesederajatan kebudayaan
yang ada dalam sebuah masyarakat.
PERSPEKTIF
KEANEKARAGAMAN


Menyangkut discourse perihal bagaimana
keanekaragaman dipersepsi, diyakini,
diteorikan, serta disikapi yang mendasari
praksis maupun kebijakan.
Perspektif bisa berbeda-beda menurut
konteks tempat dan semangat jamannya.
MAKNA MULTIKULTURALISME

Ajaran (doktrin) bahwa beberapa ikatan
budaya yang berbeda -- seperti ikatan
suku, ras, agama, daerah, bahasa,
kelompok jender, dsb-nya -- dpt hidup
berdampingan secara damai, saling
mendukung dlm posisi setara, dan
menikmati kehidupan yang makin adil
(dlm suatu negara atau wilayah
pengorganisasian hidup bersama).
REALITAS GANDA/RAGAM


Multikulturalisme menawarkan
hadirnya realitas ganda/ragam :
differences – similarities, diversity –
unity, identity – integration,
particularity – universality,
nationality – globality, etc.
Multikulturalisme tak pernah
dimaksud menghilangkan
kekhususan (specifity) dari ciri
budaya; tak pula dimaksud
meleburnya ke dalam keumuman
(generality) budaya.
MENGAPA
MULTIKULTURALISME?


Secara alamiah setiap ikatan budaya
cenderung ingin hidup dengan
caranya sendiri; dan memang tiap
ikatan budaya punya hak hidup serta
berkembang.
Masyarakat modern dan terbuka
meniscayakan adanya interaksi
(pertemuan, kerjasama, konflik) di
antara manusia yang berbeda latar
budaya.
DALIL-DALIL
MULTIKULTURALISME


Kesadaran dan kebanggaan pada
identitas budaya sendiri tak seharusnya
menjurus ke sikap dan tindakan yang
eksklusif, egois, serta arogan yang
dapat mengancam kebersamaan
kehidupan dalam keanekaragaman
budaya.
Kecenderungan “partikular-eksklusif”
harus dikontrol dan diimbangi dengan
semangat “universal-inklusif”.
PENYEBARAN PAHAM
MULTIKULTURALISME di BERBAGAI
NEGARA


Runtuhnya Uni Soviet dan Eropa Timur
yang menandai berakhirnya perang
dingin, telah mempercepat dan
meningkatkan intensitas globalisasi di
berbagai bidang.
Sejak itu, AS seolah menjadi penguasa
dunia. Sehingga, hampir semua yang
berbau AS cepat dan mudah merambah
ke berbagai dunia. Termasuk, pengalaman
sejarah multikulturalisme di AS.
PERJALANAN MULTIKULTURALISME
DI AS


Dinamika perspektif keanekaragaman di AS
dimulai dengan “melting-pot assimilation”
menjadi “salad bowl” berkembang lagi menjadi
“cultural pluralism” dan akhirnya
“multiculturalism”.
Dinamika perspektif itu bermula dari gerakan
warga kulit hitam yang menuntut kesetaraan hak
sipil dan politik pada 1960-an. Kemudian tahun
1970-an muncul gerakan civil society, yang
diikuti gerakan perempuan, lalu muncul gerakan
“pribumi Amerika” dan kelompok kulit berwarna.
Pada tahun 1980-an hingga 1990-an muncul
pemikiran kritis terhadap kurikulum sekolah
dasar perihal sejarah, demografi, dan pendidikan
kewarganegaraan, yang menggugat perspektif
melting-pot assimilation.
1. MELTING-POT ASSIMILATION



Konsep ini dipopulerkan melalui drama
karya Zangwill.
Dalam perspektif melting-pot ditonjolkan
perihal lahirnya “manusia baru” yang
disebut Amerika, yaitu merupakan
idealisasi peleburan beraneka ragam
budaya yang berasal dari Eropa dan
Afrika.
Pemikiran kritis mengungkapkan bahwa
melting-pot ternyata bersifat monokultur.
Karena, dominasi dan hegemoni WASP
(White Anglo-Saxon Protestant) amat
mengedepan.
2. SALAD BOWL



Untuk mengakomodasi dan mengapresiasi
kontribusi non-WASP, dikembangkan
perspektif pengganti yang disebut “salad
bowl”.
Unsur non-WASP memang diakomodasi,
tapi ternyata tak mengurangi unsur
pokoknya yang dominan, yaitu budaya
WASP.
Perspektif salad bowl masih tetap
dirasakan mengecewakan oleh non-WASP.
3. CULTURAL PLURALISM





Horace Kallen (1970) memperkenalkan perspektif
“cultural pluralism” untuk menggantikan salad
bowl.
Perspektif ini membedakan antara ruang publik dan
ruang privat.
Ruang publik: ruang terbuka tempat bertemunya
orang dari berbagai ikatan budaya.
Ruang privat: ruang yang disediakan untuk
mewadahi dan merawat spesifikasi ikatan budaya di
dalam masing-masing keluarga atau komunitas
yang berbeda-beda.
Ternyata perspektif ini juga rapuh dan tak
memuaskan, karena mengandaikan dapat
memisahkan sepenuhnya antara ruang publik dan
ruang privat. Di samping itu mengandaikan wilayah
non-budaya terlepas dari wilayah budaya di dalam
ruang publik.
4. MULTICULTURALISM

Diperkenalkan tahun 1980-an,
sebagai upaya memperoleh
kesempatan yang sama untuk
berpartisipasi di ruang publik, dan
selanjutnya juga mengkritisi jalinan
hubungan kekuasaan yang ada agar
menjamin hak, keadilan dan
kesempatan yang sama bagi semua
WN yang dihormati latar belakang
ikatan budayanya.
REAKSI TERHADAP
MULTIKULTURALISME




Bergerak dlm spektrum: mendukung –
mengkritisi – menolak.
Kelompok mayoritas dan atau yang
diuntungkan dengan statusquo, umumnya
menolak perspektif multikulturalisme.
Kelompok minoritas dan atau yang
termarjinalkan, umumnya mendambakan/
mendukung multikulturalisme.
Kelompok intelektual sosial, umumnya
mengambil sikap kritis terhadap
multikulturalisme.
BEBERAPA CONTOH MULTIKULTURALISME
di BERBAGAI NEGARA




AS: masyarakat aktif melakukan gerakan sosialbudaya memajukan multikulturalisme.
Inggris: pemerintah aktif mengadopsi kebijakan
promultikulturalisme, antara lain program
“pendidikan untuk semua” serta pengakuan
keragaman budaya dan agama dlm teks dan
kurikulum sekolah.
Kanada: pemerintah aktif dgn membentuk
“Departemen Multikulturalisme dan
Kewarganegaraan”, serta membuat UU
Multikultural.
Australia: pemerintah aktif dgn membentuk
“Kantor Urusan Multikultural”, dan
mencanangkan agenda khusus tentang
multikulturalisme dlm perwakilan di parlemen.
PREMIS MULTIKULTURALISME
(Leonie Sandercock, 2003)
1. Ketertambatan manusia pada
kebudayaan memang tak terhindarkan.
Setiap kita tumbuh di dunia yang
terstruktur secara kultural, dibentuk
melalui budaya itu, dan memandang dunia
dari sudut budaya spesifik. Kita juga
punya kemampuan mengevaluasi secara
kritis keyakinan dan tindakan sendiri,
serta mampu memahami dan
mengapresiasi budaya lain dengan sama
kritisnya. Tapi, adanya identitas kultural
tertentu dan yang tampak kita miliki, tak
terelakkan.
LANJUTAN PREMIS
2. “Budaya” tak boleh dipahami sebagai
statis, kodrati, dan esensialis.
3. Keanekaragaman budaya merupakan
sesuatu yang positif, dan dialog
antarbudaya merupakan unsur penting
dari masyarakat dengan beragam
budaya. Semua budaya memiliki sesuatu
yang dapat disumbangkan dan dipelajari
dari budaya lain.
LANJUTAN PREMIS
4. “Hak untuk berbeda” di jantung
multikulturalisme harus secara terus
menerus dihadaptandingkan dengan hakhak lain (mis: HAM) dan diredefinisi
menurut pertimbangan dan formula baru.
5. Mengurangi ketaktoleranan dan rasa takut
hanya bisa dicapai melalui perbaikan
(distribusi) material sebagaimana
penghargaan pada dimensi-dimensi
kultural.
MASALAH POTENSIAL DAN
AKTUAL

Dapat berupa: clash of civilization,
culture war, konflik etnis, perlakuan
dan atau kebijakan diskriminatif,
hubungan eksploitatif, bias (perlakuan
tak adil yang tak disengaja),
prasangka negatif, kesalahpahaman,
marjinalisasi, kekerasan
fisik/simbolik, serta ketimpangan dan
kesenjangan yang tajam.
TINDAKAN PROMULTIKULTURALISME


Menerima, toleran, simpati, empati, dan peduli
terhadap keanekaragaman kultural; serta
bersedia hidup bersama, saling percaya dan
saling mendukung (ko-eksistensi dan proeksistensi).
Melakukan prakarsa pemajuan kehidupan
multikultural yang lebih damai; merumuskan
dan menegakkan aturan yang fair-adil;
mengurangi kesenjangan dan meningkatkan
keadilan secara konsisten berkesinambungan.
TANGGUNG JAWAB BERSAMA


Pemajuan multikulturalisme menuntut
kepekaan, kepedulian, dan tanggung jawab
kemanusiaan bersama untuk memperhatikan
yang berbeda dan membantu yang lemah.
Masing-masing kita harus menjadi bagian
dari solusi, bukan justru menimbulkan
masalah. Untuk ini, kadang mengharuskan
kesediaan dan keberanian kita melakukan
pelintasan batas-batas kultural.