KOMPETENSI DASAR 3:  Mendeskripsikan Hubungan Konstitusi dan Negara  Materi Pokok : 1.

Download Report

Transcript KOMPETENSI DASAR 3:  Mendeskripsikan Hubungan Konstitusi dan Negara  Materi Pokok : 1.

KOMPETENSI DASAR 3:
 Mendeskripsikan Hubungan Konstitusi dan Negara
 Materi Pokok :
1. Kedudukan dan Otoritas Konstitusi
2. Nilai-Nilai Konstitusi dalam Negara
 A. KEDUDUKAN DAN OTORITAS KONSTITUSI
Carl Schmit : Verfassung atau UUD adalah ke putusan
politik tertinggi, sehingga konstitusi mempunyai
kedudukan atau derajat yg supremasi dalam suatu
negara terutama dalam tertib hukum negara.
2. K.C. Wheare: kedudukan konstitusi dalam negara dpt
dilihat dalam 2 aspek, yaitu:
a. aspek hukum, bersifat supremasi karena:
1.
-Dibuat oleh Badan Pembuat UU atau lembaga-2
-Dibentuk atas nama rakyat, berasal dari rakyat, &
kekuatan berlakunya dijamin oleh rakyat.
-Dalam sudut hukum yaitu dlm proses pembua tannya,
dibuat oleh badan yang diakui keabsa hannya.
b. Aspek Moral, konstitusi berada dibawahnya, dengan
kata lain konstitusi tidak boleh berten tangan dg etika
moral
3. Bryce : Motif politik disusunnya konstitusi adlh
a. keinginan untuk menjamin hak-2 rakyat &
pengendalian penguasa;
b. keinginan menggambarkan sistem pemerin tahan yg
ada guna mencegah kesewenangan penguasa;
c. hasrat untuk menjamin berlakunya cara pe merintahan
dlm bentuk yg permanen dan dipahami rakyat;
.
d. hasrat masyarakat yg terpisah untuk menja min aksi yg
efektif dan sekaligus hak & kepentingannya.
Berarti menurut Bryce konstitusi secara sadar dibuat
sebagai kaidah yg fundamental yg mem punyai nilai
politik lebih tinggi dari jenis kaidah lain karena menjadi
dasar bagi tata kehidupan negara.
Bgmn dg Amandemen?. Maka dianggap lebih ting gi
karena karena dr segi waktu dengan kedudukan yang
sama, yg kemudian mengganti yg lama
 Struycken: karena UUD berisi: 1. Hasil perjua ngan politik
bangsa di masa lampau; 2. Tingkat tingkat tertinggi
perkembangan ketatanegara an bangsa; 3. Pandangan
tokoh bangsa yg akan diwujudkan; 4. Keinginan ttg
kehidupan ketatanegaraan yg akan dipimpin. Maka UUD
ditempatkan dalam kedudukan yg tertinggi dari apapun.
 A.Hamid S. Attamimi: Konstitusi merupakan pemberi
batas, sekaligus tentang bagaimana kekuasaan negara
harus dijalankan, shg mempu nyai kedudukan yg sangat
penting.
B. Nilai konstitusi dlm kehidupan
negara
 Karl Loewenstein: Konstitusi itu bagi rakyat biasa dapat




dipandang dalam 3 kemungkinan:
1.Nilai Normatif apabila berlaku dalam arti hukum, tetapi
juga merupakan kenyataan yg hidup (diperlukan dan
efektif);
2.Nilai Nominal apabila secara hukum berlaku tetapi
tidak sempurna, krn beberapa pasal tidak berlaku’
3.Nilai Semantik apabila secara hukum berlaku tetapi
pada dasarnya hanya untuk kepentingan politik
penguasa.
Konstitusi yg normatif inilah yg mempunyai supremasi
tertinggi dan yg benar.
Kompetensi dasar 4 :
 Mendeskripsikan Pembuatan dan Perubahan Konstitusi
 Materi Pokok:
1. Prinsip Umum Pembuatan & Perubahan
Konstitusi :
A. Komisi Ahli
B. Parlemen Biasa
2. Prosedur Pembuatan dan Perubahan di Indo
nesia
 A. PEMBUATAN & PERUBAHAN KONSTITUSI
 Francois Venter (1999) mengatakan ‘konstitusi’ itu sifatnya
dinamis. John P. Wheeler Jr. (1961) berpendapat bahwa
perubahan konstitusi adalah satu keniscayaan. Romano Prodi
(Anthony Browne, 2004) mengatakan; Konstitusi yg tak bisa
diubah adalah konstitusi yg lemah, karena ia tdk bisa
beradaptasi dg realitas. Pada hal sebuah konstitusi harus bisa
diadaptasikan dengan realitas yg terus berubah. Bahkan
Brannon P. Denning (Friedrich,1950) menyatakan, sebuah
mekanisme amandemen konstitusi sangat diperlukan untuk
menjamin bahwa generasi yang akan datang punya alat untuk
secara efektif menjalankan kekuasaan-2 mereka untuk
memerintah. Sehingga pada bagian lain Francois
Venter (1999) mengatakan:”….Konstitusi yg ‘final’itu tdk ada,
karena konstitusi nasional itu sama hidupnya dg negara, terdiri
dr begitu banyak manusia yg berpikir, yg untuknyalah konstitusi
itu ada. Ide bahwa konstitusi tdk bisa diganggu-gugat tdk
mungkin konsisten dg dalil-2 negara konstitusional modern”.
James L. Sundsquist (1986)mengatakan; bahwa setelah
konstitusi Amerika diberlakukan, James Madison menyatakan,
“penulis bukanlah salah satu di antara orang-2 (kalau memang
ada) yg berpikir bahwa Konstitusi yg baru saja diberlakukan
adalah sebuah karya tanpa cacat”.
 Dua puluh delapan tahun kemudian Gubernur Moris
menurut Edward McWhinney (l981) mengatakan:”……
segala yg manusiawi tak mungkin bisa sempurna. Dike
pung oleh kesulitan-2, kami sudah lakukan yg terbaik
yg kami bisa; (lalu kami) serahkan semuanya kepada
penerus-2 kami untuk belajar dari pengalaman, & dgn
cara yg bijaksana menggunakan kekuasaan untuk
melakukan amandemen, yg sudah kami berikan”.
 Edward McWhinney (1981) juga mengatakan; tugas &
tanggungjawab utama elite politik dalam sebuah
pemerintahan yg konstitusional adalah
mengantisipasi, mengoreksi, & mengubah substansi
sebuah konstitusi demi memastikan bahwa konstitusi
itu berada di jalan yg sama kearah proses demokrasi”.
 Carl J. Friedrich (1950): dalam konstitusi modern yg baik,




aturan-2 untuk melakukan amandemen merupa kan satu bagian
yg vital.
Edward McWhinney (1981) : setiap sistem konstitusi harus selalu
memiliki satu sifat inheren untuk selalu berubah; dan
konstitusionalisme itu sendiri tidak semata menjadi nilai
substantif yg dituliskan menjadi sebuah piagam konstitusi,
tetapi proses-proses aktual perubahan konstitusi itu sendiri.
1. PEMBUATAN & AMANDEMEN KONSTITUSI
Venter (Giovani Sartori,1997): Perubahan konstitusi hanyalah
bagian dr pembuatan konstitusi. Sehingga pembuatan itu
mencakup amandemen maupun revisi.
John P.Wheeler, Jr. (1961) : membedakan antara amandemen
konstitusi dg revisi konstitusi. ‘Amandemen’ sebagai perubahan
dlm lingkup terbatas, yg mencakup satu atau sejumlah terbatas
aturan dlm sebuah konstitusi. Sedang ‘revisi’ berarti
menimbang-nimbang keseluruhan atau sebagian besar
konstitusi.
 2. KAPAN/SAAT PEMBUATAN KONSTITUSI
 Robert A.Goldwin & Art Kaufman (l988) pembuatan konstitusi hanya
mungkin dilakukan pada ‘momentum luar biasa’ dalam sejarah suatu
bangsa. Sedangkan Elster (Francois Venter, 1999) mengatakan:
“idealnya, sebuah proses pembuatan konstitusi dilakukan dalam
kondisi yg paling tenang dan tanpa gangguan”.
 Von Savigny (James A. Curry dkk, 1989) menyatakan momentum
semacam itu terjadi ketika sebuah bangsa telah ‘sepenuhnya mencapai
kematangan politik & hukumnya’,
 Faktanya, hal tersebut diatas sulit, & bahkan kerap terjadi pd masa-2
sulit dan penuh gejolak, yang menurut John Elster (1995), pemicu
pembuatan konstitusi adalah pada: Krisis sosial & ekonomi, Revolusi,
Runtuhnya rezim, Kekalahan dlm perang, Rekonstruksi pasca-perang,
Pembentukan sebuah negara baru, & Kemerdekaan dr kekuasaan
kolonial.
 Tujuh Gelombang pembuatan konstitusi (John Elster, 1995): Masa
1780-1791 ketika Amerika Serikat, Perancis, & Polandia menulis
Konstitusi; Masa Revolusi Eropa th 1848; Setelah Perang Dunia
Pertama; Saat Perang Dunia Kedua; Saat Proses Dekolonisasi dari
Inggris & Perancis th 1940-1960-an; Setelah runtuhnya kediktatoran
Eropa pertengahan 1970-an; Ketika negara Komunis Eropa Timur dan
Eropa Tengah menerapkan Konstitusi baru pasca runtuhnya imperium
Sovyet di akhir 1980-an. Denny Indrayana (2007: 81) menambah kan
gelombang kedelapan, yaitu 1990-an hingga awal abad 20, dimana
Saunders dlm situs Universitas Wuerzburg menemukan lebih dr 60
konstitusi baru yg sudah diberlakukan dlm 2 dasa warsa terakhir. Dua
puluh Enam konstitusi lainnya mengalami perubahan substansial,
termasuk Afrika Selatan, Filipina, Nigeria, Thailand, dan Indonesia.
 Pengaturan waktu pembuatan konstitusi perlu diperha tikan.
Arato dalam John Elster (1995) menyarankan, Lembaga
pembuat konstitusi harus bekerja dg suatu tenggat waktu
tertentu, sehingga tidak ada kelompok yg bisa menggunakan
taktik mengulur waktu demi kepenting annya sendiri.
Sehingga lembaga itu bisa menata rencana kerjanya, sekaligus
menekan lembaga untuk menyelesaikan tepat waktu.
Thailand dengan 240 hari. Sedangkan Afrika selatan 2 tahun.
 3. PROSES PEMBUATAN KONSTITUSI DEMOKRATIS:
 Rosen dalam Andrea Bonime-Blanc (1987): kalau tujuan global konstitusi
untuk menciptakan sistem politik yg demokratis, maka proses pembuatannya
’sejauh mungkin harus murni demokratis’. Karena menurut Julius Ihonvbere
(2000)”teramat sangat penting sifatnya bagi kekuatan, akseptabilitas, &
legitimasi produk finalnya”. Vivien Hart (2003) mengatakan hal yg sama ttg
proses yg demokratis.
 4.TIPE PROSES PEMBUATAN KONSTITUSI
 Andrea Bonime-Blanc (1987) menyatakan proses pembuatan konstitusi
itu penting karena adanya fakta bahwa proses mempengaruhi substansi
konstitusi. Ada 3 tipe: Konsensual (consensual), Disensual(dissensual),
& Gagal (stillborn).
 Konsensual mensyaratkan: 1.Partisipasi dr semua pihak atau minimal
sebagian besar kolompok politik yg ada. 2. Kesepa katannya dicapai dg
memastikan adanya tanggungjawab politik yg menjamin tdk ada solusi
dogmatik & pemanfaatan kompromi. 3. Kompromi ini kerakali
menimbulkan kerancuan pada pasal-2 nya. 4. Kerancuan itu
menyulitkan satu atau lebih kelompok politik, ttp tak satupun
diantaranya benar-benar tak sepakat dg teksnya secara keseluruhan,
karena mayoritasnya tetap mendukung konstitusi yg dihasilkan.
 Disensual, berarti pembuatan konstitusi tdk melibat kan semua
kelompok politik. Solusi dogmatik menjadi hal yg lumrah,
kesepakatan susah dibuat, bahkan sering melibatkan
penolakan/dan atau keberatan thd pendapat dr kelompok
politik utama, sehingga solusi-2 hanya memuaskan kelompok
politik dominan. Akibatnya potensi ancaman bagi sistem politik
yg baru akan meningkat, terutama dr barisan yg sakit hati.
 Gagal (stillborn); apabila gagal menghasilkan draft final, yaitu
gagal sebelum di sahkan & diberlakukan, karena perbedaan
antar kelompok politik yg terlalu dalam, sehingga tak mungkin
membentuk suatu koalisi yg dominan. Karakteristik utamanya
dari gagal ini adalah gagal dibuat, kalaupun berhasil diracik,
tidak disetujui secara nasional.
 5. TAHAP PEMBUATAN KONSTITUSI:
 K.C. Wheare (1958) proses pembuatan konstitusi ber maksud
mengamankan 4 tujuan: 1. konstitusi dibuat hanya atas dasar
musyawarah; 2. rakyat harus punya kesempatan untuk
memberikan pendapatnya selama proses berlangsung; 3. dalam
sistem federal, tdk boleh ada pihak yg bertindak sendiri
mengamandemen kekuasaan-2 yg dimiliki unit-unitnya maupun
pemerintah federal; 4. hak individu maupun hak masyarakat
(khususnya hak kelompok minoritas) hrs dilindungi.
 Cheryl Sauders (2002) proses perubahan meliputi 3 tahap:
penetapan agenda; pengembangan & perancangan; serta
pengesahan.
 a. Penetapan Agenda: terdiri 1. Menciptakan term of reference atau
patokan-2 dasar bagi lembaga pembuat konstitusi; 2. Mengembangkan
prinsip-2 konstitusi yg harus menjadi dasar sebuah konstitusi;
3.Menciptakan kesepakatan awal diantara tokoh-2 kunci, dan; 4.Me
mutuskan sebuah prosedur pengesahan yg disepakati bersama, yaitu
prosedur yg akan dilalui oleh rancangan konstitusi.
 Penetapan agenda itu menurut Bonime-Blanc diawali dg sebuah
Pemilihan Umum untuk mempersiapkan sebuah “masa pra-Konstitusi”
dg di dahului pengesah an partai-2 politik & pembuatan UU Pemilu.
Sekaligus perlu suatu proses “legalisasi sosial-politik” dimana jeratikatan otoriter thd kebebasan asasi dihilangkan, dan sebuah ‘ilegalisasi
otoriter’ dimana pembatasan & larangan diberlakukan thd mekanisme
otoriter yg se-wenang-2. Tanpa kondisi ini, proses pembuatan
terancam gagal.
 Penetapan Agenda harus memutuskan pembuatan konstitusi itu
berupa ‘sebuah konstitusi yg sama-sekali baru’ atau berupa
‘perubahan-perubahan thd yg ada’. Biasanya negara yg sdg dlm
masa transisi dr otoriter akan memilih konstitusi baru.
 Paczolay (KC Wheare, 1958) berargumen bahwa meng adopsi
konstitusi baru disukai karena: 1.konstitusi itu sendiri
menegaskan urgennya mengadopsi konstitusi baru, 2.legitimasi
hilir (downstream legitimacy) akan lebih kuat bila di dasarkan
pada “dokumen yg diundangkan secara besar-besaran”.
3.pemberlakuan konstitusi dg referendum, sehingga bisa
memberi legitimasi hilir yg tak mungkin di ganggu-gugat,
4.konstitusi yg baru dpt menghilangkan inkonstitusi dlm
konstitusi yg lama.
 Contoh: Thailand, Penetapan Agenda dimulai dg amandemen
pasal 211 Konstitusi 1991 ttg prosedur pembuatan konstitusi.
Pasal yg diubah itu mengatur: pembentukan Majlis Perancang
Konstitusi sbg lembaga resmi yg akan meramu draft
konstitusi;Proses seleksi keanggotaan; menetapkan 240 hari sbg
masa kerja; dan meratifikasi mekanisme-2 konstitusi yg baru.
 b. Pengembangan & Perancangan. Pada tahap ini lembaga
pembuat konstitusi mempersiapkan naskah bakal konstitusi.
Sehingga penentuan mekanisme-2 pengambilan keputusan &
konsultasi publik memain kan peranan yg krusial. Pengambilan
keputusan itu menurut Cheryl Saunders (2002): mayoritas dan
konsensus. Mayoritas, relatif lebih cepat dicapai untuk
mengatasi perbedaan pendapat, tetapi problematik jadinya
kalau
pengesahannya mensyaratkan pengesahan khusus, maka keputusan yg
diambil pd tahap perancangan jadi sia-sia pd tahap pengesahan. Sdg
kan konsensus dpt menciptakan harmoni, ttp butuh banyak waktu,
teruta ma kalau ada kelompok minoritas yg menentang posisi
mayoritas.
Andrew Arato (1995): konsensus lebih disukai drpd mayoritas, karena
konsensus merupakan salah satu prinsip dlm proses pembuatan
konstitusi, disamping publisitas, kesinambungan hukum, & pluralitas
demokrasi.
Penciptaan konsensus, dg cara pelibatan publik. Partisipasi ini akan
membantu faksi-faksi politik mempertimbngkan posisi mereka.
Menurut Cass R. Sunatein (2001) keterlibatan masyarakat dlm konteks
ini, memainkan peran sebagai “eksternal shock” untuk menghentikan
“permainan polarisasi” atau pengambilan posisi ekstrem.
 c.Persetujuan, dimaksudkan untuk memberikan “efek hukum”
bagi konstitusi sekaligus legitimasi hilirnya. Menurut Cheryl
Saunders (2002) tdk ada bentuk persetujuan baku, karena
bervariasi sesuai dg kondisi negara. Persetujuan itu dengan: a.
Persetujuan rakyat dg referendum; b. Ratifikasi oleh sebuah
Lembaga Perwakilan.
 Referendum memiliki makna simbolis & cenderung
menimbulkan rasa memiliki dikalangan rakyat (Cheryl
Saunders, 2002) dan akan memberi legitimasi mutlak, tetapi
hanya cocok untuk konstitusi baru. Sedangkan apabila
amandemen kecil, cukup persetujuan parlemen (Paczolay).
Tetapi referendum tanpa partisipasi publik yang memadai
adalah sebuah “gerak langkah tanpa makna” (Cheryl Saunders,
2002).
 Afrika Selatan, menurut pasal 73 Konstitusi Sementara
persetujuannya adalah : Pertama,Draft konstitusi oleh Majlis
Konstitusi harus disetujui dua pertiga Majlis. Bila gagal, maka
dilakukan dg cara kedua, persetujuan sebuah panel yg terdiri
dari pakar konstitusi yg diundang ke hadapan Majlis
Konstitusi untuk membuat keputusan. Bila masih gagal,
maka yg ketiga diterapkan dg persetujuan 60% suara
Referendum Nasional dengan catatan Mahkamah Konstitusi
menyatakan draft itu tidak melanggar dari dasar-dasar
konstitusi. Bila tidak berhasil, yaitu dengan Keempat,
membentuk Majlis Konstitusi Baru. Majlis inilah yg
melaksanakan tugas menyetujui & mengesahkan.
Kenyataannya dg dua metode sudah disetujui. Sebabnya, 1.
Mendorong partisipasi aktif rakyat dalam proses pembuatan
konstitusi, sehingga melahirkan akseptasi de facto rakyat thd
draft konstitusi. 2. Konfigurasi Partai Kongres Nasional
 Thailand: 1. Draft Konstitusi disetujui 50% anggota parlemen, yg kemudian
dibawa ke Raja untuk diratifikasi. Bila parlemen tdk sepakat, 2. Referendum.
Ini terjadi karena Draft hasil Rumusan Majlis Perancang Konstitusi dijelaskan
dg baik ke publik, se hingga dapat persetujuan parlemen.
LEMBAGA PEMBUAT KONSTITUSI:
Carl Schmitt yang dikutip Renato Cristi (2000) menga takan bahwa sebuah
Konstitusi adalah sah, apabila kekuasaan dan kewenangan lembaga konstituen
yang mengeluarkan keputusan diakui oleh rakyat.
John Elster (1993) menyebutkan 3 tipe legitimasi; Legitimasi Hulu (upstream
legitimacy), berhubungan dg lembaga pembuat konstitusi; Legitimasi Proses,
berkaitan dg proses pengambilan keputusan oleh lembaga pembuat konstitusi;
dan Legitimasi Hilir, terkait dg ratifikasi.
Klasifikasi kepentingan
 Lembaga pembuat konstitusi haruslah Independen, karena akan
muncul banyak kepentingan. John Elster (1993) memilah kepentingan:
Pribadi, Kelompok, & Lembaga. Kepentingan Pribadi para pembuat
konstitu si merpakan persoalan relatif kecil karena mengacu pd
keuntungan individu dr lembaga konstitusi ttt. Kepentingan
Kelompok, lebih signifikan, seperti kepentingan partai politik,
berbagai sub-unit teritorial, atau korporasi sosial-ekonomi.
Kepentingan Lembaga menurut Gabriel L.Negretto (1998) dalam
pembuatan konstitusi timbul ketika sebuah lembaga yg ikut terlibat
dlm proses memasukkan sebuah peran penting untuk diri lembaganya
sendiri ke dalam sebuah rancangan konstitusi. Misalnya eksekutif
berusaha mempertahankan/menetapkan independensi eksekutif dr
campur tangan legislatif atau mendongkraknya. Legislatif berusaha
mengimbangi kontrol eksekutif, atau mendongkrak kekuasaan cabang
legislatif.
A. Komisi Ahli
 Komisi Ahli bisa disebut juga Komisi Konstitusi atau “lembaga
independen” (Cheryl Sauders,2002) yang beranggotakan
sejumlah ahli yg dianggap tepat untuk melakukan pengambilan
keputusan yang efektif. Mereka harus memiliki pengetahuan
tentang hal ihwal konstitusi yg dianggap perlu. Prakteknya skrg
ini, kepakaran bukan lagi sebagai satu-satunya ukuran yg
dianggap perlu, karena untuk memuaskan isu keterwakilan,
sekaligus mengontrol legitimasi maka dibuat se inklusif
mungkin. Sehingga perlu memasukkan wakil-2 dari komunitas
kunci. Bahkan tanpa kepakaran sekalipun. Di Thailand dari 99
anggota, 76 diambil dari perwakilan propinsi, dan sisanya dari
kategori “Ahli”. Di Fiji menurut Sauders, dua dari tiga diambil
dari komunitas Asli Fiji & Indo Fiji.
Legitimasi Hulu
 Legitimasi hulu biasanya menjadi titik terlemah sebuah
komisi ahli. Biasanya ditunjuk/dipilih oleh eksekutif atau
legislatif dan tidak langsung oleh rakyat sehingga komisi
semacam ini kurang mendapat legitimasi rakyat. Cara yg baik
adalah dengan menye lenggarakan pemilu untuk membentuk
sebuah badan eksekutif atau legislatif yang legitimate yg bisa
diikuti dengan sebuah prosedur demokratis untuk memilih
anggota-anggota komisi tersebut.
 Model Thailand. Komisi dipilih oleh Majlis Nasional melalui 2
mekanisme: pemilihan dan nominasi univer sitas. Mekaisme
pertama digunakan untuk memilih 76 anggota yg mewakili
propinsi yg dipilih dari 10 kandidat yg lolos dlm pemilihan
tingkat propinsi, sedangkan kedua untuk menyeleksi 23 dari
kalangan ahli yg dipilih Majlis nasional , dari 45 kandidat dg
keahlian Politik, Hukum, & Administrasi Negara masingmasing 15, dan dipilih 8, 8, 7, untuk duduk dlm Majlis
Perancang Konstitusi.
Legitimasi Proses
 Keuanggulan komisi ahli terletak pada “kualitas draft konstitusinya”
dan “penjagaan jarak dari proses politik” (Sauders). Kualitas rancangan
yg baik dihasilkan dari dalamnya pemahaman anggota komisi thd
masalah-2 konstitusi. Kurangnya kemauan berkompromi akan
mengakibatkan deadlock. Banyaknya perbedaan juga akan
mengasilkan terlalu banyak alternatif konstitusi.
 KEPENTINGAN KOMISI AHLI
 Komisi ahli menurut Sauders lebih independen dari pada Lembaga
Perwakilan, karena cenderung jauh dari kepentingan kelompok &
lembaga, sebab bebas dari afiliasi politik. Independensi komisi dari
kepentingan lembaga berkaitan erat dg watak sebuah komisi sebagai
lembaga ad hoc, yg harus membubarkan diri sebelum konstitusi yang
akan diganti/diubah yang melibatkannya dalam pembuatan draft itu
diberlakukan.
 Tentang adanya kepentingan, Edward McWhinney (1981)
mengatakan bahwa, efek berkurangnya kepentingan-2 politik
kelompok dlm komisi hanya ada dlm teori, faktanya pasti ada.
Ini terjadi karena hubungan konstitusi dan politik selalu dekat.
Carl J. Friedrich (1950) menyatakan, penyusunan sebuah
konstitusi adalah sebuah proses yg inheren memang politis
sifatnya, sehingga lembaga tertentu bisa mempengaruhi sebuah
komisi dg cara memilih anggo tanya berdasarkan opini lama
mereka tentang masalah konstitusi.
 Pengalaman Thailand maksimalisasi independensi dilakukan dg
cara mensyaratkan agar semua kandidat yg melamar jadi
anggota Majlis Perancang Konstitusi
Legitimasi Proses
 Keuanggulan komisi ahli terletak pada “kualitas draft konstitusinya”
dan “penjagaan jarak dari proses politik” (Sauders). Kualitas rancangan
yg baik dihasilkan dari dalamnya pemahaman anggota komisi thd
masalah-2 konstitusi. Kurangnya kemauan berkompromi akan
mengakibatkan deadlock. Banyaknya perbedaan juga akan
mengasilkan terlalu banyak alternatif konstitusi.
 KEPENTINGAN KOMISI AHLI
 Komisi ahli menurut Sauders lebih independen dari pada Lembaga
Perwakilan, karena cenderung jauh dari kepentingan kelompok &
lembaga, sebab bebas dari afiliasi politik. Independensi komisi dari
kepentingan lembaga berkaitan erat dg watak sebuah komisi sebagai
lembaga ad hoc, yg harus membubarkan diri sebelum konstitusi yang
akan diganti/diubah yang melibatkannya dalam pembuatan draft itu
diberlakukan.
 Tentang adanya kepentingan, Edward McWhinney (1981)
mengatakan bahwa, efek berkurangnya kepentingan-2 politik
kelompok dlm komisi hanya ada dlm teori, faktanya pasti ada.
Ini terjadi karena hubungan konstitusi dan politik selalu dekat.
Carl J. Friedrich (1950) menyatakan, penyusunan sebuah
konstitusi adalah sebuah proses yg inheren memang politis
sifatnya, sehingga lembaga tertentu bisa mempengaruhi sebuah
komisi dg cara memilih anggo tanya berdasarkan opini lama
mereka tentang masalah konstitusi.
 Pengalaman Thailand maksimalisasi independensi dilakukan dg
cara mensyaratkan agar semua kandidat yg melamar jadi
anggota Majlis Perancang Konstitusi
harus bebas dari afiliasi politik apapun. Kenyataannya syarat tsb
bukanlah jaminan bahwa anggota Majlis ini tidak akan
terpengaruh oleh partai politik, sebab Majlis nasional yg terdiri
dari partai politik pasti akan ikut campur, setidaknya akan
memilih orang-orang yg mau menuliskan konstitusi yg paling
pas dengan kepentingan partai mereka. Menurut Andrew
Harding (Denny Indrayana, 2007:102) proses seleksi ini memang
dpt mengurangi godaan kepentingan politik, terbukti Majlis ini
menerapkan pendekatan “zero tolerance” dalam soal tujuantujuan konstitusi yang mendasar, sehingga Draft yg dihasilkan
bisa tetap berisi sejumlah pembatasan dan pemeriksaan yg
intens thd pemerintah, yg berusaha mempengaruhi politisi di
Majlis Nasional. Sehingga majlis inipun menyetujuinya dengan
rasa enggan.
Legitimasi Hilir
 Draft konstitusi yg dibuat suatu komisi tdk bisa langsung
berlaku, karena harus diserahkan kpd Lembaga pembuat hukum
ttt, apakah legislatif atau referendum rakyat. Berbeda dg yg
dirancang oleh legis layur biasa, maka bsa disahkan sendiri. Jadi
Komisi ini hanya alat bantu dan “kerja utamanya, meneliti,
meng identifikasi persoalan yg ada, dan mendidik masyara kat”.
Maka caranya untukmengatasi masalah legitimasi hilir adalah
memaksimalkan partisipasi masyarakat, sehingga apabila bisa
dikelola dg baik akan menghasilkan sikap penerimaan yg baik
thd draft konstitusi oleh rakyat, maka akan tercipta tekanan
publik thd parlemen untuk menerima draft itu.
 Di Thailand partisipasi publik sangat luas, disamping prosedur
pengesahannya menyebutkan: Parlemen hanya punya
kewenangan untuk menyetujui atau menolak draft. Parlemen
tidak berhak mengamandemen. Jika menolak, sebuah
referendum publik digelar. Nyatanya tidak perlu digelar, hal ini
sebagai hasil keterlibatan publik, dan rakyat merasa “memiliki”
dokumen itu (Kevin Y.L.Tan, 2002:38). Terbukti, yg sebenarnya
parlemen enggan menerima, akhirnya bisa menerima, itu
membuktikan hasil tekanan publik dr pd sikap sukarela.
Prudhisan Jumbala (1998: 265) berpendapat bahwa penolakan
draft akan memicu krisis ekonomi dan politik lebih jauh bahkan
menyeret negara dlm instabilitas. Sedangkan Andrew Harding
(2001:239) menengarai adanya ancaman kudeta militer yang
menghantui persetujuan itu.
 KESIMPULAN: Tentang komisi ahli ini
mengisyaratkan bahwa jika syarat legitimasi hulu
sebuah komisi ahli bisa diatasi, dengan seleksi yang
demokratis, maka legitimasi prosesnya akan
meningkat, dan komisi yang bersangkutan berpeluang
bagus menyelesaikan pekerjaannya dg bebas dr
kepentingan kelompok dan lembaga. Peluang hasil
konstitusi demokratis bertambah apabila prosesnya
melibatkan publik yg luas, sehingga meningkatkan
legitimasi hilir
B.PARLEMEN
BIASA
 1.Prinsip Keluwesan: McWhinney berpendapat memilih
parlemen biasa sebagai lembaga pembuat konstitusi di dasarkan
prinsip keluwesan, berdasar Revolusi Perancis (1981:29). Dengan
catatan, bisa efektif apabila konstitusinya sudah berjalan dan
perubahan itu tdk termasuk merestrukturisasi sistem negara
secara radikal, sehingga tidak perlu majlis konstituante, karena
mag=hal dan banyak waktu. Persoalannya adalah, parlemen
biasa itu tdk bisa fokus karena juga berkewajiban thd tugasnya
sebagai parlemen biasa, sehingga tidak menjadi prioritas dan
bahkan muncul konflik kelembagaan dan diwarnai dg
ketidakluwesan (Denny Indrayana, 2007: 105).
 2.Masalah independensi, merupakan titik terlemah dr
lembaga parlemen biasa, karena tidak mudah mensterilkan
dr kepentingan para anggotanya yg beragam, terutama
kepentingan partai politik, bahkan kepentingan kelompok.
 3. Masalah kepentingan lembaga, juga akan sangat
mempengaruhi. Bgmn bisa obyektif, kalau lembaga yg
membuat akan menempatkan lembaganya sendiri pd
tempat yg lebih rendah dari yang semula, minimal dlm
kewenangannya. Menurut John Elster (1998:380): lembaga
pembuat konstitusi yg juga sbg parlemen biasa akan
menimbulkan 3 implikasi, sebagaimana di Eropa Timur
setelah runtuhnya Uni Sovyet:
 Pertama, Parlemen akan memberikan kekuasaan yg lebih besar
kepada cabang-cabang lebigslatif seraya mengorbankan
eksekutif & yudikatif.
 Kedua, parlemen satu kamar dan dua kamar akan cenderung
membuat masing-2 konstitusi satu kamar dan dua kamar.
Bulgaria, Slovakia, & Hungaria yg parlemen satu kamar
membuat konstitusi satu kamar. Demikian juga Rumania dan
Polandia yg 2 kamar buat 2kamar juga.
 Ketiga, Parlemen sering memberi dirinya kekuasaan yg lebih
besar untuk mengubah konstitusinya. Misalnya, secara
kelembagaan badan ini tidak berkepentingan untuk
merekomendasikan bahwa sejumlah amandemen konstitusi
diserahkan pada referendum
 Pengalaman Afrika Selatan yang membuat draft konstitusi bisa sukses.
Hal ini terjadi karena Parlemen itu bukan lembaga legislatif “biasa”,
karena : 1. Pemilu th 1994 yg demokratis memberi legitimasi hulu yg
kuat bagi legislaturnya. 2. Tanggungjawab khusus legis latur ini sebagai
sebuah Majlis Konstitusi berdasarkan pada Konstitusi Sementara. 3.
Adanya dukungan dr kalangan Ahli. 4. Adanya keterlibatan Mahkamah
Konstitusi dalam mengesahkan draft Konstitusi. 5. Luasnya partisipasi
publik.
 Kesmpulannya: Parlemen punya peluang lebih baik untuk
mendapatkan legitimasi hulu yg kuat dr pd komisi ahli, tetapi
parlemen rentan sifatnya, karena bisa direcoki kepentingan partai
politik dan kepenti ngan parlemen sendiri. Di Afrika Selatan,
kerentanan itu bisa diatasi dg keterlibatan Mahkamah Konstitusi &
partisipasi publik.
PENTINGNYA PARTISIPASI MASYARAKAT
 Commonwealth Human Rights Initiative dalam reko
mendasinya kpd Commonwealth Heads of Govern ment
meeting tahun 1999, menetapkan 11 prinsip pem buatan
konstitusi yang berkaitan dg partisipasi publik:
 1. Legitimasi, 2. Inklusivitas, 3. Masyarakat sipil, 4. Ke terbukaan
& transparansi, 5. Aksesibilitas, 6. Pengkaji an yang
berkesinambungan, 7. Akuntabilitas, 8. Pen tingnya Proses, 9.
Peran partai Politik, 10. Peran Masya rakat Sipil, 11. Peran para
Pakar.
 Aktif & Inklusif: Konsultasi publik harus berbentuk kontribusi
yg aktif & inklusif. Kontribusi aktif terben tuk karena adanya
konsultasi publik, sebelum aspek-2 konstitusi yang baru
ditetapkan secara efektif.
 Untuk menumbuhkan partisipasi publik yg inklusif, diperlukan
strategi untuk mengatasi dominasi kelompok tertentu & untuk
merangsang partisipasi kelompok lain yg bungkam. Tetapi isu-2
penting konstitusi jarang diminati masyarakat luas. Oleh krn itu
sebisa mungkin yang dipahami masyarakat luas & segala jenis
media (TV, Cetak, dan Radio) harus diman faatkan, karena di
masyarakat mungkin berbeda media yg dimanfaatkan.
 Di Afrika Selatan, Surat Kabar, TV, & Radio dg tajuk
Constitutional Talk, disamping satu Hot Line telpon & satu situs
internet. Ribuan rapat umum digelar terbuka di seluruh wilayah.
Pertemuan sektoral dg 200 organisasi mewakili sejumlah
kelompok kepentingan.