DAMPAK TEKNOLOGI, ETIKA & HUKUM MEDIA Kelompok 13 Budhi Melanie Nia Tjiptono Arfan Salahudin Nyoman MS.
Download ReportTranscript DAMPAK TEKNOLOGI, ETIKA & HUKUM MEDIA Kelompok 13 Budhi Melanie Nia Tjiptono Arfan Salahudin Nyoman MS.
DAMPAK TEKNOLOGI, ETIKA & HUKUM MEDIA Kelompok 13 Budhi Melanie Nia Tjiptono Arfan Salahudin Nyoman MS DAMPAK TEKNOLOGI QuickT i me™ and a decom pressor are needed to see this picture. DAMPAK TEKNOLOGI No. Fungsi Media Massa Dampak Positif Dampak Negatif 1. Jendela informasi --> window on event and experience Sarana belajar untuk mengetahui berbagai informasi Terorisme (pembuatan bom), Perang 2. Cermin berbagai peristiwa --> a mirror of event in society and the world, implying a faithful reflection Menginformasikan apa adanya Kekerasan, kejahatan 3. Filter , menyeleksi berbagai informasi gatekeeper Informasi lebih fokus Terbentuk opini 4. Penunjuk --> guide Mengarahkan dan memberikan alternative Mempengaruhi tanpa disadari 5. Mempresentasikan informasi Menyampaikan visi, misi --> propaganda Mengcounter presentasi orang lain--> menjelek2kan 6. Patner komunikasi yang memungkinkan terjadinya komunikasi interaktif Pembangunan karakter bangsa --> mandiri, mengeluarkan pendapat Melupakan normanorma --> menghargai, sopan santun DAMPAK TEKNOLOGI Teknologi Media Massa Dampak Positif Dampak Negatif TV Radio HP Video Game Internet Membantu proses belajar Sarana informasi Sarana komunikasi Meningkatkan kecerdasan Sarana komunikasi Sarana promosi Sarana hiburan Aktualitas Sarana promosi Sarana hiburan Aktualitas Koordinasi Menyimpan data Kreativitas Kemampuan dlm mengambil keputusan Pertukaran data Cakrawala dunia Surveillance (pengawasan) Sarana Interaksi Koordinasi motorik mata dan tangan Kemudahan bertransaksi dan bisnis Perilaku & sikap imitatif Perilaku konsumtif Pendidikan Mengganggu komunikasi (penerbangan, polisi ) Penipuan Kejahatan Adiktif Time consuming Perilaku imitatif Pornografi Kekejaman Penipuan Adiktif Pergeseran nilai & budaya Mempengaruhi opini publik Pergeseran nilai & budaya Mempengaruhi opini publik Perilaku konsumtif Berpeluang mengajarkan judi Kejahatan Perjudian Pornografi Mencari dan memperoleh informasi/data ETIKA MEDIA QuickT i me™ and a decom pressor are needed to see this picture. ETIKA MEDIA Tahun 23-24 Desember 1933 9 Februari 1946 Tahun 1946 Peristiwa Di Surakarta terbentuk PERDI (Persatoean Djoernalis Indonesia). Di Surakarta para tokoh pers mendirikan PWI. Kode etik jurnalistik baru dirumuskan pada konggres PWI di malang Tahun 1950-an Diterapkannya pers liberal berdasarkan UUDS-1950 yang menganut sistem kabinet parlementer 1950-an. Menumbuhkan keadaran perlunya Dewan Kehormatan yang mengawasi dan metapkan sanksi atas pelanggaran kode etik. 1-3 Juni 1952 Konggres ke IV, memutuskan membentuk Dewan Kehormatan PWI (DK-PWI) yang khusus bertugas mengawasi pelaksanaan penataan kode etik jurnalistik. 24 September 1952 Dibentuk DK PWI 1-2 Mei 1954 Diadakan pertemuan dengan para pimpinan redaksi seluruh Indonesia dan para perwakilan cabang PWI. Hasil: catatan sekitar kode etik jurnalistik serta lembaga yang perlu dibentuk, pembentukan panitia AD Hoc yang bertugas menyusun kode etik jurnalistik . 31 November-2 Desember 1955 Konggres VIII PWI di Medan/Prapat naskah yang dihasilkan oleh panitia Ad Hoc dibahas, diterima dan disahkan Tahun 1950-1959 Pers berubah dari sangat bebas dan mengedepankan kepentingan individu menjadi pers yang terlalu mengedepankan kepentingan politik dan kolektif dibawah penerapan demokrasi terpimpin Presiden Soekarno, terutama setelah dekrit 2 Juli 1959 Tahun 1968 Diadakan pemilihan anggota DK-PWI untuk masa bakti 1968-1970. Tahun 1959 Muncul UU Darurat No. 23 tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya dengan sendirinya merupakan senjata ampuh untuk membungkam pers yang mencoba bersuara miring atasa ajaran Demokrasi Terpimpin Presiden Soekarno. Etika Media Kode Etik Dari Waktu ke Waktu 1. KODE ETIK JURNALISTIK (1961) 2. KODE ETHIK JURNALISTIK (1968) 3. KODE ETHIEK JURNALISTIK (1973) 4. KODE ETHIEK JURNALISTIK (1980) 5. KODE ETIK JURNALISTIK (1984) 6. KODE ETIK JURNALISTIK (1990) 7. KODE ETIK JURNALISTIK (1994) 8. KODE ETIK JURNALISTIK (1998) 9. Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) (1999) 10. KODE ETIK JURNALISTIK (2006) 11. Beberapa penyesuaian dan penyempurnaan dari tahun-ketahun terus dilakukan sekalipun tidak pernah bermaksud merombak prinsip-prinsip yang ada. Sifat penyempurnaan tersebut bersifat penegasan, sekaligus mempertajam perumusan sedemikian rupa sehingga mengurangi multi tafsir dalam melaksanakan dan dalam menegakkan ketentuan kode etik. QuickTime™ and a decompressor are needed to see this picture. QuickT i me™ and a decom pressor are needed to see this picture. Tahun Peristiwa Tahun 1916 Pemerintah Jajahan Hindia Belanda mengeluarkan Ordonantie Bioscoop yang tercatat dalam Staadsbad van Nederlands Indie, Nomor 276 tentang Pengawasan Pertunjukan dan Nomor 277 tentang Pengawasan Pertunjukan di Batavia (Jakarta) Semarang dan Surabaya Tahun 1919 Dikeluarkan Ordonansi Film nomor 377 tentang bioskop, dan memperluas Komisi Sensor di setiap daerah yang telah ada bioskopnya dan membentuk sub-sub komisi Tahun 1920 Diubah lagi dengan aturan tentang penghapusan Komisi Sensor Film di 4 kota besar. Tahun 1925 Dikeluarkan Ordonantie Film yang membubarkan Komisi Sensor di daerah, dan membentuk Komisi Sensor Film di Batavia di bawah Binenlands Bestuur atau Departemen Dalam Negeri, yang langsung dapat mengawasi sensor di seluruh daerah jajahan Hindia Belanda Tahun 1926 Ordonansi ini disempurnakan lagi tentang film-film yang boleh dipertunjukkan di bioskop dengan katagori di bawah 17 tahun atau di atas 17 tahun Tahun 1940 Muncul Ordonansi Film Nomor 507 tentang Perubahan dan Penyempurnaan Komisi Film dan Susunan Keanggotaan Komisi Film Tahun 1946 Pemerintah Indonesia menempatkan Badan Sensor Film berada dalam lingkungan Departemen Pertahanan Negara dan bertanggungjawab pada Menteri Penerangan Tahun 1948, Pemerintah kemudian menempatkan Badan Sensor Film dalam lingkungan Departemen Dalam Negeri dengan nomenklatur Panitya Pengawas Film Tahun 1950 Pemerintah Republik Indonesia menempatkan Badan Sensor Film dalam lingkungan Departemen Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan (PPK). Pada masa ini Film import membanjir maka dibentuk Association of Motion Picture of America di Indonesia (AMPAI). Tahun 1960 TAP MPRS 1960 yang menyatakan bahwa film bukan semata-mata barang dagangan melainkan alat pendidikan dan penerangan Tahun 1971-1996. Kebijakan pemerintah menganai film berganti menurut mentri yang menjabat Etika Penyiaran (Radio, Televisi, dan Iklan ) Etika Penyiaran Etika penyiaran untuk radio dan televisi kurang lebihnya sudah tercantum dalam undang-undang mengenai penyiaran. Untuk Radio, lembaga PRSSNI memiliki kode etik tersendiri dimana salah satu isu terkaitnya mengenai pengaturan content, pengaturan frekwensi . Sementara untuk media rekaman kode etik yang terkait adalah mengenai pembajakan dan copyright . Untuk menegakkan martabat, integritas, dan mutu Jurnalis Televisi Indonesia, serta bertumpu kepada kepercayaan masyarakat, dibentuklah Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) yang menetapkan Kode Etik Jurnalis Televisi, yang harus ditaati dan dilaksanakan oleh seluruh jurnalis Televisi Indonesia. QuickTime™ and a decompressor are needed to see this picture. QuickTi me™ and a decom pressor are needed to see this picture. QuickT i me™ and a decom pressor are needed to see this picture. ETIKA PERIKLANAN TATA KRAMA ISI IKLAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. Hak Cipta Bahasa Tanda Asteris (*) Penggunaan Kata "Satu-satunya“ Pemakaian Kata "Gratis“ Pencantum Harga Garansi Janji Pengembalian Uang (warranty) Rasa Takut dan Takhayul Kekerasan Keselamatan Perlindungan Hak-hak Pribadi Hiperbolisasi 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. Waktu Tenggang (elapse time) Penampilan Pangan Penampilan Uang Kesaksian Konsumen (testimony) Anjuran (endorsement) Perbandingan Perbandingan Harga Merendahkan Peniruan Istilah Ilmiah dan Statistik Ketiadaan Produk Ketaktersediaan Hadiah Pornografi dan Pornoaksi Khalayak Anak-anak Kode Etik Konten Multimedia Diatur oleh Menkominfo Disusun untuk menciptakan iklim penyediaan dan pemuatan konten multimedia yang kondusif, kooperatif dan sinergis antara pemerintah, pelaku industri dan masyarakat serta menciptakan masyarakat informasi Indonesia yang berintegritas, kreatif, dan kompetitif. Memiliki fungsi sebagai panduan perilaku industri konten multimedia di Indonesia dan juga sebagai alternatif pengaturan konten multimedia yang strategis, tidak represif serta tidak memberlakukan aktivitas penyensoran konten secara sepihak. Beberapa hal yang ada dalam kode etik ini : A. Pedoman standar konten yang berisi panduan tentang batasan-batasan apa yang diperbolehkan dan/atau yang tidak diperbolehkan dimuat dalam konten di Internet. B. Pedoman Perilaku Pemuatan Konten yang merupakan panduan tentang batasan-batasan apa yang diperbolehkan dan/atau yang tidak diperbolahkan berlangsung dalam proses pemuatan konten multimedia, termasuk konten di Internet. C. Ketentuan khusus mengenai penyelenggara jasa internet (Internet Access Service Provider), penyelenggara jasa hosting konten (Internet Content Hosting Provider), pemuat konten (Internet Content Provider and/or Content Aggregator) serta pembuat konten (Content Developer). D. Kode etik ini juga memuat sanksi yang akan diberikan pada pihak yang melanggar kode etik ini serta bagaimana peran masyarakat dan pemerintah. Adapun organisasi yang mengatur tentang dunia internet di Indonesia adalah : APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia) dibentuk tanggal 15 Mei 1996. HUKUM MEDIA Quic kT ime™ and a dec ompress or are needed to s ee this picture. Beberapa Undang-Undang menyangkut media massa yang pernah ada di Indonesia: Filmordonnantie 1940 Undang-undang Nomor 4 PNPS Tahun 1963 tentang Pengamanan Terhadap Barang-barang Cetakan Undang-undang Nomor 1 PNPS Tahun 1964 tentang Pembinaan Perfilman Undang-undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers Undang-undang Nomor 4 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta Undang-undang Nomor 21 Tahun 1982 tentang Pers Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 tentang Hak Cipta Undang-undang Nomor 3 Tahun 1989 tentang Telekomunikasi Undang-undang Nomor 4 Tahun 1990 tentang Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang Hak Cipta Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik Beberapa pokok pikiran UU NOMOR 32 TAHUN 2002 TENTANG PENYIARAN 1. Penyiaran diarahkan untuk : a. menjunjung tinggi pelaksanaan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. menjaga dan meningkatkan moralitas dan nilai-nilai agama serta jati diri bangsa; c. meningkatkan kualitas sumber daya manusia; d. menjaga dan mempererat persatuan dan kesatuan bangsa; e. meningkatkan kesadaran ketaatan hukum dan disiplin nasional; f. menyalurkan pendapat umum serta mendorong peran aktif masyarakat dalam pembangunan nasional dan daerah serta melestarikan lingkungan hidup; g. mencegah monopoli kepemilikan dan mendukung persaingan yang sehat di bidang penyiaran; h. mendorong peningkatan kemampuan perekonomian rakyat, mewujudkan pemerataan, dan memperkuat daya saing bangsa dalam era globalisasi; i. memberikan informasi yang benar, seimbang, dan bertanggung jawab; j. memajukan kebudayaan nasional. (Pasal 5) 2. Dibentuknya Komisi Penyiaran Indonesia, disingkat KPI sebagai lembaga negara yang bersifat independen mengatur hal-hal mengenai penyiaran terdiri atas KPI Pusat dibentuk di tingkat pusat yang diawasi oleh DPR-RI dan KPI Daerah dibentuk di tingkat provinsi yang diawasi oleh DPRD Provinsi. (Pasal 7 ayat 1, 2, 3, 4) 3. Isi siaran wajib memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada khalayak khusus, yaitu anak-anak dan remaja, dengan menyiarkan mata acara pada waktu yang tepat, dan lembaga penyiaran wajib mencantumkan dan/atau menyebutkan klasifikasi khalayak sesuai dengan isi siaran. (Pasal 36 ayat 3) 4. Dengan berlakunya undang-undang ini, maka Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran dinyatakan tidak berlaku lagi. (Pasal 63) Beberapa pokok pikiran UU NOMOR 36 TAHUN 1999 TENTANG TELEKOMUNIKASI 1. Telekomunikasi diselenggarakan berdasarkan asas manfaat, adil dan merata, kepastian hukum, keamanan, kemitraan, etika, dan kepercayaan pada diri sendiri. (Pasal 2) 2. Dalam penyelenggaraan telekomunikasi dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat di antara penyelenggara telekomunikasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (Pasal 10 ayat 1 dan 2) 3.Penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi wajib menyediakan pelayanan telekomunikasi berdasarkan prinsip : a. perlakuan yang sama dan pelayanan yang sebaik-baiknya bagi semua pengguna; b. peningkatan efisiensi dalam penyelenggaraan telekomunikasi; c. pemenuhan standar pelayanan serta standar penyediaan sarana dan prasarana. (Pasal 17) 4. Penyelenggara jaringan telekomunikasi wajib menjamin kebebasan penggunanya memilih jaringan telekomunikasi lain untuk pemenuhan kebutuhan telekomunikasi. (Pasal 19) 5. Setiap penyelenggara telekomunikasi wajib memberikan prioritas untuk pengiriman, penyaluran, dan penyampaian informasi penting yang menyangkut : a. keamanan negara; b. keselamatan jiwa manusia dan harta benda; c. bencana alam; d. marabahaya; dan atau e. wabah penyakit. 6. Dengan berlakunya Undang-undang in i, Undang-undang Nomor 3 Tahun 1989 tentang Telekomunikasi dinyatakan tidak berlaku. (Pasal 63) Beberapa pokok pikiran UU NOMOR 40 TAHUN 1999 TENTANG PERS 1. Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum. (Pasal 2) 2. Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial. (Pasal 3 ayat 1) 3. Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara. (Pasal 4 ayat 1) 4. Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran. (Pasal 4 ayat 2) 5. Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. (Pasal 4 ayat 3) 6. Pers nasional melaksanakan peranannya sebagai berikut : a. memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui; b. menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta menghormat kebhinekaan; c. mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar; d. melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum; e. memperjuangkan keadilan dan kebenaran; (Pasal 6) 7. Dalam upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional, dibentuk Dewan Pers yang independen. (Pasal 15 ayat 1) 8. Pada saat undang-undang ini mulai berlaku maka Undang-undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers yang telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 21 Tahun 1982 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1967 dinyatakan tidak berlaku lagi. (Pasal 20 ayat 1) Beberapa pokok pikiran UU NO 8 TAHUN 1992 TENTANG PERFILMAN 1. Penyelenggaraan perfilman di Indonesia dilaksanakan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. (Pasal 2) 2. Perfilman di Indonesia diarahkan kepada: a. pelestarian dan pengembangan nilai budaya bangsa; b. pembangunan watak dan kepribadian bangsa serta peningkatan harkat dan martabat manusia; c. pembinaan persatuan dan kesatuan bangsa; d. peningkatan kecerdasan bangsa; e. pengembangan potensi kreatif di bidang perfilman; f. keserasian dan keseimbangan di antara berbagai kegiatan dan jenis usaha perfilman; g. terpeliharanya ketertiban umum dan rasa kesusilaan; h. penyajian hiburan yang sehat sesuai dengan norma-norma kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; dengan tetap berpedoman pada asas usaha bersama dan kekeluargaan, asas adil dan merata, asas perikehidupan dalam keseimbangan, dan asas kepercayaan pada diri sendiri. (Pasal 3) 3. Impor film merupakan pelengkap untuk memenuhi keperluan pertunjukan dan penayangan film di dalam negeri yang jumlahnya harus seimbang dengan peningkatan produksi film Indonesia. (Pasal 21 ayat 1) 4. Film impor isinya harus bermutu baik dan selaras dengan arah dan tujuan penyelenggaraan perfilman serta memperhatikan nilai-nilai keagamaan dan norma-norma yang berlaku di Indonesia. (Pasal 21 ayat 2) 5. Pemerintah dapat menarik suatu film apabila dalam peredaran dan/atau pertunjukan dan/atau penayangannya ternyata menimbulkan gangguan terhadap keamanan, ketertiban, ketenteraman, atau' keselarasan hidup masyarakat. (Pasal 31 ayat 1) 6. Pada saat berlakunya Undang-undang ini, Filmordonnantie 1940 (Staatsblad Tahun 1940 Nomor 507) dan Undang-undang Nomor 1 Pnps Tahun 1964 tentang Pembinaan Perfilman (Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2622) dinyatakan tidak berlaku lagi. (Pasal 46) Beberapa pokok pikiran UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA 1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. (Pasal 2 ayat 1) 2. Pencipta atau Pemegang Hak Cipta atas karya sinematografi dan Program Komputer memiliki hak untuk memberikan izin atau melarang orang lain yang tanpa persetujuannya menyewakan Ciptaan tersebut untuk kepentingan yang bersifat komersial. (Pasal 2 ayat 2) 3. Hak Cipta dianggap sebagai benda bergerak. (Pasal 3 ayat 1) 4. Negara memegang Hak Cipta atas karya peninggalan prasejarah, sejarah, dan benda budaya nasional lainnya. (Pasal 10 ayat 1) 5. Negara memegang Hak Cipta atas folklor dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama, seperti cerita, hikayat, dongeng, legenda, babad, lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian, kaligrafi, dan karya seni lainnya. (pasal 10 ayat 2) 6. Jika suatu Ciptaan telah diterbitkan tetapi tidak diketahui Penciptanya dan/atau Penerbitnya, Negara memegang Hak Cipta atas Ciptaan tersebut untuk kepentingan Penciptanya. (Pasal 11 ayat 3) 7. Dalam Undang-undang ini Ciptaan yang dilindungi adalah Ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, yang mencakup: a. buku, Program Komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain; b. ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan lain yang sejenis dengan itu; c. alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan; d. lagu atau musik dengan atau tanpa teks; e. drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim; f. seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan; g. arsitektur; h. peta; i. seni batik; j. fotografi; k. sinematografi; l. terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan karya lain dari hasil pengalihwujudan. (Pasal 12 ayat 1) 8. Dengan berlakunya Undang-undang ini, Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 dan terakhir diubah dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 dinyatakan tidak berlaku. (Pasal 77) Beberapa pokok pikiran UU NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK 1. Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik dilaksanakan berdasarkan asas kepastian hukum, manfaat, kehati-hatian, iktikad baik, dan kebebasan memilih teknologi atau netral teknologi. (Pasal 3) 2. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah, kecuali: a. surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan b. surat beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta. (Pasal 5) 3. Pelaku usaha yang menawarkan produk melalui Sistem Elektronik harus menyediakan informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen, dan produk yang ditawarkan. (Pasal 9) 4. Setiap pelaku usaha yang menyelenggarakan Transaksi Elektronik dapat disertifikasi oleh lembaga Sertifikasi Keandalan. (Pasal 10 ayat 1) 5. Para pihak yang melakukan Transaksi Elektronik harus menggunakan Sistem Elektronik yang disepakati. (Pasal 19) 6. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang disusun menjadi karya intelektual, situs internet, dan karya intelektual yang ada di dalamnya dilindungi sebagai Hak Kekayaan Intelektual berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. (Pasal 25) Pokok-pokok pikiran UNDANG UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK 1. Setiap Informasi Publik bersifat terbuka dan dapat diakses oleh setiap Pengguna Informasi Publik. (Pasal 2 ayat 1) 2. Setiap Informasi Publik harus dapat diperoleh setiap Pemohon Informasi Publik dengan cepat dan tepat waktu, biaya ringan, dan cara sederhana. (Pasal 2 ayat 3) 3. Informasi Publik yang dikecualikan bersifat rahasia sesuai dengan Undang-Undang, Kepatutan, dan kepentingan umum didasarkan pada pengujian tentang konsekuensi yang timbul apabila suatu informasi diberikan kepada masyarakat serta setelah dipertimbangkan dengan saksama bahwa menutup Informasi Publik dapat melindungi kepentingan yang lebih besar daripada membukanya atau sebaliknya. (Pasal 2 ayat 3) 4. Badan Publik wajib mengumumkan secara sertamerta suatu informasi yang dapat mengancam hajat hidup orang banyak dan ketertiban umum. (Pasal 10 ayat 1) 5. Kewajiban menyebarluaskan Informasi Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan dengan cara yang mudah dijangkau oleh masyarakat dan dalam bahasa yang mudah dipahami. (Pasal 10 ayat 2) 6. Komisi Informasi adalah lembaga mandiri yang berfungsi menjalankan Undang-Undang ini dan peraturan pelaksanaannya menetapkan petunjuk teknis standar layanan Informasi Publik dan menyelesaikan Sengketa Informasi Publik melalui Mediasi dan/atau Ajudikasi nonlitigasi. (Pasal 23) 7. Komisi Informasi bertugas : a. menerima, memeriksa, dan memutus permohonan penyelesaian Sengketa Informasi Publik melalui Mediasi dan/atau Ajudikasi nonlitigasi yang diajukan oleh setiap Pemohon Informasi Publik berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini; b. menetapkan kebijakan umum pelayanan Informasi Publik; dan c. menetapkan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis. (Pasal 26 ayat 1) 8. Komisi Informasi Pusat bertanggung jawab kepada Presiden dan menyampaikan laporan tentang pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenangnya kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. (Pasal 28 ayat 1) LEMBAGA-LEMBAGA HASIL DARI PENETAPAN UNDANG-UNDANG MEDIA & KOMUNIKASI KOMISI PENYIARAN INDONESIA Tugas dan Kewajiban KPI Sesuai dengan UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran pasal 8 ayat (3) KPI mempunyai tugas dan kewajiban : a. menjamin masyarakat untuk memperoleh informasi yang layak dan benar sesuai dengan hak asasi manusia; b. ikut membantu pengaturan infrastruktur bidang penyiaran; c. ikut membangun iklim persaingan yang sehat antarlembaga penyiaran dan industri terkait; d. memelihara tatanan informasi nasional yang adil, merata, dan seimbang; e. menampung, meneliti, dan menindaklanjuti aduan, sanggahan, serta kritik dan apresiasi masyarakat terhadap penyelenggaraan penyiaran; dan f. menyusun perencanaan pengembangan sumber daya manusia yang menjamin profesionalitas di bidang penyiaran. Wewenang KPI Sesuai dengan UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran pasal 8 ayat (2) KPI mempunyai wewenang: a. menetapkan standar program siaran; b. menyusun peraturan dan menetapkan pedoman perilaku penyiaran; c. mengawasi pelaksanaan peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standarprogram siaran; d. memberikan sanksi terhadap pelanggaran peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran; e. melakukan koordinasi dan/atau kerjasama dengan Pemerintah, lembaga penyiaran, dan masyarakat. DEWAN PERS Sejarah 1. Dewan Pers pertama kali dibentuk tahun 1968. 2. Pembentukannya berdasar Undang-Undang No. 11 tahun 1966 tentang KetentuanKetentuan Pokok Pers yang ditandatangani Presiden Soekarno, 12 Desember 1966. 3. Dewan Pers, sesuai Pasal 6 ayat (1) UU No.11/1966, berfungsi mendampingi pemerintah, bersama-sama membina pertumbuhan dan perkembangan pers nasional. 4. Undang-Undang No. 21 Tahun 1982 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers Sebagaimana Telah Diubah dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1967, ditandatangani Presiden Soeharto 20 September 1982 tidak banyak mengubah keberadaan Dewan Pers. 5. Perubahan fundamental pada tahun 1999, melalui Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers yang diundangkan 23 September 1999, ditandatangani oleh Presiden BJ Habibie, Dewan Pers berubah menjadi Dewan Pers (yang) Independen. 6. Pasal 15 ayat (1) UU Pers menyatakan ”Dalam upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional, dibentuk Dewan Pers yang independen”. 7. Fungsi Dewan Pers Independen tidak lagi menjadi penasehat pemerintah tapi pelindung kemerdekaan pers. 8. Hubungan struktural antara Dewan Pers dengan pemerintah diputus, terutama sekali dipertegas dengan pembubaran Departemen Penerangan oleh Presiden Abdurrahman Wahid. Fungsi Dewan Pers Sesuai UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers pasal 15 ayat (2), Dewan Pers melaksanakan fungsi-fungsi sebagai berikut : a.melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain; b.melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers; c.menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik; d.memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers; e.mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah; f.memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan; g.mendata perusahaan pers; DEWAN TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI (TIK) Dewan TIK Nasional (DeTIKNas) adalah Badan Ekstra Struktural yang dipimpin oleh Presiden Indonesia dan beranggotakan 11 menteri, dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden RI No.20 tahun 2006 tertanggal 13 November 2006 dengan masa kerja 3 tahun. Tugas Berdasarkan Keppres No. 20 Tahun 2006, DeTIKNas bertugas: •merumuskan kebijakan umum dan arahan strategis pembangunan nasional melalui pendayagunaan teknologi informasi dan komunikasi •melakukan pengkajian dalam menetapkan langkah-langkah penyelesaian permasalahan strategis yang timbul dalam rangka pengembangan teknologi informasi dan komunikasi •melakukan koordinasi nasional meliputi dengan instansi Pemerintah Pusat/Daerah, Badan Usaha Milik Negara/ BadanUsaha Milik Daerah, dunia usaha, lembaga profesional, dan komunitas teknologi informasi dan komunikasi, serta masyarakat pada umumnya •memberikan persetujuan atas pelaksanaan program teknologi informasi dan komunikasi yang bersifat lintas departemen agar efektif dan efisien Selain itu, DeTIKNas menentukan Program Flagship, yaitu suatu program TIK yang menjadi fokus nasional, yaitu program yang memiliki dampak besar pada pemerintah, masyarakat, internasional, dan least political resistance. Program ini diambil satu dari tiap komponen blueprint TIK. Meskipun demikian, bukan berarti program yang lain tidak berjalan, namun program Flagship ini nantinya akan menjadi dasar dari pengembangan program-program TIK lainnya sehingga lebih terarah dan berdaya guna. DEPARTEMEN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA Tugas : Membantu Presiden dalam menyelenggarakan sebagian urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika. Fungsi : 1. Perumusan kebijakan nasional, kebijakan pelaksanaan, dan kebijakan teknis di bidang komunikasi dan informatika yang meliputi pos, telekomunikasi, penyiaran, teknologi informasi dan komunikasi, layanan multimedia dan diseminasi informasi; 2. Pelaksanaan urusan pemerintahan sesuai dengan bidang tugasnya; 3. Pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggungjawabnya; Pengawasan atas pelaksanaan tugasnya; 4. 5. Penyampaian hasil evaluasi, saran, dan pertimbangan di bidang tugas dan fungsinya kepada Presiden. KESIMPULAN Media Penyiaran terbagi dalam dua peran, yaitu service provider dan content provider. Untuk itu, Undang-Undang Telekomunikasi diperlukan untuk mengatur penyiaran sebagai telecommunication service provider dan Undang-Undang Penyiaran diperlukan untuk menata penyiaran sebagai infrastruktur dan content provider. Sebagai service provider, media penyiaran menggunakan spektrum frekuensi. Keberadaan media penyiaran ditentukan oleh basis material dan basis sosial-kultural masyarakat. Basis material media penyiaran adalah keberadaan jalur gelombang elektromagnetik dan fasilitas perangkat keras transmisi yang pemakaiannya diakui secara legal, sedangkan basis kultural masyarakat adalah orientasi dan fungsi yang direncanakan serta ditetapkan secara legal sebagai landasan beroperasinya media penyiaran di masyarakat. Daftar Pustaka Buku • • • Straubhaar, Joseph, & LaRose, Robert, Media Now, fifth edition, Thomson Wadsworth, 2006. Masduki, Regulasi Penyiaran: Dari Otoriter ke Liberal, Yogyakarta: LkiS, 2007. Mufid, Muhammad, Komunikasi dan Regulasi Penyiaran, Jakarta: Kencana, 2007. • Siregar, R.H. 2005, Setengah Abad Pergulatan Etika Pers, Dewan Kehormatan PWI • Morissan. 2005, Jurnalistik Televisi Mutakhir, Penerbit Ramdina Prakarsa. . Daftar Pustaka Dokumen Resmi • • • • • • • • • Undang-Undang No. 8 tahun 1992 tentang Perfilman (disahkan 30 Maret 1992) Undang-Undang No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (disahkan 5 Maret 1999) Undang-Undang No. 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi (disahkan tanggal 8 September 1999) Undang-Undang No. 40 tahun 1999 tentang Pers (disahkan 23 September 1999) Undang-Undang No. 19 tahun 2002 tentang Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) (disahkan 29 Juli 2002) Undang-Undang No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran (disahkan 28 Desember 2002) Undang-Undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (disahkan 21 April 2008) Undang-Undang No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (disahkan tanggal 30 April 2008) Kode Etik Jurnalistik, Departemen Komunikasi dan Informatika Pusat Pelayanan Informasi, 2006. terimakasih