DAMPAK TEKNOLOGI, ETIKA & HUKUM MEDIA Kelompok 13 Budhi Melanie Nia Tjiptono Arfan Salahudin Nyoman MS.

Download Report

Transcript DAMPAK TEKNOLOGI, ETIKA & HUKUM MEDIA Kelompok 13 Budhi Melanie Nia Tjiptono Arfan Salahudin Nyoman MS.

DAMPAK TEKNOLOGI, ETIKA & HUKUM MEDIA
Kelompok 13
Budhi Melanie
Nia Tjiptono
Arfan Salahudin
Nyoman MS
DAMPAK TEKNOLOGI
QuickT i me™ and a
decom pressor
are needed to see this picture.
DAMPAK TEKNOLOGI
No.
Fungsi Media Massa
Dampak Positif
Dampak Negatif
1.
Jendela informasi --> window on
event and experience
Sarana belajar untuk mengetahui
berbagai informasi
Terorisme (pembuatan
bom), Perang
2.
Cermin berbagai peristiwa --> a
mirror of event in society and the
world, implying a faithful reflection
Menginformasikan apa adanya
Kekerasan, kejahatan
3.
Filter , menyeleksi berbagai
informasi gatekeeper
Informasi lebih fokus
Terbentuk opini
4.
Penunjuk --> guide
Mengarahkan dan memberikan
alternative
Mempengaruhi tanpa
disadari
5.
Mempresentasikan informasi
Menyampaikan visi, misi -->
propaganda
Mengcounter presentasi
orang lain-->
menjelek2kan
6.
Patner komunikasi yang
memungkinkan terjadinya
komunikasi interaktif
Pembangunan karakter bangsa
--> mandiri, mengeluarkan
pendapat
Melupakan normanorma --> menghargai,
sopan santun
DAMPAK TEKNOLOGI
Teknologi
Media
Massa
Dampak
Positif
Dampak
Negatif
TV
Radio
HP
Video Game
Internet
Membantu proses
belajar
Sarana
informasi
Sarana
komunikasi
Meningkatkan
kecerdasan
Sarana
komunikasi
Sarana promosi
Sarana hiburan
Aktualitas
Sarana promosi
Sarana hiburan
Aktualitas
Koordinasi
Menyimpan
data
Kreativitas
Kemampuan dlm
mengambil keputusan
Pertukaran data
Cakrawala dunia
Surveillance
(pengawasan)
Sarana
Interaksi
Koordinasi motorik
mata dan tangan
Kemudahan
bertransaksi dan
bisnis
Perilaku & sikap
imitatif
Perilaku konsumtif
Pendidikan
Mengganggu
komunikasi
(penerbangan,
polisi )
Penipuan
Kejahatan
Adiktif
Time consuming
Perilaku imitatif
Pornografi
Kekejaman
Penipuan
Adiktif
Pergeseran nilai &
budaya
Mempengaruhi
opini publik
Pergeseran nilai
& budaya
Mempengaruhi
opini publik
Perilaku
konsumtif
Berpeluang
mengajarkan judi
Kejahatan
Perjudian
Pornografi
Mencari dan
memperoleh
informasi/data
ETIKA MEDIA
QuickT i me™ and a
decom pressor
are needed to see this picture.
ETIKA MEDIA
Tahun
23-24 Desember 1933
9 Februari 1946
Tahun 1946
Peristiwa
Di Surakarta terbentuk PERDI (Persatoean Djoernalis Indonesia).
Di Surakarta para tokoh pers mendirikan PWI.
Kode etik jurnalistik baru dirumuskan pada konggres PWI di malang
Tahun 1950-an
Diterapkannya pers liberal berdasarkan UUDS-1950 yang menganut sistem kabinet parlementer 1950-an.
Menumbuhkan keadaran perlunya Dewan Kehormatan yang mengawasi dan metapkan sanksi atas
pelanggaran kode etik.
1-3 Juni 1952
Konggres ke IV, memutuskan membentuk Dewan Kehormatan PWI (DK-PWI) yang khusus bertugas
mengawasi pelaksanaan penataan kode etik jurnalistik.
24 September 1952
Dibentuk DK PWI
1-2 Mei 1954
Diadakan pertemuan dengan para pimpinan redaksi seluruh Indonesia dan para perwakilan cabang PWI.
Hasil: catatan sekitar kode etik jurnalistik serta lembaga yang perlu dibentuk, pembentukan panitia AD
Hoc yang bertugas menyusun kode etik jurnalistik .
31 November-2 Desember 1955
Konggres VIII PWI di Medan/Prapat naskah yang dihasilkan oleh panitia Ad Hoc dibahas, diterima dan
disahkan
Tahun 1950-1959
Pers berubah dari sangat bebas dan mengedepankan kepentingan individu menjadi pers yang terlalu
mengedepankan kepentingan politik dan kolektif dibawah penerapan demokrasi terpimpin Presiden
Soekarno, terutama setelah dekrit 2 Juli 1959
Tahun 1968
Diadakan pemilihan anggota DK-PWI untuk masa bakti 1968-1970.
Tahun 1959
Muncul UU Darurat No. 23 tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya dengan sendirinya merupakan senjata
ampuh untuk membungkam pers yang mencoba bersuara miring atasa ajaran Demokrasi Terpimpin
Presiden Soekarno.
Etika Media
Kode Etik Dari Waktu ke Waktu
1.
KODE ETIK JURNALISTIK (1961)
2.
KODE ETHIK JURNALISTIK (1968)
3.
KODE ETHIEK JURNALISTIK (1973)
4.
KODE ETHIEK JURNALISTIK (1980)
5.
KODE ETIK JURNALISTIK (1984)
6.
KODE ETIK JURNALISTIK (1990)
7.
KODE ETIK JURNALISTIK (1994)
8.
KODE ETIK JURNALISTIK (1998)
9.
Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) (1999)
10.
KODE ETIK JURNALISTIK (2006)
11.
Beberapa penyesuaian dan penyempurnaan dari tahun-ketahun terus dilakukan sekalipun tidak pernah
bermaksud merombak prinsip-prinsip yang ada. Sifat penyempurnaan tersebut bersifat penegasan,
sekaligus mempertajam perumusan sedemikian rupa sehingga mengurangi multi tafsir dalam
melaksanakan dan dalam menegakkan ketentuan kode etik.
QuickTime™ and a
decompressor
are needed to see this picture.
QuickT i me™ and a
decom pressor
are needed to see this picture.
Tahun
Peristiwa
Tahun 1916
Pemerintah Jajahan Hindia Belanda mengeluarkan Ordonantie Bioscoop yang tercatat dalam Staadsbad
van Nederlands Indie, Nomor 276 tentang Pengawasan Pertunjukan dan Nomor 277 tentang Pengawasan
Pertunjukan di Batavia (Jakarta) Semarang dan Surabaya
Tahun 1919
Dikeluarkan Ordonansi Film nomor 377 tentang bioskop, dan memperluas Komisi Sensor di setiap daerah
yang telah ada bioskopnya dan membentuk sub-sub komisi
Tahun 1920
Diubah lagi dengan aturan tentang penghapusan Komisi Sensor Film di 4 kota besar.
Tahun 1925
Dikeluarkan Ordonantie Film yang membubarkan Komisi Sensor di daerah, dan membentuk Komisi Sensor
Film di Batavia di bawah Binenlands Bestuur atau Departemen Dalam Negeri, yang langsung dapat
mengawasi sensor di seluruh daerah jajahan Hindia Belanda
Tahun 1926
Ordonansi ini disempurnakan lagi tentang film-film yang boleh dipertunjukkan di bioskop dengan katagori di
bawah 17 tahun atau di atas 17 tahun
Tahun 1940
Muncul Ordonansi Film Nomor 507 tentang Perubahan dan Penyempurnaan Komisi Film dan Susunan
Keanggotaan Komisi Film
Tahun 1946
Pemerintah Indonesia menempatkan Badan Sensor Film berada dalam lingkungan Departemen Pertahanan
Negara dan bertanggungjawab pada Menteri Penerangan
Tahun 1948,
Pemerintah kemudian menempatkan Badan Sensor Film dalam lingkungan Departemen Dalam Negeri
dengan nomenklatur Panitya Pengawas Film
Tahun 1950
Pemerintah Republik Indonesia menempatkan Badan Sensor Film dalam lingkungan Departemen
Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan (PPK). Pada masa ini Film import membanjir maka dibentuk
Association of Motion Picture of America di Indonesia (AMPAI).
Tahun 1960
TAP MPRS 1960 yang menyatakan bahwa film bukan semata-mata barang dagangan melainkan alat
pendidikan dan penerangan
Tahun 1971-1996.
Kebijakan pemerintah menganai film berganti menurut mentri yang menjabat
Etika Penyiaran (Radio, Televisi, dan Iklan )
Etika Penyiaran
Etika penyiaran untuk radio dan televisi kurang lebihnya sudah tercantum dalam undang-undang
mengenai penyiaran.
Untuk Radio, lembaga PRSSNI memiliki kode etik tersendiri dimana salah satu isu terkaitnya
mengenai pengaturan content, pengaturan frekwensi . Sementara untuk media rekaman kode etik
yang terkait adalah mengenai pembajakan dan copyright .
Untuk menegakkan martabat, integritas, dan mutu Jurnalis Televisi Indonesia, serta bertumpu kepada
kepercayaan masyarakat, dibentuklah Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) yang menetapkan
Kode Etik Jurnalis Televisi, yang harus ditaati dan dilaksanakan oleh seluruh jurnalis Televisi
Indonesia.
QuickTime™ and a
decompressor
are needed to see this picture.
QuickTi me™ and a
decom pressor
are needed to see this picture.
QuickT i me™ and a
decom pressor
are needed to see this picture.
ETIKA PERIKLANAN
TATA KRAMA ISI IKLAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
Hak Cipta
Bahasa
Tanda Asteris (*)
Penggunaan Kata "Satu-satunya“
Pemakaian Kata "Gratis“
Pencantum Harga
Garansi
Janji Pengembalian Uang (warranty)
Rasa Takut dan Takhayul
Kekerasan
Keselamatan
Perlindungan Hak-hak Pribadi
Hiperbolisasi
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
Waktu Tenggang (elapse time)
Penampilan Pangan
Penampilan Uang
Kesaksian Konsumen (testimony)
Anjuran (endorsement)
Perbandingan
Perbandingan Harga
Merendahkan
Peniruan
Istilah Ilmiah dan Statistik
Ketiadaan Produk
Ketaktersediaan Hadiah
Pornografi dan Pornoaksi
Khalayak Anak-anak
Kode Etik Konten Multimedia

Diatur oleh Menkominfo

Disusun untuk menciptakan iklim penyediaan dan pemuatan konten multimedia yang kondusif,
kooperatif dan sinergis antara pemerintah, pelaku industri dan masyarakat serta menciptakan
masyarakat informasi Indonesia yang berintegritas, kreatif, dan kompetitif.

Memiliki fungsi sebagai panduan perilaku industri konten multimedia di Indonesia dan juga sebagai
alternatif pengaturan konten multimedia yang strategis, tidak represif serta tidak memberlakukan
aktivitas penyensoran konten secara sepihak.

Beberapa hal yang ada dalam kode etik ini :

A.
Pedoman standar konten yang berisi panduan tentang batasan-batasan apa yang
diperbolehkan dan/atau yang tidak diperbolehkan dimuat dalam konten di Internet.
B.
Pedoman Perilaku Pemuatan Konten yang merupakan panduan tentang batasan-batasan
apa yang diperbolehkan dan/atau yang tidak diperbolahkan berlangsung dalam proses
pemuatan konten multimedia, termasuk konten di Internet.
C.
Ketentuan khusus mengenai penyelenggara jasa internet (Internet Access Service
Provider), penyelenggara jasa hosting konten (Internet Content Hosting Provider), pemuat
konten (Internet Content Provider and/or Content Aggregator) serta pembuat konten
(Content Developer).
D.
Kode etik ini juga memuat sanksi yang akan diberikan pada pihak yang melanggar kode etik
ini serta bagaimana peran masyarakat dan pemerintah.
Adapun organisasi yang mengatur tentang dunia internet di Indonesia adalah : APJII (Asosiasi
Penyelenggara Jasa Internet Indonesia) dibentuk tanggal 15 Mei 1996.
HUKUM MEDIA
Quic kT ime™ and a
dec ompress or
are needed to s ee this picture.
Beberapa Undang-Undang menyangkut media massa yang pernah ada di Indonesia:
 Filmordonnantie 1940
 Undang-undang Nomor 4 PNPS Tahun 1963 tentang Pengamanan Terhadap Barang-barang Cetakan
 Undang-undang Nomor 1 PNPS Tahun 1964 tentang Pembinaan Perfilman
 Undang-undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers
 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers
 Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta
 Undang-undang Nomor 21 Tahun 1982 tentang Pers
 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 tentang Hak Cipta
 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1989 tentang Telekomunikasi
 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1990 tentang Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam
 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman
 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang Hak Cipta
 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran
 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi
 Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers
 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran
 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik
Beberapa pokok pikiran UU NOMOR 32 TAHUN 2002 TENTANG PENYIARAN
1. Penyiaran diarahkan untuk :
a. menjunjung tinggi pelaksanaan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
b. menjaga dan meningkatkan moralitas dan nilai-nilai agama serta jati diri bangsa;
c. meningkatkan kualitas sumber daya manusia;
d. menjaga dan mempererat persatuan dan kesatuan bangsa;
e. meningkatkan kesadaran ketaatan hukum dan disiplin nasional;
f. menyalurkan pendapat umum serta mendorong peran aktif masyarakat dalam pembangunan nasional
dan daerah serta melestarikan lingkungan hidup;
g. mencegah monopoli kepemilikan dan mendukung persaingan yang sehat di bidang penyiaran;
h. mendorong peningkatan kemampuan perekonomian rakyat, mewujudkan pemerataan, dan
memperkuat daya saing bangsa dalam era globalisasi;
i. memberikan informasi yang benar, seimbang, dan bertanggung jawab;
j. memajukan kebudayaan nasional. (Pasal 5)
2. Dibentuknya Komisi Penyiaran Indonesia, disingkat KPI sebagai lembaga negara yang bersifat
independen mengatur hal-hal mengenai penyiaran terdiri atas KPI Pusat dibentuk di tingkat pusat yang
diawasi oleh DPR-RI dan KPI Daerah dibentuk di tingkat provinsi yang diawasi oleh DPRD Provinsi. (Pasal
7 ayat 1, 2, 3, 4)
3. Isi siaran wajib memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada khalayak khusus, yaitu anak-anak
dan remaja, dengan menyiarkan mata acara pada waktu yang tepat, dan lembaga penyiaran wajib
mencantumkan dan/atau menyebutkan klasifikasi khalayak sesuai dengan isi siaran. (Pasal 36 ayat 3)
4. Dengan berlakunya undang-undang ini, maka Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Penyiaran dinyatakan tidak berlaku lagi. (Pasal 63)
Beberapa pokok pikiran UU NOMOR 36 TAHUN 1999 TENTANG
TELEKOMUNIKASI
1. Telekomunikasi diselenggarakan berdasarkan asas manfaat, adil dan merata, kepastian
hukum, keamanan, kemitraan, etika, dan kepercayaan pada diri sendiri. (Pasal 2)
2. Dalam penyelenggaraan telekomunikasi dilarang melakukan kegiatan yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat di antara
penyelenggara telekomunikasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(Pasal 10 ayat 1 dan 2)
3.Penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi wajib
menyediakan pelayanan telekomunikasi berdasarkan prinsip :
a.
perlakuan yang sama dan pelayanan yang sebaik-baiknya bagi semua pengguna;
b.
peningkatan efisiensi dalam penyelenggaraan telekomunikasi;
c.
pemenuhan standar pelayanan serta standar penyediaan sarana dan prasarana.
(Pasal 17)
4. Penyelenggara jaringan telekomunikasi wajib menjamin kebebasan penggunanya memilih
jaringan telekomunikasi lain untuk pemenuhan kebutuhan telekomunikasi. (Pasal 19)
5. Setiap penyelenggara telekomunikasi wajib memberikan prioritas untuk pengiriman,
penyaluran, dan penyampaian informasi penting yang menyangkut :
a.
keamanan negara;
b.
keselamatan jiwa manusia dan harta benda;
c.
bencana alam;
d.
marabahaya; dan atau
e.
wabah penyakit.
6. Dengan berlakunya Undang-undang in i, Undang-undang Nomor 3 Tahun 1989 tentang
Telekomunikasi dinyatakan tidak berlaku. (Pasal 63)
Beberapa pokok pikiran UU NOMOR 40 TAHUN 1999 TENTANG PERS
1. Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip
demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum. (Pasal 2)
2. Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.
(Pasal 3 ayat 1)
3. Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara. (Pasal 4 ayat 1)
4. Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran. (Pasal
4 ayat 2)
5. Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan
menyebarluaskan gagasan dan informasi. (Pasal 4 ayat 3)
6. Pers nasional melaksanakan peranannya sebagai berikut :
a. memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui;
b. menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Asasi
Manusia, serta menghormat kebhinekaan;
c. mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar;
d. melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan
umum;
e. memperjuangkan keadilan dan kebenaran; (Pasal 6)
7. Dalam upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional,
dibentuk Dewan Pers yang independen. (Pasal 15 ayat 1)
8. Pada saat undang-undang ini mulai berlaku maka Undang-undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Pers yang telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 21 Tahun
1982 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1966 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Pers sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun
1967 dinyatakan tidak berlaku lagi. (Pasal 20 ayat 1)
Beberapa pokok pikiran UU NO 8 TAHUN 1992 TENTANG PERFILMAN
1. Penyelenggaraan perfilman di Indonesia dilaksanakan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. (Pasal 2)
2. Perfilman di Indonesia diarahkan kepada:
a. pelestarian dan pengembangan nilai budaya bangsa;
b. pembangunan watak dan kepribadian bangsa serta peningkatan harkat dan martabat manusia;
c. pembinaan persatuan dan kesatuan bangsa;
d. peningkatan kecerdasan bangsa;
e. pengembangan potensi kreatif di bidang perfilman;
f. keserasian dan keseimbangan di antara berbagai kegiatan dan jenis usaha perfilman;
g. terpeliharanya ketertiban umum dan rasa kesusilaan;
h. penyajian hiburan yang sehat sesuai dengan norma-norma kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara; dengan tetap berpedoman pada asas usaha bersama dan kekeluargaan, asas adil dan merata,
asas perikehidupan dalam keseimbangan, dan asas kepercayaan pada diri sendiri. (Pasal 3)
3. Impor film merupakan pelengkap untuk memenuhi keperluan pertunjukan dan penayangan film di dalam negeri yang
jumlahnya harus seimbang dengan peningkatan produksi film Indonesia. (Pasal 21 ayat 1)
4. Film impor isinya harus bermutu baik dan selaras dengan arah dan tujuan penyelenggaraan perfilman serta memperhatikan
nilai-nilai keagamaan dan norma-norma yang berlaku di Indonesia. (Pasal 21 ayat 2)
5. Pemerintah dapat menarik suatu film apabila dalam peredaran dan/atau pertunjukan dan/atau penayangannya ternyata
menimbulkan gangguan terhadap keamanan, ketertiban, ketenteraman, atau' keselarasan hidup masyarakat. (Pasal 31 ayat 1)
6. Pada saat berlakunya Undang-undang ini, Filmordonnantie 1940 (Staatsblad Tahun 1940 Nomor 507) dan Undang-undang
Nomor 1 Pnps Tahun 1964 tentang Pembinaan Perfilman (Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor 11, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 2622) dinyatakan tidak berlaku lagi. (Pasal 46)
Beberapa pokok pikiran UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19
TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA
1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk
mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu
ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku. (Pasal 2 ayat 1)
2. Pencipta atau Pemegang Hak Cipta atas karya sinematografi dan Program Komputer memiliki
hak untuk memberikan izin atau melarang orang lain yang tanpa persetujuannya menyewakan
Ciptaan tersebut untuk kepentingan yang bersifat komersial. (Pasal 2 ayat 2)
3. Hak Cipta dianggap sebagai benda bergerak. (Pasal 3 ayat 1)
4. Negara memegang Hak Cipta atas karya peninggalan prasejarah, sejarah, dan benda budaya
nasional lainnya. (Pasal 10 ayat 1)
5. Negara memegang Hak Cipta atas folklor dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik
bersama, seperti cerita, hikayat, dongeng, legenda, babad, lagu, kerajinan tangan, koreografi,
tarian, kaligrafi, dan karya seni lainnya. (pasal 10 ayat 2)
6. Jika suatu Ciptaan telah diterbitkan tetapi tidak diketahui Penciptanya dan/atau Penerbitnya,
Negara memegang Hak Cipta atas Ciptaan tersebut untuk kepentingan Penciptanya. (Pasal 11
ayat 3)
7. Dalam Undang-undang ini Ciptaan yang dilindungi adalah Ciptaan dalam bidang ilmu
pengetahuan, seni, dan sastra, yang mencakup:
a. buku, Program Komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan, dan semua
hasil karya tulis lain;
b. ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan lain yang sejenis dengan itu;
c. alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan;
d. lagu atau musik dengan atau tanpa teks;
e. drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim;
f. seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat,
seni patung, kolase, dan seni terapan;
g. arsitektur;
h. peta;
i. seni batik;
j. fotografi;
k. sinematografi;
l. terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan karya lain dari hasil pengalihwujudan.
(Pasal 12 ayat 1)
8. Dengan berlakunya Undang-undang ini, Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak
Cipta sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 dan terakhir diubah
dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 dinyatakan tidak berlaku. (Pasal 77)
Beberapa pokok pikiran UU NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI
DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK
1. Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik dilaksanakan berdasarkan asas
kepastian hukum, manfaat, kehati-hatian, iktikad baik, dan kebebasan memilih teknologi atau netral
teknologi. (Pasal 3)
2. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti
hukum yang sah, kecuali:
a. surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan
b. surat beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk akta
notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta. (Pasal 5)
3. Pelaku usaha yang menawarkan produk melalui Sistem Elektronik harus menyediakan informasi
yang
lengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen, dan produk yang ditawarkan.
(Pasal 9)
4. Setiap pelaku usaha yang menyelenggarakan Transaksi Elektronik dapat disertifikasi oleh
lembaga Sertifikasi Keandalan. (Pasal 10 ayat 1)
5. Para pihak yang melakukan Transaksi Elektronik harus menggunakan Sistem Elektronik yang
disepakati. (Pasal 19)
6. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang disusun menjadi karya intelektual, situs
internet, dan karya intelektual yang ada di dalamnya dilindungi sebagai Hak Kekayaan Intelektual
berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. (Pasal 25)
Pokok-pokok pikiran UNDANG UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG
KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK
1. Setiap Informasi Publik bersifat terbuka dan dapat diakses oleh setiap Pengguna Informasi Publik.
(Pasal 2 ayat 1)
2. Setiap Informasi Publik harus dapat diperoleh setiap Pemohon Informasi Publik dengan cepat dan
tepat waktu, biaya ringan, dan cara sederhana. (Pasal 2 ayat 3)
3. Informasi Publik yang dikecualikan bersifat rahasia sesuai dengan Undang-Undang, Kepatutan, dan
kepentingan umum didasarkan pada pengujian tentang konsekuensi yang timbul apabila suatu informasi
diberikan kepada masyarakat serta setelah dipertimbangkan dengan saksama bahwa menutup Informasi
Publik dapat melindungi kepentingan yang lebih besar daripada membukanya atau sebaliknya. (Pasal 2
ayat 3)
4. Badan Publik wajib mengumumkan secara sertamerta suatu informasi yang dapat mengancam hajat
hidup orang banyak dan ketertiban umum. (Pasal 10 ayat 1)
5. Kewajiban menyebarluaskan Informasi Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan
dengan cara yang mudah dijangkau oleh masyarakat dan dalam bahasa yang mudah dipahami. (Pasal 10
ayat 2)
6. Komisi Informasi adalah lembaga mandiri yang berfungsi menjalankan Undang-Undang ini dan
peraturan pelaksanaannya menetapkan petunjuk teknis standar layanan Informasi Publik dan
menyelesaikan Sengketa Informasi Publik melalui Mediasi dan/atau Ajudikasi nonlitigasi. (Pasal 23)
7. Komisi Informasi bertugas :
a. menerima, memeriksa, dan memutus permohonan penyelesaian Sengketa Informasi Publik melalui
Mediasi dan/atau Ajudikasi nonlitigasi yang diajukan oleh setiap Pemohon Informasi Publik berdasarkan
alasan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini;
b. menetapkan kebijakan umum pelayanan Informasi Publik; dan
c. menetapkan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis. (Pasal 26 ayat 1)
8. Komisi Informasi Pusat bertanggung jawab kepada Presiden dan menyampaikan laporan tentang
pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenangnya kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
(Pasal 28 ayat 1)
LEMBAGA-LEMBAGA
HASIL DARI PENETAPAN UNDANG-UNDANG
MEDIA & KOMUNIKASI
KOMISI PENYIARAN INDONESIA
Tugas dan Kewajiban KPI
Sesuai dengan UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran pasal 8 ayat (3) KPI mempunyai tugas dan
kewajiban :
a. menjamin masyarakat untuk memperoleh informasi yang layak dan benar sesuai
dengan hak asasi manusia;
b. ikut membantu pengaturan infrastruktur bidang penyiaran;
c. ikut membangun iklim persaingan yang sehat antarlembaga penyiaran dan industri
terkait;
d. memelihara tatanan informasi nasional yang adil, merata, dan seimbang;
e. menampung, meneliti, dan menindaklanjuti aduan, sanggahan, serta kritik dan
apresiasi masyarakat terhadap penyelenggaraan penyiaran; dan
f. menyusun perencanaan pengembangan sumber daya manusia yang menjamin
profesionalitas di bidang penyiaran.
Wewenang KPI
Sesuai dengan UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran pasal 8 ayat (2) KPI mempunyai wewenang:
a. menetapkan standar program siaran;
b. menyusun peraturan dan menetapkan pedoman perilaku penyiaran;
c. mengawasi pelaksanaan peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta
standarprogram siaran;
d. memberikan sanksi terhadap pelanggaran peraturan dan pedoman perilaku penyiaran
serta standar program siaran;
e. melakukan koordinasi dan/atau kerjasama dengan Pemerintah, lembaga penyiaran,
dan masyarakat.
DEWAN PERS
Sejarah
1.
Dewan Pers pertama kali dibentuk tahun 1968.
2.
Pembentukannya berdasar Undang-Undang No. 11 tahun 1966 tentang KetentuanKetentuan Pokok Pers yang ditandatangani Presiden Soekarno, 12 Desember 1966.
3.
Dewan Pers, sesuai Pasal 6 ayat (1) UU No.11/1966, berfungsi mendampingi pemerintah,
bersama-sama membina pertumbuhan dan perkembangan pers nasional.
4.
Undang-Undang No. 21 Tahun 1982 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11
Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers Sebagaimana Telah Diubah
dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1967, ditandatangani Presiden Soeharto 20
September 1982 tidak banyak mengubah keberadaan Dewan Pers.
5.
Perubahan fundamental pada tahun 1999, melalui Undang-Undang No. 40 Tahun 1999
Tentang Pers yang diundangkan 23 September 1999, ditandatangani oleh Presiden BJ
Habibie, Dewan Pers berubah menjadi Dewan Pers (yang) Independen.
6.
Pasal 15 ayat (1) UU Pers menyatakan ”Dalam upaya mengembangkan kemerdekaan
pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional, dibentuk Dewan Pers yang
independen”.
7.
Fungsi Dewan Pers Independen tidak lagi menjadi penasehat pemerintah tapi pelindung
kemerdekaan pers.
8.
Hubungan struktural antara Dewan Pers dengan pemerintah diputus, terutama sekali
dipertegas dengan pembubaran Departemen Penerangan oleh Presiden Abdurrahman
Wahid.
Fungsi Dewan Pers
Sesuai UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers pasal 15 ayat (2), Dewan Pers
melaksanakan fungsi-fungsi sebagai berikut :
a.melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain;
b.melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers;
c.menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik;
d.memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan
masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers;
e.mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah;
f.memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di
bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan;
g.mendata perusahaan pers;
DEWAN TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI (TIK)
Dewan TIK Nasional (DeTIKNas) adalah Badan Ekstra Struktural yang dipimpin oleh
Presiden Indonesia dan beranggotakan 11 menteri, dibentuk berdasarkan Keputusan
Presiden RI No.20 tahun 2006 tertanggal 13 November 2006 dengan masa kerja 3 tahun.
Tugas
Berdasarkan Keppres No. 20 Tahun 2006, DeTIKNas bertugas:
•merumuskan kebijakan umum dan arahan strategis pembangunan nasional melalui
pendayagunaan teknologi informasi dan komunikasi
•melakukan pengkajian dalam menetapkan langkah-langkah penyelesaian permasalahan
strategis yang timbul dalam rangka pengembangan teknologi informasi dan komunikasi
•melakukan koordinasi nasional meliputi dengan instansi Pemerintah Pusat/Daerah, Badan
Usaha Milik Negara/ BadanUsaha Milik Daerah, dunia usaha, lembaga profesional, dan
komunitas teknologi informasi dan komunikasi, serta masyarakat pada umumnya
•memberikan persetujuan atas pelaksanaan program teknologi informasi dan komunikasi
yang bersifat lintas departemen agar efektif dan efisien
Selain itu, DeTIKNas menentukan Program Flagship, yaitu suatu program TIK yang menjadi
fokus nasional, yaitu program yang memiliki dampak besar pada pemerintah, masyarakat,
internasional, dan least political resistance. Program ini diambil satu dari tiap komponen
blueprint TIK. Meskipun demikian, bukan berarti program yang lain tidak berjalan, namun
program Flagship ini nantinya akan menjadi dasar dari pengembangan program-program
TIK lainnya sehingga lebih terarah dan berdaya guna.
DEPARTEMEN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA
Tugas :
Membantu Presiden dalam menyelenggarakan sebagian urusan
pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika.
Fungsi :
1.
Perumusan kebijakan nasional, kebijakan pelaksanaan, dan
kebijakan teknis di bidang komunikasi dan informatika yang
meliputi pos, telekomunikasi, penyiaran, teknologi informasi
dan komunikasi, layanan multimedia dan diseminasi informasi;
2.
Pelaksanaan urusan pemerintahan sesuai dengan bidang
tugasnya;
3.
Pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi
tanggungjawabnya;
Pengawasan atas pelaksanaan tugasnya;
4.
5.
Penyampaian hasil evaluasi, saran, dan pertimbangan di
bidang tugas dan fungsinya kepada Presiden.
KESIMPULAN
Media Penyiaran terbagi dalam dua peran, yaitu service provider dan content provider.
Untuk itu, Undang-Undang Telekomunikasi diperlukan untuk mengatur penyiaran
sebagai telecommunication service provider dan Undang-Undang Penyiaran
diperlukan untuk menata penyiaran sebagai infrastruktur dan content provider.
Sebagai service provider, media penyiaran menggunakan spektrum frekuensi.
Keberadaan media penyiaran ditentukan oleh basis material dan basis sosial-kultural
masyarakat. Basis material media penyiaran adalah keberadaan jalur gelombang
elektromagnetik dan fasilitas perangkat keras transmisi yang pemakaiannya diakui
secara legal, sedangkan basis kultural masyarakat adalah orientasi dan fungsi yang
direncanakan serta ditetapkan secara legal sebagai landasan beroperasinya media
penyiaran di masyarakat.
Daftar Pustaka
Buku
•
•
•
Straubhaar, Joseph, & LaRose, Robert, Media Now, fifth edition, Thomson Wadsworth,
2006.
Masduki, Regulasi Penyiaran: Dari Otoriter ke Liberal, Yogyakarta: LkiS, 2007.
Mufid, Muhammad, Komunikasi dan Regulasi Penyiaran, Jakarta: Kencana, 2007.
•
Siregar, R.H. 2005, Setengah Abad Pergulatan Etika Pers, Dewan Kehormatan PWI
•
Morissan. 2005, Jurnalistik Televisi Mutakhir, Penerbit Ramdina Prakarsa.
.
Daftar Pustaka
Dokumen Resmi
•
•
•
•
•
•
•
•
•
Undang-Undang No. 8 tahun 1992 tentang Perfilman (disahkan 30 Maret 1992)
Undang-Undang No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat (disahkan 5 Maret 1999)
Undang-Undang No. 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi (disahkan tanggal 8
September 1999)
Undang-Undang No. 40 tahun 1999 tentang Pers (disahkan 23 September 1999)
Undang-Undang No. 19 tahun 2002 tentang Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI)
(disahkan 29 Juli 2002)
Undang-Undang No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran (disahkan 28 Desember 2002)
Undang-Undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
(disahkan 21 April 2008)
Undang-Undang No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik
(disahkan tanggal 30 April 2008)
Kode Etik Jurnalistik, Departemen Komunikasi dan Informatika Pusat Pelayanan
Informasi, 2006.
terimakasih