LOGOSENTRISME

Download Report

Transcript LOGOSENTRISME

1
TITIS RASARI
NIM: 11083021
Sejarah Metafisika Barat
 Sejarah metafisika selalu dipenuhi dengan impian dan
nostalgia akan kebenaran, akan logos yang ilahiyah
dan transenden yang memenuhi benak para filosof
yang berpikir bahwa kebenaran itu berada diluar diri
manusia dan merupakan sesuatu yang obyektif.
 Bagaimana manusia memperoleh kebenaran, itulah
yang dipersoalkan oleh filsafat. Tradisi Platonik
menyatakan
bahwa
kebenaran
transenden
bereksistensi diluar bahasa dan dipahami secara
vertikal, yakni dalam hubunghannya dengan yang
ilahi atau realitas suci. Karena penekanannya pada
aspek spiritual dan adiindrawi, maka Platonisme
memahami
kebenaran
sebagai
kenyataan
ekstralinguistik yang mandiri dari manusia.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
 Inilah bentuk awal logosentrisme yang berabad-abad
kemudian
menjajah
alam pikiran
barat
dan
2S
membentuk suatu sistem metafisik yang berbasis
lid
pada “kehadiran” atau logos. Hegel mengidentikkan
e
logos itu dengan roh absolud, yang dikonsepsikan
2
sebagai kesadaran mengelani dirinya.
 Pengetahuan manusia diibaratkan Hegel sebagai
perjalanan panjang menuju roh absolud, yang
merupakan satu-satunya pengetahuan manusia yang
bentuknya paling sempurna. Manusia memahami
dirinya sebagai subyek dengan melakukan dialektika
dengan
sejarah,
hingga
akhirnya
mencapai
kesempurnaan yang berpuncak pada kesadaran diri
yang menyeluruh.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
3
Wujud logosentrisme Barat
 Narasi “referensi diri” semacam ini sudah
ditolak oleh posmodernisme karena terbukti
sistem
metafisik
yang
demikian
mewariskan filsafat yang totaliter, yang
menotalkan segalanya kedalam suatu
sistem tunggal . Logosentrisme merupakan
“kekerasan metafisik” terhadap yang lain.
 Logosentrisme
serupa
juga
menimpa
filsafat pasca-Hegelian yang mengganti roh
absolud dengan konsep yang diandaikan
sebagai “pusat” atau origin dari segala
sesuatu.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
4
 Alehteia (penyingkapan sang Ada dalam pemikiran
Heidegger), eidos (esensi atau struktur eidetik
kesadaran dalam pemikiran Husserl), phone (tuturan,
wicara,bunyi dalam linguistik Sausurean), arche,
telos, energia (dalam konsepsi Aristotelian), Tuhan,
diri,
manusia,
transendentalitas,
kesadaran
(consciousness) kesadaran-diri (conscience) – semua
ini adalah berbagai wujud dari logosentrisme dalam
metafisika barat. Akar dari kecenderungan totalisasi
dalam filsafat dapat dapat ditelusuri dari dominannya
cara berpikir logosentrisme dalam melihat kebenaran.
 Pertama-tama filsafat biasa mereduksi berbagai
persoalan kedalam satu rumusan universal yang
terima secara apriori.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
5
Sl
id
e
5
 Ketika sebuah prinsi atau aksioma filosofis ditetapkan,
maka
kebenarannya
dianggap
berlaku
secara
universal. Keyakinan pada adanya rasionalitas dalam
pemikiran Descartes, atau pengetahuan tunggal yang
merupakan puncak tertinggi dari kesadaran historis
manausia pada Hegel, mencerminkan hasrat filsafat
untuk menguniversalkan segala bentuk partikularitas.
Yang universal selanjutnya dipercayai sebagai
kebenaran obyektif. Obyektivitasnya tidak terkait
dengan subyektivitas individu maupun berbagai
perubahan yang terjadi dalam sejarah. Kebenarannya
terbebas dari kontingensi karena sifatnya yang
absolut dan transenden diluar pengalaman yang
partikular.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
6
Penyeragaman dan Penunggalan
 Filsafat kemudian menciptakan kategori-kategori atas
berbagai fenomena, mencari kesatuan makna dari
berbagai hal yang beragam (craving for genarality),
dan melakukan penunggalan atas kemajemukan
(craving for unity). Segala hal yang berbeda dari
kategori tersebut direduksi
dan dicari titik-titik
6
kesamaannya sehingga bisa dihasilkan sebuah
metonimi yang padu dan baku. Dengan melakukan
hal ini, filsafat sebenarnya telah mereduksi the other
dalam economy of the same dan menyeragamkan
perbedaan ke dalam suatu sistem homogin.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
7
Pandangan Jaqcues Derrida
 Bahwa kategori yang disusun filsafat berada dalam
lingkup bahasa yang memuat berbagai struktur
penandaan. Jika filsafat ingin menyusun rumusan
universal, maka sebenarnya tak bisa mengelak dari
perbedaan-perbedaan yang dibentuk oleh struktur
tanda yang implisit dalam bahasa.
 Maka, usaha untuk membuat satu sistem pemikiran
yang koheren akan selalu terbentur dengan aspek
differensial bahasa. Hal ini menunjukkan bahwa
perbedaan adalah “kodrat” dari setiap ketegori atau
sistem pemikiran apapun; terbentuknya berbagai
macam kategori dalam filsafat juga diakibatkan oleh
perbedaan-perbedaan yang melekat dalam bahasa.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
8Sl
ide
8



Dalam kehidupan sehari-hari perbedaan tidak selalu
mengisyaratkan hierarki (misal, warna hitam lebih unggul
daripada putih) atau oposisi (hitam meniadakan putih),
karena salalu ada ketegori ketiga yang memungkinkan
kedua ketegori tersebut tetap seperti sediakala.
Sayang
filsafat
terlanjur
melupakan
kemungkinankemungkinan semacam ini. Metafisika telah membebani
filsafat untuk merengkuh kebenaran dalam totalitasnya
dengan menepikan perbedaan-perbedaan yang implisit
dalam totalitas itu. Pada hal totalitas tanpa perbedaan
hanyalah ilusi.
Kebenaran tidak bisa ditemukan diluar sistem defferensial
yang membentuk bahasa; kebenaran tidak tampil dalam
ruang hampa, melainkan terrajut dari relasi-relasi yang
rumit yang sambung menyambung dalam tubuh bahasa.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
9
T
h
e
F
at
h
er
of
L
o
g
o
s
The Father of Logos
 Dalam sejarah pengetahuan manusia , tulisan
barangkali bisa dianggap sebagai institusi yang
diperlawankan secara diametris dengan logos.Tulisan
adalah metafor tentang intertekstualitas, tentang
kebenaran –dalam- proses yang jalin menjalin dan
bertaut dengan “yang lain”, yang beda. Sementara ,
logos melambangkan penunggalan atas yang beda
dan yang jamak kedalam satu sistem kebenaran yang
dipandang sebagai arkhe (archia), sumber, asal-usul,
dan telos dari hidup – kebenaran metafisik yang
mengandalkan pusat yang tak goyah dan berdiri
menjulang di seberang sana. Ketakutan akan
keberadaan tulisan adalah ketakutan akan kebenaran
yang tak lagi stabil; kebenaran yang menyebar dan
tak tertaklukkan oleh kekuasaan logos.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
10
 Ketakutan itu mengeras dalam bentuk
menolak
segala
bentuk
ikhtiar
menghadirkan kebenaran –sebagai- proses,
melainkan juga upaya mengontrol kembali
kendali kebenaran yang lepas (dari
kebenaran
tunggal)
akibat
menerima
keberagaman
atau
perbedaan
dalam
kebenaran. Derrida menyebutnya sebagai
differance yang mengatasi oposisi biner
antara kejahatan versus kebaikan, absensi
versus kehadiran dalam dunia teks.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10