Draft Laporan Alternatif Kovenan Internasional Hak Sipil dan

Download Report

Transcript Draft Laporan Alternatif Kovenan Internasional Hak Sipil dan

Draft Laporan Alternatif Kovenan Internasional
Hak Sipil dan Hak Politik (Pasal 10)
PRAKTEK-PRAKTEK PENANGANAN ANAK
BERKONFLIK DENGAN HUKUM DALAM
KERANGKA SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK
(JUVENILE JUSTICE SYSTEM) DI INDONESIA :
PERSPEKTIF HAK SIPIL DAN HAK POLITIK
Latar Belakang :





Lebih dari 4.000 anak Indonesia diajukan ke pengadilan setiap
tahunnya atas kejahatan ringan seperti pencurian
Sembilan dari sepuluh anak ini akhirnya dijebloskan ke penjara
atau rumah tahanan
Sepanjang tahun 2000, tercatat dalam statistik kriminal
kepolisian terdapat lebih dari 11.344 anak yang disangka
sebagai pelaku tindak pidana.
Pada bulan Januari hingga Mei 2002, ditemukan 4.325 tahanan
anak di rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan di seluruh
Indonesia
Sebagian besar (84.2%) anak-anak ini berada di dalam
lembaga penahanan dan pemenjaraan untuk orang-orang
dewasa dan pemuda. Jumlah anak-anak yang ditahan tersebut,
tidak termasuk anak-anak yang ditahan dalam kantor polisi
(Polsek, Polres, Polda dan Mabes).

Pada rentang waktu yang sama, yaitu Januari hingga Mei 2002,
tercatat 9.465 anak-anak yang berstatus sebagai Anak Didik
(Anak Sipil, Anak Negara dan Anak Pidana) tersebar di seluruh
rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan. Sebagian besar,
yaitu 53.3%, berada di rumah tahanan dan lembaga
pemasyarakatan untuk orang dewasa dan pemuda.
Kerangka Berpikir




Anak-anak dalam kondisi demikian disebut dengan anak yang
berkonflik dengan hukum (children in conflict with the law).
Anak yang berkonflik dengan hukum dapat didefinisikan anak
yang disangka, dituduh atau diakui sebagai telah melanggar
undang-undang hukum pidana (Pasal 40 ayat (1) KHA)
Beijing Rules mendefisinikannya sebagai berikut seorang
anak atau orang muda yang diduga telah melakukan atau yang
telah ditemukan telah melakukan suatu pelanggaran hukum.
(Peraturan Minimun Standar PBB, disahkan melalui Resolusi
Majelis PBB No. 40/33 Tanggal 29 November 1985)
Dalam perspektif KHA anak yang berkonflik dengan hukum
dikategorikan sebagai anak dalam situasi khusus (children in
need of special protection/CNSP), UNICEF menyebut anak
dalam kelompok ini sebagai children in especially difficult
circumstances’ (CEDC)


Kovenan Internasional Hak Sipil dan Hak Politik, sebagai
instrument Hukum Hak Asasi Manusia Internasional, mengatur
persoalan pencabutan kebebasan dalam pasal-pasal : Pasal 9,
Pasal 10, Pasal 14, dan Pasal 15.
Kewajiban-kewajiban tersebut di atas, nampak dalam praktik
negara melalui aparatusnya dalam mewujudkan padunya sistem
peradilan pidana (integrated criminal justice system )

Sistem Peradilan Pidana Anak (Juvenile Justice System) adalah
segala unsur sistem peradilan pidana yang terkait di dalam
penanganan kasus-kasus kenakalan anak. Pertama, polisi
sebagai institusi formal ketika anak nakal pertama kali
bersentuhan dengan sistem peradilan, yang juga akan
menentukan apakah anak akan dibebaskan atau diproses lebih
lanjut. Kedua, jaksa dan lembaga pembebasan bersyarat yang
juga akan menentukan apakah anak akan dibebaskan atau
diproses ke pengadilan anak. Ketiga, Pengadilan Anak, tahapan
ketika anak akan ditempatkan dalam pilihan-pilihan, mulai dari
dibebaskan sampai dimasukkan dalam institusi penghukuman.
Yang terakhir, institusi penghukuman.
Kerangka Yuridis

Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik
Pasal 9
(1) Setiap orang berhak atas kebebasan dan keamanan pribadi. Tidak seorang pun dapat
ditangkap atau ditahan secara sewenang-wenang. Tidak seorang pun dapat dirampas
kebebasannya kecuali berdasarkan alasan-alasan yang sah, sesuai dengan prosedur
yang ditetapkan oleh hukum.
(2) Setiap orang yang ditangkap wajib diberitahu pada saat penangkapannya dan harus
sesegera mungkin diberitahu mengenai tuduhan yang dikenakan terhadapnya
(3) Setiap orang yang ditahan atau ditahan berdasarkan tuduhan pidana, wajib segera
dihadapkan ke depan pengadilan atau pejabat lain yang diberi kewenangan oleh
hukum untuk menjalankan kekuasaan peradilan, dan berhak untuk diadili dalam
jangka waktu yang wajar, atau dibebaskan. Bukan merupakan suatu ketentuan umum,
bahwa orang yang menunggu diadili harus ditahan, tetapi pembebasan dapat
diberikan atas dasar jaminan untuk hadir pada waktu sidang, pada setiap tahap
pengadilan dan pada pelaksanaan putusan, apabila diputuskan demikian.
(4) Siapapun yang dirampas kebebasannya dengan cara penangkapan atau penahanan,
berhak untuk disidangkan di depan pengadilan, yang bertujuan agar pengadilan tanpa
menunda-nunda dapat menentukan keabsahan penangkapannya, dan memerintahkan
pembebasannya apabila penahanan tidak sah menurut hukum.
(5) Setiap orang yang telah menjadi korban penangkapan atau penahanan yang tidak sah,
berhak untuk mendapat ganti kerugoan yang harus dilaksanakan.
Pasal 10
(1) Setiap orang yang dirampas kebebasannya wajib diperlakukan
secara manusiawi dan dengan menghormati martabat yang
melekat pada diri manusia.
(2) Tersangka, kecuali dalam keadaan-keadaan yang sangat khusus,
harus dipisahkan dari orang yang telah dipidana, dan
diperlakukan secara berbeda sesuai dengan statusnya sebagai
orang yang belum dipidana;
(3) Terdakwa di bawah umur harus dipisahkan dari orang dewasa
dan secepat mungkin segera dihadapkan ke sidang pengadilan.
(4) Sistem pemasyarakatan harus memiliki tujuan utama
memperbaiki dan melakukan rehabilitasi dalam memperlakukan
narapidana. Terpidana di bawah umur harus dipisahkan dari orang
dewasa dan diperlakukan sesuai dengan usia dan status hukum
mereka.
Pasal 14
(1) Semua orang mempunyai kedudukan yang sama di hadapan pengadilan
dan badan peradilan. Dalam menentukan tuduhan pidana terhadapnya, atau
dalam menentukan segala hak dan kewajibannya dalam suatu gugatan,
setiap orang berhak atas pemeriksaan yang adil da terbuka untuk umum,
oleh suatu badan peradilan yang berwenang, bebas dan tidak berpihak dan
dibentuk menurut hukum. Media dan masyarakat dapat dilarang untuk
mengikuti seluruh atau sebagian sidang karena alasan moral , ketertiban
umum atau keamanan nasional dalam suatu masyarakat yang demokratis
atau apabila benar-benar diperlukan menurut pendapat pengadilan dalam
keadaan khusus, dimana publikasi justru akan merugikan kepentingan
keadilan sendiri; namun setiap keputusan yang diambil dalam perkara
pidana maupun perdata harus diucapkan dalam sidang yang terbuka,
kecuali bilamana kepentingan anak-anak menentukan sebaliknya, atau
apabila persidangan tersebut berkenaan dengan perselisihan perkawinan
atau perwalian anak-anak.
(2) Setiap orang yang dituduh melakukan kejahatan berhak dianggap tidak
bersalah sampai kesalahannya dibuktikan menurut hukum.
(3) Dalam menentukan tindak pidana yang dituduhkan padanya, setiap orang
berhak atas jaminan-jaminan minimal berikut ini, dalam persamaan yang
penuh:
a)
b)
c)
d)
e)
f)
g)
Untuk diberitahukan secepatnya dan secara rinci dalam bahasa yang dapat
dimengertinya, tentang sifat dan alasan tuduhan yang dikenakan terhadapnya;
Untuk diberi waktu dan fasilitas yang memadai untuk mempersiapkan pembelaan
dan berhubungan dengan pengacara yang dipilihnya sendiri
Untuk diadili tanpa penundaan yang tidak semestinya;
Untuk diadili dengan kehadirannya, dan untuk membela diri secara langsung atau
melalui pembela yang dipilihnya sendiri, untuk diberitahukan tentang hak ini bila ia
tidak mempunyai pembela; dan untuk mendapatkan bantuan hukum demi kepentigan
keadilan, dan tanpa membayar jika ia tidak memiliki dana yang cukup untuk
membayarnya;
Untuk memeriksa atau meminta diperiksanya saksi-saksi yang memberatkannya
dan meminta dihadirkan dan diperiksanya saksi-saksi yang meringankannya,
dengan syarat-syarat yang sama dengan saksi-saksi yang memberatkannya
Untuk mendapatkan bantuan cuma-cuma dari penerjemah apabila ia tidak mengerti
atau tidak dapat berbicara dalam bahasa yang digunakan di pengadilan;
Untuk tidak dipaksa memberikan kesaksian yang memberatkan dirinya, atau
dipaksa mengaku bersalah.
(4) Dalam kasus orang di bawah umur, prosedur yang dipakai harus
mempertimbangkan usia mereka dan keinginan untuk meningkatkan rehabilitasi
bagi mereka.
(5) Setiap orang yang dijatuhi hukuman berhak atas peninjauan kembali terhadap
keputusannya atau hukumannya oleh pengadilan yang lebih tinggi, sesuai
dengan hukum.
(6) Apabila seseorang telah dijatuhi hukuman dengan keputusan hukum yang telah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dan apabila kemudian ternyata
diputuskan sebaliknya atau diampuni berdasarkan suatu fakta baru, atau fakta
yang baru saja ditemukan menunjukkan secara meyakinkan bahwa telah terjadi
kesalahan dalam penegakan keadilan. Maka orang yang telah menderita
hukuman sebagai akibat dari keputusan tersebut harus diberi ganti rugi
menurut hukum, kecuali jika dibuktikan bahwa tidak terungkapnya fakta yang
tidak diketahui itu, sepenuhnya atau untuk sebagian disebabkan karena dirinya
sendiri
(7) Tidak seorang pun dapat diadili atau dihukum kembali untuk tindak pidana
yang pernah dilakukan, untuk mana ia telah dihukum atau dibebaskan, sesuai
dengan hukum dan hukum acara pidana di masing-masing negara.
Pasal 15 :
(1)
(2)
Tidak seorang pun dapat dinyatakan bersalah atas suatu tindak pidana
karena melakukan atau tidak melakukan tindakan yang bukan merupakan
tindak pidana pada saat dilakukannya, baik berdasarkan hukum nasional
maupun internasional. Tidak pula diperbolehkan untuk menjatuhkan
hukuman yang lebih berat daripada hukuman yang berlaku pada saat tindak
pidana tersebut dilakukan. Apabila setelah dilakukannya suatu tindak pidana
muncul ketentuan yang lebih ringan hukumannya, maka pelaku harus
mendapatkan keuntungan dari ketentuan tersebut.
Tidak ada satu hal pun dalam Pasal ini yang dapat merugikan persidangan
dan penghukuman terhadap seseorang atas tindakan yang dilakukan atau
yang tidak dilakukan, yang pada saat hal itu terjadi masih merupakan suatu
kejahatan menurut asas-asas hukum yang diakui oleh masyarakat bangsabangsa.
Case Study Pasal 9
Anak yang melakukan tindak pidana selalu diproses melalui jalur peradilan pidana,
tindak kekerasan dan penganiayaan menjadi metode untuk mendapatkan
pengakuan
Dampaknya :
 95% anak yang berkonflik dengan hukum dikenakan penahanan dan 100%
vonis hakim berupa pidana penjara,
 4.000 orang anak yang dikirim ke pengadilan, 90% diputus untuk ditahan dan
88% di antara mereka dipenjara selama lebih kurang 12 bulan, anak dipaksa
mengaku, anak diperiksa di kepolisian siang dan malam, pernyataan dan
pertanyaan aparat dalam pemeriksaan memojokkan anak, adanya kekerasan
fisik dan emosional selama proses pemeriksaan.
 Sebanyak 73% dikirim ke penjara untuk pelanggaran kecil atau kenakalan
anak-anak, sedangkan 42% pelanggaran anak diputus untuk ditahan,
Kasus :
 Proses
Hukum Bocah Pencuri Mie Instan
Peradilan terhadap anak-anak seperti dialami Raju di Sumatera Utara yang sempat
menjadi sorotan, ternyata dialami pula oleh empat bocah siswa SD dan SMP di
Kagungan-Kota Agung, Kabupaten Tanggamus (Lampung).
Keempat bocah itu, Sh (8) kelas 2 SDN 1 Kagungan, DE (13) kelas 2 SMPN 2 Kota
Agung Timur, Ad (11) kelas 5 SD 1 Kagungan, dan He (12) kelas 6 SDN 1
Kagungan didakwa mencuri empat bungkus mie instan, perkaranya mulai
disidangkan di Pengadilan Negeri (PN) Kota Agung Rabu (15/3) lalu.
Para bocah yang menjadi terdakwa tersebut, dituduh mencuri mie instan saat
bermain di sekitar tambak udang di Pekon Kagungan, Kecamatan Kota Agung
Timur, Minggu (15/12--2005) sekitar Pkl. 10:00 WIB. Sekawanan bocah itu
mengambil empat bungkus mie yang harganya per bungkus Rp 500.
Namun ulah mereka diketahui salah satu penjaga tambak di sana dan ditangkap
serta sempat terkena pukulan di paha maupun tangan mereka. Kendati tidak
ditahan, kasus itu ternyata diadukan oleh perusahaan tambak tersebut ke
Polsek Kota Agung yang kemudian memproses mereka hingga ke pengadilan.
Anak-anak di bawah 13 tahun itu diancam Pasal 363 KUHP berupa pencurian
dengan pemberatan. Persidangan ke-4 anak itu masih akan dilanjutkan.
Case Study Pasal 10
Dipenjara/ditahan bersama dengan orang dewasa
Dampaknya :
Anak mendapatkan kekerasan baik fisik maupun seksual yang dilakukan
oleh penghuni dewasa
Kasus 1 :
Danang dan tiga rekannya dibawa ke polsek setempat di wilayah
Kebayoran Baru. Siksaan pertama diterima Danang di kantor polisi
ketika penyidik dan oknum polisi memukuli dan menendangi mereka.
Pukulan kembali mereka terima ketika masuk ke sel tahanan, yang
mayoritas diisi laki-laki dewasa.
Case Study Pasal 14
Anak tidak didampingi oleh penasihat hukum selama menjalani proses
peradilan pidana
Dampaknya :
•
Anak mendapatkan kekerasan dan penyiksaan dari aparat kepolisian
untuk mendapatkan pengakuan
•
Anak bisa diancam hukuman pidana yang sama dengan orang dewasa
Kasus :
Pada tahun 1995, seorang bocah di Lumajang dijerat pasal dengan ancaman
hukuman mati. Kini urusan hidup-mati Ma'ruf -bukan nama sebenarnya - yang
masih berusia 14 tahun, sepenuhnya berada ditangan majelis hakim. Sebab,
Jaksa Imam Sudarmadji menuduh Ma'ruf telah melakukan pembunuhan
berencana terhadap Buyar, teman sekampungnya. Artinya, anak ke empat
pasangan Sariman-Sarmi ini diancam hukuman mati atau pidana penjara
seumur hidup. Untuk perbuatan itu, ancaman hukuman paling ringan adalah
penjara 20 tahun.
Kasus 2 :
Dari hasil monitoring Lembaga Advokasi Hak Anak (Laha) terhadap 44
anak yang berada di rumah tahanan (rutan) pada tahun 2004, 66
persen di antaranya mendapatkan kekerasan fisik selama proses
hukum tersebut. Bentuk kekerasan yang mereka alami bervariasi,
mulai dari disiram, dipukul, digencet, dan lainnya
Case Study Pasal 15
Penggunaan legal term “anak nakal” dan pendefinisian “anak nakal”
dalam UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak berpotensi
melanggar prinsip legalitas karena anak nakal didefnisikan melanggar
ketentuan adat/kebiasaan masyarakat setempat
Dampak :
Memperluas interpretasi dan diskresi pihak kepolisian dalam menafsirkan
“anak nakal”
Pelanggaran KHA dalam Melaksanakan
Peradilan Pidana Anak

Ketidaksesuaian substansi instrumen hukum nasional dengan
substansi instrumen hukum internasional
1.
KUHP dan instrumen hukum lain yang mengatur ketentuan pidana
Penggunaan kalimat barang siapa, legal term ini menunjuk semua orang
pada umumnya termasuk di dalamnya anak-anak. Padahal jika merujuk
pada instrumen Hukum Hak Asasi Internasional, legal term yang digunakan
menyebutkan “anak” atau “seseorang/tersangka/terpidana di bawah umur”.
KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana)
Belum mengatur secara khusus hukum acara untuk menangani perkara
anak, malah UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak merujuk
pada KUHAP untuk memroses anak yang melakukan tindak pidana
UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
- Batas penetapan usia pertanggungjawaban pidana yang terlalu rendah
- Penggunaan legal term “anak nakal”
- Mind set pendekatan pemidanaan bukan restorative justice
2.
3.
4. UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI
- Tidak diberikannya kewenangan secara khusus untuk mengambil langkah
diskresi dalam menangani masalah anak
- Tidak diatur secara khusus polisi yang mempunyai keahlian khusus dalam
menangani perkara anak
5. UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI
- Tidak ada landasam yuridis untuk mengesampingkan perkara anak
6. UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
- Hakim tidak diberikan kewenangan secara eksplisit untuk memutuskan
penyelesaian perkara anak dengan sistem penanganan restorative justice
7. UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan
- Kepala LAPAS berwenang memberikan tindakan disiplin atau menjatuhkan
hukuman disiplin terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan yang melanggar
peraturan keamanan dan ketertiban di lingkungan LAPAS yang dipimpinnya
Praktek-Praktek Peradilan Pidana Anak
1. Institusi Kepolisian :
 Dari beberapa kasus yang terjadi, metode kekerasan dan penganiayaan
yang dilakukan oleh aparat kepolisian terjadi saat penangkapan,
interograsi (memeriksa) dalam proses penyusunan Berita Acara
Pemeriksaan, dan pada saat ditahan di kantor kepolisian
 Kekerasan dan penganiayaan dijadikan metode untuk mendapatkan
pengakuan
 Tidak ada ruangan khusus tahanan anak
2. Institusi Kejaksaan :
 Kekerasan yang dilakukan oleh jaksa memang bukan tindak kekerasan
langsung, melainkan kekerasan struktural. Kekerasan ini bersumber dari
keengganan jaksa untuk menggunakan kewenangannya untuk
mengabaikan perkara anak.
3. Institusi Kehakiman :
 Putusan hakim dalam menangani perkara dapat dikatakan telah
memraktekkan kekerasan yang dilakukan oleh negara karena seringkali
anak harus menjalani hukuman penjara. Padahal hakim mempunyai
kewenangan untuk menghentukan perkara.
4. Institusi Penahanan dan Pemasyarakatan





Kekerasan struktural :
Over capacity
Terbatasnya jumlah Lapas Anak
Tidak ada ruang tahanan khusus untuk anak
Kekerasan Langsung
Kekerasan horisontal : penghuni baru vs penghuni lama
Kekerasan vertikal : tindak kekerasan
Analisis Praktek-Praktek Peradilan
Pidana Anak Berbasis KHA
Rujukan Yuridis :
1.
2.
KHA : Pasal 3, Pasal 37, Pasal 39, dan Pasal 40
Peraturan-Peraturan Minimum Standar Perserikatan BangsaBangsa Mengenai Administrasi Peradilan bagi Anak (United Nations
Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice
(The Beijing Rules)) Adopted by General Assembly resolution
3.
40/33 of 29 November 1985
Pedoman Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam Rangka Pencegahan
Tindak Pidana Remaja (United Nations Guidelines for the
Prevention of Juvenile Delinquency (The Riyadh Guidelines))
4.
Adopted and proclaimed by General Assembly resolution 45/112 of
14 December 1990
Peraturan-Peraturan PBB bagi Perlindungan Anak yang Kehilangan
Kebebasannya (United Nations Rules for the Protection of
Juveniles Deprived of their Liberty) Adopted by General
Assembly resolution 45/113 of 14 December 1990
Rujukan Yuridis Terkait :
- Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading
Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan
Perlakuan atau Penghukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi atau
Merendahkan Manusia)
Penutup
Kekerasan oleh negara terhadap anak yang menghadapi sistem
peradilan pidana anak berdasarkan paparan di atas. tidak
terlepas dari berbagai faktor berikut
Tidak jelasnya arah politik hukum Pemerintah RI dalam mengimplementasikan
ketentuan hukum hak asasi internasional yang telah diratifikasi. Ketidakjelasan
ini diterjemahkan dalam produk hukum yang secara substansif malah
bertentangan dengan sumber rujukan yuridisnya. Pertentangan ini salah
satunya bersumber dari dianutnya paradigma perspektif partikularisme pembuat
undang-undang dalam memaknai hak asasi manusia. Paradigma yang
dikedepankan Negara Indonesia memiliki perspektif yang lain dalam memaknai
hak asasi manusia yakni bersumber pada budaya bangsa Indonesia
 Substansi produk hukum yang menyimpang tersebut, pada akhirnya dijadikan
rujukan bagi aparat penegak hukum dalam menjalankan peran dan fungsinya
dalam menegakkan sistem peradilan pidana anak. Akibatnya terjadi praktekpraktek pelanggaran hak anak yang sistematis dan terstruktur.

Rekomendasi





Implementasi hukum hak asasi internasional tidak cukup hanya pada ranah
substansi hukum, namun ranah tata laksana (struktur) hukum dan ranah budaya
hukum juga perlu mendapatkan perhatian yang sama. Namun demikian
amandemen produk hukum yang mengimplementasikan instrumen hukum
internasional yang secara substansi masih menyimpang perlu dilakukan
segera. Langkah ini sangat signifikan untuk merubah praktek-praktek aparat
penegak hukum yang bertanggungjawab dalam mewujudkan sistem peradilan
pidana anak.
Mengadopsi konsep restorative justice dalam suatu produk hukum yang
mengatur secara khusus sistem peradilan pidana anak
Menaikkan anggaran publik yang layak yang secara khusus ditujukan untuk
memenuhi hak-hak anak yang berkonflik dengan hukum
Memperbanyak lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan anak sesuai
dengan jumlah kabupaten/kota di Indonesia
Membuat mekanisme pengawasan dan sanksi hukum bagi semua aparat yang
bertanggungjawab dalam mewujudkan sistem peradilan anak berbasis hak
asasi anak