Materi Hukum Pidana Part I-IV

Download Report

Transcript Materi Hukum Pidana Part I-IV

HUKUM PIDANA
SIFAT DAN TEMPAT HUKUM PIDANA
Hukum Pidana adalah hukum sanksi istimewa.
Sebagian besar sarjana hukum melihat hukum Pidana sebagai hukum
publik yaitu mengatur hubungan antara negara dan perseorangan
atau mengatur kepentingan umum.
Hukum Pidana ialah bagian dari pada keseluruhan hukum yang
berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar atau
aturan-aturan untuk :
1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh
dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau saksi
yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar
larangan tersebut.
2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang
telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau
dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.
3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu
dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah
melanggar larangan tersebut.
Van Apeldoorn : melihat dalam peristiwa pidana ( strafbaar feit ) suatu
pelanggaran tata tertib hukum umum dan tidak melihat dalam
peristiwa pidana itu suatu pelanggaran kepentingan-kepentingan
khusus dari para individu.
Oleh sebab itu penuntutan peristiwa pidana tersebut tidak dapat
diserahkan kepada individu yang dirugikan oleh peristiwa itu, tetapi
penuntutan tersebut harus dijalankan oleh pemerintah.
Van Hamel : menjalankan hukum pidana itu sepenuh-penuhnya
terletak dalam tangan pemerintah.
Simons : Hukum pidana mengatur hubungan antara para individu
dengan masyarakat sebagai masyarakat.
Hukum pidana dijalankan untuk kepentingan masyarakat, dan juga
hanya dijalankan dalam hal kepentingan masyarakat itu benarbenar memerlukannya.
Penuntutan suatu peristiwa pidana terletak dalam tangan suatu alat
negara yaitu dalam tangan Kejaksaan.
Pompe :Berlainan halnya dengan ganti kerugian dalam
hukum privat, bagi hukum pidana kepentingan khusus
para individu bukanlah suatu persoalan primer.
Yang dititikberatkan oleh hukum pidana pada waktu
sekarang adalah kepentingan umum. Perhubungan
hukum yang ditimbulkan koordinasi antara yang bersalah
dengan yang dirugikan (seperti dalam hukum privat),
tetapi perhubungan hukum itu bersifat suatu subordinasi
dari yang bersalah pada pemerintah, yang bertugas
memperhatikan kepentingan umum.
Van Kan : Hukum pidana pada pokoknya tidak membuat
kaidah baru. Hukum pidana tidak mengadakan kewajiban
hukum yang baru. Hukum pidana pada hakekatnya
hukum sanksi.
Hukum pidana biasa (umum)(commune strafrecht) seperti yang
tercantum dalam antara lain KUHPidana dan yang berlaku bagi
semua orang yang ada di wilayah Indonesia (terkecuali mereka
yang mempunyai hak diplomat asing).
Hukum pidana khusus (bijzondere strafrecht):
- dibuat untuk beberapa subyek khusus atau untuk beberapa
peristiwa pidana tertentu.
- memuat ketentuan-ketentuan dan azas-azas yang menyimpang dari
ketentuan-ketetuan dan azas-azas yang tercantum dalam
peraturan-peraturan hukum pidana umum.
1. Hukum Pidana Fiskal :
Kententuan-ketentuan pidana yang tercantum dalam UU mengenai
urusan pajak negara ternasuk peraturan-peraturan yang mengatur
keuangan negara.
2.
Hukum Pidana Militer
a. Berlakunya hukum pidana militer disinggung dalam pasal 102 UUDS.
Ketentuan ini membedakan antara hukum pidana sipil dan hukum
pidana militer.
b. Ketentuan-ketentuan dan azas-azas yang menyimpang dari
ketentuan dalam hukum pidana umum.
c. Wetboek van Militer Strafrecht voor Indonesie, LNHB 1934 Nr 167 dan
LNHB 1934 r 168 yang mengatur hukum disiplin tentara.
d. UU No. 3/PNPS/1965 tentang Memperlakukan Hukum Tentara, Hukum
Acara Pidana Tentara.
3.
Hukum Pidana Ekonomi.
Berhubungan dengan perkembangan negara dan dunia ke arah yang lebih
sosialistis, maka turut serta pemerintah dalam lapangan perekonomian
makin lama makin bertambah.
Penyelengaraan peraturan per-UU-an berkaitan dengan ekonomi
dapat menggangu penghidupan ekonomi rakyat (UU o. 7/Drt/1955).
Azas-azas dalam delik ekonomi berbeda dengan azas-azas pidana
umum.
Hukum pidana ekonomi terdapat perbedaan dengan pidana umum.
4. Hukum Pidana Politik.
Kejahatan-kejahatan yang sangat dapat membahayakan
penghidupan rakyat seluruhnya.
- Menghianati rahasia negara kepada luar negeri, merencanakan,
mempersiapkan dan mengusahakan pemberontakan terhadap
pemerintah yang sah, merencanakan, mempersiapkan dan
menjalankan sabotage dll.
- Delik-delik politik disinggung oleh hukum titel I - V Buku II (pasal
104 – 181).
- Diperlukan ukuran-ukuran yang lebih berat dari pada ukuran
biasa dalam mempertimbangkan dijatuhkan hukuman ) lebih
berat), seperti :
- Penpres No. 11/1963 jo UU No. 1/PNPS/1963 tetang
Pemberantasan Kegiatan Subversi.
- Perpu No. 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Perpu
No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan tindak
pidana Terorisme pada peristiwa peledakan bom Bali.
Hukum Pidana Komunal (daerah)
- Dibuat oleh Pemerintah Daerah TK I dan TK II adalah
akibat logis dari kekuasaan membuat peraturan umum
untuk mengurus sendiri rumah tangganya.
- Hukum pidana yang dibuat hanya dipakai sanksi atas
pelanggaran peraturan-peraturan yang dibuat oleh
Pemda sendiri.
- Termasuk hukum pidana sipil, namun hanya dihadapkan
dengan masalah-masalah tersendiri yang ditimbulkan
dalam masyarakat daerah.
- Bukan hukum pidana khusus walaupun dihadapkan
dengan masalah-masalah sendiri dan tidak mengandung
azas-azas pidana yang menyimpang dari azas-azas
pidana umum.
- Terikat oleh ketentuan dalam pasal 103 KUHP.
- Hukuman atas pelanggaran peraturan pemda hanya
bersifat pelanggaran saja.
Hukum Pidana dapat dibagi :
1. Hukum Pidana Obyektif (Ius Punale) ialah semua peraturan yang
mengandung keharusan dan larangan,terhadap pelanggaran mana
diancam dengan hukuman yang bersifat memaksa.
a. Hukum Pidana Materiil ialah peraturan-peraturan yang
menegaskan :
1). Perbuatan-perbuatan apa yang dapat dihukum.
2). Siapa yang dapat dihukum.
3). Dengan hukum apa menghukum seseorang.
b. Hukum Pidana Formil (Hukum Acara Pidana).
2. Hukum Pidana Subyektif (Ius Puniendi) ialah hak negara atau
alat-alat untuk menghukum berdasarkan hukum pidana obyektif
yang berarti bahwa tiap orang dilarang untuk mengambil tindakan
sendiri dalam menyelesaikan tindak pidana (perbuatan hukum
delik).
3. Hukum Pidana Umum ialah hukum pidana yang berlaku terhadap
setiap orang kecuali anggota ketentaraan,
4. Hukum Pidana Khusus ialah hukum pidana yang berlaku khusus
untuk orang-orang tertentu.
Menurut Beysens pemerintah diberi Ius Puniendi, ialah :
1. Pada azasnya negaralah yang berhak dan berkewajiban menjatuhkan
hukuman. Sesuai dengan sifat negara dan sesuai dengan kodrat alam
manusia,diberi hak untuk membalas pelaggaran tersebut dengan
menjatuhkan suatu kerugian untuk pelanggar.
2.
Hukuman yang dijatuhkan atas perbuatan-perbuatan yang dilakukan
dengan sukarela dengan sendirinya bersifat pembalasan.
3.
Pada umumnya negara hanya dapat atau harus menghukum perbuatanperbuatan yang :
a. ditinjau dari sudut obyektif (dan menurut hukum publik) adalah
perbuatan yang bertentangan dengan tata tertib negara.
b. ditinjau dari sudut subyektif adalah perbuatan yang dapat
dipertanggungjawabkan kepada yang melakukan perbuatan itu.
4.
Beberapa azas-azas yang harus menjadi dasar prinsipil perbuatan itu :
a. Negara itu suatu masyarakat.
b. Negara adalah sesuatu yag mempunyai penjelmaan sendiri dengan
sifat sendiri.
Susunan KUHPidana
KUHP terdiri dari atas 569 pasal yang dibagi dalam tiga buku, yaitu :
Buku I : Ketentuan-ketentuan umum (Pasal 1 – 103).
Buku II : Kejahatan (Pasal 104 – 488).
Buku III : Pelanggaran (Pasal 488 -569)
Dalam buku I dimasukkan :
1.
Azas-azas (hukum) pidana yang pada umumnya bagi seluruh
lapangan hukum pidana positif, baik dalam KUHP maupun yang
termuat dalam per-UU-an lainnya.
2.
Pengertian-pengertian, seperti :
- percobaan (poging) pasal 53-54 KUHP.
- turut serta (deelneming) pasal 55-62 KUHP.
- gabungan (samenloop) pasal 63 – 71 KUHP.
3.
Mengatur tentang hukuman pidana.
KEJAHATAN DAN PELANGGARAN
Memorie van Toelichting : pembagian delik dalam “kejahatan” dan
“pelanggaran” itu sebagai suatu pembagian azasi (prinsipil).
Van Andel, Creutzberg :
Kejahatan (crimineel onrecht) adalah perbuatan yang karena sifatnya
bertentangan dengan ketertiban hukum (delik hukum = jika
perbuatan itu bertentangan dengan azas-azas hukum positif yang
ada dalam kesadaran hukum dari rakyat, terlepas pada hal apakah
azas-azas tersebut dicantumkan atau tidak dalam UU).
Pelanggaran (politie onrecht) adalah perbuatan-perbuatan yang
seharusnya dikenai hukuman tetapi UU pidana tidak menyebutnya
sebagai delik (delik UU = perbuatan yang bertentangan dengan apa
yang secara tegas dicantumkan dalam UU Pidana, terlepas dari
pada hal apakah perbuatan tersebut bertentangan atau tidak
bertentangan dengan kesadaran hukum dari rakyat.
Pelanggaran adalah perbuatan yang hanya formill tidak
halal. Perbuatan tidak halal karena UU mencapnya
sebagai perbuatan yang tidak halal (Von Liszt).
Kejahatan itu sebagai perbuatan yang melanggar
“kulturnormen”, sedangkan peraturan-peraturan
“verwaltungsstrafrecht” (hukum pidana administratif)
dapat dianggap sebagai “kulturell indefferent” (Binding).
Kejahatan itu sebagai perbuatan yang bertentangan
dengan keadilan ke-Tuhanan dan hukum Tuhan.
Pelanggaran boleh dilihat sebagai perbuatan yang
bertentangan dengan ketertiban umum (publik) yang
dibuat manusia (Gewin).
SEJARAH HUKUM PIDANA TERTULIS
DI INDONESIA
Zaman VOC
- Bagi penduduk asli di Indonesia berlaku :
- Hukum Pidana Adat.
- VOC mula-mula diberlakukan Plakat-plakat yang berisi hukum
pidana.
-
Tahun 1642 dirampungkan himpunan plakat-plakat yang diberi nama
Statuten van Batavia. Yang kemudian pada tahun 1650 himpunan ini
disahkan oleh Heeren Zeventen (peraturan-peraturan yang berlaku
didaerah dikuasai VOC adalah :
- Hukum Statuta yang termuat di Statuten van Batavia,
- Hukum Belanda kuno,
- Azas-azas hukum Romawi (berlaku untuk mengatur kedudukan
hukum budak (slaven recht).
-
Campur tangan VOC hanya dalam soal-soal pidana yang berkaitan dengan
kepentingan dagangnya.
-
Di daerah Cirebon berlaku Papakem Cirebon yang mendapat pengaruh
VOC.
-
Tahun 1866 muncul kodifikasi yang sistematis.
-
Tanggal 10 Februari 1866 berlaku dua KUHP di Indonesia.
- Het Wetboek van Strafrecht voor Europeanen (Stbl 1866 No
55) yang berlaku bagi gol Eropah adalah salinan Code Penal
yang berlaku di Negeri Belanda tetapi berbeda dari sumbernya
tersebut, yang berlaku di Indonesia terdiri hanya atas dua buku,
Sedangkan Code Penal terdiri atas empat buku.
- Dengan Ordonansi tanggal 6 Mei 1872, berlaku KUHP untuk
golongan Bumiputra dan Timur Asing, tetapi diberi sanksi yang
lebih berat sampai pada tahun 1918.
-
Het Wetboek van Strafrecht voor Inlands en daarmede
gelijgestelde (Stbl No 85) mulai berlaku 1 Januari 1873.
Zaman Hindia Belanda
-
Tahun 1611-1814 Indonesia pernah jatuh dari tangan Belanda ke Inggeris.
-
Dengan Regerings Reglement 1815 dengan tambahan, maka hukum dasar
pemerintah kolonial tercipta.
-
Dikeluarkannya Proklamasi 19 Agustus 1816 (Stbl 1816 No 5) yang mengatakan
bahwa untuk semetara waktu semua peraturan-peraturan bekas kolonial Inggeris
tetap dipertahankan, yaitu masih berlaku Statuta van Batavia yang baru, dan untuk
pribumi hukum pidana adat diakui asal tidak bertentangan dengan azas-azas hukum
yang diakui, perintah-perintah dan UU.
-
Berdasarkan Stbl 1828 No 16, kepada bangsa Indonesia diterapkan pidana berupa
kerja paksa di perkebunan yang dibagi atas dua golongan, yaitu yang dipidana:
kerja rantai,
kerja paksa, yang :
diberi upah, dan
tidak diberi upah.
Dalam prakteknya pidana kerja paksa dikenakan dengan tiga cara yaitu:
kerja paksa dengan rantai dan pembuangan,
kerja paksa dengan dirantai tetapi tidak dibuang,
kerja paksa tanpa rantai tetapi dibuang.
-
Pertama kali ada kodefikasi di bidang hukum pidana terjadi dengan
adanya Crimineel Wetboek voor het Koniglijk Holland 1809,
yang menurut ciri modern didalamnya, menurut VOS, yaitu:
1. Pemberian kebebasan yang besar kepada hakim di dalam
pemberian pidana,
2. Ketentuan-ketentuan khusus untuk penjahat remaja,
3. Penghapusan perampasan umum.
-
Belanda terus berusaha mengadakan perubahan-perubahan, juga
usaha menciptakan KUHP Nasional.
Pidana sistem sel yang berlaku dengan UU tanggal 28 Juni
1851 Stbl 68 dan diperluas dengan UU tanggal 29 Juni 1854
Stbl 102 :
- pidana badan dihapus,
- jumlah pidana mati dikurangi,
- sejumlah kejahatan dijadikan kejahatan ringan,
- pidana terhadap percobaan diperingan dibanding dengan
delik selesai.
- 17 September 1870 Stbl 162, pidana mati dihapus.
- Tanggal 3 Maret 1881 lahirlah KUHP Belanda yang baru
dan diberlakukan tanggal 1 September 1886.
- Berdasarkan azas konkordasi menurut pasal 75
Regerings Reglement,dan pasal 151 Indische
Staatsregelig, KUHP di Belanda harus diberlakukan pula
di daerah jajahan seperti Hindia Belanda dengan
penyesuaian pada situasi dan kondisi setempat.
- Dengan Koninklijk Besluit (K.B) tanggal 15 Oktober 1915
dan diundangkan LNHB 1915 No 752 (KUHP tahun
1915).
- KUHP 1915 masih tetap berlaku dan belum diganti oleh
KUHP Nasional Indonesia.
Zaman pendudukan Jepang
-
Berdasarkan UU (Osamu Serei) No 1 Tahun 1942, yang berlaku
mulai 7 Maret 1942 sebagai peraturan peralihan Jawa dan Madura,
WvSI tetap berlaku pada zaman pendudukan Jepang.
Dalam Osamu Serei No 3 Tahun 1942, Hukum Acara Pidana lebih
banyak berubah, karena terjadi unifikasi acara dua susunan
pengadilan.
Zaman Kemerdekaan R.I.
-
Berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, berlaku pada
tanggal 18 Agustus 1945, keadaan pada zaman pendudukan
Jepang dipertahankan
Berdasarkan UU No 73 Tahun 1958, menyatakan berlakunya UU
No 1 Tahun 1946 untuk seluruh Indonesia. Dengan demikian
hilanglah dualisme berlakunya dua KUHP di Indonesia.
PENAFSIRAN UU PIDANA
Pasal 1 ayat (1) KUHP
“Tiada suatu perbuatan yang boleh dihukum, melainkan atas
kekuatan aturan pidana dalam UU, yang terdahulu dari
perbuatan itu”
Azas “nullum delictum, nulla poenasine praevia lege poenali” (tiada
delik, tiada hukuman tanpa suatu peraturan yang terlebih dahulu
menyebut perbuatan yang bersangkutan sebagai suatu delik dan
yang memuat suatu hukuman yang dapat dijatuhkan atas delik itu)
Azas Legalitas (von Feurbach).
Von Feurbach :Ancaman hukuman itu bersifat preventif (teori
psychologische Zwang) yaitu yang menganjurkan supaya dalam
menentukan perbuatan-perbuatan yang dilarang di dalam peraturan
bukan saja tentang macamnya perbuatan yang harus dituliskan
dengan jelas, tetapi juga tentang macamnya pidana yang
diancamkan.
Motesquieu : Melindungi individu terhadap tindakan hakim yang sewenangwenang yaitu melidungi kemerdekaan dan pribadi individu terhadap suatu
tuntutan yang dilakukan sewenang-wenang (Trias Politica).
Beberapa keberatan terhadap azas nulum delictum :
1.
Kurang melindungi kepentingan kelompok.
2.
Menghindarkan dijalankannya hukum pidana adat.
Di zaman Romawi dikenal Criminal Extra Ordinaria (kejahatan-kejahatan
yang tidak disebut dalam UU)
Criminal Stellionatus yaitu perbuatan jahat, durjana.
Diadakan kemungkinan untuk menggunakan hukum pidana itu secara
sewenang-wenang menurut kehendaknya dan kebutuhan raja sendiri.
Zaman Ancien Regime adalah zaman dimana memuncaknya reaksi terhadap
kekuasaan yang mutlak dari raja-raja.
Moeljatno mengatakan bahwa azas legalitas
mengandung tiga pengertian, yaitu :
1. Tiada perbuatan yang dilarang dan diancam
dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu
belum dinyatakan dalam suatu aturan UU.
2. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana
tidak boleh digunakan analogi (kiyas).
3. Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku
surut.
PENERAPAN ANALOGI
Analogi (Kamus hukum) ialah kesamaan, suatu metode pengetrapan
suatu UU dengan berpokok pangkal pada suatu azas hukum atau
peraturan yang telah mempunyai pengertian tertentu.
Menurut UU Jerman 28 Juni 1935 menetapkan analogi : seseorang
dapat dipidana kalau suatu perbuatan diancam dengan pidana oleh
UU atau menurut pikiran dasar suatu UU pidana dan menurut
perasaan sehat dari rakyat patut dipidana.
Pompe mengatakan penerapan analogi hanya diizinkan jika ditemukan
adanya kesenjangan di dalam UU yang tidak dipikirkan (hal-hal yang
dilupakan) atau tidak dapat dipikirkan (hal-hal yang baru) oleh
pembuat UU dan karena itu UU tidak merumuskan lebih luas
sehingga meliputi hal-hal itu dalam teksnya.
VOS mengatakan bahwa penerapan analogi tidak dizinkan setidaktidaknya dalam hal yang dengan analogi diciptakan delik-delik baru
dan bertentangan dengan Pasal 1 ayat 1 KUHP.
Dengan penerapan UU secara analogi diartikan penerapan
ketentuan dalam hal pembuat UU belum memikirkan atau tidak
dapat memikirkan tetapi alasan penerapan ketentuan pidana sama
dengan kejadian yang diatur dengan ketentuan itu.
Paul Scholten menyatakan bahwa tidak ada perbedaan antara
penerapan analogi dan penafsiran ekstensif, yaitu dicoba untuk
menemukan norma-norma yang lebih tinggi dari norma yang ada
lalu dideduksikan menjadi aturan baru. Perbedaan antara keduanya
hanya bersifat gradual saja.
Vam Hattum, menolak analogi dalam menentukan perbuatan pidana
juga menolak tafsiran ekstensif.
Utrecht menarik garis pemisah antara interpretasi ekstensif
dan penerapan analogi :
I.
Interpretasi
Analogi
II.
: menjalankan UU setelah UU
tersebut dijelaskan.
: menjelaskan suatu perkara dengan
tidak menjalankan UU.
Interprestasi : menjalankan kaidah yang oleh UU
tidak dinyatakan dengan tegas.
Analogi
: menjalankan kaidah tsb untuk
menyelesaikan suatu perkara yang
tidak disinggung oleh kaidah, tetapi
yang mengandung kesamaan dengan
perkara yang disinggung kaidah
tersebut
PASAL 1 KUHP
Ayat (1) dan (2) membahas berlakunya UU Pidana berhubung dengan waktu
delik dilakukan.
Ayat (2) tentang waktu delik.
Apabila UU diubah setelah dilakukan, maka terhadap yang bersangkutan
dipakai aturan yang paling ringan.
3 macam teori yang membahas mengenai perubahan dalam per-UU-an, yaitu :
1.
Teori Formil.
Simons: baru boleh dikatakan perubahan dalam UU kalau redaksi (teks)
UU Pidana diubah.
2.
Teori Materiil terbatas.
Van Geuns : tiap perubahan sesuai dengan suatu perubahan perasaan
(keyakinan) hukum pada pembuat UU. Jadi tidak boleh diperhatikan suatu
perubahan karena waktu.
3.
Teori Materiil tidak terbatas.
Tiap perubahan, baik dalam perasaan hukum dari pembuat UU maupun
dalam keadaan karena waktu, boleh diterima sebagai suatu perubahan
dalam UU menurut arti kata Pasal 1 ayat (2).
Aturan yang paling ringan (menguntungkan)
KUHP Belanda (1881) : yaitu tidak hanya mengenai hukuman saja,
tetapi mengenai juga segala sesuatu yang mempunyai pengaruh
atas penilaian sesuatu delik.
Hoge Raad 25 Juni 1906 : Terserah pada praktek dan hanya dapat
ditentukan untuk masing-masing perkara sendiri (inconcreto). Hal itu
tidak dapat ditentukan secara umum (in abstrcto).
Pengadilan tingkatan banding (Verzet) tentang pengecualian dalam
pasal 1 ayat (2) :
- Tidak dapat dipakai bila dilihat sebagai suatu alat untuk mengoreksi
pekerjaan hakim yang telah membuat suatu keputusan.
- Dapat dipakai bila dilihat sebagai suatu proses (acara) baru.
Tempus delicti (waktu delik) berhubungan dengan :
1. Berlakunya KUHP (Pasal 1 ayat (1)).
2. Hukum peralihan (Pasal 1 ayat (2)).
3. Lewat waktu (verjaring) (Pasal 78 dan 79 KUHP).
4. Pasal 45 KUHP.
BERLAKUNYA PER-UU-AN HUKUM PIDANA
MENURUT TEMPAT TERJADINYA PERBUATAN
Azas Teritorialitet
Pasal 2 KUHP : “Aturan pidana dalam UU Indonesia berlaku terhadap
tiap orang yang dalam Indonesia melakukan peristiwa pidana”.
Yang menjadi ukuran : peristiwa pidana yang dilakukan dalam wilayah
Indonesia.
Bukan ukuran : pembuat ada di dalam wilayah Indonesia.
Kesimpulan :
1. Dapat dilakukan suatu delik dalam wilayah Indonesia sedangkan
pembuatnya ada di luar wilayah Indonesia.
2. Azas ini berlandaskan kedaulatan negara diwilayahnya sendiri.
Ada 3 macam teori agar dapat menyelesaikan persoalan
tentang Locus delicti :
1. Teori perbuatan materiil.
Locus delicti ialah tempat di mana perbuatan yang perlu
ada supaya delik dapat terjadi dilakukan oleh pembuat
(tempat dimana perbuatan-perbuatan itu terjadi disebut
perbuatan materiil. Tempat di mana delik diselesaikan
tidak penting).
2. Teori alat yang dipergunakan.
Delik dilakukan di tempat di mana alat yang
dipergunakan itu menyelesaikannya.
3. Teori akibat :
Tempat akibat menjadi locus delicti.
Kesimpulan :
1. Teori mana di antara tiga teori yang harus dipilih, tergantung pada
sifat dan corak perkara konkrit yang hendak diselesaikan.
2. Hazenwinkel – Suringa.
Mempergunakan ketiga teori secara teleologis.
a. Dalam hal menentukan hakim yang relatif berkuasa maka
biasanya yang paling cocok ialah teori perbuatan materiil.
- Hakim di tempat dimana pembuat melakukan deliknya.
- Terdapat bukti-bukti yang paling jelas.
b. Dalam hal harus berlakunya UU Pidana Nasional supaya dapat
dicegah bahaya bagi dan ancaman terhadap keamanan
nasional yang datang dari luar negeri (teori alat yang
dipergunakan atau teori akibat).
PASAL 3 KUHP
“Aturan pidana dalam per-UU-an Indonesia berlaku bagi setiap orang yang
di luar Indonesia melakukan perbuatan pidana di dalam kapal
Indonesia”
Pasal ini memperluas azas teritorialitet.
“vaartuig” (alat pelayar) adalah segala sesuatu yang dapat berlayar yakni
segala sesuatu yang dapat bergerak di atas air.
“Schip” (kapal) adalah tiap vaartuig yang berdasarkan peraturan perkapalan
umum diberi surat laut atau pas kapal, atau yang diberi suatu surat
pengakuan lain, yang untuk sementara waktu mengganti surat laut dan pas
kapal itu.
Hukum Internasional mengakui sebagai wilayah nasional hanya :
- Kapal perang,
- Kapal dagang di laut terbuka,
- Kapal dalam hal dijalankan ius passage innoxii.
Dengan UU No. 4 Tahun 1976, Pasal 3 KUHP telah ditambah juga dengan kata
pesawat udara.
Azas teritorialitet belum cukup melindungi kepentingan nasional.
Azas Nasionalitet Pasif atau Azas Perlindungan
Pasal 4 KUHP
Azas ini menentukan bahwa:
- Hukum pidana suatu negara berlaku terhadap perbuatan-perbuatan yang
dilakukan di luar negeri.
- Kepentingan tertentu, kepentingan negara dilanggar di luar wilayah
kekuasaan negara itu. (Pasal 4 ayat (1), (2), dan (4) KUHP.
- Azas ini diperluas dengan kejahatan penerbangan dan tindak pidana
ekonomi.
Menurut Hezewinkel-Suringa, azas ini dimaksud :
- Melindungi kepentingan umum yang besar.
- Tidak melindungi kepentingan individual.
Pasal 8 KUHP .
- Termasuk azas perlindungan karena melindungi kepentingan pelayaran.
- Memperluas berlakunya Pasal 3, jika kejahatan-kejahatan itu dilakukan
dalam perahu Indonesia.
- Pompe mengatakan bahwa harus diartikan orang-orang yang biasanya ada
dalam perahu.
Azas Nasionalitet Aktif atau Azas Personalitet
Pasal 5 KUHP
“Aturan pidana dalam per-UU-an Indonesia berlaku bagi warga negara
yang di luar Indonesia melakukan beberapa delik tertentu”.
Delik tersebut dapat dibagi dalam 2 golongan :
1. a. kejahatan melanggar keamanan negara (Pasal 104-129).
b. kejahatan melanggar martabat kepala negara dan wakil presiden
(Pasal 131-139 KUHP).
c. menghasut (Pasal 160 KUHP).
d. menyiarkan tulisan yang bertujuan menghasut (Pasal 161 KUHP).
e. dengan sengaja membuat diri atau membuat orang lain tidak cakap
untuk memenuhi kewajiban militer (Pasal 240 KUHP).
f. melakukan perampokan (pembajakan) laut (Pasal 450-451).
Menurut Jonkers, delik-delik tersebut dicantumkan secara tegas karena
disini ada perbuatan yang mengancam kepentingan-kepentingan yang
khusus bagi Indonesia, dan perbuatan-perbuatan ini tidak dikenai UU
Pidana menurut dari negara dimana perbuatan tersebut dilakukan.
2. Semua kejahatan ini harus memenuhi 2 syarat :
- kejahatan menurut KUHP.
- juga dihukum oleh hukum pidana asing di mana kejahatan itu
dilakukan.
Dari perkataan “berlaku bagi warga negara Indonesia yang di luar
Indonesia” maka azas yang dikandung adalah azas personal.
Moeljatno berpendapat lebih melihat prinsip melindungi kepentingan
nasional dari pada azas personal,karena:
1. Dalam azas personal pada umumnya harus berlaku seluruh perUU-an hukum pidana, hal mana kemudian dapat diperkecil karena
hal-hal tertentu.
2. Apa yang ditentukan dalam ayat (2), yaitu ketentuan untuk
mencegah agar supaya warga negara asing jangan berbuat
kejahatan.
Pasal 5 ayat (2) :
- Diadakan untuk mencegah, bukan warga negara yang sudah
melakukan perbuatan pidana di negeri asing, melarikan diri ke
Indonesia lalu minta dinaturalisasikan sebagai warga negara
Indonesia, sehingga dengan demikian tidak diserahkan dan terluput
dari penuntutan pidana.
- Jangan dipandang sebagai imbangan dari prinsip bahwa warga
negara tidak diserahkan kepada pemerintah asing.
Ketentuan yang penting dari Peraturan Penyerahan S.1883-188, ialah :
Pasal 1 Penyerahan orang asing hanya mungkin jika memenuhi syarat
–syarat tersebut dalam peraturan ini.
Pasal 2 Penentuan macam-macamnya perbuatan pidana
memungkinkan penyerahan.
Pasal 5 Penyerahan tidak dilakukan selama orang asing itu sedang
dituntut perkaranya, atau sesudahnya diadili atau diadili
dibebaskan atau dilepaskan dari segala tuntutan.
Pasal 8 Penyerahan dimintakan dengan melalui jalan diplomatik.
Beberapa hal di mana orang itu tidak diserahkan, yaitu :
1. Kalau orang yang diminta diserahkan itu warga negara sendiri.
2. Kalau dianggap oleh negara asing itu bahwa perbuatan orang itu
adalah bersifat “kejahatan politik”
Kejahatan politik terdiri atas :
a. Kejahatan politik mutlak yaitu kejahatan ditujukan secara
langsung untuk merobohkan negara.
b. Kejahatan politik relatif yaitu kejahatan secara tidak
langsung hendak mengganggu keamanan negara.
3. Kalau orang itu oleh pengadilan negara asing sudah diputuskan
perkaranya.
4. Kalau permintaan penyerahan dari negara yang dilanggar UU
dianggap terlambat oleh negara asing itu.
5. Kalau orang yang diminta diserahkan itu pejabat suatu negara.
Pasal 6 KUHP : membatasi azas personalitet.
Pasal 7 KUHP : memperluas azas nasionalitet aktif (personalitet)
dengan azas nasionalitet pasif (perlindungan) karena berlaku bagi
setiap orang pegawai negeri yang di luar Indonesia melakukan salah
satu perbuatan pidana tersebut dalam Bab XXVIII Buku ke-2.
Azas Universalitas.
Azas ini melihat hukum pidana :
- Berlaku umum,
- Melampaui ruang wilayah dan ruang orang (Indonesia),
- Jenis kejahatan yang diancam pidana sangat berbahaya bukan saja
dilihat dari kepentingan Indonesia tetapi juga kepentingan dunia.
- Secara universal jenis kejahatan ini perlu dicegah dan diberantas.
- Kekuasaan hakim menjadi mutlak karena yurisdiksi pengadilan tidak
tergantung lagi pada tempat terjadinya delik atau nasionalitas atau
domisili tedakwa.
Azas ini diatur dalam Pasal 4 :
- Sub ke-2 KUHP “melakukan salah satu kejahatan tentang mata uang, uang
kertas yang dikeluarkan oleh negara atau bank.
- Sub ke-5 KUHP “melakukan kejahatan tentang :
- Perampokan di laut, dan penyerahan alat pelayar keada perampok laut
(Pasal 458, 444 – 447 KUHP).
- Penguasaan pesawat udara secara melawan hukum (Pasal 479
KUHP).
Pasal 9 KUHP “ Pasal 2 -5, 7 dan 8 dibatasi oleh pengecualian-pengecualian
yang diakui dalam hukum Internasional”
Ada 4 hal perkecualian tersebut (hak eksteritorialitet), ialah :
1. Kepala negara beserta keluarga dari negara sahabat.
2. Duta-duta negara asing beserta keluarganya. Konsul-konsil tergantung dari
traktat.
3. Anak buah kapal perang asing yang berkunjung di suatu negara sekalipun
berada di luar kapal.
4. Tentara negara asing yang ada di dalam wilayah negara dengan
persetujuan negara itu.
PERISTIWA PIDANA (STRAFBAAR FEIT)
Pengertian :
Feit berarti sebagian dari suatu kenyataan
Strafbaar berarti dapat dihukum
Strafbaar feit yaitu sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum
- Kepustakaan tentang hukum pidana : delik
- Pembuat UU dalam merumuskan UU : peristiwa pidana, perbuatan
pidana, tindak pidana.
Vos mengartikan adalah suatu kelakuan manusia yang diancam pidana oleh
peraturan per-UU-an, jadi suatu kelakuan yang pada umumnya dilarang
dengan ancaman pidana.
Van Hattum mengatakan bahwa peristiwa pidana adalah suatu peristiwa yang
menyebabkan hal seseorang mendapat hukuman atau dapat dihukum.
a. peristiwa dan pembuat sama sekali tidak dapat dipisahkan.
b. hal ada tidaknya suatu kelakuan yang melawan hukum barulah dapat
diketahui setelah diketahui keadaan di dalamnya pembuat ditempatkan.
Pompe: pengertian strafbaar feit dibedakan :
a. Menurut teori adalah suatu pelanggaran terhadap norma, yang
dilakukan karena kesalahan si pelanggar dan diancam dengan
pidana untuk mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan
kesejahteraan umum.
Menurut gambaran teori tedapat unsur-unsur periatiwa pidana, yaitu
suatu kelakuan yang :
1). bertentangan dengan hukum yang :
2). diadakan karena pelanggar bersalah.
3). dapat dihukum.
b. Menurut hukum positif adalah suatu kejadian yang oleh per-UUan dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum.
Simons menyatakan strafbaar feit adalah perbuatan yang melawan
hukum dengan kesalahan yang dilakukan oleh orang yang dapat
dipertanggungjawabkan.
J.E.Jonkers memberikan definisi menjadi dua pengertian :
a. Definisi pendek adalah suatu kejadian yang dapat
diancam pidana oleh UU.
b. Definisi panjang (lebih mendalam) adalah suatu
kelakuan yang melawan hukum berhubung dilakukan
dengan sengaja atau alpa oleh orang yang dapat
dipertanggungjawabkan.
Kesimpulan :
Strafbaar feit mempunyai 2 arti yang menunjuk kepada :
- Perbuatan yang diancam dengan pidana oleh UU.
- Perbuatan yang melawan hukum yang dilakukan dengan
kesalahan oleh orang yang dapat
dipertanggungjawabkan.
Subyek delik dan Rumusan delik
Delik mempunyai sifat melarang atau mengharuskan suatu perbuatan
tertentu dengan ancaman pidana kepada barang siapa
melakukannya dan delik itu harus ditujukan kepada :
a. Memperkosa suatu kepentingan hukum atau menusuk suatu
kepentingan hukum seperti pembunuhan, pencurian.
b. Membahayakan suatu kepentingan hukum.
Vos memberikan alasan mengapa hanya manusia yang dapat
menjadi subyek delik, yaitu :
a. Terdapatnya rumusan yang dimulai dengan “barang siapa
yang…”. Di dalam per-UU-an pada umumnya, yang berarti tidak
lain adalah manusia.
b. Jenis-jenis pidana pokok hanya dapat dijalankan tidak lain oleh
manusia.
c. Dalam hukum pidana berlaku azas kesalahan bagi seorang
manusia pribadi.
J.E.Jonkers mengenal 4 jenis KUHP metode rumusan delik
dalam UU, yang terdiri atas:
a. Yang paling lazim menyebutkan rumusan dengan cara
menerangkan isi delik dan keterangan itu dapat
dijabarkan menjadi unsur-unsur perbuatan yang dapat
dipidana (Pasal 279, 281, 286 KUHP).
b. Dengan cara menerangkan unsur-unsur dan
memberikan penafsiran (kualifikasi) (263, 362, 372, 372
KUHP).
c. Cara yang jarang dipakai adalah hanya memberikan
penafsiran saja (351, 338 KUHP).
d. Kadangkala UU merumuskan ancaman pidananya saja
untuk peraturan-peraturan yang masih akan dibuat
kemudian (521, 122 ayat (2) KUHP).
Pembagian delik menurut rumusan yang dikehendaki oleh UU.
1. Commissie delicten adalah pelanggaran sesuatu yang dilarang
dalam UU (362, 372, 378 KUHP)
Ommisse delicten adalah pelanggaran sesuatu yang diperintah
menurut UU (164, 224, 522, 531 KUHP).
a. Yang murni yaitu tindakan tidak membuat sesuatu yang oleh
UU Pidana diperintah. Delik ini selalu delik formil (164,224,
522 KUHP).
b. Yang tidak murni yaitu yang terjadi apabila akibat dari
perbuatan yang bersangkutan, yang tidak dikehendaki oleh
suatu UU, yang tidak dikehendaki oleh suatu tidak membuat
(194, 338 KUHP)
2. Formele delicten adalah delik yang hukuman yang diancam
terhadap suatu perbuatan tertentu, yang dilukiskan dalam UU
Pidana, dan timbu tidaknya akibat dari perbuatan itu tidak
dipersoalkan. (156, 160, 209, 263, 362 KUHP)
Materiele delicten adalah timbulnya akibat dari perbuatan yang
bersangkutan, selama akibat tersebut belum timbul maka juga delik
belum ada atau belum selesai. (338 KUHP)
3. Doleus delicten ialah perbuatan yang dilarang dan diancam
dengan pidana yang dilakukan dengan sengaja (338 KUHP).
Culpose delicten ialah perbuatan yang dilarang dan diancam
dengan pidana yang dilakukan dengan kealpaan (359 KUHP).
4. Zelfstandige delicte ialah delik yang berdiri sendiri yang terdiri
atas satu perbuatan tertentu.
Voorgezette delicten ialah delik yang terdiri atas beberapa
perbuatan berlanjut. Pembagian ini diperlukan untuk kepentingan
sistem penerapan penjatuhan pidana (64, 65 KUHP).
5. Aflopende delicten (delik yang selesai) ialah delik yang terdiri dari
satu atau lebih tindakan untuk menyelesaikan suatu kejahatan
(330,529 KUHP).
Voordurende delicten (delik yang berlanjut) ialah delik yang terdiri
dari satu atau lebih tindakan untuk menimbulkan suatu keadaan
yang bertentangan dengan suatu norma. (221, 333, 250, 261
KUHP).
6. Enkelvoudige delicten ialah delik yang pelakunya telah dapat
dihukum dengan satu kali saja melakukan tindakan yang dilarang
oleh UU.
Samengestelde delicten ialah delik yang pelakunya hanya dapat
dihukum menurut sesuatu ketentuan pidana tertentu apabila pelaku
tersebut telah berulangkali melakukan tindakan yang sama yang
dilarang oleh UU. (480 ayat (1), 296 KUHP).
7. Delicta propria ialah delik yang hanya dapat dilakukan hanya oleh
orang tertentu karena suatu kualitas. (delik jabatan, militer,
nakhoda).
Commune delicten ialah delik yang dapat dilakukan oleh setiap
orang pada umumnya.
8. Eenvoudige delicten atau delik yang sederhana adalah delik dalam
bentuk pokok seperti yang telah dirumuskan oleh penbentuk UU.
Gekwalificeerde delicten atau delik dengan pemberatan adalah
delik dalam bentuk yang pokok yang karena didalamnya terdapat
keadaan yang memberatkan maka hukuman yang diancamkan
menjadi diperberat. (362>363, 372>374 KUHP).
9.
Politieke delicten ialah delik yang dilakukan karena adanya unsur politik, yang
dapat dibedakan menjadi :
a. Zuivere politieke delicten yang merupakan kejahatan penghianatan interen
(104-110 KUHP) dan penghianatan eksteren (121, 124, 126 KUHP).
b. Gemengde politieke delicten yang merupakan pencurian terhadap dokumen
negara.
c.
Connexe politieke delicten yang merupakan kejahatan menyembunyikan
senjata.
Commune delicten ialah delik yang ditujukan kepada kejahatan yang tidak
temasuk keamanan negara, misalnya penggelapan, pencurian dll.
10.
Klacht delicten ialah terdapat sejumlah tindak pidana yang hanya dapat dituntut
apabila ada pengaduan dari orang yang dirugikan (72-75, 284 ayat (2), 319, 320
ayat (2) KUHP).
Gewone delicten ialah tindak pidana yang dapat dituntut tanpa diperlukan adanya
suatu pengaduan.
11.
Opzettelijke delicten ialah delik tersebut harus dilakukan dengan sengaja.
Culpooze delicten ialah delik tersebut terjadi dengan tidak sengaja agar
pelakunya dapat dihukum.
UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA
Unsur-unsur subyektif ialah unsur-unsur yang melekat pada diri si
pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku.
Unsur subyektif dari suatu tindak pidana, yaitu:
1. Kesengajaan (dolus) atau ketidaksengajaan (culpa).
2. Maksud (voornemen) atau percobaan (poging) (53 ayat (1) KUHP).
3. Macam-macam maksud.
4. Merencanakan terlebih dahulu (340 KUHP).
5. Perasaan takut (308 KUHP).
Unsur-unsur obyektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya
dengan keadaan-keadaan yang di dalam keadaan mana tindakan
dari si pelaku harus dilakukan.
Unsur-unsur obyektif dari suatu tindak pidana, yaitu :
1. Sifat melanggar hukum (wederrechtelijkheid)
2. Kwalitas si pelaku (415, 398 KUHP).
3. Kausalitas, yaitu hubungan antara sesuatu tindakan sebagai
penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.
VOS mengatakan bahwa di dalam suatu strafbaar feit dimungkinkan adanya perbuatan
beberapa delik, yaitu :
1. Elemen perbuatan atau kelakuan orang, dalam hal berbuat atau tidak berbuat.
2. Elemen akibat dari perbuatan yang terjadi dalam delik selesai.
3. Elemen kesalahan yang diwujudkan dengan kata-kata sengaja, atau alpa.
4. Elemen melawan hukum.
5. Dan sederetan elemen-elemen lain menurut rumusan UU, dan dibedakan menjadi
segi obyektif.
Hazelwinkel-Surunga, mengatakan dalam suatu strafbaar feit dimungkinkan beberapa
elemen, yaitu:
1. Elemen kelakuan orang.
2. Elemen akibat, yang ditetapkan dalam UU karena pembagian delik formil dan
meteriil.
3. Elemen psikis, seperti elemen dengan maksud, dengan sengaja/alpa.
4. Elemen obyektif yang menyertai keadaan delik seperti elemen di muka umum.
5. Syarat tambahan untuk dapat dipidananya (164, 165 KUHP).
6. Elemen melawan hukum sebagai elemen yang memegang peranan penting (167,406
KUHP).
Pompe membagi elemen strafbaar feit terdiri atas unsur:
1.
Melawan hukum (wederrechttelijkheid).
2.
Kesalahan (schuld).
3.
Bahaya/gangguan/merugikan (subsociale).
Elemen strafbaar feit dalam rumusan defenisi hukum positif cukup
mengambil elemen yang obyektif saja,yaitu elemen:
1.
Kelakuan, dalam delik bentuknya berupa kelakuan dengan
berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu yang seharusnya
dilakukan.
2.
Akibat dari perbuatan menurut rumusan delik yaitu suatu
hubungan antara sebab dan akibat yang dapat menimbulkan
kejadian yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh UU.
3.
Obyektif yang menyertai keadaan delik, yang bersifat kualitas
atau yang memberatkan atau meringankan.
4.
Melawan hukum.