Perubahan Tata Kelola Desa dan Implikasinya pada Demokrasi Lokal
Download
Report
Transcript Perubahan Tata Kelola Desa dan Implikasinya pada Demokrasi Lokal
Otoda & Desentralisasi sejauh ini
Perjalanan kira-kira satu dekade
otonomi daerah dan desentralisasi
sejak reformasi berlangsung, telah
membawa dampak perubahan
dibanyak hal, yakni pada
pemerintahan, kelembagaan
politik (lembaga representasi) dan
masyarakat sipil di aras lokal
Demokrasi telah menumbuhkan
partisipasi masyarakat, dukungan
penataan ulang sistem kekuasaan
agar terjadi check and balances,
kesempatan melakukan
reformasi tata kelola
pemerintahan (good governance)
dan civil society makin membesar
Otonomi daerah telah menstimulasi
tumbuhnya inisiatif-inisiatif baru pemerintah
daerah dengan orientasi memperbaiki kualitas
pemerintahan dan kesejahteraan masyarakat
Diantaranya: skema pelayanan publik yang cepat,
kebijakan sosial (pendidikan dan kesehatan) gratis
atau murah, tercukupinya bantuan ekonomi untuk
kaum miskin, serta terbukanya ruang negosiasi
masyarakat dalam hal kebijakan dan regulasi
berprinsip demokratisasi
Capaian-capaian itu, mendorong daerah lain
melakukan akselerasi pembenahan dalam
governance dan penguatan civil society
Perubahan pola politik kebijakan
Pemerintah
pusat
bottom up
desentralisasi
Pemerintah
daerah
Pemerintah
Masyarakat
Desentralisasi
Otonomi daerah
Demokratisasi
Reformasi
Kebijakan
PEMBERDAYAAN
LOKAL:
Partisipasi warga,
komitmen pemerintah dan
pemanfaatan sumberdaya daerah
Skema hubungan antar aktor
Pemerintah
Daerah
Masyarakat
Sipil
civil society org
Arena
Kebijakan
Masyarakat
Ekonomi
Parlemen
Daerah
Tata Kelola Desa
Sebelum reformasi, pengaturan desa tertuang
dalam UU 5/ 79 tentang pemerintahan desa:
Korporatisasi institusi desa
Homogenisasi
Penguatan negara dan pelemahan masyarakat desa
Sejak terbit UU 22/ 99 tentang otonomi daerah,
diantaranya berisi pengaturan mengenai desa,
muncul 2 isu penting:
Village governance reform
Demokratisasi desa
Maksud dan orientasi mendasarnya adalah:
Mengembalikan posisi desa sebagai bagian dari entitas
warga dengan tujuan untuk pemberdayaan politik,
ekonomi maupun kultural
Governance reform:
Pembenahan tata kelembagaan desa
menyangkut struktur pemerintahan dengan
menggunakan prinsip-prinsip kekuasaan yang
responsif, transparan, partisipatif dan
akuntabel
Pemisahan kekuasaan (pemerintah desa, BPD)
Pemenuhan kebutuhan dan hak-hak dasar
warga desa sebagai bentuk kebijakan sosial
melalui pembangunan
Desentralisasi kewenangan yang lebih jelas
pada desa dalam pengaturan sumberdaya
pembangunan, dengan target otonomi desa
Demokratisasi desa:
Penguatan kembali institusi-institusi lokal sebagai
basis pengembangan ekonomi, politik dan budaya
Mengembalikan ruang partisipasi warga desa (akses,
voice dan kontrol) sebagai ekspresi artikulasi dan
negosiasi warga untuk mempengaruhi pembuatan
kebijakan
Asosiasi-asosiasi sipil di level komunitas desa
tumbuh subur sebagai arena partisipasi warga
Penghargaan keragaman format desa (pluralisme)
dengan menghargai keunikan yang dimilikinya: desa,
adat, gampong, atoinmetto, pakraman, nagari,
marga, binua, dst
Memberikan ruang bagi beroperasinya social capital
bagi praktik kehidupan bermasyarakat
Terjadi perubahan
pengaturan desa dalam UU 32/ 2004 (pemerintahan daerah)
dan PP 72/ 2005:
lebih mengarah pada resentralisasi
Desa menjadi bagian integral dari pemerintahan daerah
(kabupaten), tidak ada lagi otonomi sebagai subtansi
pemberdayaan desa
Institusi BPD diubah struktur dan mekanisme pembentukan
(bukan lagi lembaga representasi berbasis partisipasi)
Kewenangan pemerintahan desa bagian integral dari
kekuasaan kabupaten
Alur kekuasaan
sentralisasi UU 5/79
Desentralisasi
UU 22/99
Resentralisasi UU 32/2004
Isu kontemporer: RUU Desa
3 isu Utama:
Kedudukan dan kewenangan
Tata Pemerintahan dan demokratisasi
Perencanaan pembangunan dan ekonomi desa
Paduan perspektif
Partisipasi warga kian meningkat dalam pembangunan daerah
(dampak umum reformasi)
Ukuran paling nyata keterlibatannya dalam musrenbang dan
musyawarah warga di perdesaan menjadi titik sentral kemajuan
tersebut (meskipun skema musrenbang harus terus dievaluasi
efektifitasnya)
Demikian pula inisiatif-inisiatif pemerintah daerah untuk
membuat terobosan, membenahi skema perencanaan yang
lebih partisipastif, transparan dan akuntabel
Lembaga representasi politik (DPRD) juga dituntut makin aktif
memanfaatkan jaring asmara dalam serapan agregasi dan
artikulasi kepentingan
Itulah pertautan 3 hal: partisipasi (warga), teknokrasi
(pemerintah) dan politik (DPRD)
Dalam konteks itulah, perencanaan
pembangunan daerah menjadi pintu masuk
yang diharapkan efektif mengakselerasi
pencapaian tujuan daerah yang sejahtera,
good governance (efektifitas, efisiensi,
akuntabel), kerja pemerintah dan
pelaksanaannya memiliki legitimasi politik
yang kuat dari lembaga perwakilan
Hambatan
Secara empiris otonomi daerah, desentralisasi dan
demokrasi lokal, seringkali ketiganya secara praksis
tidak nyambung
Desentralisasi kewenangan dan otonomi daerah dalam
perumusan kebijakan daerah dilangsungkan optimum,
namun praktik demokrasi lokal belum berjalan efektif
Banyak kasus muncul: KKN masih tersebar dan belum
diberantas dalam pemerintahan daerah (pemerintah
daerah dan DPRD, kebijakan-kebijakan yang
dihasilkan kadang dilakukan dengan cara elitis dan
oligarkhis, serta masih banyaknya ketimpangan sosial
karena tidak ada langkah-langkah konkrit untuk
mengatasinya
Dampaknya, terjadi kemerosotan kepercayaan
masyarakat pada pemerintah dan parlemen daerah
Di satu sisi partisipasi kian menurun (khususnya
dalam politik dan pembangunan), serta pragmatisme
justru meningkat dampak luas dari apatisme di sisi
yang lain
Otonomi daerah, dalam beberapa hal juga
memproduksi raja-raja kecil yang mendistorsi
kebijakan dengan melanggar prinsip demokrasi,
karena mengabaikan rakyat dan wakilnya
Dalam kaitan itulah, otonomi daerah, desentralisasi
dan demokratisasi akhirnya mengalami pemudaran
popularitas, khususnya dikalangan grass root
Terobosan baru
Dalam kaitan itulah, nampaknya
daerah perlu merefleksikan
mengenai kecenderungan proses dan
dampak otonomi dan desentralisasi
yang terdistorsi itu untuk melakukan
perubahan mendasar
Tujuannya, agar perluasan resiko
tidak terus menerus terjadi, namun
sebaliknya, agar segera dicegah
melalui langkah-langkah yang konkrit
Karenanya, evaluasi atas kebijakan
dalam desentralisasi dan otonomi
daerah perlu dilakukan, untuk
memastikan agar darah demokrasi
bisa mengalir sehingga nafas
kekuatan lokal dapat dihembuskan
Pertama, partisipasi (akses, voice dan
kontrol) atas kekuasaan harus diperkuat
dengan orientasi, agar partisipasi warga
berpengaruh pada perubahan kebijakan
secara konkrit
Kedua, dalam kerangka oronomi daerah,
desentralisasi dan demokratisasi dibutuhkan
perubahan paradigma pembangunan yakni
perlunya memadukan antara pendekatan
teknokrasi dan demokrasi
Ketiga, dalam menunjang langkah akselerasi
pembenahan tata pemerintahan daerah,
saatnya kekuatan lokal mendorong adanya
reformasi birokrasi secara bertahap serta
sistematik (terencana dan terukur)
Keempat, pemerintah daerah dan
parlemen daerah sudah saatnya
mengembangkan semangat kemitraan
(partnership) dengan masyarakat sipil
dalam pembuatan kebijakan, tentu
dengan mendasarkan pada komitmen
partisipasi warga
Kelima, pemerintah daerah perlu
membuat terobosan baru dengan
menginisiasi kebijakan populis yang
merespon kebutuhan masyarakat bawah,
khususnya berkenaan dengan pendidikan
dan kesehatan dalam skema pelayanan
publik yang murah, mudah terjangkau dan
visible