Transcript Apa Itu CSR
MEMAHAMI CORPORATE SOCIAL R E S P O N S I B I L L I T Y (C S R) Oleh : Yusri Bailussy, S.Sos 1. Devinisi CSR Corporate Social Responsibillity (CSR) atau Tanggung Jawab Sosial Perusahaan didevinisikan secara berbeda oleh para ahli. Berikut ini beberapa devinisi para ahli maupun lembaga-lembaga yang konsen dengan masalah CSR. a) Menurut Kotler dan Nancy (2005) Corporate Social Responsibility (CSR) didefinisikan sebagai komitmen perusahaan untuk meningkatkan kesejahteraan komunitas melalui praktik bisnis yang baik dan mengkontribusikan sebagian sumber daya perusahaan. b) Definisi CSR menurut World Business Council on Sustainable Development adalah komitmen dari bisnis/perusahaan untuk berperilaku etis dan berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, seraya meningkatkan kualitas hidup karyawan dan keluarganya, komunitas lokal dan masyarakat luas. c) Menurut CSR Forum (Wibisono, 2007) Corporate Social Responsibility (CSR) didefinisikan sebagai bisnis yang dilakukan secara transparan dan terbuka serta berdasarkan pada nilai-nilai moral dan menjunjung tinggi rasa hormat kepada karyawan, komunitas dan lingkungan. d) Menurut Elkington bahwa perusahaan yang baik tidak hanya memburu keuntungan ekonomi belaka (profit). Melainkan pula, memiliki kepedulian terhadap kelestarian lingkungan (planet)dan kesejahteraan masyarakat (people) (Suharto, 2010). e) Menurut Suharto (2010) CSR adalah "Kepedulian perusahaan yang menyisihkan sebagian keuntungannya (profit) bagi kepentingan pembangunan manusia (people) dan lingkungan (planet) secara berkelanjutan berdasarkan prosedur (procedure) yang tepat dan profesional" Lima devinisi diatas hanyalah sedikit dari banyak pendapat para ahli yang berkaitan dengan devinisi CSR, namun demikian perbedaan pendapat ini hanya pada beberapa bagian yang tidak menghilangkan makna substansinya bahwa CSR berkaitan dengan tanggung jawab sosial dan lingkungan yang sedianya sudah harus dilakukan oleh setiap perusahaan. Secara pribadi kurang lebih saya bersepakat dengan semua devinisi diatas terutama devinisi yang dikemukakan Suharto. Namun demikian, agar pemahaman kita sesuai dengan kontruksi undang-undang maka kata kepedulian itu harus diganti dengan kewajiban. Sehingga CSR menurut saya adalah Kewajiban perusahaan yang menyisihkan sebagian keuntungannya (profit) bagi kepentingan pembangunan manusia (people) dan lingkungan (planet) di seketar operasi perusahaan, secara berkelanjutan berdasarkan prosedur (procedure) yang tepat dan profesional". 2. Melacak Jejak CSR Sebagai Sebuah istilah CSR baru muncul di dunia barat sekitar tahun 1980-an, namun jauh sebelum itu ada beberapa pandapat ahli yang sering di hubungkan dengan konsep CSR diantaranya tulisan Howard Bowen pada tahun 1953, Bowen mengatakan CSR mengacu pada kewajiban pelaku bisnis untuk membuat dan melaksanakan kebijakan, keputusan dan pelbagai tindakan-tindakan yang harus mengikuti tujuan dan nilai-nilai dalam suatu masyarakat. Konsep ini muncul bersamaan dengan satu masa di mana negara kehilangan kemampuan memenuhi kesejahteraan rakyatnya akibat perang dunia II. Dengan kata lain Negara berupaya untuk melimpahkan kewajibannya pada pihak swasta. (lihat: artikel Perhimpunan Pendidikan Demokrasi Vol 1 nomor 20 minggu ke 1 Agustus 2007). Namun pada dekade tahun 1970-an tulisan Bowen ini mendapat kritik tajam dari seorang ekonom ternama Milton Friedman yang berpandangan bahwa tanggung jawab sosial perusahaan adalah menghadirkan keuntungan (profit) dalam batasan moral masyarakat dan hukum. Ia mengingatkan bahwa inisiatif perusahaan untuk menjalankan CSR dapat membuat arah manajemen menjadi tidak fokus, pemborosan sumberdaya, memperlemah daya saing, serta mempersempit pilihan-pilihan dan kesempatan (Suharto, 2010:15). Meski Fridman selalu melancarkan kritik, para pendukung CSR terus menyuarakan hal ini dan pada akhirnya pendapat untuk memberlakukan CSR perlahan-lahan mulai mendapatkan tempat dan menjadi isu kunci dalam konteks menejmen, pemasaran dan akuntansi di Negara-negara barat. Dari uraian singkat di atas dapat kita pahami bahwa CSR adalah sebuah konsep yang datang dari luar Indonesia. Sebagai sebuah konsep CSR baru mulai diperbincangkan di Indonesia sejak tahun 1990-an. Namun demikian, tidak berarti bahwa perusahaan di Indonesia sama sekali tidak pernah melakukan kegiatan sosial yang dekat dengan CSR. Sebelum adanya pemberlakuan resmi oleh pemerintah tentang CSR di tahun 2007 perusahaan di Indonesia telah mengenal dan melaksanakan Corporate Social Activity (aktifitas sosial perusahaan). Kementrian sosial atau yang dulunya disebut Departemen sosial adalah lembaga yang tercatat aktif untuk memperjuangkan penerimaan konsep CSR di Indonesia dengan menyebutnya sebagai investasi sosial perusahaan. Namun, masih terbatas pada kegiatan yang sifatnya voluntary, parsial, ad-hoc (sementara) dan tidak melembaga. 3. Kenapa CSR Harus diberlakukan ? CSR berbeda dengan charity (bantuan sosial). Sampai hari ini CSR belum memilik devinisi standar yang diakui oleh semua pihak, CSR sebagai sebuah konsep masih terus diperdebatkan baik oleh para akademisi maupun para praktisi. Perdebatan dari sisi oprasional masih berkutat pada dua hal yakni CSR adalah bentuk mandatory (kewajiban) perusahaan dan CSR merupakan sebuah komitmen perusahaan yang bersifat voluntary (sukarela). Kedua pendapat ini masingmasing memiliki dasar argumentasi yang kuat. Jika dipetakan, sebagian pendapat menyatakan bahwa dunia industri memiliki kontribusi nyata terhadap pembangunan ekonomi dan sosial melalui investasi, lapangan kerja, pajak, dan alih teknologi, pengetahuan dan keahlian (Suharto, 2010:6). Karena itu setiap perusahaan tidak perlu dibebankan lagi menanggung cost center (sarana biaya) yang berdampak buruk terhadap keberlangsungan investasi. Namun, sebagian lain berpendapat bahwa dunia industri telah menciptakan model pembangunan yang terlalu memuja pertumbuhan (Trickle Down-Effect Strategy), menguras sumberdaya alam, kurang ramah lingkugan, serta relasi Utara-Selatan yang tidak seimbang. Bahkan cenderung memicu clash of industrialization antara Barat dan Timur, antara negara maju dan berkembang, antara sektor manufaktur dan pertanian. Akibatnya, banyak Negara berkembang, penduduk dan lingkungannya berada pada situasi yang tidak menguntungkan (Suharto, 2010:6). Karenanya perusahaan berkewajiban untuk mengalokasikan anggaran CSR sebagai konsekwensi dari akibat buruk yang ditimbulkan oleh aktifitas perusahaan, terlebih lagi diperlukan regulasi khusus untuk mengatur secara rinci tentang CSR. Dimana, CSR harus dipahami sebagai bagian dari profit center (sarana meraih keuntungan) – keuntungan tidak hanya dipahami terbatas pada uang tetapi keuntungan harus juga dipahami dari sisi resiko sosial dan sebagainya. 4. Fungsi & Manfaat CSR Jika dilihat dari sisi manfaat maka CSR memiliki manfat terhadap dua kelompok kepentingan yakni shareholders (Perusahaan) dan stakeholders (Pemangku kepentingan) terutama masyarakat lokal. Fungsi dan manfaat CSR bagi Perusahaan kurang lebih ada tiga hal yakni, meminimalisasi resiko social, sarana meningkatkan citra perusahaan di mata public dan investasi untuk pertumbuhan dan keberlanjutan bagi perusahaan. Sedangkan manfaat CSR bagi masyarakat akan sangat tergantung pada perusahaan, pemerintah dan masyarakat itu sendiri. 5. Dasar Hukum CSR CSR telah menjadi isu hangat di kalangan lembaga-lebaga nasional maupun internasional, hal ini dibuktikan dengan adanya sejumlah kesepakatan internasional terkait dengan CSR seperti yang termaktub dalam perjanjian International Organization for Standardization (ISO) 26000. Sebuah artikel menarik dari Perhimpunan Pendidikan Demokrasi Vol 1 nomor 20 minggu ke 1 Agustus 2007, intinya dalam ISO 26000 menyatakan bahwa antara perusahaan dan masyarakat terdapat saling keterkaitan yang tinggi. Terdapat dua bentuk keterkaitan yaitu: pertama, inside-out lingkages, bahwa perusahaan memiliki dampak terhadap masyarakat melalui operasi bisnisnya secara normal. Dalam hal ini perusahaan perlu memperhatikan dampak dari semua aktivitas produksinya, aktivitas pengembangan sumber daya manusia, pemasaran, penjualan, logistik, dan aktivitas lainnya. Kedua, outside-in linkages, di mana kondisi sosial eksternal juga memengaruhi perusahaan, menjadi lebih baik atau lebih buruk. Ini meliputi kuantitas dan kualitas input bisnis yang tersedia, sumber daya manusia, infrastruktur transportasi, peraturan dan insentif yang mengatur kompetisi, kebijakan yang melindungi hak kekayaan intelektual, besaran dan kompleksitas permintaan daerah setempat; serta ketersediaan industri pendukung di daerah setempat. Sedangkan pada skala nasional ada beberapa regulasi yang mengatur tentang CSR di antaranya UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas pada Pasal 74 Ayat 1 sampai ayat 4, PP Nomor 47 tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Pasal 15 poin b dan Pasal 34. Undang-undang dan peraturan pemerintah yang mengatur tentang CSR tersebut masih terdapat banyak kelemahan karena belum mengatur besaran anggaran yang wajib disalurkan, mekanisme pengelolannya, batasan penerima manfaat dan aturan yang menjadi rujukan teknis terkait dengan mekanisme penyalurannya. Namun demikian, kebanyakan dari perusahaan pada akhirnya membuat semacam MOU atau kesepakatan bersama dengan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah sehingga dijadikan sebagai rujukan dalam penyalurannya.