Dr. Tjipto Mangoenkusumo Galang Aditya R. Ibrahim Dafa Aisya Rihadati Shafira Dwi Cantya M. Farrell D. M.

Download Report

Transcript Dr. Tjipto Mangoenkusumo Galang Aditya R. Ibrahim Dafa Aisya Rihadati Shafira Dwi Cantya M. Farrell D. M.

Dr. Tjipto Mangoenkusumo
Galang Aditya R.
Ibrahim Dafa
Aisya Rihadati
Shafira Dwi Cantya
M. Farrell D.
M. Raihan Hanif
Perjalanan Hidup
Cipto Mangunkusumo lahir pada 4 Maret 1886 di
desa Pecagakan, Jepara. Ia adalah putra tertua
dari Mangunkusumo, seorang guru Bahasa
Melayu di sebuah sekolah dasar di Ambarawa
dan selanjutnya menjadi pembantu administrasi
pada Dewan Kota di Semarang.
Sementara, sang ibu adalah keturunan dari tuan
tanah di Mayong, Jepara.
Pendidikan
Awal pendidikannya dimulai ketika Cipto mendesak
ayahnya agar dibolehkan melanjutkan sekolah ke Sekolah
Dokter Jawa Stovia (School Tot Opleiding van Inlandsche
Artsen) di Batavia.
Cipto sendiri bukan golongan rakyat jelata, tapi jelas
pula ia bukan golongan bangsawan di sekolah. Walau begitu,
Cipto menjadi daya tarik sendiri karena cerdas, bandel, rajin,
serius dan suka kebebasan. Dia juga lebih suka mendengarkan
ceramah, berpidato, dan membaca buku dibanding menghadiri
pesta-pesta.
Tahun 1905, Cipto lulus dari
STOVIA. Cipto pun wajib menjalani
masa dinas pemerintah dengan
berpindah-pindah: mulai dari Stads,
verband, Glodok, Amuntai,
Banjarmasin dan terakhir di Demak.
Perpindahannya hampir semua karena
bentrok dengan pimpinannya. Cipto
pun lantas melepaskan ikatan dinasnya
demi kemerdekaan dirinya dalam
membela rakyat yang tertindas. Ia
keliling kota di Jawa, seperti Solo,
Malang, dan Bandung.
Masa Budi Utomo
Di tahun itu pula ia bertemu
dengan dr. Wahidin Sudirohusodo,
seorang dokter Jawa dari lulusan abad
19 yang baru saja menyelesaikan
perjalanan mengelilingi pulau Jawa.
Dari dia, ia mendapatkan cakrawala
baru, tentang apa yang terjadi dengan
negeri ini: betapa terbelakang dan
menderitanya rakyat di bawah
kolonialisme Belanda. Mulailah ia
menjadi pemberontak yang
bersemangat.
.
dr. Wahidin Sudirohusodo
Wahidin juga berseru pada murid-murid kedokteran
Stovia agar mencari jalan untuk memajukan kesejahteraan
rakyat. Seruan itu dijawab dengan membangunkan Budi
Utomo pada tanggal 20 mei 1908. Cipto menjabat sebagai
Komisaris. Dalam waktu tiga bulan anggota Budi Utomo
mencapai 650 orang.
Pada bulan Juli 1908, diadakan Kongres pertama Budi
Utomo di Yogyakarta. Di sini, Cipto menginginkan Budi
Utomo menjadi partai politik yang
beranggotakan masyarakat banyak bukan hanya priyayi dan
tak hanya mencakup Jawa dan Madura saja, tapi juga
mencakup wilayah Hindia Belanda
Pada akhir tahun 1909, anggota Budi Utomo mencapai 10.000
orang, tapi Cipto keluar sebab Budi Utomo semakin menjadi
organisasi priyayi Jawa yang lebih banyak berbicara tentang Jawa.
Sepeninggal Cipto tidak ada lagi perdebatan dalam Budi Utomo
akan tetapi Budi Utomo kehilangan sebagian kekuatannya. Hingga
akhirnya organisasi ini pun akhirnya jatuh ke pangkuan para pejabat
pemerintah kolonial.
Masa Indische Partij
Setelah mengundurkan diri dari Budi Utomo, Cipto tidak
meninggalkan dunia politik sama sekali. Di sela-sela kesibukan
nya melayani pasien nya, Cipto mendirikan Raden Ajeng Kartini
Klub yang bertujuan memperbaiki nasib rakyat.
Perhatiannya pada politik semakin menjadi-jadi setelah dia
bertemu dengan Douwes Dekker yang tengah berpropaganda
untuk mendirikan Indische Partij. Cipto melihat Douwes
Dekker sebagai kawan seperjuangan. Kerjasama dengan
Douwes Dekker telah memberinya kesempatan untuk
melaksanakan cita-citanya, yakni gerakan politik bagi seluruh
rakyat Hindia Belanda.
Hingga akhirnya Cipto, Soewardi Soerjaningrat, dan Ernest
Doewes Dekker (tiga serangkai), membentuk Indische Partij pada
25 Desember 1912 di Bandung.
Dengan tujuan hendak membangunkan patriotisme Hindia
dan menyiapkan kemerdekaan sebuah tanah air yang satu untuk
segala suku, segala ras. Dengan begitu Cipto tak hanya berjuang
untuk Jawa.
Soewardi, Tiga serangkai (kiri ke kanan)
Masa Komite Bumi Putera
Pada November 1913, Belanda memperingati 100 tahun
kemerdekaannya dari Perancis. Peringatan tersebut dirayakan
secara besar-besaran, juga di Hindia Belanda. Perayaan
tersebut menurut Cipto sebagai suatu penghinaan terhadap
rakyat bumi putera yang sedang dijajah. Cipto dan Suwardi
Suryaningrat kemudian mendirikan suatu komite perayaan
seratus tahun kemerdekaan Belanda dengan nama Komite
Bumi Putra.
Aksi Komite Bumi Putera mencapai puncaknya pada 19
Juli 1913, ketika harian De Express menerbitkan suatu artikel
Suwardi Suryaningrat yang berjudul “Als Ik Een Nederlander
Was” (Andaikan Saya Seorang Belanda). Pada hari berikutnya
dalam harian De Express Cipto menulis artikel yang mendukung
Suwardi untuk memboikot perayaan kemerdekaan Belanda.
Tulisan Cipto dan Suwardi sangat memukul Pemerintah Hindia
Belanda.
Pada 30 Juli 1913 Cipto dan Suwardi dipenjarakan dan
pada 18 Agustus 1913 keluar surat keputusan untuk membuang
Cipto, Suwardi Suryaningrat, dan Douwes Dekker ke Belanda.
Masa Indische Vereeniging
Selama masa pembuangan di Belanda, bersama Suwardi
dan Douwes Dekker, Cipto tetap melancarkan aksi politiknya.
Vereeniging, pada mulanya adalah perkumpulan sosial
mahasiswa Indonesia, sebagai tempat saling memberi
informasi tentang tanah airnya. Akan tetapi, kedatangan
Cipto, Suwardi dan Douwes Dekker berdampak pada konsepkonsep baru dalam gerakan organisasi ini. Konsep “Hindia
bebas dari Belanda dan pembentukan sebuah negara Hindia
yang diperintah rakyatnya sendiri”, mulai dicanangkan
oleh Indische Vereeniging.
Masa Insulinde
Oleh karena alasan kesehatan, pada tahun 1914 Cipto
diperbolehkan pulang kembali ke Jawa dan sejak saat itu dia
bergabung dengan Insulinde, suatu perkumpulan yang
menggantikan Indische Partij.
Sejak itu, Cipto menjadi anggota pengurus pusat Insulinde
untuk beberapa waktu dan melancarkan propaganda untuk
Insulinde.
Akibat propaganda Cipto, jumlah anggota Insulinde pada
tahun 1915 yang semula berjumlah 1.009 meningkat mencapai
40.000 orang pada tahun 1919. Insulinde di bawah pengaruh kuat
Cipto menjadi partai yang radikal di Hindia Belanda. Pada 9 Juni
1919 Insulinde mengubah nama menjadi Nationaal-Indische Partij
(NIP)
Masa Pengasingan
Pada tahun 1918 Pemerintah Hindia Belanda
membentuk Volksraad (Dewan Rakyat).Meskipun pemerintah
Hindia Belanda membentuk Dewan Rakyat seperti tuntutan
Cipto, Cipto masih juga terus mengkritik terutama soal proses
pemilihan. Karena itu, Cipto kembali dibuang, tahun 1920.
Tapi kali ini dia menjadi tahanan kota di Bandung, yang
berarti bahwa dirinya tidak diperbolehkan keluar dari kota
Bandung tanpa persetujuan dari pemerintah Belanda.Namun
perjuangannya tidak menjadi surut.
Dengan berbagai cara dirinya selalu menemukan bentuk
kegiatan untuk melanjutkan pergerakan seperti menjadikan
rumahnya menjadi tempat berkumpul, berdiskusi dan berdebat
para tokoh pergerakan nasional di antaranya seperti Ir.
Soekarno (Proklamator/Presiden pertama RI).
Kegiatan-kegiatannya selama di Bandung terutama usaha
mengumpulkan para tokoh pergerakan nasional di rumahnya
akhirnya terbongkar. Dia kembali mendapat sanksi dari
pemerintah Belanda. Pada tahun 1927, dari Bandung dia
dibuang ke Banda Neira
Penampakan (kini) Banda Neira,Banda,Maluku Tengah
Di Banda Neira, dr. Cipto mendekam/terbuang sebagai
tahanan selama tiga belas tahun. Dari Banda Naire dia
dipindahkan ke Ujungpandang. Dan tidak lama kemudian
dipindahkan lagi ke Sukabumi, Jawa Barat. Namun karena
penyakit asmanya semakin parah, sementara udara Sukabumi
tidak cocok untuk penderita penyakit tersebut, dia
dipindahkan lagi ke Jakarta.
Jakarta merupakan kota terakhirnya hingga akhir
hidupnya. dr.Cipto Mangunkusumo meninggal di Jakarta, 8
Maret 1943, dan dimakamkan di Watu Ceper, Ambarawa.
Atas jasa dan pengorbanannya sebagai pejuang pembela
bangsa, oleh negara namanya dinobatkan sebagai
Pahlawan Kemerdekaan Nasional yang disahkan dengan
SK Presiden RI No.109 Tahun 1964, Tanggal 2 Mei 1964
dan namanya pun diabadikan sebagai nama Rumah Sakit
Umum Pusat di Jakarta.
Puisi “Sang Dokter”
Kami mengenalnya diantara pautan-pautan tinta
Namanya yang memudar namun tersimpan rapat
Kami mengenalnya pada pemikirannya yang lantang
Menggerakan para jiwa ksatria menghadang penjajah
Mereka bergedik memandangnya bengis
Atas aksara-aksaranya yang tajam
Atas gagasan-gagasan kebebasannya yang tak mau berhenti
Atas rasa tak gentar menentang mereka
Namun, kami tak tahu
Bagaimana ia dibuang karena memperjuangkan aspirasinya
Bagaimana ia terus berpegang teguh pada asa
Ketika jentan-jentan kematian memekakan telinga malam
Kala tankan nafas penyesalan terakhirnya dihembuskan
Kami tahu
Jasanya tidak akan tertulis dalam 100 halaman
Jasanya akan hidup bahkan ketika senja tidak terlihat indah