POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA ARAH BARU DALAM POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA (ORDE BARU)

Download Report

Transcript POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA ARAH BARU DALAM POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA (ORDE BARU)

POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA
ARAH BARU DALAM POLITIK LUAR NEGERI
INDONESIA
(ORDE BARU)
ARAH BARU DALAM POLITIK LUAR
NEGERI INDONESIA (ORDE BARU)
 Praktek kebijaksanaan luar negeri
Indonesia sebelum orde lama yang
revolusioner ditimbulkan dan ditopang
keberadaannya oleh pola kekuasaan
Demokrasi Terpimpin.
Dengan konsolidasi
pemerintahan yang efektif
dibawah pimpinan Jenderal
Soeharto, pola itu secara
mendasar mengalami
perubahan, sedangkan
pernyataan dan simbolisme yang
menyertainya di kesampingkan.
Sepanjang kebijaksanaan luar
negeri ditimbulkan oleh sifat
tata politik dalam negeri,
maka perubahan politik
dalam negeri digantikan
secara logis oleh arah baru
dalam kebijaksanaan luar
negeri
ARAH BARU DALAM POLITIK LUAR
NEGERI INDONESIA (ORDE BARU)
 Perubahan politik yang diperkenalkan
oleh Orde Baru dibawah kepemimpinan
Soeharto menyangkut pengurangan secara
berarti pluralisme didalam sistem, dan
bukan tampilnya unsur-unsur baru ke
panggung kekuasaan.
ABRI, terutama Angkatan Darat,
yang mengemban komando puncak
politik RI, telah menjadi faktor
penting sejak awal revolusi
nasional. Sebagai salah satu
institusi, AD dijiwai oleh perasaan
nasionalisme yang kuat dan
mempunyai pandangan yang sama
dengan Soekarno dan para
pendukungnya mengenai keharusan
berperanan dalam kawasan Asia
Tenggara.
Tambahan lagi, Soeharto
menggunakan struktur
konstitusi yang sama
dengan pendahulunya.
Malahan justru Angkatan
Daratlah yang mendorong
Soekarno untuk
menerapkan Demokrasi
Terpimpin berdasarkan
UUD 45 pada bulan Juli
1959
ARAH BARU DALAM POLITIK LUAR
NEGERI INDONESIA (ORDE BARU)
 Konstitusi itu ditegaskan sebagai sumber keabsahan politik,
karena hal itu sesuai dengan tujuan politik Soeharto dan juga
karena persepsinya mengenai kebutuhan utama negara
Indonesia. Oleh karena itu, tidak terdapat suatu
ketidaksinambungan menyeluruh dalam struktur tata politik
setelah kudeta yang gagal itu.
 Peter Polomka, “Indonesia and the Stability of South-East
Asia”, Survival, Mei-Juni 19973, hal 111-113.
Sehubungan dengan itu,
kebijaksanaan luar negeri
tidak dibentuk dalam cetakan
baru sama sekali, terutama
karena Angkatan Darat juga
mengalami kerapuhan
nasional yang telah
mengakibatkan timbulnya
kecurigaan yang mendalam
atas maksud semua kekuatan
luar di kawasan ini.
ARAH BARU DALAM POLITIK LUAR
NEGERI INDONESIA (ORDE BARU)
 Meskipun Soeharto mulai memerintah pada tahun 1965, namun
pada awalnya ia tidak secara penuh terlibat dalam perumusan
politik luar negeri. Meskipun demikian, ia menyetujui kebijakan
yang sesuai dengan prioritas utamanya.

 Salah satu alasan mengapa ia tidak terlibat secara intens dalam
politik luar negeri, karena ia tidak memiliki banyak pengalaman
dalam masalah-masalah internasional, dan menurut Roeder, ia
tidak terlalu tertarik pada politik luar negeri saat itu.
 Leo Suryadinata, Politik Luar Negeri Indonesia di Bawah Soeharto,
LP3ES, Jakarta, 1998, hal 48.
 Roeder, Soeharto:The Smilling General, 179.
Namun secara bertahap,
Soeharto mulai tertarik
pada politik luar negeri.
Ini menjadi jelas di tahun
1970-an ketika Soeharto
dan Adam Malik bersilang
pendapat mengenai
normalisasi hubungan
Indonesia-Cina.
ARAH BARU DALAM POLITIK LUAR
NEGERI INDONESIA (ORDE BARU)
 Pada awal periode Orde Baru, sedikitnya
ada dua kelompok perumus politik luar
negeri: Pertama, Militer (DEPHANKAM
(Departemen Pertahanan dan Keamanan),
LEMHANAS (Lembaga Pertahanan
Nasional), dan BAKIN (Badan Koordinasi
Intelejen Negara); Kedua, Departemen Luar
Negeri.
Deplu, sejak awal didominasi
oleh para diplomat karier
sipil, dan peranannya berubah
dari waktu ke waktu.
Sebelum era Soekarno, Deplu
memainkan peranan yang
menentukan dalam
pembuatan politik luar
negeri. Perannya berkurang
selama Soekarno dan semakin
berkurang selama periode
orde baru.
ARAH BARU DALAM POLITIK LUAR
NEGERI INDONESIA (ORDE BARU)
 Selama periode orde baru, terdapat tiga menteri luar
negeri, semuanya berasal dari sipil. Mereka adalah Adam
Malik (seorang politisi dan diplomat yang
berpengalaman), Mochtar Kusumaatmadja (seorang
profesor hukum), dan Ali (Alex) Alatas, seorang
diplomat karier. Disamping tiga Menlu, ada beberapa
intelektual/diplomat yang menonjol di Deplu, yaitu
Anwar Sani (duta besar untuk PBB); Hasyim Djalal (ahli
hukum kelautan), dan Nana Sutresna (PBB dan Gerakan
Non-Blok).
PERAN MILITER
 Setelah kudeta tahun 1965, militer
memasuki Deplu dalam rangka mengikis
anggota-anggota PKI dan simpatisannya.
Pada bulan April 1966, suatu kelompok
dibentuk didalam Deplu untuk
membersihkan “unsur-unsur yang tidak
diinginkan”. Hal ini dimaksudkan untuk
menghadapi kegiatan-kegiatan PKI di luar.
Kelompok ini kemudian
berubah menjadi Laksus
(Pelaksana Khusus),
bertanggung jawab langsung
kepada Kopkamtib (Komando
Operasi untuk Pemulihan
Keamanan dan Ketertiban).
Dua perwira militer yang
terlibat dalam kelompok ini
adalah Kolonel Her Tasning dan
Kolonel Soepardjo Rustam
PERAN MILITER
 Di luar Deplu, ada kelompok-kelompok
militer lain yang juga terlibat dalam
mempengaruhi polugri orde baru.
Kelompok ini adalah HANKAM,
BAKIN, BAIS (Badan Intelejen
Strategis), LEMHANAS, dan Setneg
(Sekretaris Negara).
Beberapa perwira yang banyak
mempengaruhi perumusan luar
negeri namun tidak berada
dibawah payung Hankam adalah
Letjend Ali Moertopo dan
Sudjono Humardani, yang
merupakan patron dari CSIS
(Centre for Strategic and
International Studies). CSIS yang
didirikan tahun 1971, menjadi
think-tank baik untuk politik
dalam negeri maupun luar negeri.
Deplu, Militer dan Meningkatnya Peran
Soeharto
 Sampai dengan pertengahan tahun
1980-an, kelompok militer dan Deplu
tidak selalu sepakat, kecuali isu-isu
tertentu. Jika mereka tidak sepakat,
militer biasanya melakukan jalannya
sendiri.
Contoh kasus:
 masalah pinjaman dari Jepang (Informasi Adam Malik Jepang
tidak bisa memberikan tambahan yang lebih banyak, Militer
tidak percaya, dan mendorong Soeharto untuk melawat ke
Jepang, akhirnya informasi Adam Malik yang akurat);
 kebijakan Indonesia atas Cina di PBB (Adam Malik
mendukung usulan Albania, untuk menerima RRC sebagai
satu-satunya wakil Cina di PBB, Militer memilih abstein);
 masalah referendum Irian Barat tahun 1969. Adam Malik
menginginkan kebijakan yang lebih toleran terhadap para
penentang, namun pandangan militer bersifat sebaliknya.
Deplu, Militer dan Meningkatnya Peran
Soeharto
 Berkenaan dengan masalah-masalah internasional, militer
berhasil dalam melangkahi lembaga-lembaga lain yang secara
konvensional berkaitan dengan masalah-masalah politik luar
negeri, seperti Deplu, Komisi I DPR, dan Bappenas yang
berwenang dalam masalah-masalah ekonomi dalam dan luar
negeri.
 Pada awalnya, ada pertentangan antara militer dengan
Deplu, dalam hal ini militer muncul sebagai pemenang. Invasi
ke Timor Timur pada tahun 1970-an, penanganan hubungan
Indonesia-Vietnam, dan dasar dari hubungan IndonesiaAustralia hingga pertengahan tahun 1980-an memberikan
gambaran banyak pemain yang berperan.
Deplu, Militer dan Meningkatnya Peran
Soeharto
 Militer Indonesia secara khusus menaruh perhatian pada isu-
isu politik luar negeri yang berkaitan dengan masalah
keamanan dan ideologi. Sampai dengan pertengahan tahun
1980-an, militer berhasil memperlihatkan inisiatifnya dalam
politik luar negeri.
 Namun demikian, peran pribadi Presiden Soeharto
meningkat jelas pada awal tahun 1980-an. Semakin jelas pada
pertengahan 1980-an, bahwa Presiden memainkan peran
yang menentukan.
POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA
SELAMA ORDE BARU
 Presiden Soeharto yang tadinya bersikap
pasif terhadap politik luar negeri, Setelah
pemilu tahun 1982, menjadi sangat aktif
dalam perumusan politik luar negeri ketika
ia tertarik untuk menjalankan profil politik
luar negeri tingkat tinggi bagi Indonesia.
Setelah pemilu 1982,
Soeharto semakin percaya
diri. Golkar memperoleh
kemenangan mutlak dalam
pemilu dan berbeda dengan
pemilu sebelumnya, tidak
terdapat kekerasan dan
demonstrasi mahasiswa
sebelum pengambilan suara,
dan ini menunjukkan tidak
ada lagi kekuatan-kekuatan
oposisi.
POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA
SELAMA ORDE BARU
 Selama pemilihan Presiden tahun 1983, Soeharto dicalonkan oleh
tiga partai politik (Golkar, PDI, PPP) sebagai calon tunggal untuk
jabatan presiden. Dalam pilpres sebelumnya, PPP hanya
menyepakati untuk mencalonkan Soeharto pada menit-menit
terakhir.
 Pada tahun 1980-an juga, masalahTimor Timur dibawah kendali.
Soeharto mungkin berpikir bahwa ini saatnya bagi Indonesia untuk
memainkan peran aktif dalam masalah-masalah internasional. Dan
memang sejumlah peristiwa sejak tahun 1984 kedepan
memperlihatkan kecenderungan ini.
 Leo Suryadinata and Sharon Siddique (Eds), Trends in Indonesia II,
Singapore University Press, Singapore, 1981, p. 26.
Peringatan 30 tahun KAA
 Pada tahun 1985, Indonesia menjadi tuan rumah
peringatan Konferensi Asia Afrika di Bandung. Sekitar
100 negara Asia-Afrika diundang (termasuk RRC).
Namun dalam pertemuan tersebut, seluruh pesrta
tidak dapat menyetujui beberapa isu utama
internasional.
 Akibatnya tidak ada resolusi. Beberapa komentar
berpendapat bahwa ini bukanlah suatu Konferensi.
Dari sudut pandang Indonesia, ini adalah langkah
pertama bagi Indonesia untuk aktif kembali di arena
internasional.
Ketua Gerakan Non-Blok dan
Pertemuan APEC
Pada tahun 1987, Presiden
Soeharto mengirim Wakil
Presiden Umar
Wirahadikusumah untuk
menghadiri Konferensi NonBlok di Zimbabwe. Umar
diperintahkan untuk
menyampaikan keinginan
Indonesia menjadi Ketua
Konfederasi Non-Blok.
Ketua Gerakan Non-Blok dan
Pertemuan APEC
 Tawaran itu ditolak, alasannya Gerakan Non-Blok
yang didominasi negara-negara pro-Soviet itu tidak
setuju terhadap kepemimpinan Indonesia yang proBarat. Invasi Indonesia di Timor Timur juga telah
menimbulkan amarah negara-negara Afrika.Yang
terakhir, penolakan Indonesia untuk mengizinkan
PLO membuka kantornya di Jakarta, dicatat oleh
berbagai pengamat sebagai alasan kegagalan Soeharto
untuk menjadi Ketua Gerakan Non-Blok.
Tahun 1988, upaya lain
dilakukan oleh Ali Alatas,
tetapi sekali lagi Indonesia
tidak mendapatkan
dukungan mayoritas dari
negara-negara yang hadir.
Indonesia tidak putus asa,
dan akhirnya berhasil
memperoleh
kepemimpinan di tahun
1991.
Perlu dicatat bahwa
hanya di tahun 1990an Indonesia antusias
menyokong
perdagangan bebas,
baik di ASEAN
maupun APEC untuk
menunjukkan peran
kepemimpinannya
 Pada tahun 1986, terjadi ketegangan antara
Singapura dengan Malaysia akibat kunjungan
Presiden Israel Chaim Herzog. Malaysia
memprotes kunjungan tersebut dengan
memanggil pulang duta besarnya dari Singapura.
Namun Singapura menyatakan bahwa mereka
mempunyai hak untuk mengundang setiap kepala
negara untuk berkunjung, tetapi Lee KuanYew
mengakui bahwa ia tahu PM Malaysia akan
bereaksi.
Penengah Singapura-Malaysia
Pada tahun 1986, terjadi
ketegangan antara Singapura
dengan Malaysia akibat kunjungan
Presiden Israel Chaim Herzog.
Malaysia memprotes kunjungan
tersebut dengan memanggil pulang
duta besarnya dari Singapura.
Namun Singapura menyatakan
bahwa mereka mempunyai hak
untuk mengundang setiap kepala
negara untuk berkunjung, tetapi
Lee Kuan Yew mengakui bahwa ia
tahu PM Malaysia akan bereaksi.
Segera setelah kejadian itu,
Soeharto berkunjung ke Malaysia,
setelah pertemuan itu itu,
Soeharto melakukan perjalanan
dengan mobil, tidak dengan
pesawat ke Singapura, dan
ditemui oleh PM Lee dijalan
lintasan. Hal ini diartikan oleh
beberapa pengamat sebagai cara
Indonesia menunjukkan
kepemimpinan regional. Menurut
Chang Heng Chee, itu merupakan
tindakan simbolik menyatukan
kedua negara.
Pertemuan ASEAN
Ketika Cory Aquino menjadi
presiden, Filipina
memerlukan dukungan
negara-negara ASEAN
lainnya, dan atas alasan
tersebut, diusulkan agar
pertemuan ASEAN ketiga
diadakan di Manila.
Pertemuan ASEAN
 Keamanan adalah suatu persoalan di Manila saat itu,
meskipun demikian Presiden Soeharto memutuskan
untuk hadir dengan mengabaikan rekomendasi dari para
penasehatnya. Menunjukkan rasa hormat terhadap sikap
kepemimpinan dari peranan Indonesia ini, pertemuan
ASEAN ke III berhasil dilaksanakan pada Desember
1987.
 Hal itu adalah dorongan untuk solidaritas ASEAN dan
dipandang sebagai jaminan terhadap stabilitas regional.
Peristiwa ini mengkokohkan kepemimpinan Soeharto
diantara para pemimpin ASEAN. Ini juga Indonesia yang
merancang agenda pertemuan ASEAN ke-IV tahun 1992.
Ali Alatas: Pernyataan Polugri Baru
Pada bulan Agustus 1988, dalam suatu forum
mengenai politik luar negeri Indonesia di
Yogyakarta, Ali Alatas mengajukan makalah
yang menyatakan bahwa Indonesia harus
melanjutkan peran dominan, baik dalam
masalah-masalah regional maupun
internasional, dan harus memproyeksikan
suatu profil yang menonjol. Beberapa
pengamat mengintreprestasikan pernyataan
ini sebagai kebijakan pemerintah yang baru.
Beijing dan Dili
 Tampaknya profil politik luar negeri Soeharto yang menonjol
tidak selalu mendapat dukungan militer. Meskipun demikian,
Soeharto mampu dengan jalannya sendiri, seperti terbukti
dalam kasus perbaikan hubungan diplomatik antara JakartaBeijing.
 Soeharto membuat pernyataan yang mengejutkan bulan
Februari 1989 yang menyebutkan bahwa Indonesia akan
memulai proses normalisasi hubungan dengan RRC. Militer
tidak antusias dengan normalisasi dini (early normalization)
ini.
Beijing dan Dili
Contoh lain dari inisiatif polugri
Soeharto adalah tanggapannya
terhadap peristiwa Dili pada
tanggal 12 November 1991.
Soeharto berada dalam posisi
mengendalikan secara penuh dan
ia ingin mengambil jarak dengan
kalangan militer. Sejak
pengambilalihan Timor Timur
menjadi salah satu isu penting
dalam politik luar negeri
Soeharto.
Masalah Timor Timur
menjadi isu paling
penting dalam polugri
Soeharto. Ini
memperlihatkan bahwa
Indonesia dibawah
Soeharto menaruh
perhatian terhadap isu
keamanan, selain juga
sangat nasionalistik.
Beijing dan Dili
 Indonesia berkeyakinan memiliki hak untuk
memasukkan Timor Timur sebagai bagian
dari Indonesia, karena masyarakat Timor
Timur adalah saudara-saudara dari
masyarakat Indonesia. Ini adalah contoh
yang baik dimana masalah keamanan dan
nasionalisme telah bergabung menjadi satu.
Contoh Timtim mungkin unik
dalam arti Timtim adalah suatu
koloni. Mereka mendapatkan
“kemerdekaan” (independence)
melalui “penyatuan” (merger)
dengan Indonesia. Tetapi kritik
atas Indonesia mengatakan bahwa
ini adalah suatu bentuk
kolonialisme dalam negeri
(internal colonialism). Bahkan
mereka khawatir apabila ini akan
menciptakan pola perilaku
Indonesia di masa depan.
Beijing dan Dili
 Isu Timtim adalah juga penting dalam arti, bahwa
ia adalah salah satu dari isu-isu utama yang
mempengaruhi hubungan Jakarta-Canberra.
Penerimaan masyarakat Australia terhadap
pendudukan sebagai suatu fait accompli secara
bertahap memperbaiki hubungan AustraliaIndonesia. Friksi Timtim dimasa depan mungkin
masih akan terjadi karena isu mengenai pengungsi
dan masalah-masalah lainnya.
Faktor penting yang berkaitan
dengan Isu Timtim, khususnya
dalam Tragedi Dili, adalah peran
aktif yang dimainkan Soeharto. Ia
dapat melakukan inisiatif untuk
menentramkan kritik
internasional dan memperlihatkan
kepiawaian yang luar biasa dalam
menangani, baik politik dalam
negeri maupun internasional. Leo
Suryadinata, Politik Luar Negeri
Indonesia di Bawah Soeharto,
LP3ES, Jakarta, 1998, hal 81.