Presentasi Direktur PI Polkamwil Seminar Hukla Surabaya Sept

Download Report

Transcript Presentasi Direktur PI Polkamwil Seminar Hukla Surabaya Sept

PENYELESAIAN BATAS MARITIM DENGAN NEGARA-NEGARA TETANGGA SEBAGAI SALAH SATU UPAYA MEMINIMALISIR KEGIATAN IUU FISHING

I

Surabaya 22 September 2014 Seminar Hukum Laut Nasional 2014 Fakultas Hukum Universitas Airlangga 1

SISTEMATIKA PEMAPARAN

1.

Pendahuluan

2.

Penetapan Perbatasan

3.

Perkembangan Penetapan Batas Maritim Indonesia

4.

Pengelolaan Batas Wilayah Maritim

5.

Penutup

2

Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia

Negara Tetangga Indonesia

BATAS WILAYAH NKRI (DARAT, LAUT, UDARA DAN FIR*)

PENETAPAN PERBATASAN

5

Aspek penting dalam penanganan isu perbatasan yang terkait dengan kebijakan Border Diplomacy

1.

Penetapan Perbatasan

2.

Pengelolaan Perbatasan

6

PENETAPAN PERBATASAN

Penetapan perbatasan adalah upaya dalam menetapkan wilayah negara yang meliputi wilayah darat, wilayah perairan, dasar laut dan tanah di bawahnya serta ruang udara di atasnya, termasuk seluruh sumber kekayaan yang terkandung di dalamnya.

7

PENETAPAN PERBATASAN

Penetapan batas wilayah negara yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia merupakan suatu keharusan sesuai ketentuan hukum internasional dan hukum nasional.

Dasar Hukum internasional yang mengatur penetapan batas, khususnya maritim ,adalah UNCLOS 1982, yaitu :

1.

Pasal 15 Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 (Batas Laut Teritorial)

Dalam hal pantai dua negara yang letaknya berhadapan atau berdampingan satu sama lain, tidak satupun diantaranya berhak, kecuali ada persetujuan yang sebaliknya antara mereka, harus menetapkan batas laut teritorialnya melebihi garis tengah yang titik-titiknya sama jaraknya dari titik-titik terdekat pada garis pangkal dimana lebar laut teritorial masing-masing negara diukur.

8

PENETAPAN PERBATASAN

2. Pasal 74 Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 (Batas ZEE)

Penetapan ZEE antar negara yang pantainya berhadapan dan berdampingan harus dilakukan dengan persetujuan mencapai penyelesaian yang adil.

berdasarkan hukum internasional, sebagaimana tercantum dalam Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional, untuk

3. Pasal 83 Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 (Batas Landas Kontinen)

Penetapan Landas Kontinen antar negara yang pantainya berhadapan dan berdampingan harus dilakukan dengan persetujuan berdasarkan hukum internasional, sebagaimana tercantum dalam Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional, untuk mencapai penyelesaian yang adil.

9

PENETAPAN PERBATASAN

Dasar Hukum nasional yang mengatur keharusan untuk berunding dalam penetapan batas wilayah negara adalah:

1.

Pasal 5 UU No. 43 tahun 2008 tentang Wilayah Negara

Batas wilayah negara di darat, perairan, dasar laut dan tanah di bawahnya serta ruang udara di atasnya ditetapkan berdasarkan perjanjian bilateral dan/atau trilateral mengenai batas darat, batas laut dan batas udara serta berdasarkan peraturan perundang-undangan dan hukum internasional.

2. Pasal 6 UU No. 43 tahun 2008 tentang Wilayah Negara

Dalam hal wilayah negara tidak berbatasan dengan negara lain Indonesia menetapkan batas wilayah negara secara unilateral berdasarkan peraturan perundang-undangan dan hukum internasional.

3. Pasal 3 UU No. 5 tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia

Apabila ZEE Indonesia tumpang tindih dengan ZEE negara yang pantainya saling berhadapan atau berdampingan dengan Indonesia maka batas ZEE antar Indonesia dan negara tersebut ditetapkan dengan persetujuan bilateral.

4. Pasal 3 UU No. 1 tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia

Dalam hal landas kontinen Indonesia, termasuk depresi-depresi yang terdapat di landas kontinen Indonesia berbatasan dengan negara lain, penetapan garis batas landas kontinen dilakukan dengan cara mengadakan perundingan untuk mencapai suatu persetujuan.

10

PERKEMBANGAN PENETAPAN BATAS MARITIM INDONESIA 11 RI – MALAYSIA

 Kedua negara sejak tahun 2005 telah melaksanakan perundingan penetapan batas maritim di segmen-segmen yang masih belum disepakati yaitu, batas ZEE di Selat Malaka, batas Laut Teritorial di Selat Singapura, batas Laut Teritorial di Selat Malaka Bagian Selatan dan batas Laut Teritorial di Laut Sulawesi.

 Pertemuan telah berlangsung selama 26 putaran dan pertemuan terakhir dilaksanakan di Johor Bahru pada bulan Oktober 2013.

11

SEGMEN MARITIM RI - MALAYSIA YANG PERLU DISEPAKATI BATASNYA

1 4 2 3 4 5 1 2 3 4 5 SEGMEN SELAT MALAKA SEGMEN SELAT MALAKA BAGIAN SELATAN SEGMEN SELAT SINGAPURA SEGMEN LAUT CHINA SELATAN SEGMEN LAUT SULAWESI ISU BATAS ZEE ISU BATAS LAUT WILAYAH ISU BATAS LAUT WILAYAH, LK & ZEE

PERKEMBANGAN PENETAPAN BATAS MARITIM INDONESIA 13 RI – VIETNAM

Kedua negara tengah merundingkan penetapan batas ZEE sejak tahun 2007 dan Pertemuan Teknis ke-5 telah dilaksanakan di Hanoi, Vietnam pada 30 Juli 2013.

13

INDONESIA - VIETNAM 14

PERKEMBANGAN PENETAPAN BATAS MARITIM INDONESIA RI – FILIPINA

 Proses perundingan batas maritim RI – Filipina telah dilakukan sejak tahun 1994 dan secara intensif dilakukan sejak tahun 2011.

 Pada tanggal 23 Mei 2014 Menteri Luar Negeri kedua negara telah menandatangani Persetujuan Batas ZEE antara Pemerintah RI dan Pemerintah Filipina (Agreement between the Government of the

Republic of Indonesia and Government of the Republic of the Philippines Concerning the Delimitation of the Exclusive Economic Zone

Boundary). Menurut rencana kedua negara juga akan memulai perundingan batas maritim terkait Landas Kontinen.

15

16

INDONESIA - FILIPINA

PERKEMBANGAN PENETAPAN BATAS MARITIM INDONESIA 17 RI – TIMOR LESTE

Dalam pertemuan antara pimpinan kedua negara pada akhir Agustus 2014 di Dili, RI dan Timor Leste sepakat untuk merundingkan penetapan batas maritim dalam

17

Indonesia – Timor-Leste Kementerian Luar Negeri REPUBLIK INDONESIA

PERKEMBANGAN PENETAPAN BATAS MARITIM INDONESIA 19 RI-Australia

Persetujuan RI-Australia tentang Penetapan Batas ZEE dan Batas Batas Laut Tertentu Tahun 1997 masih belum berlaku. Sehingga penentuan garis batas ZEE saat ini masih menggunakan rujukan garis batas sementara berdasarkan Persetujuan 1981 tentang

Implementation of a Provisional Fisheries Surveillence and Enforcement Arrangement

19

Indonesia – Australia (from south of Java to Arafura ) Kementerian Luar Negeri REPUBLIK INDONESIA

INDONESIA - AUSTRALIA

PENGELOLAAN WILAYAH BATAS MARITIM 22

 Pengelolaan Perbatasan secara umum dapat diartikan sebagai serangkaian kegiatan berupa pengorganisasian dan pengawasan untuk mengelola, menjaga dan mengamankan wilayah suatu negara di wilayah yang berbatasan dengan negara lain.

 Dalam mengelola perbatasan perlu adanya integrasi kegiatan yang dilakukan oleh instansi terkait di dalam negeri dan kerjasama di kawasan perbatasan dengan negara yang berbatasan.

22

PENGELOLAAN WILAYAH BATAS MARITIM 23

• • •

Konflik penegakan hukum terkait dengan batas maritim yang masih dirundingkan (overlapping claim); Proses penegakan hukum di lapangan; Pemanfaatan/perlindungan alam.

sumber daya

23

24

COMMON GUIDELINES CONCERNING TREATMENT OF FISHERMEN BY MARITIME LAW ENFORCEMENT AGENCY RI-MALAYSIA

Insiden Tg. Berakit (DKP Tanjung Balai Karimun), 13 Agustus 2010.

 Lima (5) Kapal ikan berbendera Malaysia melakukan penangkapan ikan di sekitar Perairan Berakit, di menuju Batam.

ad-hock

 Dihadang oleh Patroli

Marine Police

Malaysia.

 Kapal Nelayan Malaysia dan tiga orang anggota DKP dibawa menuju ke Malaysia.

24

25

COMMON GUIDELINES CONCERNING TREATMENT OF FISHERMEN BY MARITIME LAW ENFORCEMENT AGENCY RI-MALAYSIA

 Ditandatangani di Bali, 27 Januari 2012 oleh Kalakhar BAKORKAMLA dan Sekretaris MKN di hadapan Menkopolhukam RI dan Menteri Senior Malaysia.

 Merupakan dasar hukum bilateral kedua negara yang mengatur mengenai tata cara perlakuan terhadap nelayan di wilayah maritim kedua negara di overlapping area dengan mengedepankan kesejahteraan nelayan  MoU Common Guidelines mendapat apresiasi yang baik dalam pertemuan Expanded ASEAN Maritime Forum sebagai suatu contoh mekanisme pengaturan di wilayah overlapping.

25

26

COMMON GUIDELINES CONCERNING TREATMENT OF FISHERMEN BY MARITIME LAW ENFORCEMENT AGENCY RI-MALAYSIA

Pokok-Pokok MoU Common Guidelines:  Berlaku pada unresolved maritime boundary areas antara RI dan Malaysia. Wilayah pemberlakuan MoU mengikuti perkembangan penyelesaian batas maritim.

 Perlakuan terhadap nelayan : Diperiksa dan diminta untuk meninggalkan lokasi kecuali bagi nelayan yang menggunakan alat tangkap illegal akan diproses;  Notifikasi dan laporan kepada masing-masing fokal point.  Setiap tindakan yang diambil aparat harus menghindari kekerasan dan perlunya perlakuan yang adil terhadap nelayan.

26

MoU Box 1974 RI-AUSTRALIA

27

Fishermen who have traditionally taken fish and sedentary organism in Australian waters by methods which have been the tradition over decades of time ”.

Kegiatan yang dibolehkan:  Menangkap ikan, termasuk jenis sedenter di wilayah “kotak”;  Mendarat dan mengambil air tawar di East & Middle Islands;  Berlindung (keadaan darurat/badai)

27

28

Wilayah “kotak” MoU Box 1974

28

Larangan di area MoU Box 1974

29

Menangkap jenis ikan yang dilarang CITES, a.l.: Kima raksasa atau Akar Bahar atau

Giant clam (Tridacna gigas) Black coral (Antipathes spp)

; ; Penyu sisik atau

Hawksbill turtle (Eretmochelys imbricata

) maupun telurnya; • Menangkap biota darat: burung, telur burung, kayu; • Mengambil air di bagian Tengah dan Timur Ashmore Reef.

29

PENUTUP 30

• • • • Pentingnya penetapan perbatasan dalam rangka pengelolaan sumber daya alam.

Perlunya mempertimbangkan instrumen hukum internasional dalam proses penegakan hukum IUU Fishing; Penguatan kerjasama diantara aparat penegak hukum maupun kapasitas Pengadilan Perikanan; Perlunya peningkatan komitmen terhadap instrumen hukum internasional kerjasamanya.

secara normatif maupun aspek operatif

30

TERIMA KASIH

Hubungi kami: Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia

Gedung Utama, Lantai 2, 7 dan 11 Jalan Taman Pejambon No. 6 Jakarta Pusat – 10110

Sekretariat Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional

Telp. 021-3846633 Fax: 021-3858044

Direktorat Perjanjian Politik Keamanan dan Kewilayahan

Telp: 021-3849618 Fax: 021-3524154

Direktorat Hukum

Telp. 021-3848648 Fax: 021-3504663

Direktorat Perjanjian Ekonomi dan Sosial Budaya

Telp: 021-3858015 Fax: 021-3523302 Website: http://www.kemlu.go.id

http://naskahperjanjian .deplu.go.id/main.asp

http://pustakahpi.kemlu.go.id