Undang-undang No 23 tahun“Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga” sudah disahkan tahun lalu, tetapi kasus kekerasan dalam rumah tangga, terutama pada perempuan semakin meningkat, bagaimana implementasinya.

Download Report

Transcript Undang-undang No 23 tahun“Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga” sudah disahkan tahun lalu, tetapi kasus kekerasan dalam rumah tangga, terutama pada perempuan semakin meningkat, bagaimana implementasinya.

Undang-undang No 23 tahun
2004
“Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga” sudah disahkan tahun lalu,
tetapi kasus kekerasan dalam rumah
tangga, terutama pada perempuan
semakin meningkat, bagaimana
implementasinya di lapangan? Penting
untuk selalu dikaji agar kehadiran UU
P-KDRT menjadi lebih bermakna.
FAKTA 1:
Kekerasan telah menjadi
fenomena dalam kehidupan
masyarakat. Kekerasan
telah memasuki berbagai
wilayah komunitas, seperti:
politik, ekonomi, sosial,
budaya, seni, ideologi,
bahkan dalam wilayah sosial
yang paling ekslusif yaitu
rumah tangga.
FAKTA 2.
KDRT merupakan masalah sosial
yang kurang mendapat anggapan
Secara serius dari masyarakat,
karena:
1. KDRT memiliki ruang lingkup yang
relatif tertutup (privat) dan
terjaga ketat privacy-nya sebab
terjadi dalam keluarga.
2. KDRT sering dianggap “wajar”
sebab diyakini bahwa
memperlakukan isteri sekehendak
suami merupakan hak suami
sebagai pemimpin dan kepala
rumah tangga.
3. KDRT terjadi dalam lembaga yang
legal, yaitu perkawinan
Untuk memahami realitas KDRT sebagai
salah satu bentuk kekerasan terhadap
perempuan diperlukan telaah yang
berperspektif perempuan,
FAKTA 3 :
KDRT merupakan bahaya terbesar bagi
perempuan daripada kekerasan di jalanan.
Di AS misalnya, KDRT merupakan bahaya
terbesar bagi perempuan dibandingkan
bahaya perampokan dan pencurian.
Berdasarkan data statistik terlihat bahwa
tiap 9 menit perempuan menjadi korban
kekerasan fisik, dan 25 % perempuan yang
terbunuh adalah dibunuh oleh pasangan
lelakinya. Disebutkan juga bahwa antara
1,5 hingga 3 juta anak menyaksikan KDRT
dalam keluarganya.
Keberanian Perempuan
mengungkap wilayah privat
merupakan langkah maju
Di Indonesia, masyarakat
lebih senang menyembunyikan
masalah KDRT, karena :
1. ketiga faktor di atas,
2. masih sangat kuatnya kultur
yang menomorsatukan
keutuhan dan keharmonisan
keluarga.
Perempuan korban KDRT
yang menyerah pada
keadaan. , memendam
sendiri penderitaannya.
solusi semacam itu
sebetulnya telah
menyebabkan dampak
negatif.
BATASAN DAN BENTUK KDRT
KDRT adalah suatu
bentuk penganiayaan
(abuse) secara fisik
maupun
emosional/psikologis,
yang merupakan suatu
cara pengontrolan
terhadap pasangan dalam
kehidupan rumah tangga.
FAKTA :
KDRT terjadi karena “kesalahan isteri”
berdasarkan standar nilai suami.
Terjadi pada pasangan yang memulai
perkawinan dengan dasar saling cinta.
Dilakukan oleh suami yang normal, tidak
mempunyai kelainan jiwa.
Terjadi juga pada pasangan yang kondisi
sosial ekonominya tinggi.
Dilakukan oleh suami yang tidak mabuk, tidak
kalah judi, bahkan sukses di dalam karier.
Dilakukan oleh suami yang mampu bergaul
dengan baik dan santun kepada semua orang.
KDRT adalah persoalan laki-laki dan
perempuan di seluruh dunia
Sering terjadi justru dengan alasan
diperbolehkan agama.
Masyarakat masih
cenderung
menganggap
persoalan KDRT
sebagai suatu
persoalan pribadi
yang “lumrah” terjadi
dalam kehidupan
rumah tangga.
Masyarakat punya mitos :
• Terjadi karena isteri membantah,
melawan suami, dan berbuat kesalahan
besar.
• Hanya terjadi pada pasangan yang
memulai perkawinan tanpa dasar saling
cinta (dijodohkan).
• Hanya terjadi pada suami yang memiliki
kelainan jiwa.
• Hanya terjadi pada pasangan dengan
kondisi sosial ekonomi yang rendah
• Terjadi karena suami mabuk, kalah judi,
gagal dalam pekerjaan, dan sebagainya.
• KDRT adalah persoalan perempuan
Barat.
• Hanya terjadi semata-mata karena
suami lepas kontrol atau marah.
• Tidak akan terjadi bila suami-isteri
beragama dengan baik dan taat.
Masyarakat juga
meyakini beberapa
nilai (values) yang
kurang benar, spt :
Suami adalah
pemimpin, jadi berhak
memperlakukan
isterinya sekehendak
hatinya, termasuk
mengontrol isteri.
Tidak seorangpun
berhak ikut campur
dengan urusan suamiisteri karena hal itu
adalah urusan pribadi
Mitos dan nilainilai semacam
ini masih sangat
kental diyakini
masyarakat
sehingga sangat
mempengaruhi
sikap terhadap
persoalan KDRT
itu sendiri.
FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KDRT



Budaya patriarkhi, budaya ini
meyakini bahwa laki-laki adalah
superior dan perempuan inferior
sehingga laki-laki dibenarkan untuk
menguasai dan mengontrol
perempuan.
Interpretasi yang keliru atas ajaran
agama. Sering ajaran agama yang
menempatkan laki-laki sebagai
pemimpin diinterpretasikan sebagai
pembolehan mengontrol dan
menguasai isterinya.
Pengaruh role model. Anak lakilaki yang tumbuh dalam lingkungan
keluarga di mana ayah suka
memukul-kasar terhadap ibunya,
cenderung akan meniru pola
tersebut kepada pasangannya.
DAMPAK KDRT:
Hampir setiap negara di dunia
terjadi persoalan KDRT
 Berbagai penelitian tentang KDRT
pernah dilakukan di Indonesia,
walaupun data kuantitatif tentang
kasus KDRT belum pernah tercatat
secara jelas.
 Korban KDRT dapat menimpa semua
pihak dalam rumah tangga yaitu
isteri, anak-anak maupun suami
 KDRT juga memiliki dampak negatif
pada anak-anak. Anak laki-laki
dari suami yang sering memukul
istrinya, cenderung melakukan hal
serupa terhadap perempuan di masa
yang akan datang setelah dewasa.

LANGKAH PEMECAHAN KDRT :
Langkah ke 1, meluruskan mitos-mitos
mengenai KDRT dan menyampaikan faktafaktanya
Langkah ke 2, mensosialisasikan prinsip
kesetaraan gender, khususnya dalam
konteks hubungan suami istri
Langkah ke 3, penyadaran terhadap
masyarakat.
Langkah ke 4, mendorong kalangan luas
untuk peduli atas persoalan KDRT termasuk
pembentukan lembaga yang bergerak dalam
bidang advokasi terhadap persoalan KDRT
Terima kasih
10 PERUBAHAN
PENDIDIKAN UNTUK
PENINGKATAN SDM
BEBERAPA TAWARAN
TENTANG PARADIGMA
PENDIDIKAN





PENDIDIKAN SEBAGAI PROSES PEMBELENGGUAN ATAU
PROSES PEMBEBASAN
PENDIDIKAN SEBAGAI PROSES PEMBODOHAN ATAU
PROSES PENCERDASAN
PENDIDIKAN SEBAGAI PROSES PERAMPASAN HAK ANAK
ATAU JUSTRU MENJUNJUNG TINGGI HAK ANAK
PENDIDIKAN MENGHASILKAN TINDAK KEKERASAN ATAU
MENGHASILKAN TINDAK PERDAMAIAN
PENDIDIKAN HANYA TERJADI DI SEKOLAH ATAU BISA
TERJADI DIMANA-MANA
LANJUTAN
PENDIDIKAN SEBAGAI PROSES PENGEBIRIAN
POTENSI MANUSIA ATAU PEMBERDAYAAN POTENSI
MANUSIA
 PENDIDIKAN UNTUK MEMECAH WAWASAN
MANUSIA ATAU MENYATUKAN WAWASAN MANUSIA
 PENDIDIKAN SEBAGAI WAHANA DISINTEGRASI
ATAU JUSTRU WAHANA MEMPERSATUKAN BANGSA
 PENDIDIKAN MENGHASILKAN MANUSIA OTORITER
ATAU MANUSIA DEMOKRATIS
 PENDIDIKAN MENGHASILKAN MANUSIA APATIS
TERHADAP LINGKUNGAN ATAU RESPONSIF DAN
PEDULI TERHADAP LINGKUNGAN

PENDIDIKAN SEBAGAI
PROSES PEMBEBASAN
Pendidikan masaih terkesan membelenggu,
adanya praktik sentralisasi dan uniformitas
serta sistem pendidikan dengan konsep
delivery system (sistem penyampaian/
pemberitaan), menyebabkan terjadinya
pendidikan mengalir dari atas ke bawah (top
down), yang kurang memperhatikan hak-hak
anak secara demokratis serta kurangnya
pemberian kesempatan untuk melakukan
rekayasa dalam aktivitas pendidikan.
LANJUTA
N
Sistem pendidikan
yang membelenggu ini
pada gilirannya menghasilkan manusia
stereotip penurut, tidak kreatif, bahkan
memiliki ketergantungan tinggi.
Sistem pendidikan ini membuat manusia
tidak mandiri, menjadi beban sosial dan
bahkan tidak memiliki jati diri.
Pendidikan ini dapat dikatakan sebagai
sistem pendidikan tertutup, yang kurang
memberikan kebebasan dan pengalaman
kepada peserta didik untuk berkreasi
PENDIDIKAN SEBAGAI
PROSES PENCERDASAN
Pendidikan masih dirasakan sebagi proses
pembodohan baik di lingkungan sekolah
maupun dalam kehidupan masyarakat.
Pemutarbalikan fakta yang dilegitimasi
melalui lembaga-lembaga formal adalah
contoh pembodohan masyarakat yang
paling riil.
Pembodohan di sekolah terjadi dari praktik
terjadi dari praktik instruksional yang sama,
yakni dengan interaksi verbal vertikal
PENDIDIKAN MENJUNJUNG
TINGGI HAK-HAK ANAK
Dalam dunia pendidikan hak-hak anak
terkesan dirampas, hal ini disebabkan
masyarakat menjadikan sekolah sebagai
panggung pentas, bukan sebagai tempat
latihan maupun laboratorium belajar.
Pembelajaran di sekolah diharapkan oleh
orang tua siswa untuk memperoleh
ranking atas, sehingga anak diharuskan
mendapat nilai yang baik.
LANJUTAN
Anak harus naik ke panggung pentas
dengan nilai terbaik, tetapi tidak
untuk belajar dengan baik.
Oleh karena itu, sistem ranking di
sekolah memacu masyarakat untuk
memperoleh persepsi yang salah
tentang pendidikan di sekolah
PENDIDIKAN
MENGHASILKAN TINDAK
PERDAMAIAN
Maraknya tawuran pelajar merupakan
bukti bahwa pendidikan menghasilkan
tindak kekerasan. Konflik tidak berusaha
dipecahkan secara damai dan kreatif,
namun sebaliknya dengan kekerasan.
Konflik antara guru-siswa juga sering
mencuat, memberikan gambaran bahwa
konflik belum dapat diselesaikan secara
damai.
LANJUTAN
Hal ini merefleksikan pengalaman mereka
baik di dalam keluarga, sekolah maupun
masyarakat.
Kemasan seni pertunjukan (sinetron, dll)
terkesan menonjolkan kekerasan dalam
setiap penyelesaian konflik
Dalam kehidupan keluarga, konflik suami,
isteri, orang tuan, dan anak mengesankan
kekerasan dalam cara penyelesaiannya.
LANJUTAN
Kejujuran sering menjadi sumber kemarahan
sehingga menipu lebih selamat daripada jujur
Anak yang belum memahami suatu pelajaran,
seringkali dikatakan sebagai anak yang bodoh
(menjadi penyebab anak kehilangan jati diri)
Padahal
pendidikan
adalah
proses
pemberdayaan, yang diharapkan dapat
memberdayakan peserta didik menjadi manusia
yang
cerdas,
manusia
berilmu
dan
berpengetahuan, serta terdidik
PENDIDIKAN ANAK
BERWAWASAN INTEGRATIF
Secara realita, matapelajaran
masih terkesan terkotak-kotak.
Kurikulum
belum
mampu
menjadikan
anak
memiliki
wawasan integratif, yaitu manusia
terdidik yang
berilmu
dan
berpengetahuan
sekaligus
beriman
PENDIDIKAN MEMBANGUN
WATAK PERSATUAN
Pendidikan belum menghasilkan manusia yang
mampu hidup dalam perbedaan.
Setiap perbedaan dalam masyarakat dapat
menjadi pemicu konflik, yang pemecahannya
dilakukan secara kekerasan
Belajar dengan pendekatan kelompok memiliki
peranan penting.
Saat ini pendekatan belajar masih didominasi
dengan belajar tekstual yang tidak mampu
membangun kesadaran, sikap dan tindakan
LANJUTAN
Pelajaran sejarah yang semestinya mampu
dimanfaatkan sebagai alat pendekatan
mengenal karakteristik bangsa masih terfokus
menjadi pelajaran hapalan
Pelajaran geografi yang semestinya mampu
membangun kesadaran dalam memahami
karakteristik tanah air, juga masih menjadi
bahan hapalan
Proses pembelajaran dan bahan pelajaran
belum mampu membangun sikap dan
kesadaran persatuan
PENDIDIKAN
MENGHASILKAN
MANUSIA DEMOKRATIS
Pendidikan masih terkesan otoriter, baik
manajemen, interaksi, proses, kedudukan
maupun substansinya.
Pejabat pendidikan, seakan-akan telah memiliki
modal ”benar dalam segala hal, sehingga
berhak mengoreksi, memberi petunjuk, berhak
menyalahkan bawahan, dll.
Pengawasan melekat (waskat) menjadikan
atasan otoriter, padahal justru informasi dari
bawahan umumnya membawa kebenaran
LANJUTAN
Transaksi pendidikan masih satu arah dan
vertikal. Sumber informasi masih didominasi
oleh guru.
Pembelajaran
jarang didudukkan sebagai
sumber
informasi
alternatif
sehingga
menyebabkan tidak terjadi interaksi horizontal.
Pengalaman demokratis belum diperoleh dalam
pembelajaran, masih dipahami secara tekstual.
Dalam praktik, kedudukan substansi, dan proses
pembelajaran masih berorientasi vertikal, yakni
dari atas ke bawah
PENDIDIKAN
MENGHASILKAN
MANUSIA PEDULI
Sikap LINGKUNGAN
otoriter dalam sistem pendidikan,
menciptakan manusia patuh, namun disisi lain
berakibat
anak
menjadi
pemberontak,
kemudian yang disalahkan adalah budi pekerti.
Anak menjadi tidak terangsang untuk peduli
lingkungan, karena sumber pendidikan satusatunya adalah teks.
Pengalaman anak yang beragam dan sangat
berharga, jarang dimanfaatkan sebagai sumber
belajar
LANJUTAN
Evaluasi keberhasilan juga
oleh
ditentukan
oleh
ukuran tekstual, bukan
konseptual, sehingga anak
dijadikan sebagai korban
untuk kurikulum, bukan
kurikulum untuk anak.
PENDIDIKAN BUKAN SATUSATUNYA INSTRUMEN
PENDIDIKAN
Undang-Undang
No. 2 Tahun 1989 tentang
Sistem Pendidikan Nasional, pada dasarnya
merupakan undang-undang pendidikan sekolah,
bukan sistem pendidikan nasional.
Hal ini disebabkan undang-undang tersebut
hanya mengatur sistem pendidikan di sekolah,
mulai dari taman kanak-kanak hingga
perguruan tinggi, yang akibatnya sekolah
menjadi gudang tuntutan semua muatan
pendidikan, sampai akhirnya menjadi rancu.