Psikologi Perkotaan

Download Report

Transcript Psikologi Perkotaan

Kota dan Pengkondisian
 Kota adalah tempat untuk membentuk perilaku
manusia. Perilaku terbentuk karena adanya stimulus
yang diterima dan kemudian di respons oleh
manusia sesuai dengan makna yang didapatkan dari
pengetahuan dan pengalaman.
 Kota juga adalah kumpulan kelompok-kelompok
manusia yang tinggal dalam satu lingkungan binaan
besar. Dari perspektif ini, kota dapat dilihat seperti
sebuah laboratorium yang kondisinya dapat
dimanipulasi, sedangkan warga kota adalah objek
eksperimennya.
Ruang Publik Kota Jakarta
1. Jakarta Kota Cuek
 Silih bergantinya orang baru
yang datang dari hari ke hari
Aktivitas warga komplek yang
bekerja 12 jam pulang ke
rumah hanya tidur/istrahat
saja
Waktu liburan dia habiskan
ke luar kota
Interaksi hanya dilakukan
dilingkungan keluarga
2. Internet dan isolasi sosial
 Perkembangan tekhnologi informasi dan komunikasi (TIK)
juga telah mempengaruhi penggunaan ruang publik.
Dari segi positif:
- Menambah pengetahuan
- Mempermudah komunikasi jarak jauh
- Kerugian:
- Internet bisa merusak interaksi sosial karena telah menjadi
pengganti kontak sosial.
- Bentuk-bentuk hiburan seperti musik dan menyaksikan
siaran TV langsung memungkinkan terjadinya pengasingan
sosial.
- Hiburan televisi berpengaruh terhadap psikologi anak
3. Ruang publik untuk Interaksi sosial
 Ruang publik memiliki peran sosial yang lebih besar
dari sekedar menciptakan sebuah interaksi. Di ruang
publiklah masalah warga kota dapat diutarakan, di
mana semua orang berkedudukan sama dan tidak
ada perbedaan sosial.
Gaya Hidup Warga Kota
 Gaya hidup menurut Kotler (2002, p.192)
Pola hidup seseorang di dunia yang ekspresikan
dalam aktivitas, minat, dan opininya. Gaya hidup
menggambarkan “keseluruhan diri seseorang”
dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Gaya
hidup menggambarkan seluruh pola seseorang
dalam bereaksi dan berinteraksi di dunia.
1. Jakarta Kota Mall
 Menurut Planolog Universitas Trisakti, Yayat Supriatna,
mal yang ada di Jakarta sudah melebihi batas ideal. Hal
ini membuat Jakarta menjadi kota dengan mal
terbanyak di dunia. Jumlahnya pusat belanja yang ada
di Jakarta mencapai 170 lebih dan telah melebihi batas
ideal dari jumlah penduduknya."Harusnya ada skala
untuk mengatur agar jumlah mal tidak tumbuh dengan
sangat pesat. Meski atas nama globalisasi dan
perdagangan internasional," ujar Yayat kepada
VIVAnews.com, Selasa 20 Juli 2010.
2. Pola Hidup Konsumtif
Menurut DK. Halim
pola hidup konsumtif ini juga dipengaruhi oleh
tuntunan
dari
gaya
hidup
baru
yang
mementingkan penampilan fisik sebagai saipati
dan nilai utamanya. Maka tidak heran bila warga
kota menjadi terobsesi dengan hal-hal yang “harus
lebih” harus lebih bagus, harus lebih mahal, harus
lebih beda dan sebagainya. Hal-hal fisik pun
menjadi objek yang tiada habisnya untuk dipoles,
didandani, serta diberikan citra mewah dan
eksklusif.
contoh
3. Pembunuhan Karakter massal di Mall
• Warga kota menderita deindividuasi, suatu kondisi
psikologis di mana terjadi penurunan kesadaran diri sehingga
individu akan melakukan segala hal yang tidak akan dilakukannya
jika sedang sendiri.
• Diskon, cuci gudang, dan obral telah mengondisikan warga kota yang
berada dalam keramaian mall untuk berbondong-bondong membeli
segala sesuatu yang ditawarkan oleh mall tanpa pikir panjang lagi.
• Manajemen diskon kemudian akan memelihara kondisi
psikologis massa ini secara terus menerus sehingga memprogram
pikiran warga.
• Seperti anjingnya pavlov, warga kota akan langsung tergiur ketika
diskon datang. Mereka tidak sadar lagi jika telah di cuci otak,
kehilangan kesadaran dan kontrol diri. Dengan peristiwa tersebut
maka pembunuhan karakter massal telah terjadi di mall dan warga
kota pun tidak pernah menyadarinya.
contoh
Stres Perkotaan
 menurut DK Halim “Psikologi Lingkungan Perkotaan”
bahwa stress perkotaan tidak hanya disebabkan oleh
kondisi personal seseorang tetapi juga karena kondisi
dan fasilitas kota yang tidak bersahabat. Umumnya kotakota di Indonesia tidak dilengkapi dengan sarana dan
prasarana yang memberi kenyamanan psikologis
perkotaan bagi warga kota. Bahkan sangat jarang
(mungkin tidak ada) kota yang dirancang dengan
mempertimbangkan faktor psikologis warga kota.
 faktor penyebab stress perkotaan:
aspek lalu lintas, perumahan kota, fasilitas bagi warga
senior kota (lansia), polusi udara, dan tentu saja tata
ruang dan landsekap kota.
1. Kemacetan lalu lintas dan polusi udara
2. Sampah dan banjir tahunan
3. Kriminalitas dan kekerasan
Menurut DK. Halim, bahwa kekerasan telah secara tidak proporsional
menghantui kehidupan perkotaan karena warga kota mengalami tindak
kejahatan dan kekerasan, seperti perkosaan, penganiayaan,
penyerangan, dan pencurian lebih kejam dibandingkan warga pedesaan
ataupun pinggiran kota.
“Land, Mccall, dan Cohen” melaporkan
di Amerika serikat rata-rata tingkat kriminalitas
perkotaan 74% lebih tinggi dibandingkan pedesaan,
dan 37% lebih tinggi dibandingkan pinggiran
kota. Disamping itu, biasanya
warga kota menjadi korban tindak
kriminal dari orang yang mereka
tidak kenal dibandingkan korban
di pedesaan atau pinggiran kota
Kota dan masalahnya;
psikologi perkotaan sebagai solusi
1. Urban sprawl
 Awalnya urban sprawl dikenal juga sebagai suburban sprawl,
yaitu melebarnya daerah pinggiran kota (suburban) ke lahanlahan pedesaan sekelilingnya secara horizontal. Pelebaran
(sprawling) ini memiliki beberapa masalah, yaitu:
 Menciptakan penduduk yang tergantung pada kendaraan
(komuter)
 Penggunaan lahan yang boros karena kepadatan yang rendah
 Zoning tunggal yang menyebabkan terjadinya segregasi fungsi
kota, misalnya tejadi pengembangan untuk hunian saja,
sementara kegiatan ekonomi (niaga), rekreasi dan penyempurna
tidak tersedia dengan memadai atau harus ditempuh dengan
kendaraan karena terlalu jauh.
Dampak negatif lain urban sprawl :
 Menurunnya





kesehatan membuat warga sangat tergantung dengan
kendaraan sehingga meningkatkan obesitas dan penyakit darah tinggi.
Kerusakan lingkungan, terutama meningkatnya polusi dan ketergantungan
pada bahan bakar fosil sehingga udara di pinggir kota menjadi kotor
karena warga pinggir kota menyumbang emisi karbon lebih besar dari
warga kota.
Meningkatkan kemacetan dan risiko kecelakaan lalu lintas terutama bagi
warga pinggir kota.
Menurunnya modal sosial karena mneciptakan penghalang jarak untuk
interaksi sosial dan cenderung menggantikan ruang-runag terbuka publik
dengan ruang-ruang komersil.
Berkurangnya kualitas serta kuantitas tanah dan air akibat pemakaian
lahan yang besar sering kali menghilangkan lahan pertanian dan merusak
ekosistemnya serta mengurangi daerah tangkapan air karena telah
mengubah tanah menjadi perkerasan.
Meningkatnya biaya infrastruktur di mana jalan-jalan tol yang lebar
terpaksa harus dibuat lengkap dengan penerangan, drainase, dan sarana
parkir/transit.
2. Jentrifikasi
 Jentrifikasi
suatu penomena dimana sebuah
lingkungan fisik memburuk lalu direvitalisasi
sehingga terjadi peningkatan nilai property
disertai gelombang kedatangan warga kelas
menengah atas yang baru menggantikan warga
asli yang miskin.
Contoh
 Rumah susun yang dibangun
pada tahap 1 dan 2 (rumah
sususn lama), dianggap sukses
sesuai dengan tujuan awal
yakni merevitalisasi kawasan
pemukiman
kumuh
dan
menempatkan
kembali
penduduknya
setelah
revitalisasi. Sedangkan rumah
susun tahap 3 (rumah susun
baru), dianggap gagal karena
seiring
berjalannya
waktu
rumah susus tersebut malah
ditempati kalangan menengah
ke atas yang memiliki mobil.
3. Kesehatan mental Warga Kota
 Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, menunjukkan
rata-rata nasional gangguan mental emosional yang dimulai dengan
perasaan cemas dan depresi adalah 11.6 persen atau sekitar 19 juta
penduduk dan itu terjadi pada penduduk mulai usia 15 tahun.

Penelitian yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI ini dirilis
bertepatan dengan acara peresmian program Mobile Mental Health
Service (MMHS) Senin (20/5) kemarin. Diperlihatkan bahwa
prevalensi tertinggi untuk gangguan jiwa berat di provinsi DKI
Jakarta mencapat 2.03 persen dari keseluruhan jumlah populasi
Jakarta yang berjumlah 9.607.787 jiwa.

Itu artinya, sekitar 195.038 penduduk Jakarta mengalami
gangguan jiwa berat. Kasus bunuh diri di Jakarta sepanjang 1995
hingga 2004 bahkan mencapai 5.8 persen per 100ribu penduduk dan
kebanyakan adalah laki-laki. Dari 1.119 orang yang bunuh diri di
Jakarta, 41 persen meninggal dengan cara gantung diri dan 23
persennya dengan cara menenggak racun. Di luar itu, sebanyak 256
orang menemui ajalnya akibat overdosis obat.
Kesimpulan
 Psikologi Perkotaan adalah bidang ilmu yang menganalisis
pengaruh penataan ruang kota terhadap faktor psikologis
penghuninya. Dalam hal ini dapat digambarkan sebuah kota
besar yang memiliki bangunan yang megah, berpenduduk
padat dan memiliki banyak akses dalam memenuhi
kebutuhan dan menjadi pusat pemerintahan.
 Di perkotaan yang memiliki penduduk yang padat, tentu
akan memiliki pula masalah-masalah yang kompleks yang
tak ada habisnya. Diantaranya adalah masalah kemiskinan,
sampah, banjir, kemacatatan lalu lintas. Kemudian maslah
yang menyangkut perubahan psikologi yang terjadi di
masyarakat perkotaan yang cenderung individualistis akibat
beberapa hal yang mempengaruhinya.
Lanjutan
 Diantaranya terlalui terbuai oleh perkembangan
teknologi yang merubh pola pikir masyarakat
perkotaan. Keinginan warga kota yang ingin selalu
tampil “Lebih”, ingin lebih mewah, ingin lebih
mahal, ingin lebih berbeda dan lain-lain.
 Jadi, agar dapat meminimalisir kesemerautan
kota, harus ada penataan kota agar nyaman untuk
dihuni oleh warganya, dengan cara merancang
kembali arisitektur kota sehingga desain kota
menuju ke arah sejahtera.
Ari
gato
gojai
masu