Handout Hukum Pidana Internasional

Download Report

Transcript Handout Hukum Pidana Internasional

YUSRIANTO KADIR, SH
 Aspek-aspek
sistem hukum internasional yang
mengatur perbuatan yang dilakukan oleh individu
dalam kapasitasnya sebagai pribadi atau wakil atau
kolektif yang melanggar ketentuan-ketentuan yang
mengatur mengenai pidana.
 Aspek-aspek
sistem hukum internasional dan
hukum nasional yang mengatur kerjasama
internasional dalam masalah-masalah pidana yang
dilakukan oleh individu yang melanggar hukum
pidana dari suatu negara.
Sesuai dengan pelbagai macam nama kejahatan yang
menjadi objeknya, istilah yang digunakan untuk
hukum pidana internasional ini pun ada beberapa
macam. selain istilah hukum pidana internasional,
adapula yang menggunakan istilah hukum pidana
transnasional, dan hukum pidana nasional yang
berdimensi internasional.
istilah-istilah inipun digunakan sesuai dengan
persepsi dari masing-masing orang yang
bersangkutan dengan obyeknya, yakni, kejahatan,
atau tindak pidana tersebut.
1.
Sumber-sumber primer,
Seperti statuta pengadilan, perjanjian, dan hukum
kebiasaan internasional. Misalnya
Kesepakatan
London (1945) yang menjadi landasan Mahkamah
Militer Internasional Nuremberg; Statuta Roma (1998);
resolusi-resolusi Dewan Keamanan PBB yang
mendirikan Pengadilan Pidana Internasional untuk
Yugoslavia (1993) dan Pengadilan Pidana Internasional
untuk Rwanda (1993) berdasarkan Pasal VII Piagam
PBB. Sumber primer lainnya adalah perjanjian
internasional. Seperti keempat Konvensi Jenewa (1949)
dan Protokol-protokol Tambahannya (1977), Konvensi
Genosida (1948), dan Konvensi Menentang Penyiksaan
(1984), serta hukum kebiasaan internasional.
Sumber-sumber sekunder, seperti peraturan-peraturan
yang muncul akibat perjanjian-perjanjian atau hukum
kebiasaan internasional.
3. Prinsip-prinsip hukum pidana internasional yang
muncul dari kasus-kasus kejahatan internasional yang
telah diadili baik oleh pengadilan internasional
maupun pengadilan domestik.
4. Prinsip-prinsip umum yang telah diterapkan dalam
sistem hukum kebanyakan negara-negara beradab.
2.
Apabila
suatu
negara
telah
meratifikasi
suatu
produk
hukum
internasional, maka ia terikat untuk tunduk
terhadap
instrumen
tersebut.
Pada
dasarnya,
bagi
negara
yang
tidak
meratifikasinya, maka ia tidak wajib tunduk
pada instrumen tersebut.
Kecuali apabila instrumen tersebut
telah diratifikasi oleh kebanyakan negara di
dunia, maka instrumen tersebut dapat
dianggap
sebagai
hukum
kebiasaan
internasional. Artinya negara di mana
terjadi pelanggaran hukum kebiasaan
internasional, mempunyai kewajiban untuk
menuntut
dan
menghukum
pelaku,
sekalipun
negara
tersebut
belum
meratifikasi instrumen tersebut.
Contoh perjanjian yang sudah menjadi
hukum kebiasaan internasional adalah
Konvensi Jenewa (1949), Konvensi Genosida
(1948), dan Konvensi Menentang Penyiksaan
(1984).
Saudara sepupu hukum pidana internasional adalah
hukum humaniter dan hukum hak asasi manusia. Hukum
humaniter dan hukum HAM adalah dua cabang hukum
internasional
yang
terpisah,
namun
bersifat
komplementer satu sama lain. Kedua cabang hukum ini
memiliki tujuan yang sama yakni melindungi manusia,
dengan:
 Menjaga prinsip nondiskriminasi
 Melindungi hak atas hidup
 Melarang penyiksaan dalam situasi apa pun
Hukum Humaniter Internasional menjaga serangkaian hak asasi
manusia yang tidak dapat dilanggar sekalipun dalam situasi konflik
bersenjata. Memiliki dua tujuan utama, yaitu:
 Melindungi orang pada saat perang atau tidak sedang
berpartisipasi dalam kekerasan;
 Membatasi cara dan metode berperang
Instrumen utama dari Hukum Humaniter Internasional adalah
keempat Konvensi Jenewa (1949) [masing-masing memberi
perlindungan bagi tentara yang luka dan sakit di medan perang;
pelaut yang luka dan sakit dalam pertempuran di laut; tahanan
perang; dan masyarakat sipil] dan kedua Protokol Tambahannya
pada tahun (1977) [Protokol Tambahan I berlaku pada konflik
bersenjata internasional dan Protokol Tambahan II berlaku pada
konflik bersenjata noninternasional.]
Hukum HAM Internasional diterapkan dalam masa damai dan perang, meskipun
terdapat beberapa hak yang tidak dapat ditangguhkan dalam masa perang
maupun damai. Hukum HAM tertuang dalam deklarasi, perjanjian, protokol dan
instrumen lainnya. Prinsip-prinsip dasar yang ditetapkan dalam Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia mendapatkan bentuk hukum yang mengikat dari
dua kovenan, yaitu:
 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik; dan,
 Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya
Selanjutnya, kewajiban hukum dikembangkan dengan dikeluarkannya:
 Konvensi Internasional tentang Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi Ras
(CERD);
 Konvensi tentang Penghapusan Semua Diskriminasi Terhadap Perempuan
(CEDAW);
 Konvensi Anti Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman yang Tidak
Berperikemanusiaan atau Merendahkan (CAT);
 Konvensi tentang Hak Anak (CRC);
 Konvensi mengenai Perlindungan Hak-hak Buruh Migran dan Anggota
Keluarganya.
Hak asasi manusia perempuan telah dinyatakan dalam sejumlah teks-teks
hukum internasional, seperti:
 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948)
 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (1966)
 Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya
(1966)
 Konvensi tentang Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi Terhadap
Perempuan (1979)
 Konvensi-Konvensi Jenewa (1949) dan Kedua Protokol tambahan
(1977)
 Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional (1998)
Deklarasi dan Program Aksi Wina 1993 menyatakan bahwa hak asasi
manusia perempuan merupakan bagian yang integral dan tak dapat
diabaikan ataupun dikecualikan dari hak asasi manusia universal.
Deklarasi untuk Menentang Kekerasan terhadap Perempuan (1993)
adalah bentuk kesepakatan dunia bahwa kekerasan terhadap perempuan
adalah pelanggaran hak asasi manusia yang harus ditangani dan
diberantas oleh negara.