Peradilan_tata_usaha_negara

Download Report

Transcript Peradilan_tata_usaha_negara

Aghnia Lutfi I (01)
Hasna Aisy (10)
Monika Septia K (15)
Vera Setyanitami (22)
Vivin Anugerah (23)
M. Ilham Hanif (31)
PERADILAN TATA USAHA NEGARA
NORMA
HUKUM
SISTEM
HUKUM
PENGGOLONG
AN HUKUM
TUJUAN
HUKUM
SUMBER
HUKUM
URUTAN
PERATURAN
HUKUM
INDONESIA
SEBAGAI
NEGARA
HUKUM
Norma
 Norma adalah kaidah atau ketentuan yang





mengatur kehidupan dan hubungan
antarmanusia dalam arti luas
Contoh:
Norma agama
Norma hukum
Norma kesopanan
Dsb
Hukum
 Hukum adalah sistem yang terpenting dalam
pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan
kelembagaan
Sistem Hukum
 Ada berbagai jenis sistem hukum yang





berbeda yang dianut oleh negara-negara di
dunia pada saat ini, antara lain :
sistem hukum Eropa Kontinental,
common law system
sistem hukum Anglo-Saxon
sistem hukum adat
sistem hukum agama
Sistem hukum Eropa Kontinental
 Ciri-cirinya adalah berbagai ketentuan-
ketentuan hukum dikodifikasi (dihimpun)
secara sistematis yang akan ditafsirkan lebih
lanjut oleh hakim dalam penerapannya.
Hampir 60% dari populasi dunia tinggal di
negara yang menganut sistem hukum ini.
common law system
 Sistem hukum umum adalah suatu sistem
hukum yang digunakan di Inggris yang mana
di dalamnya menganut aliran frele recht
lehre yaitu dimana hukum tidak dibatasi oleh
undang-undang tetapi hakim diberikan
kebebasan untuk melaksanakan undangundang atau mengabaikannya.
Sistem hukum Anglo-Saxon
 Didasarkan pada yurisprudensi, yaitu keputusan-
keputusan hakim terdahulu yang kemudian menjadi
dasar putusan hakim-hakim selanjutnya.
 Sistem hukum ini diterapkan
di Irlandia, Inggris, Australia, Selandia Baru, Afrika
Selatan, Kanada (kecuali Provinsi Quebec)
dan Amerika Serikat
 Penerapannya lebih baik digunakan pada negaranegara berkembang karena sesuai dengan
perkembangan zaman.Pendapat para ahli dan
prakitisi hukum lebih menonjol digunakan
oleh hakim, dalam memutus perkara.
Sistem hukum adat/kebiasaan
 Hukum Adat adalah seperangkat norma dan
aturan adat/kebiasaan yang berlaku di suatu
wilayah. misalnya di perkampungan
pedesaan terpencil yang masih mengikuti
hukum adat. dan memiliki sanksi sesuai
dengan aturan hukum yang berlaku di
wilayah tertentu.
Sistem Hukum Agama
 Sistem hukum agama adalah sistem hukum
yang berdasarkan ketentuan agama tertentu.
Sistem hukum agama biasanya terdapat
dalam Kitab Suci.
Penggolongan Hukum
 Hukum dapat dibagi dalam berbagai bidang,
antara lain
 hukum pidana/hukum publik,
 hukum perdata/hukum pribadi,
 hukum acara
 hukum tata negara
 hukum administrasi negara/hukum tata usaha
negara
 hukum internasional
 Dsb
Hukum Pidana
 Hukum pidana adalah hukum yang mengatur
hubungan antar subjek hukum dalam hal
perbuatan - perbuatan yang diharuskan dan
dilarang oleh peraturan perundang undangan dan berakibat diterapkannya
sanksi berupa pemidanaan dan/atau denda
bagi para pelanggarnya
 Dalam hukum pidana dikenal 2 jenis
perbuatan yaitu
 Kejahatan
 Pelanggaran
Kejahatan
 Kejahatan ialah perbuatan yang tidak hanya
bertentangan dengan peraturan perundang undangan tetapi juga bertentangan dengan
nilai moral, nilai agama dan rasa keadilan
masyarakat. Pelaku pelanggaran berupa
kejahatan mendapatkan sanksi berupa
pemidanaan, contohnya mencuri,
membunuh, berzina, memperkosa dan
sebagainya.
Pelanggaran
 Sedangkan pelanggaran ialah perbuatan
yang hanya dilarang oleh peraturan
perundangan namun tidak memberikan efek
yang tidak berpengaruh secara langsung
kepada orang lain, seperti tidak
menggunakan helm, tidak menggunakan
sabuk pengaman dalam berkendaraan, dan
sebagainya.
 Di Indonesia, hukum pidana diatur secara
umum dalam Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP), yang merupakan
peninggalan dari zaman penjajahan Belanda,
sebelumnya bernama Wetboek van
Straafrecht (WvS).
Hukum Perdata
 Salah satu bidang hukum yang mengatur
hubungan-hubungan antara individu-individu
dalam masyarakat dengan saluran tertentu.
Hukum perdata disebut juga hukum privat
atau hukum sipil. Salah satu contoh hukum
perdata dalam masyarakat adalah jual beli
rumah atau kendaraan .
 Hukum perdata dapat digolongkan antara





lain menjadi:
Hukum keluarga
Hukum harta kekayaan
Hukum benda
Hukum Perikatan
Hukum Waris
Tujuan Hukum
 Dalam menjalankan fungsinya sebagai sarana
pengendali dan perubahan sosial, hukum
memiliki tujuan untuk menciptakan tatanan
masyarakat yang tertib, damai, adil yang
ditunjang dengan kepastian hukum sehingga
kepentingan individu dan masyarakat dapat
terlindungi.
 Dalam beberapa literatur Ilmu Hukum para
sarjana hukum telah merumuskan tujuan
hukum dari berbagai sudut pandang, dan
paling tidak ada 3 teori:
 Teori Etis
 Teori Utilitis
 Teori Campuran
Teori Etis
 Dikemukakan oleh filsufYunani, Aristoteles,
dalam karyanya Ethica dan Rhetorika
 menyatakan bahwa hukum memiliki tujuan
suci memberikan kepada setiap orang apa
yang menjadi haknya.
 Menurut teori ini hukum bertujuan
mewujudkan keadilan.
 Aristoteles membedaka adanya dua macam
keadilan;
 justitia distributive (keadilan distributif)
 justitia commulative (keadilan komulatif)
justitia distributive
(keadilan distributif)
 Keadilan distributif adalah suatu keadilan
yang memberikan kepada setiap orang
berdasarkan jasa atau haknya masingmasing. Makna keadilan bukanlah persamaan
melainkan perbandingan secara proporsional.
justitia commulative
(keadilan komulatif)
 Adapun keadilan komulatif adalah keadilan
yang diberikan kepada setiap orang
berdasarkan kesamaan. Keadilan terwujud
ketika setiap orang diperlakukan sama.
Teori Utilitis
 Menurut teori ini hukum bertujuan untuk
menghasilkan kemanfaatan yang sebesarbesarnya pada manusia dalam mewujudkan
kesenangan dan kebahagiaan
 Penganut teori ini adalah Jeremy Bentham
Teori Campuran
 Menurut Apeldoorn tujuan hukum adalah
mengatur tata tertib dalam masyarakat secara
damai dan adil.
 Kebutuhan dan ketertiban adalah syarat pokok
(fundamental) bagi adanya masyarakat yang
teratur dan damai. untuk mewujudkan
kedamaian masyarakat maka harus diciptakan
kondisi masyarakat yang adil dan setiap orang
(sedapat mungkin) harus memperoleh apa yang
menjadi haknya.
 Teori ini adalah jalan tengah diantara dua teori
sebelumnya
Sumber Hukum









Pancasila
Undang-undang Dasar 1945
Ketetapan MPR
Undang-undang/peraturan pemerintah
pengganti undang-undang
Peraturan Pemerintah
Keputusan Presiden
Peraturan Pelaksana Lainnya
Convention (Konvensi Ketatanegaraan)
Traktat
Pancasila
 Pancasila adalah sebagai dasar negara
republik Indonesia
 Pancasila juga merupakan sumber dari segala
hukum sesuai dengan Ketetapan MPRS
No.XX/MPRS/1966 (jo Ketetapan MPR
No.V/MPR/1973, jo Ketetapan MPR
No.IX/MPR/1978)
UUD 1945
 UUD 1945 sebagai sumber hukum, yang
merupakan hukum dasar tertulis yang
mengatur masalah kenegaraan dan
merupakan dasar ketentuan-ketentuan
lainnya.
Ketetapan MPR
 Dalam Pasal 3 UUD 1945 ditentukan bahwa
Majelis Permusyawaratan Rakyat
menetapkan Undang-Undang Dasar dan
Garis-Garis Besar Haluan Negara. Dengan
istilah menetapkan tersebut maka orang
berkesimpulan, bahwa produk hukum yang
dibentuk oleh MPR disebut Ketetapan MPR.
Undang-undang/peraturan pemerintah
pengganti undang-undang
 Undang-undang mengandung dua pengertian,
yaitu:
 a. Undang-undang dalam arti materiel:
peraturan yang berlaku umum dan dibuat oleh
penguasa, baik pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah.
 b. Undang-undang dalam arti formal: keputusan
tertulis yang dibentuk dalam arti formal sebagai
sumber hukum dapat dilihat pada Pasal 5 ayat
(1) dan pasal 20 ayat (1) UUD 1945.
Peraturan Pemerintah
 Untuk melaksanakan undang-undang yang
dibentuk oleh Presiden dengan DPR, oleh UUD
1945 kepada presiden diberikan kewenangan
untuk menetapkan Peraturan Pemerintah guna
melaksanakan undang-undang sebagaimana
mestinya. Dalam hal ini berarti tidak mungkin
bagi presiden menetapkan Peraturan
Pemerintah sebelum ada undang-undangnya,
sebaliknya suatu undang-undang tidak berlaku
efektif tanpa adanya Peraturan Pemerintah.
Keputusan Presiden
 Bentuk peraturan ini baru dikenal tahun 1959
berdasarkan surat presiden no. 2262/HK/1959
 Kemudian melalui Ketetapan MPRS No.
XX/MPRS/1966, Keputusan Presiden resmi
ditetapkan sebagai salah satu bentuk peraturan
perundang-undangan menurut UUD 1945
 Keputusan Presiden berisi keputusan yang
bersifat khusus (einmalig) adalah untuk
melaksanakan UUD 1945, Ketetapan MPR yang
memuat garis-garis besar dalam bidang
eksekutif dan Peraturan Pemerintah.
Peraturan Pelaksana lainnya
 Yang dimaksud dengan peraturan pelaksana
lainnya adalah seperti Peraturan Menteri,
Instruksi Menteri dan lain-lainnya yang harus
dengan tegas berdasarkan dan bersumber
pada peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi.
Konvensi Ketatanegaraan
 Konvensi Ketatanegaraan adalah perbuatan
kehidupan ketatanegaraan yang dilakukan
berulang-ulang sehingga ia diterima dan
ditaati dalam praktek ketatanegaraan.
Konvensi Ketatanegaraan mempunyai
kekuatan hukum yang sama dengan undangundang, karena diterima dan dijalankan,
bahkan sering kebiasaan (konvensi)
ketatanegaraan menggeser peraturanperaturan hukum yang tertulis.
Traktat
 Traktat atau perjanjian yaitu perjanjian yang
diadakan dua negara atau lebih. Kalau kita
amati praktek perjanjian internasional
bebrapa negara ada yang dilakukan 3 (tiga)
tahapan, yakni perundingan (negotiation),
penandatanganan (signature), dan
pengesahan (ratification). Disamping itu ada
pula yang dilakukan hanya dua tahapan,
yakni perundingan (negotiation) dan
penandatanganan (signature).
Urutan peraturan hukum
 1. UUD 1945
 Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945)
merupakan hukum dasar tertulis Negara
Republik Indonesia, memuat dasar dan garis
besar hukum dalam penyelenggaraan
negara.
 2. Ketetapan MPR
 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia (TAP MPR-RI) merupakan
putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR) sebagai pengemban kedaulatan rakyat
yang ditetapkan dalam sidang-sidang MPR.
 3. UU/Peraturan Pemerintah Pengganti Perundang-
undangan
 Undang-Undang (UU) dibuat oleh Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) bersama Presiden untuk
melaksanakan UUD 1945 serta TAP MPR-RI.
 Perpu dibuat oleh Presiden dalam hal ihwal
kegentingan yang memaksa, dengan ketentuan
sebagai berikut:
 Perpu harus diajukan ke DPR dalam persidangan
yang berikut.
DPR dapat menerima atau menolak Perpu dengan
tidak mengadakan perubahan. Jika ditolak DPR,
Perpu tersebut harus dicabut.
 4. Peraturan Pemerintah
 Peraturan Pemerintah (PP) dibuat oleh
Pemerintah untuk melaksanakan perintah
undang-undang.
 5 Peraturan Presiden
 Peraturan Perundang-undangan yang dibuat
oleh Presiden. Materi muatan Peraturan
Presiden adalah materi yang diperintahkan
oleh Undang-Undang atau materi
untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah.
 Perpres merupakan jenis Peraturan
Perundang-undangan yang baru di Indonesia,
yakni sejak diberlakukannya UndangUndang Nomor 10 Tahun 2004.
 6. Peraturan Daerah Provinsi
 Peraturan daerah dibuat oleh provinsi
bersama dengan gubernur
 7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
 Peraturan daerah kabupaten/kota dibuat oleh
DPRD kabupaten/kota bersama
bupati/walikota
Indonesia Sebagai Negara
Hukum
 Indonesia ialah negara yang berdasrkan atas
Hukum (rechtsstaat). Negara Indonesia
berdasarkan atas Hukum (rechtsstaat), tidak
berdasarkan atas kekuasaan belaka
(Machtsstaat). Mengandung arti bahwa negara,
termasuk di dalamnya pemerintah dan lembagalembaga negara yang lain dalam melaksanakan
tindakan-tindakan apapun, harus dilandasi oleh
hukum atau harus dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum
Peradilan Tata Usaha Negara
Pengertian
Peradilan
Pengertian
PTUN
Dasar Hukum
Tugas PTUN
Fungsi PTUN
Contoh kasus
Penyelesaian
kasus
Upaya
Hukum
Pelaksanaan
Putusan
Pengertian Peradilan
 Peradilan adalah sebuah proses dalam rangka
menegakkan hukum dan keadilan atau suatu
proses mencari keadilan itu sendiri.
Pengertian PTUN
 Pengadilan Tata Usaha Negara adalah
lingkungan peradilan di bawah Mahkamah
Agung yang melaksanakan kekuasaan
kehakiman bagi rakyat pencari keadilan
terhadap sengkete Tata Usaha Negara.
 Peradilan Tata Usaha Negara meliputi:
 Pengadilan Tata Usaha Negara,
berkedudukan di ibukota kabupaten/kota,
dengan daerah hukum meliputi wilayah
kabupaten/ kota.
 Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara,
berkedudukan di ibukota provinsi, dengan
daerah hukum meliputi wilayah provinsi.
 Pengadilan Khusus
Dasar Hukum Peradilan Tata
Usaha Negara
 Dalam bidang kekuasaan kehakiman, pasal 27 ayat 1 UUD 1945





tersebut selanjutnya dibuatkan pasal-pasal tersendiri di dalam
UUD 1945 seperti pasal 24, 24 A, 24 B, 24 C, 25 dan dijabarkan ke
dalam beberapa produk perundang-undangan diantaranya:
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok
Kekuasaan Kehakiman , jo Undang-Undang Nomor 35 Tahun
1999 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman jo UndangUndang No 4 Tahun 2004
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara (PTUN)
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Peradilan Hak
Asasi Manusia
 Dalam pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945
secara tegas dan jelas disebutkan bahwa:
 Pada ayat 1. Kekuasaan kehakiman dilakukan
oleh mahkamah agung dan lain badan
kehakiman menurut undang-undang.
 Ayat 2. Susunan dan kekuasaan badan-badan
kehakiman diatur dengan undang-undang.
 Selanjutnya sebagai peraturan pelaksanaan dari




pasal 24 UUD 1945 tersebut diundangkanlah pada
waktu itu Undang-undang no. 14 tahun 1970 dimana
sekarang ini telah dirubah dengan Undang-undang
no. 4 tahun 2004 tentang pokok-pokok kekuasaan
kehakiman, dimana dalam pasal 10 ayat 1
dinyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan
oleh Pengadilan dalam lingkungan:
1. Peradilan Umum
2. Peradilan agama
3. Peradilan militer
4. Peradilan Tata Usaha Negara
 Berdasarkan hal tersebut maka pada tanggal
14 januari 1991 diundangkanlah melalui
peraturan pemerintah yang disebut dengang
Undang-Undang no. 5 Tahun 1986 dan untuk
sekarang ini telah dirubah dan ditambah
dengan Undang-undang no. 9 tahun 2004
tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Tugas PTUN
 1. Menerima, memeriksa, memutus dan
menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara
pada Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta
(PTUN Jakarta), dengan berpedoman pada
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo.
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 jo.
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 dan
ketentuan dan ketenuan peraturan perundangundangan lain yang bersangkutan, serta
petunjuk-petunjuk dari Mahkamah Agung
Republik Indonesia (Buku Simplemen Buku I,
Buku II, SEMA, PERMA, dll).
 2. Meneruskan sengketa-sengketa Tata Usaha
Negara ke Pengadilan Tata Usaha Negara
(PTUN) dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara (PTTUN) yang berwenang.
 3. Peningkatan kualitas dan profesionalisme
Hakim pada Pengadilan Tata Usaha Negara
Jakarta (PTUN Jakarta), seiring peningkatan
integritas moral dan karakter sesuai Kode
Etik dan Tri Prasetya Hakim Indonesia, guna
tercipta dan dilahirkannya putusan-putusan
yang dapat dipertanggungjawabkan menurut
hukum dan keadilan, serta memenuhi
harapan para pencari keadilan (justiciabelen).
 4. Meningkatkan kepercayaan masyarakat
terhadap lembaga Peradilan guna
meningkatan dan memantapkan martabat
dan wibawa Aparatur dan Lembaga
Peradilan, sebagai benteng terakhir tegaknya
hukum dan keadilan, sesuai tuntutan
Undang-Undang Dasar 1945.
 5. Memantapkan pemahaman dan
pelaksanaan tentang organisasi dan tata
kerja Kepaniteraan Pengadilan Tata Usaha
Negara Jakarta, sesuai Keputusan Ketua
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor
KMA/012/SK/III/1993, tanggal 5 Maret 1993
tentang Organisasi dan tata kerja
Kepaniteraan Pengadilan Tata Usaha Negara
dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
 6. Membina Calon Hakim dengan
memberikan bekal pengetahuan di bidang
hukum dan administrasi Peradilan Tata Usaha
Negara agar menjadi Hakim yang
profesional.
Fungsi PTUN
 Melakukan pembinaan pejabat struktural dan
fungsional serta pegawai lainnya, baik
menyangkut administrasi, teknis, yustisial
maupun administrasi umum.
 Melakukan pengawasan atas pelaksanaan
tugas dan tingkah laku hakim dan pegawai
lainnya.
 Menyelenggatakan sebagian kekuasaan
negara di bidang kehakiman.
Contoh Kasus : Swastanisasi
Air Jakarta
 Lebih dari setahun yang lalu, Koalisi Masyarakat Menolak
Swastanisasi Air melayangkan Notifikasi Gugatan Swastanisasi
Air Jakarta kepada Pemerintah (14 September 2011). Namun
hasilnya, sampai dengan hari ini, penolakan swastanisasi air tidak
mendapatkan respon. Pemerintah justru lebih memilih terus
melanggengkan status quo swastanisasi pengelolaan layanan air
di Propinsi DKI.
Penolakan yang dilakukan oleh koalisi bukan tanpa alasan. Bagi
kami, pengelolaan layanan air Jakarta oleh dua konsorsium asing
(PT. Palyja dan PT. Aetra), sama sekali tidak memberikan
keuntungan dan manfaat. Sebaliknya, perjanjian ini justru
banyak menimbulkan kerugian bagi warga jakarta. Perusahaan
Daerah Air Minum selalu merugi, pelayanan air tidak
memuaskan, dan sampai biaya tariff air yang kemahalan (tinggi).
 Penting untuk dipahami, konstitusi mengamanatkan
dengan tegas, air sebagai cabang produksi penting bagi
Negara yang menguasai hajat hidup orang banyak harus
dikelola oleh Negara. Ironisnya, pengolalaan air di Jakarta
justru diserahkan kepada swasta asing. Praktek ini sudah
berjalan selama 14 tahun, dan akan berlanjut sampai 2023.
Pengelolaan air oleh swasta tersebut jelas telah melanggar
konstitusi yang pada prakteknya telah merugikan warga
Negara selaku pemegang hak atas air. Pengabaian dan
pembiaran harus dihentikan. Sudah seharusnya
Negara berdaulat atas air dan mengelolanya untuk
kepentingan rakyat.

Warga jakarta juga dihadapkan pada ketertutupan informasi dalam
pengelolaan air. Perjanjian Swastanisasi Air antara PDAM DKI dengan
Swasta Asing selama ini berlangsung tertutup dan tanpa keterlibatan
(pastisipasi) masyarakat. Tidak hanya itu, penentuan tarif dasar air
dilakukan secara rahasia tanpa diketahui masyarakat.
Alasan Menggugat
Terdapat Empat alasan utama mengapa warga mengugat Citizen Law
Suit (CLS) Swastanisasi Air di Jakarta dan menuntut pemerintah
menghentikan swastanisasi air di Jakarta. Pertama, Adanya berbagai
pelanggaran terhadap konstitusi dan peraturan perundang-undangan
lainnya dalam penyusunan PKS Swastanisasi Air. Kedua, kerugian yang
diderita warga Negara akibat pengelolaan swasta, tidak terpenuhinya
hak atas air warga Negara, khususnya bagi yang tidak mampu. Ketiga,
Indikasi dugaan korupsi. Dan Keempat, adanya kerugian Negara.
 Gugatan warga Negara kepada Negara ini
adalah hak warga untuk menuntut tanggung
jawab Negara yang telah abai dan lalai untuk
menjalankan kewajibannya mengelola air
secara mandiri serta memastikan pemenuhan
hak atas air warga Negara sebagaimana
amanat konstitusi.
Penyelesaian Kasus
 1. Pengajuan gugatan
 2. Pemeriksaan Persidangan
 3. Pemeriksaan di Tingkat Pertama
 Gugatan warga Negara kepada Negara ini
adalah hak warga untuk menuntut tanggung
jawab Negara yang telah abai dan lalai untuk
menjalankan kewajibannya mengelola air
secara mandiri serta memastikan pemenuhan
hak atas air warga Negara sebagaimana
amanat konstitusi.
 Gugatan warga Negara kepada Negara ini
adalah hak warga untuk menuntut tanggung
jawab Negara yang telah abai dan lalai untuk
menjalankan kewajibannya mengelola air
secara mandiri serta memastikan pemenuhan
hak atas air warga Negara sebagaimana
amanat konstitusi.
 Gugatan warga Negara kepada Negara ini
adalah hak warga untuk menuntut tanggung
jawab Negara yang telah abai dan lalai untuk
menjalankan kewajibannya mengelola air
secara mandiri serta memastikan pemenuhan
hak atas air warga Negara sebagaimana
amanat konstitusi.
 Gugatan warga Negara kepada Negara ini
adalah hak warga untuk menuntut tanggung
jawab Negara yang telah abai dan lalai untuk
menjalankan kewajibannya mengelola air
secara mandiri serta memastikan pemenuhan
hak atas air warga Negara sebagaimana
amanat konstitusi.
Pengajuan gugatan
 diajukan secara tertulis kepada Pengadilan
yang berwenang yang daerah hukumnya
meliputi tempat kediaman Tergugat. Gugatan
yang diajukan harus dalam bentuk tertulis,
karena gugatan itu akan menjadi pegangan
bagi pengadilan dan para pihak selama
pemeriksaan.
 Gugatan dapat diajukan hanya dalam
tenggang waktu 90 hari terhitung sejak
diterimanya atau diumumkannya Keputusan
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang
bersangkutan
 Gugatan diajukan kepada Pengadilan Tata
Usaha Negara di tingkat sesuai dengan
kediamannya.
Pemeriksaan di Persidangan
 - Pemeriksaan Pendahuluan
 Pemeriksaan Pendahuluan ini terdiri dari :
 a. Rapat permusyawaratan/Proses Dismissal
 b. Pemeriksaan Persiapan
Rapat permusyawaratan/Proses
Dismissal
 Tahap penyaringan yang merupakan wewenang
Ketua Pengadilan, diatur dalam Pasal 62
 Dalam proses dismissal ini Ketua Pengadilan,
setelah melalui pemeriksaan administrasi di
kepaniteraan, memeriksa gugatan yang masuk.
Apakah gugatan tersebut telah memenuhi
syarat-syarat sebagaimana diatur dalam UU
Peratun dan apakah memang termasuk
wewenang Pengadilan Tata Usaha Negara untuk
mengadilinya.
 Dalam proses dismissal Ketua Pengadilan berwenang





memutuskan dengan suatu penetapan yang dilengkapi
dengan pertimbangan-pertimbangan bahwa gugatan yang
diajukan tidak diterima atau tidak berdasar, apabila :
a. Pokok gugatan, yaitu fakta yang dijadikan dasar gugatan,
nyata-nyata tidak termasuk wewenang Pengadilan.
b. Syarat-syarat gugatan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 56 tidak dipenuhi oleh penggugat sekalipun ia telah
diperingatkan.
c. gugatan tersebut tidak didasarkan pada alasan-alasan
yang layak.
d. Apa yang dituntut dalam gugatan sebenarnya sudah
terpenuhi oleh KeputusanTata Usaha Negara yang digugat.
e. Gugatan diajukan sebelum waktunya atau telah lewat
Pemeriksaan persiapan
 Pemeriksaan persiapan diadakan mengingat
posisi Penggugat di Peratun pada umumnya
adalah warga masyarakat yang diasumsikan
mempunyai kedudukan lemah dibandingkan
dengan Tergugat sebagai Pejabat Tata Usaha
Negara sebagai pemegang kekuasaan eksekutif.
Dalam posisi yang lemah tersebut sangat sulit
bagi Penggugat untuk mendapatkan informasi
dan data yang diperlukan untuk kepentingan
pengajuan gugatan dari Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara yang digugat.
 Pemeriksaan Persiapan dilakukan di ruang tertutup bukan di
ruang persidangan yang terbuka untuk umum. Dalam
Pemeriksaan Persiapan Hakim wajib dan berwenang untuk :
 Memberikan nasehat atau arahan-arahan kepada Penggugat
untuk memperbaiki gugatannya dan melengkapai surat-surat atau
data-data yang diperlukan dalam tenggang waktu 30 hari.
 Meminta penjelasan kepada pihak Tergugat mengenai segala
sesuatu yang mempermudah pemeriksaan sengketa di persidangan

 Apabila jangka waktu 30 hari yang ditetapkan untuk
memperbaiki gugatannya tersebut tidak dipenuhi oleh
Penggugat, maka Majelis Hakim akan memberikan putusan yang
menyatakan gugatan Penggugat dinyatakan tidak dapat
diterima, dan atas putusan tersebut tidak ada upaya hukum,
namun masih dapat diajukan gugatan baru
Pemeriksaan di tingkat
pertama
 Pada umumnya dilakukan di Pengadilan Tata Usaha Negara
(PTUN), terkecuali untuk sengketa yang menurut peraturan
perundang-undangan yang bersangkutan, sengketa tersebut
harus diselesaikan terlebih dahulu melalui upaya administratif
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 48 UU Peratun, maka
pemeriksaan di tingkat pertama dilakukan oleh Pengadilan Tinggi
Tata Usaha Negara (PTTUN). Pemeriksaan ditingkat pertama ini
dapat dilakukan melalui 2 (dua) cara :
 a. Pemeriksaan dengan acara biasa.
 b. Pemeriksaan dengan acara cepat.
 Dalam proses pemeriksaan sengketa TUN dimungkinkan pula
adanya pihak ketiga yaitu orang atau badan hukum perdata
untuk ikut serta atau diikutsertakan dalam proses pemeriksaan
suatu sengketa yang sedang berjalan (Pasal 83).
 Dalam hal pemeriksaan sengketa telah selesai, mulai dari




jawab menjawab, penyampaian surat-surat bukti dan
mendengarkan keterangan saksi-saksi, maka selanjutnya
para pihak diberikan kesempatan untuk menyampaikan
kesimpulan yang merupakan pendapat akhir para pihak
yang bersengketa (Pasal 97 ayat 1). Setelah kesimpulan
disampaikan, kemudian hakim menunda persidangan
untuk bermusyawarah guna mengambil putusan. Putusan
pengadilan yang akan diambil oleh hakim dapat berupa (
Pasal 97 ayat (7) ) :
a. Gugatan ditolak.
b. Gugatan dikabulkan.
c. Gugatan tidak diterima.
d. Gugatan gugur.
 Terhadap gugatan yang dikabulkan, maka pengadilan akan




menetapkan kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan
kepada Badan atau Pejabat TUN selaku Tergugat, yaitu
berupa ( Pasal 97 ayat (9) ) :
a. Pencabutan KeputusanTUN yang bersangkutan.
b. Pencabutan KeputusanTUN yang bersangkutan dan
menerbitkan KeputusanTUN yang baru.
c. Penerbitan KeputusanTUN dalam hal gugatan didasarkan
pada Pasal 3.
Disamping kewajiban-kewajban tersebut pengadilan juga
dapat membebankan kewajiban kepada Tergugat untuk
membayar ganti rugi dan pemberian rehabilitasi dalam hal
menyangkut sengketa kepegawaian.
UPAYA HUKUM
 Upaya Hukum Banding
 Upaya Hukum Kasasi dan Peninjauan
Kembali
Upaya Hukum Banding.
 Terhadap para pihak yang merasa tidak puas atas putusan yang
diberikan pada tingkat pertama (PTUN), berdasarkan ketentuan
Pasal 122 UU Peratun terhadap putusan PTUN tersebut dapat
dimintakan pemeriksaan banding oleh Penggugat atau Tergugat
kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN).
 Permohonan pemeriksaan banding diajukan secara tertulis oleh
pemohon atau kuasanya yang khusus diberi kuasa untuk itu,
kepada PTUN yang menjatuhkan putusan tersebut, dalam
tenggang waktu 14 (empat belas) hari setelah putusan
diberitahukan kepada yang bersangkutan secara
patut. Selanjutnya selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari
sesudah permohonan pemeriksaan banding dicatat, Panitera
memberitahukan kepada kedua belah pihak bahwa mereka
dapat melihat berkas perkara di Kantor Pengadilan Tata Usaha
Negara yang bersangkutan dalam tenggang waktu 30 (tiga
puluh) hari setelah mereka menerima pemberitahuan tersebut
Upaya Hukum Kasasi dan
Peninjauan Kembali
 Terhadap putusan pengadilan tingkat Banding
dapat dilakukan upaya hukum Kasasi ke
Mahkamah Agung RI. Pemeriksaan ditingkat
Kasasi diatur dalam pasal 131 UU Peratun, yang
menyebutkan bahwa pemeriksaan tingkat
terakhir di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
dapat dimohonkan pemeriksaan kasasi kepada
Mahkamah Agung. Untuk acara pemeriksaan ini
dilakukan menurut ketentuan UU No.14 Tahun
1985 Jo. UU No. 5 Tahun 2004 tentang
Mahkamah Agung
PELAKSANAAN PUTUSAN
PENGADILAN
 Putusan pengadilan yang dapat dilaksanakan
hanyalah putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap, demikian
ditegaskan dalam Pasal 115 UU Peratun.
 Putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap artinya bahwa terhadap putusan tersebut
telah tidak ada lagi upaya hukum, atau dapat
juga masih ada upaya hukum akan tetapi oleh
para pihak upaya hukum tersebut tidak
ditempuh dan telah lewat tenggang waktu yang
ditentukan oleh UU.