pui - silatnas cirebon2012

Download Report

Transcript pui - silatnas cirebon2012

Sikap dan Saran Mengenai Peraturan Menteri
Agama No. 3 tahun 2012 tentang Pendidikan
Keagamaan Islam.
PUI menyatakan dan mengusulkan
agar seluruh anggota DPR
mengambil sikap tegas MENOLAK
DAN TIDAK MENGAKUI
keberadaan Peraturan Menteri
Agama nomor 3 tahun 2012 tentang
Pendidikan Keagamaan Islam.
dengan alasan PMA itu cacat hukum.
Semangat dan isinya banyak
melanggar dan bertentangan dengan
UU No. 20 Tahun 2003 tentang:
Sistem Pendidikan Nasional dan
Peraturan Pemerintah No. 55 tahun
2007 tentang: Pendidikan Agama dan
Pendidikan Keagamaan.
1. PMA itu cacat hukum karena melanggar dan
bertentangan dengan UU no. 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional, Bab III pasal 4 ayat 6,
yang mengharuskan penyelenggaraan pendidikan
“dengan memberdayakan semua komponen
masyarakat melalui peran serta dalam
penyelengaraan dan pengendalian mutu layanan
pendidikan”. Hal ini dipertegas dalam penjelasan PP
no. 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan
Pendidikan Keagamaan, pada paragraf keempat dan
kelima di ketentuan I Umum, yang menjelaskan
panjang lebar peran serta masyarakat selama ini
dalam pendidikan keagamaan.
Dalam ketentuan-ketentuan PMA no. 3 tahun
2012, yang tampil adalah semangat etatisme,
bukan pemberdayaan masyarakat, dimana
negara hendak menyeragamkan, mengawasi,
mengontrol, mengendalikan, membuat
sentralisasi pendidikan, serta mematikan
keinginan masyarakat untuk berperan serta
dalam penyelenggaraan pendidikan.
Di dalam PMA ditetapkan, antara lain,
sentralisasi perizinan pendirian lembaga
pendidikan diniyah formal melalui Menteri
Agama (pasal 7, ayat 1), penggunaan nama
lembaga wajib mendapatkan persetujuan dari
Menteri Agama (pasal 8, ayat 2), akreditasi
terhadap pendidikan diniyah formal dilakukan
oleh badan akreditasi independen tertentu (pasal
22, ayat 2), pengawasan dilakukan oleh Dirjen
atau pejabat ditunjuk (pasal 33), pendidikan
diniyah formal harus di dalam pesantren, dll.
2. PMA itu cacat hukum karena melanggar
dan bertentangan dengan UU no. 20/2003
tentang Sisdiknas, bab III pasal 4 ayat 1,
yang menyatakan, “Pendidikan
diselenggarakan secara demokratis dan
berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan
menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai
keagamaan, nilai kultural, dan
kemajemukan bangsa.”
Dalam PMA terjadi diskriminasi dan tak
menghargai kemajemukan. PMA itu hanya
mengakui pendidikan pesantren salafiyah
(pasal 35) sebagai satu-satunya pesantren di
Indonesia dan mengabaikan keberadaan
pesantren lainnya baik yang disebut modern
atau cukup disebut pesantren saja tanpa
embel-embel salafiyah atau modern.
Padahal, dalam UU no. 20/2003 maupun PP
no. 55/2007, pesantren yang diakui sebagai
bentuk pendidikan keagamaan tidak mengacu
secara spesifik kepada pesantren salafiyah.
Pengakuan PMA terhadap pesantren salafiyah
sebagai satuan pendidikan pun hanya
menganggapnya setaraf dengan diniyah
nonformal (pasal 36, 37, 38, 39, 40). Sungguh
malang nasib pesantren di mata PMA. Betapa
lemah posisinya.
3. PMA itu cacat hukum karena melanggar dan
bertentangan dengan UU no. 20/2003 tentang
Sisdiknas, pasal 11 ayat 1 dan 2, serta dengan PP
no. 55/2007 pasal 12 ayat 1 berikut
penjelasannya, yang mengatur kewajiban
pemerintah memberikan bantuan sumber daya
pendidikan kepada pendidikan keagamaan.
Tidak satu pun pasal dicantumkan di PMA,
yang mestinya mengatur tanggung jawab dan
kewajiban pemerintah dalam hal penyediaan
biaya, sumberdaya dan infrastruktur
pendidikan keagamaan.
4. PMA itu juga cacat hukum dalam hal
pembuatannya, yakni menyalahi amanat PP no.
55/2007 pasal 50 Bab VI Ketentuan Penutup,
yang menetapkan semua peraturan perundangundangan terkait PP itu (termasuk PMA) sudah
harus dibuat paling lambat dua tahun sejak
berlakunya PP itu mulai 5 Oktober 2007.
Seharusnya PMA sudah selesai dibuat pada 5
Oktober 2009. Dalam hal ini, pemerintah cq.
Kemenag telah lalai menjalankan tugas dan
amanat PP no. 55/2007, karena baru
menerbitkan PMA pada 23 Februari 2012.
5. PMA itu catat hukum karena melalaikan
amanat PP no. 55/2007 pasal 19 ayat 2 yang
menuntut dibuatnya Peraturan Menteri
Agama yang mengatur ketentuan lebih
lanjut tentang ujian nasional pendidikan
diniyah dan tentang standar kompetensi
ilmu-ilmu yang bersumber dari ajaran
Islam. PMA no. 3/2012 sama sekali tidak
mencantumkan satu pasal pun yang
mengatur mengenai kedua hal tersebut.
SARAN-SARAN
Berikut ini sebagian saran yang PUI
ajukan untuk memperbaiki atau
melengkapi isi Peraturan Menteri Agama
tentang Pendidikan Keagamaan Islam
jika hendak diterbitkan kembali setelah
dibatalkan terlebih dahulu.
1. Peraturan Menteri Agama tentang
Pendidikan Keagamaan Islam yang
akan dibuat kembali nantinya tidak
perlu mengatur terlalu jauh dan begitu
rinci hingga mengubah berbagai hal
yang sudah berjalan dengan baik di
lingkungan pendidikan diniyah
formal/nonformal serta di pesantren.
2. Hendaknya ditegaskan ketentuan adanya
kewajiban pemerintah untuk memberikan
bantuan dana, sumberdaya dan
infrastruktur pendidikan baik bagi
pendidikan diniyah maupun pesantren.
Bantuan itu harus diberikan secara adil dan
transparan bagi seluruh kalangan
masyarakat, jangan hanya diberikan pada
kelompok tertentu saja.
3. Pesantren ya pesantren, tidak boleh
dibedakan antara pesantren salafiyah
dan pesantren lainnya, apalagi
kemudian yang satu dimasukkan ke
dalam ketentuan PMA sementara yang
lainnya tidak. Itu diskriminasi namanya.
4. Pendidikan diniyah formal tidak harus
diselenggarakan di pesantren, agar animo
masyarakat untuk berperan serta dalam
mensyiarkan Islam melalui jalur pendidikan
dan dakwah tidak surut. Maka Pasal 1 huruf
2 PMA no. 3 tahun 2012 perlu diperbaiki
menjadi: “Pendidikan diniyah formal adalah
pendidikan keagamaan Islam yang
diselenggarakn secara terstruktur dan
berjenjang yang terdiri atas pendidikan
dasar dan menengah”.
5. Persyaratan pendirian dan pendaftaran
pendidikan diniyah formal/nonformal
jangan dipersulit dan membebani
masyarakat.
6. Pendirian pendidikan dinyah tidak wajib
memperoleh izin menteri, cukup dengan
“mendaftar” pada Kantor Kementerian
Agama Kabupaten/Kota. Ayat-ayat pasal 7
PMA no. 3 tahun 2012 perlu direvisi/diganti.
7. Syarat-syarat pendaftaran harus tidak
menyulitkan penyelenggara.
8. Pendidikan diniyah formal boleh didirikan
oleh perorangan atau lembaga
kemasyarakatan, dan boleh didirikan di luar
pesantren.
9. Syarat adanya sarana pondok/asrama dalam
pendidikan diniyah formal (Pasal 16 Ayat 1
huruf a) harus dihapus.
10. Harus dihapus adanya syarat penyediaan
dana tiga tahun yang memberatkan, untuk
mendirikan pendidikan diniyah formal (Pasal
17 ayat 2), harus dihapus dan ditiadakan.
11. Penamaaan pendidikan diniyah formal
diserahkan kepada penyelenggara, tak usah
ditentukan pemerintah (ayat-ayat pada
Pasal 8). Tidak perlu izin dan persyaratan
apa pun.
Terima Kasih
Demikian sikap dan usul PUI.
Wallahu a’lam bisshawab.