Pasar_Kerja_di_Perko..

Download Report

Transcript Pasar_Kerja_di_Perko..

Pasar Kerja di Perkotaan
Sonny Harry B. Harmadi
Staf Pengajar Program Pascasarjana
Kependudukan dan Ketenagakerjaan
Pendahuluan




Dari hasil studi di beberapa negara diketahui bahwa
ternyata distribusi dan karakteristik pengangguran di
setiap kota tidak sama.
Terutama muncul perbedaan antar kota yang
memiliki fungsi maupun ukuran berbeda.(Marston,
1985), juga antara yang tinggal di pusat kota dan
pinggir kota.
Sebagai contoh, di AS, pendapatan kelompok
menengah yang tinggal di pusat kota, lebih rendah
40% dibanding yang tinggal di suburban.
Akhirnya muncullah ketertarikan ekonom secara
spasial untuk menganalisis pasar tenaga kerja.
Pendahuluan



Hal tersebut disebabkan kenyataan bahwa
pusat kota di AS umumnya didiami oleh
penduduk miskin dan mereka berkelompok.
Hal yang serupa juga terjadi di Eropa, namun
kondisinya lebih kompleks dan kebalikan
dengan AS.
Di Eropa, biasanya pengangguran dan orang
miskin memilih tinggal di pinggiran, dan
mereka yang tinggal di pusat kota umumnya
penduduk kaya.
Pendahuluan


Adanya konsentrasi spasial dari
pengangguran dan orang miskin, maka
bekerjanya pasar kerja di perkotaan menjadi
hal yang sangat penting.
Fenomena pasar kerja di perkotaan sangat
kompleks karena terkait dengan masalah
segregasi, harga tanah, commuting cost,
spatial mismatch, dan diskriminasi
(prejudice).
Job Search & Matching


Pasar kerja di perkotaan memiliki
karakteristik adanya search frictions. Artinya
dibutuhkan waktu untuk pekerja mencari
pekerjaan dan perusahaan memenuhi
kebutuhannya sehingga pengangguran dan
lowongan pekerjaan secara alamiah akan
terus ada.
Karena ada search frictions, kontak antara
pekerja dan perusahaan akan tergantung
berbagai variabel di pasar.
Job Search & Matching


Jika perusahaan semakin tersebar (spatial
dispersion), maka unemployment rate
meningkat.
Pekerja yang tinggal jauh dari lokasi
kerjanya, cenderung punya informasi pasar
kerja yang lebih sedikit dan lebih rendah
produktifitasnya dibanding yang dekat
dengan lokasi kerja (Seater, 1979).
Efficiency Wage


Di perkotaan, upah cenderung mahal dan
perusahaan harus membuat mekanisme
dimana shirking is very costly. Oleh karena
itu, perlu ditentukan efficiency wage.
Cara standar untuk pengujuan efficiency
wage sebenarnya secara tidak langsung.
Individu yang sama tapi bekerja di sektor
berbeda, akan mengalami perbedaan upah
karena adanya perbedaan efficiency wage.
Efficiency Wage


Dikenal istilah “rational cheater model”. Di
model tersebut dijelaskan bahwa ada
“stipulates” dimana si pekerja yang rasional
akan selalu mengantisipasi setiap
konsekuensi dari tindakannya, dan “shirk”
pada saat marginal benefits exceeds costs.
Perusahaan merespon hal ini dengan
melakukan monitoring dan incentive pay
policies yang dapat menyebabkan shirking
unprofitable.
Efficiency Wage


Capelin dan Chauvin (1991) menguji efficiency
wage dengan mengukur hubungan antara jumlah
pegawai yang disiplin dengan upah tertinggi antar
perusahaan. Kesimpulannya ialah bahwa upah yang
tertinggi cenderung menyebabkan levels of shirking
paling rendah.
Perusahaan merespon hal ini dengan melakukan
monitoring dan incentive pay policies yang dapat
menyebabkan shirking unprofitable.
Efficiency Wage



Pertama, “rational cheaters” biasanya akan
berperilaku “shirking” jika terlalu sulit atau mahal
dideteksi.
Kedua, jika terdapat kaitan antara monitoring dan
perilaku pekerja, akan sangat sulit untuk
memisahkan efek strategi monitoring dari berbagai
respon yang bersumber pada ciri-ciri tak kentara
dalam sistem SDM perusahaan.
Perusahaan merespon hal ini dengan melakukan
monitoring dan incentive pay policies yang dapat
menyebabkan shirking unprofitable.
Efficiency Wage – Model Sederhana

Model benchmark (berdasarkan Zenou dan
Smith, 1995)


Pada model ini para pekerja berganti lokasi
tinggal segera setelah mereka berganti status
pekerjaan (employment status).
Ada kecenderungan pekerja mengalami masa
menganggur yang panjang, maka dapat
diperkirakan bahwa ketika ia putus kerja, mereka
lebih sulit untuk membayar sewa rumah sehingga
setelah beberapa waktu mereka akan relokasi ke
tempat yang lebih murah.
Efficiency Wage – Model Sederhana

Model benchmark



Pada akhirnya lokasi dekat CBD akan diisi oleh
mereka yang bekerja dan lokasi pinggiran akan
diisi oleh mereka yang menganggur.
Untuk melihat kaitannya dengan efficiency wage
akan digunakan model yang dibangun oleh
Shapiro dan Stiglitz (1984).
Tetapi model Stiglitz dan Shapiro (1984) bersifat
non-spasial. Ia akan menjadi spasial setelah
diubah menjadi Urban Non-Shirking Condition
(UNSC) model.
Efficiency Wage – Model Sederhana

Model benchmark


Pada model UNSC ini efficiency wage akan
semakin tinggi jika: unemployment benefit,
commuting cost meningkat, atau menurunnya
tingkat pemantauan (monitoring rate).
Jadi, efficiency wage akan terdiri dari dua
komponen pokok: work inducement (yang
merupakan komponen non-spasial) dan spatial
compensation.
Efficiency Wage – Model Sederhana

Model benchmark


Urban unemployment dalam model UNSC terjadi
karena upah yang terlalu tinggi dan rigid. Dalam
situasi upah bersifat rigid, pengangguran akan
bersifat involuntary.
Dengan memasukkan faktor spasial dalam model,
maka tingkat pengangguran akan lebih tinggi
dibandingkan jika biaya commuting tidak
diperhitungkan.
Efficiency Wage – Model Sederhana

Wage Rigidity


Model Shapiro and Stiglitz (1984) menjelaskan pula bahwa
terjadinya pengangguran involuntary terutama disebabkan
oleh upah yang rigid. Perusahaan menolak untuk
menurunkan upah meskipun terdapat pekerja yang
bersedia dibayar lebih murah, karena, kendala non-shirking
tidak akan terpenuhi, dan akibatnya pekerja akan mangkir
dalam bekerja.
Jadi, bahkan dalam keadaan tingkat pengangguran tinggi,
perusahaan tetap tidak menurunkan upah karena ada
konsekuensi tingkat produktivitas yang harus terpenuhi.
Banyak survei terhadap pemilik usaha mengungkapkan
situasi ini.
Efficiency Wage – Model Sederhana

Wage Rigidity


Terungkap pula dari berbagai survei tersebut: para pemilik
usaha (employer) meyakini bahwa tidak fair untuk
menurunkan upah para pekerja. Kaufman (1982)
mendapati bahwa alasan utama para employer tidak
melakukan pemotongan upah karena dapat merusak moral
kerja dan menurunkan produktivitas
Agell dan Lundborg (1995) menemukan bahwa
perusahaan justru menolak menerima calon pekerja yang
ingin bekerja dengan upah yang rendah karena ada
konsekuensi negatif pada produktivitasnya.
Efficiency Wage – Model Sederhana

Model benchmark – Interaksi Labor and Land
Market



Labor market sebenarnya tidak mempengaruhi pasar tanah
secara langsung, begitu juga sebaliknya (bahkan
penentuan ekuilibrium masing-masing sepenuhnya
independen dari yang lain). Namun demikian variabelvariabel tenaga kerja memengaruhi variabel-variabel
spasial dan sebaliknya.
Frekuensi ulang-alik penganggur ke CBD, memiliki
pengaruh positif pada permintaan tenaga kerja, dimana
semakin sering penganggur bolak-balik ke CBD, semakin
rendah upah yang ditawarkannya.
Sementara biaya commuting memiliki pengaruh negatif
atas permintaan tenaga kerja.
Efficiency Wage – Model Sederhana

Model benchmark – Interaksi Labor and Land Market
 Pengaruh variabel tenaga kerja atas pasar tanah muncul antara
lain pada variabel unemployment benefit. Semakin tinggi
tunjangan pengangguran, employment zone akan berkurang,
karena kini batas antara employed dan unemployed menjadi
lebih kecil. Akibatnya orang yang bekerja akan menurunkan bid
rent-nya.
 Demikian juga dengan faktor eksogen, pada saat perekonomian
menurun, perusahaan merekrut lebih sedikit orang, dan karena
kurang kompetisi di pasar tanah, keseimbangan sewa tanah
menurun.
 Jadi, dampak labor market atas pasar tanah ialah melalui
permintaan tenaga kerja, yang sama dengan batas antara orang
yang bekerja dan penganggur (border between the employed
and the unemployed).
Urban Growth


Pertumbuhan ekonomi kota terjadi akibat:
capital deepening, increases in human capital,
technological progress, agglomeration
economies.
Menurut Sullivan (2007), kota yang inovatif
akan menyebabkan utility masyarakatnya
meningkat dan mendorong migrasi masuk,
serta menciptakan utility yang lebih tinggi di
kota lain.
Urban Employment Growth


Permintaan tenaga kerja berasal dari
perusahaan yang ada di kota, sedangkan
penawarannya berasal dari penduduk yang
tinggal di kota tersebut.
Menurut Sullivan (2007), sektor produksi
perkotaan dapat dibagi menjadi 2, yaitu export
base and local base. Keduanya saling
berhubungan melalui proses multiplier. Kita
harus bisa mengestimasi employment
multiplier jika export base tumbuh.
Apa saja yang mempengaruhi Labor
Demand di perkotaan?





Demand for exports.
Labor productivity.
Business tax.
Industrial public services.
Land use policies (accommodate to expand).
Apa saja yang mempengaruhi Labor
Supply di perkotaan?




Amenities.
Disamenities.
Residential taxes
Residential public services.
Apa saja yang mempengaruhi Labor
Supply di perkotaan?
The elasticity of the cost of urban living:
eC , N  
% changein cost of living
% changein labor force
The elasticity of the wage with respect to the labor force:
eC , N  
% changein wage
% changein labor force
The elasticity supply of labor:
eC , N  
% changein labor force
% changein wage
Job Creation di Perkotaan



Bisa terjadi zero sum games.
Change in total employment = change in
export employment x employment multiplier.
Who gets the new jobs?
Distribusi 1000 Pekerjaan Baru
New residents: 70
jobs
Timothy Bartik, 1991
Original residents
who were
unemployed: 160
jobs
Original residents
who were not in
labor force: 770
jobs