Tindak Pidana Terorisme

Download Report

Transcript Tindak Pidana Terorisme

Kelompok :
 Yunita Tri Wahyuni
 Adam Nurwidoro
 Ainun Muslimah
 Ardhita Yuliana
 Dwi Wulandari
(12401241028)
(12401241039)
(12401241042)
(12401241049)
(12401241053)
Rumusan Masalah :
 Apa yang dimaksud dengan tindak pidana terorisme?
 Bagaimana peraturan perundangan tindak pidanan
terorisme di Indonesia?
 Bagaimana penerapan hukum dan upaya pemerintah
dalam memberantas tindak pidana terorisme di
Indonesia?
1. Pengertian Tindak Pidana
Perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh
suatu aturan hokum dilarang dan diancam
pidana, asal saja dalam pada itu diingat
bahwa larangan ditujukan kepada
perbuatan, (yaitu suatu keadaan atau
kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan
orang), sedangkan ancaman pidananya
ditujuakan kepada orang yang
menimbulkannya kejadian itu
(Moeljatno.2002: 54).
2. Pengertian Terorisme
• Perppu RI Nomor 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan
Perppu RI Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme, bahwa: “terorisme merupakan
kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban serta
merupakan salah satu ancaman serius terhadap
kedaulatan setiap negara, karena terorisme sudah
merupakan kejahatan yang bersifat internasional yang
menimbulkan bahaya terhadap keamanan, perdamaian
dunia
serta merugikan
kesejahteraan
masyarakat
sehingga perlu dilakukan pemberantasan secara
berencana dan berkesinambungan sehingga hak asasi
orang banyak dapat dilindungi dan dijunjung tinggi”.
• UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme, bahwa terorisme adalah perbuatan melawan
hukum secara sistematis dengan maksud untuk menghancurkan
kedaulatan bangsa dan Negara dengan membahayakan bagi
badan, nyawa, moral, harta benda dan kemerdekaan orang atau
menimbulkan kerusakan umum atau suasana teror atau rasa
tacit terhadap orang secara meluas, sehingga terjadi kehancuran
terhadap objek-objek vital yang strategis, kebutuhan pokok
rakyat, lingkungan hidup, moral, peradaban, rahasia Negara,
kebudayaan,
pendidikan,
perekonomian,
teknologi,
perindustrian, fasilitas umum, atau fasilitas internasional
 Jadi, terorisme adalah sebuah metode kekerasan yang dilakukan
oleh individu, kelompok atau negara tertentu untuk tujuan
politik tertentu secara terencana, sistematik dan terorganisasi
dengan cara menimbulkan ketakutan dan ancaman di pihak
musuh di mana target yang dipilih bukan target langsung yang
dituju melainkan target simbolik.
Menurut Wilkinson ada tiga jenis terorisme secara umum:
1. Terorisme Revolusioner
Penggunaan kekerasan secara sistematis dengan tujuan akhir
untuk mewujudkan perubahan radikal dalam tatanan
politik
2. Terorisme Subrevolusioner
Penggunaan kekerasan teroristik untuk menimbulkan
perubahan dalam kebijakan publik tanpa mengubah
tatanan politik;
3. Terorisme Represif
Penggunaan kekerasan teroristik untuk menekan atau
membelenggu individu atau kelompok dari bentukbentuk perilaku yang dianggap tidak berkenaan oleh
Negara
3. Tindak Pidana Khusus
Sebagai Undang-Undang khusus, Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2003 mengatur secara materiil dan
formil sekaligus, sehingga terdapat pengecualian dari
asas yang secara umum diatur baik dalam KUHP
maupun dalam KUHAP. Di dalam Undang-Undang
Terorisme diatur pula hal yang secara khusus
menyebutkan bahwa suatu korporasi yang melakukan
suatu tindak pidana terorisme dapat dipidana, karena
ia merupakan subjek hukum. Sebagaimana dalam
Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang No. 15 Tahun 2003
menyebutkan: “Dalam hal tindak pidana terorisme
dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka
tuntutan dan penjatuhan pidana dilakukan terhadap
korporasi dan/ atau pengurusnya.”
Dalam Perppu RI Nomor 1 tahun 2002 dijelaskan
bahwa Pemerintah Indonesia sejalan dengan amanat
sebagaimana ditentukan dalam Pembukaan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pemerintah
juga
berkewajiban
untuk
mempertahankan kedaulatan serta memelihara
keutuhan dan integritas nasional dari setiap bentuk
ancaman baik yang datang dari luar maupun dari
dalam. Untuk itu, maka mutlak diperlukan penegakan
hukum dan ketertiban secara konsisten dan
berkesinambungan.
 Peristiwa bom Bali banyak menjatuhkan ratusan korban
jiwa, atas desakan berbagai pihak akhirnya pemerintah
menerbitkan Perppu Nomor 1 tahun 2002 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yang kemudian
disetujui oleh DPR menjadi Undang-Undang Nomor 15
tahun 2003.
 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003, tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang dijadikan
sebagai dasar hukum pemberantasan tindak pidanan
terorisme di Indonesia, menyebutkan dalam Pasal 1 ayat (1)
bahwa tindak pidana terorisme adalah segala perbuatan
yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan
ketentuan undang-undang ini. Tindak pidana itu
dirumuskan dalam dua pasal, yaitu pasal 6 dan pasal 7.
 Sekalipun tindak pidana terorisme merupakan
kejahatan luar biasa, namun penetapan jenis
sanksi pidananya tetap harus memperhatikan
prinsip humanistis. Pasal 33 ayat (1) undangundang Hak Asasi Manusia, indicator suatu sanksi
pidana dikatakan sesuai dengan nilai kemanusiaan
yang beradab jika jenis sanksi pidana memenuhi
dua criteria yaitu: (1) tidak mengandung unsure
penyiksaan dan (2) tidak merendahkan drajat dan
martabat terpidana sebagai manusia.
Pasal 6 UU No. 15 Tahun 2003
 Tindak Pidana Terorisme yang dikwalifikasikan sebagai
delik materil (delik akan dianggap sempurna dengan
adanya akibat yang ditimbulkan dari tindak pidana
tersebut). Bahwa tindakan tersebut diancam dengan
pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20
tahun.
 Pasal 6 memberikan penekanan pada akibat yang dilarang
yaitu hilangnya nyawa, hilangnya harta atau kerusakan dan
kehancuran ( tercemarnya atau rusaknya kesatuan ruang
dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup
termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi
kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia
serta makhluk lainnya)
Pasal 7 UU No. 15 Tahun 2003
 Pasal 7 merupakan delik formil yang dijadikan unsur pidananya
adalah niat yang dirumuskan dalam kata “bermaksud”. Ini
berarti, tanpa adanya akibat yang ditimbulkan (suasana terror
atau rasa takut), perbuatan tersebut sudah masuk dalam tindak
pidana teroris.
 Pasal 7 bahwa setiap orang yang dengan sengaja menggunakan
kekerasan atau ancama kekerasan bermaksud untuk
menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang
secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal
dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau
harta benda orang lain, atau untuk menimbulkan kerusakan
atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis, atau
lingkungan hidup, atau fasilitas publik, atau internasional,
dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidup.
 Jadi penentuan bobot sanksi pidana pada Pasal 6 dan
Pasal 7 merupakan konsekuensi dari perbedaan pada
perumusan deliknya. Tindak pidana pada Pasal 6
diancam dengan sanksi pidana lebih berat karena
merupakan delik materiil yang mensyaratkan adanya
akibat tertentu, sedangkan Pasal 7 diancam dengan
sanksi pidana lebih ringan karena merupakan dalik
formal yang hanya menekankan kepada perbuatan
tanpa mensyaratkan akibat tertentu
Kasus Tindak Terorisme Bom Bali I dan II
 Bom Bali I pada 12 Oktober 2002, di Paddy’s Cafe dan Sari
Club di kawasan Legian, Kuta, Bali. 202 orang tewas, 164
orang di antaranya warga asing dari 24 negara, 38 orang
lainnya warga Indonesia 209 orang mengalami luka-luka.
Setelah melewati proses penyelidikan, Polri berhasil
menangkap Amrozi, Ali Imron, Imam Samudra, dan Ali
Gufron pelaku aksi pengeboman. Ali Imron divonis
hukuman seumur hidup, sementara tiga tersangka lainnya
divonis hukuman mati.
 Bom Bali II pada 1 Oktober 2005. Serangan bom bunuh diri
di Jimbaran dan Kuta ini menelan korban jiwa sebanyak 23
orang dan 196 orang mengalami luka-luka. Berdasarkan
hasil penyelidikan polisi, terungkap keberadaan kelompok
Dr. Azhari Husin serta tujuh orang pelaku utama
peledakan. Dr. Azhari Husin akhirnya tewas dalam
penyergapan di Malang, Jawa Timur pada 9 November 2005
Penerapan hukum Tindak Pidana Terorisme di
Indonesia
Kekuasaan eksekutif mengeluarkan PERPU No.1/2002 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan PERPU No.2/2002
tentang Pemberlakuan PERPU No.1/2002, mulai berlaku sejak tanggal
18 Oktober 2002 pada peristiwa Peledakan Bom di Bali tanggal 12
Oktober 2002, yang kemudian dilanjutkan dengan UU N0. 15 Tahun
2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
 Terorisme tidaklah dapat disamakan dengan tindak pidana biasa yang
diatur di dalam Pasal 187 KUHP, sekalipun secara substansial
tindakannya
memiliki
kesamaan
dalam
kejahatan
yang
membahayakan keamanan umum bagi orang atau barang, tetapi secara
esensial tindakan terorisme tersebut bukan hanya membahayakan
keamanan umum, tetapi telah memakan banyak korban nyawa
manusia yang tidak sedikit, bahkan telah menimbulkan rasa takut,
panik, dan chaos dalam masyarakat sampai pada hancurnya
perekonomian nasional
Lanjutan….
 Kejahatan teroris sebagai kejahatan luar biasa karena
dilakukan secara sistematis profesional dengan melalui
jaringan yang terorganisir yang berskala regional maupun
internasional, memiliki tujuan politik atau ideologi dengan
cara menimbulkan rasa takut, panik dan chaos di
masyarakat, sampai dengan jatuhnya banyak korban yang
tewas dan luka-luka atas masyarakat yang tidak berdosa.
 Dilihat dari proses pembuatannya, bukan saja peraturan ini
lahir sebagai respon atas desakan masyarakat
internasional, melalui upaya untuk meratifikasi konvensi
internasional tentang terorisme.
 Secara sosiologis merupakan terobosan hukum yang ketika
itu sangat dibutuhkan masyarakat dan pemerintah
Indonesia.
 Konstruksi teroritis ini mengedepankan konsep terorisme
sebagai kejahatan luar biasa (Extra Ordinary Crime) dan
kejahatan kemanusiaan (Crime Against Humanity),
dengan dilengkapi oleh adanya pendekatan non yuridis.
 Upaya identifikasi berbagai kelemahan dan kontradiksi
yang terdapat dalam UU tersebut, terutama dalam tingkat
penegakan hukumnya. Misalnya, apakah pre-emptive
strike atau penangkapan terlebih dahulu yang didasarkan
kepada data-data intelijen dibenarkan secara hukum?
Begitu pula, apakah kebolehan pemberlakuan hukum yang
tidak berlaku surut (Non-Retroactive) dalam kejahatan
teroris dapat dikatakan sebagai ketentuan khusus (Lex
Specialis) memperoleh pembenaran teoritis dalam sistem
hukum nasional (Thontowi. 2009).
 Undang-Undang No 15 tentang Tindak Pidana Terorisme
dirasakan telah bekerja efektif dalam mengurangi
kuantitas dan kualitas kejahatan teroris di Indonesia.
Sebagai instrumen hukum nasional, meski terdapat
kekurangan UU Terorisme telah berkesesuaian dengan
hukum internasional. Menempatkan kejahatan teroris
sebagai kejahatan internasional. Karena dapat disejajarkan
dengan pembunuhan masal etnis, agama dan ras,
kejahatan perang, kejahatan kemanusiaan dan kejahatan
agresi.
 Jadi dalam proses hukum acara pidananya, seperti
penyelidikan dan penyidikan memiliki perbedaan
mendasar. Misalnya, atas dasar prinsip pre-emptive,
penangkapan terhadap tersangka dilakukan tanpa bukti
memadai menjadi tidak melanggar asas praduga tak
bersalah.
Upaya Preventif
 Suatu upaya pencegahan kejahatan yg dilakukan
sebelum kejahatan itu terjadi.
 Secara umum pencegahan kejahatan dapat dilakukan
dengan menggabungkan beberapa metode. Metode
pertama adalah cara moralistic yang dilaksanakan
dengan penyebarluaskan ajaran-ajaran agama dan
moral, perundang-undangan yang baik dan saranasarana lain yang dapat mengekang nafsu untuk
berbuat kejahatan. Sedangkan cara kedua adalah cara
abiliosinistik yang berusaha untuk memberantas
sebab-musababnya.
Upaya Represif
 Upaya penanggulangan kejahatan pada hakekatnya
merupakan suatu usaha untuk pengamanan
masyarakat (social defence) agar masyarakat dapat
terhindar dari kejahatan atau setidak-tidaknya
mengendalikan kejahatan yang terjadi agar berada
dalam batas-batas toleransi masyarakat. Salah satu
usaha penanggulangan kejahatan yang dilakukan
adalah dengan menggunakan hukum pidana dengan
sanksinya yang berupa pidana.
Terorisme adalah sebuah metode kekerasan yang dilakukan oleh individu, kelompok atau
negara tertentu untuk tujuan politik tertentu secara terencana, sistematik dan terorganisasi
dengan cara menimbulkan ketakutan dan ancaman di pihak musuh di mana target yang dipilih
bukan target langsung yang dituju melainkan target simbolik.
Presiden Republik Indonesia telah menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undangundang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Atas desakan
berbagai pihak akhirnya Perppu Nomor 1 tahun 2002 disetujui oleh DPR menjadi UndangUndang Nomor 15 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme.
Pasal 6 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme bahwa tindakan tersebut diancam dengan pidana mati atau penjara seumur hidup
atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.
Undang-Undang No 15 tentang Tindak Pidana Terorisme dirasakan telah bekerja efektif dalam
mengurangi kuantitas dan kualitas kejahatan teroris di Indonesia. Sebagai instrumen hukum
nasional, meski terdapat kekurangan UU Terorisme telah berkesesuaian dengan hukum
internasional. Menempatkan kejahatan teroris sebagai kejahatan internasional (international
crime). Karena dapat disejajarkan dengan pembunuhan masal etnis, agama dan ras (genocide),
kejahatan perang (war crimes), kejahatan kemanusiaan (crime against humanity) dan
kejahatan agresi (crime against agression)
Bahwa dalam perang melawan terorisme perlu dilakukan upaya secara terkoordinasi lintas
instansi, lintas nasional dan secara simultan dilakukan langkah-langkah yang bersifat; represif,
preventif.
SEKIAN