6. PENYUSUNAN TANGGAPAN EKSEPSI PH

Download Report

Transcript 6. PENYUSUNAN TANGGAPAN EKSEPSI PH

PENUNTUTAN
Dr. SETYO UTOMO,SH., M.Hum
(6)
TEKNIK PENYUSUNAN
PENDAPAT PENUNTUT UMUM
ATAS
KEBERATAN PENASEHAT
HUKUM
2
PENDAPAT JPU ATAS KEBERATAN
PENASEHAT HUKUM DAN PERLAWANAN
A. KEWENANGAN MENGADILI
1.
Kewenangan Mengadili Pengadilan Negeri
a. Pengadilan Negeri berwenang mengadili semua perkara
pidana yang terjadi atau dilakukan di dalam daerah
hukumnya.
Setiap kabupaten/ Kota dibentuk suatu pengadilan negeri,
Kejaksaan Negeri dan resort Kepolisian
b. Pengadilan Negeri yang di dalam daerah hukumnya :
•
•
Terdakwa
bertempat
tinggal,
berdiam
terakhir,
diketemukan / ditangkap atau ditahan; dan
Sebagian besar saksi yang dipanggil ke sidang
pengadilan, tempat tinggalnya lebih dekat pada
pengadilan negeri tersebut dari pada tempat pengadilan
negeri yang di dalam daerah hukumnya tindak pidana itu
dilakukan.
Maka Pengadilan Negeri dimana terdakwa bertempat
tinggal atau ditahan tadi berwenang mengadili
3
c. Seorang terdakwa melakukan beberapa tindak
pidana di dalam daerah hukum pengadilan yang
berbeda-beda, tapi ada hubungannya satu sama
lainnya, terbuka kemungkinan penggabungan
perkara-perkara tersebut dan diadili oleh salah
satu dari PN yang berwenang.
d. Dalam hal suatu pengadilan negeri tidak
memungkinkan mengadili suatu perkara (karena
bencan alam, huru-hara, faktor keamanan dll)
maka atas usul Ketua PN atau KAJARI setempat
MA mengusulkan kepada MENKEH dan HAM
untuk menetapkan PN lain selain dari PN yang
berwenang mengadili perkara itu.
e. Dalam hal seorang melakukan tindak pidana di
luar negeri yang dapat diadili dengan hukum
Republik Indonesia, maka PN Jakarta Pusat
berwenang mengadili.
4
2.
Kewenangan Mengadili Pengadilan Tinggi
Pengadilan Tinggi berwenang mengadili semua perkara yang
diputus oleh PN dalam daerah hukumnya yang diminta
banding. Jadi Pengadilan Tinggi hanya berwenang mengadili
terhadap :
a.
b.
c.
Perkara pidana yang telah diputus oleh PN
PN tersebut berada dalam daerah hukum Pengadilan Tinggi
tersebut
Atas permintaan terdakwa dan / atau Penuntut Umum
Catatan :
Daerah hukum suatu Pengadilan Tinggi sama dengan wilayah
Propinsi / Daerah Tingkat I
3.
Kewenangan mengadili Mahkamah Agung R.I
Mahkamah Agung berwenang mengadili semua perkara
(pidana) yang diminta kasasi
Catatan :


Daerah hukum MA sama dengan wilayah Republik Indonesia
MA memeriksa ditingkat Kasasi, terhadap perkara pidana yang telah
diputus PT, kecuali terhadap perkara tertentu atau putusan tertentu.
5
B.
ALASAN KEBERATAN TERDAKWA / PENASEHAT HUKUM.
b.1 Keberatan Tidak Berwenang Mengadili.
•
PN tidak berwenang mengadili terhadap perkara yang diajukan JPU
karena yuridiksi, seperti UU No. 48 Tahun 2009 tentang Ketentuanketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, ditentukan ada 4 macam
yuridiksi pengadilan, yaitu :Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan
Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara., Pengadilan Tipikor.
•
Contoh :
Seorang anggota TNI bernama A diperiksa dan diadili oleh Peradilan Militer,
setelah pembacaan surat dakwaan, terdakwa / penasehat hukumnya
mengajukan keberatan bahwa Peradilan Militer yang sedang memeriksa
perkara itu sama sekali tidak berwenang karena saat melakukan tindak pidana
A masih belum menjadi/berstatus anggota TNI dan yang berhak mengadili
adalah Peradilan Umum sq. Pengadilan Negeri (Putusan MARI No.
01/SKMP/Pid/1989 tanggal 30 Juni 1990.
•
Keberatan yang menyangkut kompetensi dapat berupa ketidakwenangan
mengadili secara absolute maupun kompetensi reltive.
Mengenai kompetensi sudah diatur dalam pasal 84 KUHAP, antara lain :
•
1.
2.
3.
4.
PN berwenang mengadili segala perkara mengenai tindak pidana yang
dilakukan di daerah hukumnya.
PN yang di dalam daerah hukumnya terdakwa terakhir tinggal , ditempat ia
ditahan, hanya berwenang mengadili apabila kebanyakn saksi …
Seorang melakukan tindak pidana di beberapa tempat, masing-masing PN
berwenang
Beberapa perkara pidana di berbagai wilayah hukum PN; dimungkinkan untuk
digabungkan.
6
b.2
Keberatan Dakwaan Tidak Dapat Diterima.
•
Terjadi apabila ketentuan pasal 143 (2) KUHAP mengenai Syarat
Formal Surat Dakwaan tidak terpenuhi
•
Keberatan berdasarkan alasan Surat Dakwaan itu harus berisi
uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana
yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tidak
pidana dilakukan, bila syarat ini tidak dipenuhi maka dakwaan
menjadi tidan jelas (obscurum libelium) akibatnya Surat Dakwaan
batal demi hukum.
•
Meskipun belum satupun Yurisprudensi yang dapat menjadi
pegangan Surat dakwaan adalah obscurum libelium, namun ada
beberapa kasus yang dapat dipakai sebagai contoh :
a)
Apabila yang didakwakan oleh JPU dalam Surat Dakwaan telah
kadaluwarsa. (pasal 78 KUHP)
b)
Adanya “nebis in idem”
c)
Tindka pidana aduan (klacht delict)
d)
Adanya unsur yang didakwakan PU tidak sesuai dengan tindak
pidana yang dilakukan.
e)
Perbuatan yang dilakukan terdakwa bukan perbuatan tindak pidana,
tapi merupakan lingkup hukum perdata
7
b.3
Keberatan Surat Dakwaan Harus Dibatalkan. (Pasal 143
KUHAP)



Seperti telah diuraikan di depan, uraian cermat, jelas dan lengkap
mengandung makna bahwa dalam pembuatan Surat Dakwaan JPU
harus korek dan teliti dalam mempersiapkan Surat Dakwaan, lengkap
menyebutkan unsur delik, jelas menguraikan fakta perbuatan dan
kejadian, sehingga terdakwa benar-benar memahami dakwaan
terhadap dirinya.
Putusan MA No. 33 K/MII/1985 tanggal 15 PEbruari 1985 :
“Karena Surat Dakwaan tidak dirumuskan secara lengkap dan tidak
cermat, dakwaan dinyatakan batal demi hukum”.
Putusan MA No. 808 K/Pid/1985 tanggal 29 Juni 1985 :
“Dakwaan tidak cermat, tidak jelas, tidak lengkap sehingga harus
dinyatakan batal demi hukum”.
Contoh :
Putusan sela Majelis Hakim PN Tegal tanggal 26 Juni 1985 No.
34/Pid.B/1985 memutuskan penyidik Mabes Polri dalam kasus
penyelundupan kayu dengan terdakwa AKI (Oh Pek Kie) alias
Pontjodiyono adalah tidak sah menurut hukum, karena selama
proses penyidikan terdakwa tidak didampingi Penasehat Hukum.
Karena dakwaan dibuat berdasarkan Berita Acara yang tidak sah
maka Majelis Hakim berpedapat Surat Dakwaan tidak dapat diterima.
8
b.4
Putusan Hakim Atas Keberatan Terdakwa / Penasehat Hukum
(Pasal 156 ayat (1) KUHAP)
“… maka setelah diberi kesempatan kepada JPU untuk menyatakan
pendapatnya. Hakim mempertimbangkan keberatan tersebut untuk
selanjutnya mengambil keputusan”.
Apakah yang dimaksud dengan “keputusan” dalam pasal di atas, apakah
berbentuk Penetapan atau Keputusan Akhir. Dalam KUHAP tidak diatur
secara jelas apa yang dimaksud dengan putusan sela, namun istilah ini
lahir dalam praktek hukum. Pada umumnya putusan sela berbentuk
sebuah Penetapan.
Dalam hal keberatan terdakwa / penasehat hukum pada masalah
kewenangan / kompetensi dipakai sebagai contoh adalah putusan MA No.
697 K/Pid/1988 tgl. 31 Maret 1988 yaitu apabila dalam surat dakwaan yang
didakwakan kepada terdakwa baik dalam dakwaan primair, subsidair maupun
lebih subsidair ternyata locus delicti di Surakarta. Akan tetapi ternyata
pengadilan yang mengadili tersebut adalah PN Surabaya, maka terdakwa /
pensaehat hukum mengajukan keberatan kompetensi relatif, sehingga diktum
putusan MA adalah :
1.
•
•
•
2.
Menetapkan bahwa perkara pidana ini teramsuk wewenang PN Surakarta
Memerintahkan PN Surakarta untuk memeriksa dan mengadili terdakwa
Mengirimkan berkas perkara ke PN Surabaya disertai perintah agar melalui JPU
perkara tersebut dilimpahkan ke PN Surakarta
Apabila surat dakwaan ditetapkan / diputuskan “batal atau batal demi hukum”
atau dinyatakan “tidak dapat diterima”. JPU setelah memperbaiki /
menyempurnakan surat dakwaan yang dibatalkan atau dinyatakan tidak
diterima oeh Hakim masih dapat dibenarkan untuk dilimpahkan kembali
9
perkaranya ke PN.
C.
TEHNIK MEMBUAT PENDAPAT JPU ATAS KEBERATAN
(Pasal 156 KUHAP)
“Dalam hal terdakwa atau Penasehat Hukum …, maka setelah
diberi kesempatan kepada JPU untuk menyatakan pendapatnya.
…”.


Secara teliti dan cermat JPU mempelajari alasan keberatan yang
diajukan, terutama dihubungkan dengan pasal yang mengatur
mengenai “keberatan terdakwa” (psl. 156 KUHAP), selanjutnya apa
argumentasi terdakwa / penasehat hukumnya dalam mengajukan
keberatan, hal ini penting untuk bisa menilai apakah keberatan dan
argumentasinya memang menjadi / di dalam lingkup keberatan yang
ditentukan oleh UU.
Terutama di dalam hal keberatan dengan argumentasi dakwaan JPU
kabur (obscure) sering terjadi “keberatan” berargumentasi yang
tersirat sebagai suatu pembelaan/pledoi. Menghadapi hal ini JPU
tidak serta merta menyatakan bahwa keberatan yang diajukan diluar
lingkup keberatan yang ditentukan oleh UU, namun secara jelas dan
rinci JPU harus dapat menunjukkan bahwa dakwaan yang diajukan
telah memenuhi syarat baik formil maupun materil yuridis sehingga
tidak cukup alasan untuk mengajukan keberatan.
10


Selanjutnya, JPU dapat mengajukan perlawanan /
verzet apabila ternyata keberatan terdakwa /
penasehat hukumnya diterima oleh Hakim.
Pasal 149 KUHAP
(1) Dalam hal Penuntut Umum berkebratan terhadap surat
penetapan Pengadilan Negeri sebagaimana diatur dalam
pasal 148, maka :
a.
Ia mengajukan perlawanan (verzet) kepada PT yang
bersangkutan dalam waktu 7 hari setelah penetapan tersebut
diterima.
Tidak dipenuhi tenggang waktu tsb di atas mengkibatkan
batalnya perlawanan.
c. Perlawanan tsb disampaikan kepada Ketua PN sebagaimana
dimaksud dalam pasal 148 dan hal ini dicatat dalam daftar
buku panitera
b.
d.
Dalam waktu 7 hari PN wajib meneruskan perlawanan tsb kpd
PT yang bersangkutan.
(2) PT dalam waktu paling lama 14 hari setelah menerima
perlawanan tsb dapat menguatkan atau menolak
perlawanan itu dengan surat penetapan.
11
12