hukuk masalah kedokteran

Download Report

Transcript hukuk masalah kedokteran

BIDANG kedokteran
Dewasa ini para ulama dihadapkan pada
masalah lebih rumit, karena banyak masalahmasalah kedokteram yang tidak ada
penegasan dalam nash, Alquran dan Hadits,
juga tidak ditemukan keterangannya dalam
literatur fikih karena hal yang serupa belum
diformulasikan oleh para pakar fikih (fuqaha)
terdahulu, belum terjadi saat itu atau bahkan
belum terpikirkan akan adanya. Di samping
itu, juga mulai terkuaknya masalah lain yang
terkait yang harus pula dipertimbangkan
dalam menentukan hukumnya.
Di sisi lain, sekarang hampir tidak ada lagi orang yang
mempunyai otoritas berijtihad secara mandiri karena orang
yang memenuhi prasyarat akademis dan moral yang
diperlukan nyaris tidak dapat dijumpai lagi.
Maka yang dilakukan adalah berijtihad secara kolektif
(ijtihad jama'i) melalui lembaga atau organisasi
keulamaan. Padahal secara normatif teoritis, ada interaksi
antara
perubahan
dan
perkembangan
teknologi
kedokteran dengan perubahan hukum Islam.
Setiap peristiwa yang terjadi pasti ada hukum yang
mengikatnya, ada dalil yang menunjukkan atas hukumnya,
jika tidak ditemukan secara jelas dalam nash maka dalil
dicari dengan cara berijtihad. Dengan ijtihad, maka sesulit
dan serumit apa pun persoalan yang dihadapi manusia,
maka di situ ada ketentuan hukumnya
Hukum Islam
1. senantiasa dinamis dan sesuai dengan tuntutan
masa dan tempat,
2.intinya
menarik
yang
bermanfaat
serta
menghindari yang mafsadat (Rahmān, 1983).
Tujuan akhir ditetapkannya hukum Islam adalah
menjadi rahmat bagi manusia,
3. mewujudkan kemaslahatan yang hakiki, baik di
dunia maupun di akhirat (Zahrat, 1995).
4. Ukuran dan sarana kemaslahatan itu tidak baku
dan tidak tak terbatas, ia berubah seiring
dengan perkembangan zaman (Rahmān, 1983).
Secara metodologis,
ulama menetapkan hukum Islam
berdasarkan sumber primer
syariat Islam, Alquran dan Hadis,
dua sumber komplementer yang
merupakan sub-ordinat
(ijmak dan qiyas),
kaidah-kaidah suplementer, meliputi
1. Istihsān (preferensi juristik),
2. Amalan Penduduk Madinah,
3. al-Mashālih al-Mursalat (kemaslahatan umum),
4. Istishhāb (aturan kesesuaian),
5. Syar’ man Qablanā,
6. Madzhab Shahābi,
7.Sadd al-Dzarī'at (menutup jalan yang dapat
menghantarkan terjadinya kemaksiatan), dan
8.‘urf .
Abd al-Rahim ‘Umran menambahkan empat
prinsip (kaidah) umum, yaitu:
1. "Watak dasar segala hal adalah halal
kecuali apabila dilarang oleh suatu nash,
2. tidak memudaratkan dan tidak
dimudaratkan,
3. darurat membolehkan yang dilarang,
4. dan memilih kemudaratan yang lebih kecil
(Umran, 1992).
5 lembaga fatwa di Indonesia,
1.Bahtsul Masail NU,
2.Majlis Tarjih Muhammadiyah,
3.Komisi Fatwa MUI,
4.Dewan Hisbah PERSIS,
5.dan MPKS (Majlis Pertimbangan
Kesehatan dan Syara') Departemen
Kesehatan RI di tingkat pusat.
Penggunaan Dalil/Metode dalam Fatwa
Kedokteran Secara metodologis, meski
tidak berarti meninggalkan sumbersumber hukum atau metode pendukung
lain yang menguatkannya, terlepas dari
adanya
kelaziman
menyebutkan
metode tersebut atau tidak tetapi secara
aplikatif dapat ditentukan, ada satu
metode atau lebih penetapan hukum
yang kuat dan menonjol dijadikan
sebagai dasar, yaitu sebagai berikut:
A.Melalui sumber primer, Alquran dan
Sunnah, atau dengan mengkiyaskannya.
1.Fatwa tentang larangan operasi ganti kelamin
digunakan dalil dengan nash tentang larangan
merubah ciptaan Allah dan menyerupakan diri
dengan lain jenis.
2.Proses pemasangan alat kontrasepsi dalam
rahim/vagina atau penanaman zigot dengan
batasan menutup aurat dan larangan melihat
aurat, agar ‘memejamkan pandangan’.
3. Keharaman menggunakan jenazah untuk
transplantasi dengan larangan menyakiti
jenazah, atau secara spesifik larangan untuk
tidak mematahkan tulang mayit.
.
4. Mengkonsumsi obat beralkohol dengan
larangan minum khamar.
5.Bolehnya menggunakan alat kontrasepsi yang
sifatnya sementara dengan ‘azl.
6.Kebolehan melakukan inseminasi buatan dan
bayi tabung dengan anjuran umum agar
berobat dan anjuran menikah serta
berketurunan.
4. Mengkonsumsi obat beralkohol dengan
larangan minum khamar.
5.Bolehnya menggunakan alat kontrasepsi yang
sifatnya sementara dengan ‘azl.
6.Kebolehan melakukan inseminasi buatan dan
bayi tabung dengan anjuran umum agar
berobat dan anjuran menikah serta
berketurunan.
B. Melalui kaidah-kaidah suplementer, di antaranya:
a. Istihsan atau konsep darurat, seperti terhadap
isu tentang donor organ, transplantasi dengan organ orang
mati, bedah mayat untuk pendidikan kedokteran dan
pengadilan, penggunaan obat beralkohol dan organ babi,
aborsi karena alasan medis, darurat.
b. Sadd al-Dzarī’at digunakan untuk menetapkan
haramnya penggunaan sperma donor, sewa rahim,
transplantasi dengan sesama muslim, aborsi akibat
perkosaan yang berakibat depresi berat.
c. Mashlahat Mursalat, dijadikan sebagai argumen
halalnya inseminasi buatan/bayi tabung, bedah mayat,
transplantasi organ, dan KB.
d. Istishhāb digunakan karena tidak ada larangan
dan perintah dalam nash maka difahami sebagai bentuk
pembolehan, seperti fatwa tentang isu inseminasi buatan.
C. Melalui kitab-kitab fikih dengan cara mentathbīq-kannya atau meng-ilhāq-kannya,
seperti haramnya suntik mayat dan bedah
mayat dianalogikan dengan haramnya khitan
mayat, bolehnya bedah mayat untuk
pendidikan atau pengadilan, donor dan
transplantasi organ manusia dianalogikan
dengan bolehnya mengeluarkan benda
berharga atau bayi dari perut mayat.
Inseminasi Buatan dan Bayi
Tabung
Dilihat dari segi teknologinya, empat lembaga fatwa,
Bahtsul Masail NU, Komisi Fatwa MUI, Dewan Hisbah
PERSIS, dan MPKS menyepakati bolehnya melakukan
inseminasi buatan dan bayi tabung, sepanjang sperma
berasal dari suami dan ovum dari istrinya yang masih
terikat dalam pernikahan dan dihamilkan oleh wanita
pemilik ovum tersebut, dan mengharamkan inseminasi
buatan atau bayi tabung donor karena akan berakibat
merancukan nasab. Majlis Tarjih mengeluarkan fatwa
dengan dua pendirian, membolehkan dan
mengharamkan.
Bahtsul
Masail
dan
pendapat
yang
membolehkan bayi tabung dari Majlis Tarjih
mewajibkan pula cara mengeluarkan sperma
dan/atau ovum secara muhtaram atau tidak
bertentangan dengan syara’, bahkan Majlis Tarjih
menyarankan agar petugas yang menandurkannya dalam rahim adalah wanita. Maksudnya,
jika dalam proses pengeluaran sperma dan
penandurannya dalam rahim tidak muhtaram
maka hukum inseminasi tersebut menjadi haram.
MUI dan Dewan Hisbah lebih memperluas
batasan kebolehan dan keharamannya, bagi
suami yang berpoligami, zigot hanya boleh ditanam di rahim pemilik ovum demi menjaga
kemurnian
nasab.
Kloning
Lembaga fatwa yang sudah menetapkan hukum kloning
baru dua lembaga, Bahtsul Masail dan MUI. Mereka
sepakat mengharamkan kloning reproduksi manusia
karena
berakibat
merancukan
nasab,
proses
penanamannya dalam rahim bertentangan dengan
batasan melihat aurat, merusak pranata sosial, dan akan
merendahkan kehormatan insani, namun menghalalkan
kloning pada tumbuhan dan hewan karena tujuannya
untuk kesejahteraan dan kemaslahatan manusia.
Sedangkan kloning terapetik yang bertujuan untuk
kemaslahatan/pengobatan, belum difatwakan oleh
lembaga-lembaga fatwa di Indonesia secara khusus.
Fatwa yang ada merupakan pendapat individual, di
antaranya M. Qurasih Shihab yang menyatakan
kebolehannyta (Alkaf, 2003). Kebolehannya tersebut
karena termasuk maslahah, dan dilihat dari segi
pelaksanaannya tidak terdapat unsur melanggar syariat,
maka
hukumnya
termasuk
yang
dibolehkan.
Keluarga
Berencana
Bahtsul Masail, Majlis Tarjih, MUI, dan Dewan Hisbah
berbeda pendapat tentang hukum asal ber-KB. Majlis
Tarjih termasuk kelompok yang mengharamkannya.
Awalnya Bahtsul Masail mengharamkannya secara
mutlak, tetapi dalam perkembangannya terjadi
pergeseran, membolehkannya dengan syarat-syarat
tertentu. Sedangkan MUI menghalalkannya, demikian
pula Dewan Hisbah menghalalkannya jika diartikan
sebagai bentuk pengaturan keluarga, namun jika berarti
pembatasan kelahiran hukumnya haram. Dilihat dari
segi cara ber-KB, jika dilakukan dengan tidak
menggunakan alat bantu, Bahtsul Masail yang
sebelumnya mengharamkannya secara mutlak bergeser
menetapkan hukumnya makruh (1960), kemudian
ditegaskan kembali tetap makruh, dengan penambahan
catatan jika darurat hukumnya mubah (1989). Majlis
Tarjih dan Dewan Hisbah menentukan hukumnya
tergantung pada causa (‘illat) dan tujuannya.
Keluarga Berencana
Adapun hukum penggunaan alat kontrasepsi,
khususnya IUD, hukum asalnya sama dengan di
atas.
MUI
tetap
dengan
pendiriannya
membolehkannya. Bahtsul Masail menetapkan
hukumnya
tergantung
dari
segi
sudut
pandangnya, dilihat dari segi kerja alat, tampak
membolehkannya, namun jika dilihat dari segi
pemasangannya, mengharamkannya karena
dilakukan secara tidak muhtarom, karena
mengharuskan melihat aurat berat wanita yang
bukan isterinya, termasuk jika dipasang oleh
wanita. Majlis Tarjih tidak memastikan hukumnya,
hanya sebatas menyarankan agar dilakukan oleh
orang yang sejenis.
Dewan Hisbah tidak menyebutkan lebih
lanjut tentang hukum penggunaan IUD. Satu
lagi fatwa tunggal dari Bahtsul Masail
tentang bolehnya menggunakan vaksin
yang berasal dari sperma, karena telah
terjadi perubahan karakter. Adapun tentang
sterilisasi, MUI, MPKS, Majlis Tarjih, dan
Bahtsul Masail mengharamkan secara
mutlak, dengan alasan termasuk tindakan
merobah ciptaan Allah. Meski ada wacana
dapatnya direhabilitasi, MUI tetap mengharamkannya karena tingkat keberhasilan
pemulihannya
kembali
sangat
kecil.
Aborsi
Seluruh lembaga fatwa di Indonesia, Bahtsul Masail, Majlis
Tarjih, MUI, dan Dewan Hisbah sepakat mengharamkan aborsi
sejak terjadinya pembuahan, kecuali darurat, ada alasan medis.
Demikian pula mereka sepakat tentang batas haramnya aborsi
adalah sejak terjadinya konsepsi. MUI merupakan lembaga
fatwa yang beberapa kali merevisi fatwanya. Awalnya termasuk
yang mengharamkannya secara mutlak, dalam perkembangan
berikutnya lebih merinci hukum pengecualian, jika karena
adanya uzur syar’i, baik darurat maupun hajat, seperti akibat
perkosaan atau demi menyelamatkan jiwa ibu, atau karena
menderita penyakit berat yang dapat mengancama jiwa si ibu,
mereka membolehkannya dengan batasan dan syarat tertentu,
seperti sebelum usia kandungan 40 hari, diromendasikan oleh
keluarga, dokter dan ulama, pelaksanaannya dilakukan di rumah
sakit tertentu (MUI, 2005). Fatwa MUI terakhir mengundang
reaksi dari Dewan Hisbah yang kemudian menetapkan bahwa
aborsi bagi korban perkosaan hukumnya haram.
Transplantasi Organ
Pada prinsipnya seluruh lembaga fatwa di Indonesia mengharamkan transplantasi organ manusia. Majlis Tarjih, MPKS, MUI,
dan Dewan Hisbah menambahkan kecuali darurat, juga termasuk
untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan pendidikan kedokteran.
Fatwa Bahtsul Masail mengalami pergeseran, awalnya mereka
mengharamkannya secara mutlak namun kemudian direvisi yang
selanjutnya difatwakan dengan dua pandangan, haram secara
mutlak dan jaiz karena darurat. Dewan Hisbah dan Bahtsul Masail
mempersyaratkan menggunakan organ muslim. Bedanya, Dewan
Hisbah sebatas menyarankan sedangkan Bahtsul Masail
mengharuskannya. MPKS, Bahtsul Masail, dan Dewan Hisbah
secara khusus telah mengeluarkan fatwa yang mengharamkan
transplantasi menggunakan organ babi, kecuali tidak ada pilihan
lain. Namun jika ada bahan pengganti, maka penggunaan gigi
babi, Bahtsul Masail mengharamkannya secara mutlak.
Bank ASI
Fatwa yang berhubungan dengan praktek bank ASI hanya
dikeluarkan oleh dua lembaga fatwa, MPKS dan Bahtsul
Masail. Fokus pembahasan dalam fatwa ini bukan terletak
pada boleh dan tidaknya dilakukan bank ASI tetapi kepada
dampaknya jika hal tersebut terjadi. Pada prinsipnya
mereka sepakat menghalalkan adanya Bank ASI dan
memberikannya kepada yang memerlukan, namun mereka
berbeda pandangan dari segi keberpengaruhannya pada
hubungan kemahraman yang terkait dengan masalah
hadats dan pernikahan. Bahtsul Masail menyatakan
berdampak pada kemahraman sebagai anak susuan jika
terpenuhi unsur-unsurnya, sedangkan MPKS menyatakan
tidak berakibat menjadikan hubungan kemahraman.
Perbedaan pandangan tersebut terjadi karena perbedaan
memaknai susuan dan perbedaan pendapat madzhab
yang dianut pada saat menentukan batasan tentang
susuan.
Operasi Ganti Kelamin
Hanya ada tiga lembaga fatwa di Indonesia yang sudah mengeluarkan fatwa khusus tentang hukum operasi ganti kelamin,
yaitu Bahtsul Masail, MUI, dan Dewan Hisbah. Mereka sepakat
mengharamkan operasi ganti kelamin dan membolehkan
operasi mempertegas, memperbaiki, atau menyempurnakan
jenis kelamin. Dalam upaya memastikan kesejatian jenis
kelamin pra-operasi, atau yang belum jelas kesejatian
kelaminnya, Bahtsul Masail menyarankan dibentuk tim ahli dari
pihak-pihak terkait. Hasil keputusan tim itulah yang dijadikan
acuan tentang boleh dan tidaknya dilakukan operasi. Jika
operasi ganti kelamin terjadi, kesejatian kelamin yang
bersangkutan berstatus sebagai saat sebelum dioperasi. Jika
operasi perbaikan kelamin maka dia ditetapkan berjenis
kelamin sebagaimana arah yang dikehendaki dari operasi
tersebut. Keharaman operasi ganti kelamin karena termasuk
merubah ciptaan Allah, dan dari qiyas aulawi dengan larangan
menyerupakan dengan lain jenis.
Alkohol sebagai Campuran Obat
Baru tiga lembaga fatwa di Indonesia yang secara khusus
mengeluarkan fatwa yang berhubungan dengan
penggunaan alkohol sebagai campuran obat. Bahtsul
Masail mengharamkan dan manajiskannya, tetapi jika
untuk maksud pengobatan atau untuk menambah kualitas
obat atau produk tertentu cenderung membolehkannya.
MUI dan Dewan Hisbah mengharamkannya secara
mutlak, sedikit atau banyaknya, tetapi jika termasuk jenis
obat topikal, MUI membolehkannya. Penganalogian
haramnya alkohol dengan khamar berdasarkan pada
nash, di samping karena sifat memabukkan juga karena
zatnya.
Euthanasia dan HIV/AIDS
Sebagai bagian dari isu keedokteran yang penting, dalam
produk fatwa lembaga fatwa MUI dan Bahtsul Masail fatwa
tentang hukum euthanasia merupakan bagian dari fatwa tentang
AIDS/HIV. Namun dalam penerapannya dapat terpisah. Bahtsul
Masail dan MUI sepakat mengharamkan euthanasia bagi
penderita HIV/AIDS. Logika yang dimaksud oleh kedua lembaga
tersebut, jika untuk penderita HIV/AIDS yang jelas saat
kematian dan kepedihan penderitaan yang dialaminya saja
haram apalagi karena alasan lain. Dewan Hisbah termasuk yang
mengharamkannya secara mutlak. Dewan Hisbah, MUI, dan
Bahtsul Masail sepakat bahwa jenazah penderita HIV/AIDS
harus tetap diurus sebagaimana mestinya, dilaksanakan oleh
orang yang ahli. Bahtsul Masail secara khusus mengulas
tentang hukum pernikahan bagi penderita HIV/AIDS, menurut
mereka pernikahan bagi penderita HIV/AIDS adalah sah namun
makruh.