Free Sex dan Zina

Download Report

Transcript Free Sex dan Zina

Seksualitas adalah identitas pertama yang disandang
manusia.
Pemilahan laki-laki dan perempuan
merupakan jawaban siapakah ia. Konon, di surga Nabi
Adam merasa kesepian lantaran tiada teman.
Kemudian Tuhan menciptakan Hawa dari tulang
rusuk Nabi Adam.
Seks juga emosi manusiawi. Tuhan berfirman bahwa
manusia dihiasi dengan cinta kepada perempuan (QS.
Ali Imran: 14)
 Namun, emosi yang manusiawi itu justru kadangkala
menjadi binalitas dan dosa dalam kehidupan ini. Kisah
ini tergambar dengan jelas ketika Zulaikha
menginginkan Nabi Yusuf dengan berbagai cara.
Namun, binalitas seksual Zulaikha ini ditolak oleh
Nabi Yusuf (QS. Yusuf : 25-28).
 Binalitas seksual kini telah merebak dalam berbagai
lapisan masyarakat. Buah pena Moammar Emka
Jakarta Undercover: Sex ‘n The City dengan gamblang
menunjukkan itu.
 Cinta sejati menurut Erich Fromm, adalah cinta yang
membebaskan. Cinta yang tidak berkonsep to have
(memiliki), melainkan to be (menjadi).
 Zina memang memiliki banyak motif. Ada motif cinta,
uang, dan rekreasi. Zina atas nama cinta biasanya
banyak dijadikan motif perilaku seksual remaja.
Karena itu, patut diwaspadai bagi orang yang dimabuk
cinta. Apapun motifnya zina tidak diperkenankan.
 Islam mengajarkan bahwa hubungan seksual
di luar pernikahan atau perzinaan merupakan
sesuatu yang haran hukumnya. Allah
berfirman dalam AL-Qur’an :
 Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati
zina. Sesungguhnya zina itu adalah
perbuatan yang keji dan merupakan jalan
yang buruk.” (QS. al-Isra’ :32).
 Seksualitas biasanya melibatkan farj (kelamin). Fajr secara
bahasa berarti belah atau retak. Dalam konteks energi seks,
kata farj digunakan untuk menunjukkan kemampuan
memelihara kehormatan dan kesucian diri.
 Dalam perkembangannya farj sering hanya dialamatkan
kepada vagina. Sedangkan untuk penis sering disebut
dengan dzakar.
 Islam memandang hubungan seksual itu suci dan
berpahala. Bahkan, dalam Kitab Qurrota A’yun ketika
orang melakukan hubungan seksual di malam Jum’at
seperti membunuh 70 orang kafir.
Awal
 Syahwat, kata kamus Munjid, adalah sebuah gejolak
rasa suka yang mendalam (raghiban fih syadidan).
“tergila-gila” dan “mabuk kepayang”. Menurut catatan
ahli psikopatologi, otak mereka yang sedang dimabuk
cinta mempunyai komposisi kimia yang serupa
obsesif-kompulsif.
 Syahwat mengaburkan seseorang antara sehat secara
mental dan derita psikapatologi. Secara biologis
syahwat mengaktifkan daerah tertentu otak dan
melepaskan
zat-zat
kimia
yang
memicu
hyperaktivitas,
kesembronoan,
dan
sekaligus
kegembiraan.
 Kemampuan mengelola syahwat dan energi seksualitas
menandakan kedewasaan seseorang. Dalam sebuah
riwayat, syahwat dan energi seksualitas perempuan
sembilan kali lebih besar ketimbang laki-laki.
Perempuan: Yang salah?
 Kasus pemerkosaan di angkot serta pelecehan di
berbagai mode transportasi seolah menempatkan
perempuan sebagai ‘penyebab utama’. Pakaian super
ketat dan minim dipandang merangsang laki-laki
untuk menyalurkan nafsu birahinya. Diam-diam
perempuan dianggap sebagai ‘simbol setan dan
kebejatan’.
 Pandangan misoginis tersebut di atas sesungguhnya
mencerminkan stigma sosial bahwa perempuan
merupakan sub-human, separuh manusia.
 Dalam konteks kumpul kebo dan lain-lain, laki-laki
juga turut ‘bersalah”. Karena itu, buku karya Iip
Wijayanto yang berjudul Sex in The Kost yang
menelisik tentang virginitas mahasiswi di Jogja, tidak
berimbang. Mengapa yang diteliti virginitas? Mengapa
pula tidak tentang keperjakaan, misalnya?
 Memang Al Qur’an mengkisahkan tentang bagaimana
godaan Zulaykha kepada Nabi Yusuf AS, tetapi kisah
itu tidak dapat digeneralisir bahwa perempuan lah
yang pertama kali menyebabkan perzinahan.
 KPI
(Komisi
Penyiaran
Indonesia)
menemukan 97% dari 4.500 siswa
SMP/SMA (remaja) di 12 kota besar di
Indonesia, pernah menonton film blue. Dari
survey itu diketahui, 90% mengaku pernah
berciuman,
62,7
pernah
melakukan
hubungan seks layaknya suami istri, dan
21% dari responden SMA pernah melakukan
aborsi.
Rukun Nikah
 Islam sangat memudahkan berlangsungnya





pernikahan. Rukunnya adalahnya sebagai berikut:
1. Mempelai laki-laki
2. Mempelai perempuan
3. Wali nikah
4. Saksi-saksi
5. Ijab qabul
MBA
 Pendapat Ulama:
 Imam
Nawawi:
Apabila seorang perempuan berzina, maka tidak ada
iddah baginya, baik ia dalam keadaan tidak hamil
maupun hamil. Karena itu, jika ia dalam keadaan tidak
hamil, maka boleh bagi penzina dan lainnya yang
bukan menzinainya menikahinya dan jika ia hamil
karena zina, maka makruh menikahinya sebelum
melahirkan anaknya.” (Maktabah Syamilah: Majmu’
Syarah al-Muhazzab, Juz. XVI, hlm. 242)
 Sayyed Abdullah bin Umar dan Syaikh Muhammad al-
Asykhar
al-Yamany
mengatakan:
Boleh nikah wanita hamil karena zina, baik oleh
pezina itu sendiri maupun lainnya dan boleh
disetubuhi ketika itu tetapi makruh. (Usaha
Keluarga: Bughyatul Mustarsyidin, Semarang, hlm.
201)
 Dalam kitab al-Bajuri disebutkan: Jika seorang lelaki
menikahi perempuan yang sedang hamil karena zina,
pastilah sah nikahnya. Boleh me-wathi-nya sebelum
melahirkannya, menurut pendapat yang paling shahih.
 Perempuan yang hamil karena zina termasuk dalam
kategori mutlak perempuan yang dihalalkan untuk
dinikahi pada ayat diatas, dan tidak dalil atau ‘ilat yang
menunjukkan akan keharaman menikahinya. Wanita
yang hamil karena zina juga tidak mempunyai masa
iddah karena hamil sebab zina tidak dihormati dalam
agama, hal ini semakin dikuatkan dengan ketetapan
bahwa anak dalam kandungannya itu tidak
dihubungkan nasabnya kepada laki-laki yang
menzinainya.
 Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang dijadikan
pedoman dalam praktik peradilan Agama, disebutkan
dalam pasal 53:
 1. Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat
dikawinkan dengan pria yang menghamilinya;
 2. Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada
ayat (1) dapat dilangsung tanpa menunggu lebih
dahulu kelahiran anaknya.
 3. Dengan dilangsungkan perkawinan pada saat wanita
hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah
anak yang dikandung lahir.
Poligami atau Zina
 Kasus
cercaan poligami Aa’ Gym seolah-olah
menandakan masyarakat lebih mempersoalkan
poligami ketimbang zina.
 Poligami dalam Islam memang diperbolehkan,
meskipun dengan syarat yang sangat ketat, berlaku
adil terhadap semua istrinya. Karena itu, tokoh
modernisme Islam, Muhammad Abduh menyatakan
poligami sebenarnya berhukum tidak boleh. Terlebih
lagi, poligami acapkali dijadikan kedok menikah
dengan perempuan yang lebih muda.