KAWIN CAMPUR

Download Report

Transcript KAWIN CAMPUR

Dalam Perspektif Gereja Katolik
KAWIN CAMPUR
Apa yang dimaksud dengan
kawin campur?
1. Bahasa Negara/Pemerintah:
 Perkawinan antara WNI dan WNA [ UURI No
1. Th.1974. Pasal 57-62 Bab XII ]
 Perkawinan antara orang kristen dengan
non kristen
2. Dalam Bahasa Gereja:
† Mixta Religio [ Beda Gereja ]
Yaitu perkawinan antara orang katolik
dengan orang dibabtis non katolik
† Disparita Cultus [ Beda Agama ]
Yaitu perkawinan antara orang katolik
dengan orang tak dibabtis
1. Katolik – Dibabtis :
> Dibabtis dalam Gereja Katolik
> Dibabtis dalam Gereja non Katolik, tetapi
kemudian diterima dalam Gereja Katolik
dan tidak meninggalkan Gereja Katolik
secara resmi.
2. Non Katolik – Tidak dibabtis:
> Tidak beragama sama sekali
> Beragama non kristiani
Babtis yang diakui Gereja
Katolik
 Syarat : harus ada forma dan materia
> materia: air [ pembasuhan dengan air ]
> forma: rumus Triniter [ Bapa, Putera dan
Roh Kudus ]
Kebijakan Gereja Katolik
tentang Kawin Campur
1. Menyadari resiko kawin campur secara
proporsional.
2. Menghargai martabat pribadi manusia:
a. Menghargai haknya untuk menikah:
- Persyratan pelaksanaan hak untuk
menikah.
- Pengecualian dari halanan dan larangan
nikah.
b. Menghargai kebebasan hati nurani
seseorang untu menikah.
3. Membuka Kemungkinan Kawin Campur:
- dengan memberikan izin untuk perkawinan
campur beda gereja [ larangan ]
izin artinya: persetujuan yang diberikan
oleh instansi yang berwenang agar
seseorang dapat melakukan [secara halal]
yang sebetulnya dilarang.
Syarat: ada alasan yang masuk akal dan
wajar.
- dengan memberikan dispensasi untuk
perkawinan campur beda agama
[ halangan ].
dispensasi artinya: pelonggaran dari daya
ikat hukum yang melulu gerejawi.
Syarat: ada alasan yang masuk akal dan
wajar, dan jangan jadi batu sandungan.
4. Tindakan Pengarahan:
a. Janji pihak katolik:
- untuk setia pada imannya sendiri untuk
berusaha sekuat tenaga untu membabtis anakanaknya dalam gereja katolik.
- untuk membuat segala sesuatu sekuat
tenaga mendidik anak-anak dalam
gereja katolik.
b. Pengajaran tentang pokok-pokok perkawinan
katolik:
- persyaratan untuk kesepakatan nikah
- penghayatan perkawinan monogam
c.Pemberitahuan kepada pihak non katolik
Penilaian Gereja Katolik
tentang Kawin Campur
1. Nilai Iman:
- bagi jodoh yang katolik – resiko – tidak
selalu iman katolik terhambat
- bagi anak-anak:
[ babtis anak dalam gereja katolik;
pendidikan anak dalam iman katolik; tidak
selalu terhambat babtis dan pend. Anak ]
- perlunya dukungan komunitas untuk
penghayatan iman katolik
2. Nilai Perkawinan:
- tuntutan tinggi perkawinan katolik
- perlunya kebersamaan dalam pandangan
hidup sebagai landasan bersama penghayatan hidup perkawinan.
3. Penataan dalam hukum gereja:
- larangan bagi perkawinan campur beda
gereja
- halangan bagi perkawinan campur beda
agama
4. Pertimbangan Pastoral:
a. tidak menjelek-jelekan perkawinan
campur
- terhadap para calon
- terhadap orang katolik yang hidup dlm.
perkawinan campur.
b. Tidak memanfaatkan kawin campur
Apa yang perlu dipertimbangkan
dalam proses pengambilan keputusan?
Bahan pertimbangan ini terutama ditujukan
kepada calon yang beragama katolik, tanpa
mengesampingkan penghayatan terhadap
keyakinan pihak non katolik.
1. Apakah akibat perkawinan campur ini
atas penghayatan imanku sendiri?
a. Bagaimana sikap calonku terhadap diriku
dan keyakinanku? [artinya: apakah ia mampu dan
bersedia meghargai martabat pribadiku serta
keyakinanku, sehingga ia tak akan menghabat aku
menghayati imanku, melainkan menghargainya?
Atau: apakah ia sangat fanatik dan tak akan
mampu meghargai keyakinanku, dan tak akan
memberi kebebasan?]
b. Bagaimana sikap lingkungan keluarganya,
orangtua, kakak-kakaknya, sanak saudara? Apakah
mereka mencampuri urusan calonku dan juga
perkawinanku sedemikian rupa sehingga akan
menghambat kebebasan penghayatan imanku?
2. Apakah akibat perkawinan ini atas
pembabtisan dan pendidikan nak-anakku
dalam Gereja Katolik?
a. Apakah anak-anak akan menjadi korban
rebutan pengaruh antara aku yang katolik
dan calonku yang beragama lain?
b. Dapatkah masalah ini dimusyawarahkan
dan disepakati sebelum perkawinan, agar
jangan timbl konflik setelah menikah?
3. Bagaimana akibat perkawinan
ini atas jodohku kelak?
a. Apakah ia, terutama hati nuraninya akan
tertekan karena keyakinan akan agamanya
sendiri?
b. Apakah yang diharapkannya dariku dalam
soal agamanya? Dan apakah aku kiranya
dapat memenuhi harapannya itu?
4. Apakah akibat perkawinan ini atas
hidup perkawinanku dikemudian hari?
a. Apakah perkawinanku akan bertahan meskipun
tidak didukung iman yang sama? Atau apakah
perkawinanku akan retak dan pecah karena beban
perbedaan itu?
b. Apakah calonku sungguh mampu dan bersedia
menjalani perkawinan seperti dipahami Gereja
Katolik, al. Setia pada satu seumur hidup? Atau
apakah ia mempunyai watak dan kecenderungan
yang akan menggagalkan perkawinanku?
c. Apakah perkawinan campur ini tidak akan
membebani hati nurani salah seorang jodoh,
karena perbedaan pandangan dibidang moral,
misalnya metode-metode KB?