Materi 3. Konsep Budaya dalam Antropologi

Download Report

Transcript Materi 3. Konsep Budaya dalam Antropologi

KONSEP BUDAYA DALAM
ANTROPOLOGI
Tim Dosen MK. Antropologi Sosial
Konsep Budaya
Dalam antropologi masa kini terdapat dua
aliran besar dalam mendefinisikan budaya:
1.
2.
Aliran behavioral : melihat budaya sebagai
a total way of life.
Tujuh unsur universal.
Aliran ideational: melihat budaya sebagai
sesuatu yang abstrak yang bersifat gagasan
atau pemikiran, yang berfungsi membentuk
pola perilaku yang khas suatu kelompok masyarakat. Dapat berbentuk: sistem pengetahuan, the state of mind, spirit, belief, meaning,
ethos, value, the capability of mind dsb.
Aliran Behavioral
Pada masa kini konsep ini masih digunakan oleh
para antropolog yang menekuni bidang studi evolusi
kebudayaan dan ekologi manusia.
Pemilahan konsep ini ke dalam tujuh unsur universal tidak banyak lagi dibicarakan orang sebagai sesuatu yang sangat berguna sebagai pisau analisis.
Merupakan metode pemilahan pada masa awal
perkembangan antropologi. Pemilahan ini hanya
berguna dalam rangka kerja etnografi (kerja mengumpulkan data tentang sistem sosial-budaya dari
suatu suku bangsa selengkap-lengkapnya.
Budaya Menurut Antropologi
Terdapat ratusan definisi tentang kebudayaan, tetapi umumnya para antropolog generasi
baru sepakat untuk memahami kebudayaan
sebagai suatu sistem pengetahuan, gagasan,
dan ide yang dimiliki oleh suatu kelompok
masyarakat yang berfungsi sebagai landasan
pijak dan pedoman bagi masyarakat itu
dalam bersikap dan berperilaku dalam
lingkungan alam dan sosial di tempat mereka
berada.
Lanjutan
Sebagai sistem pengetahuan dan gagasan, kebudayaan yang dimiliki suatu masyarakat merupakan
kekuatan yang tidak tampak (invisible power), yang
mampu menggiring dan mengarahkan manusia
pendukung kebudayaan itu untuk bersikap dan
berperilaku sesuai dengan pengetahuan dan
gagasan yang menjadi milik masyarakat tersebut,
baik di bidang ekonomi, sosial, politik, kesenian dsb.
Kebudayaan bukan hanya terbatas pada kegiatan
kesenian, peninggalan sejarah atau upacaraupacara tradisional seperti yang dipahami oleh
banyak kalangan selama ini.
Lanjutan
Sebagai pedoman bagi manusia
dalam bersikap dan berperilaku,
maka pada dasarnya kebudayaan
mempunyai kekuatan untuk
”memaksa” manusia pendukung
kebudayaan itu untuk mematuhi
segala pola aturan yang telah
digariskan kebudayaan.
Kebudayaan VS Bukan
Kebudayaan
Manusia sebenarnya memiliki pelbagai
sistem pengetahuan dan gagasan, namun
demikian perlu dibedakan dengan tegas
bahwa sistem pengetahuan dan gagasan
yang tidak mampu menjadi pengarah dan
pedoman bagi sikap dan tingkah laku
manusia, tidak dapat disebut sebagai
kebudayaan. Hal ini hanya dapat
dikategorikan sebagai ”pengetahuan” saja.
Lanjutan
Mereka yang memiliki pengetahuan dan gagasan tentang disiplin dan keadaan sosial misalnya,
tetapi tidak menjadikan pengetahuan dan gagasan itu sebagai landasan dari sikap dan perilaku
mereka, maka pengetahuan dan gagasan tsb
tidak dapat dikatakan sebagai kebudayaan. Itu
hanya terbatas pada ”pengetahuan” dalam arti
khusus saja.
Oleh karena itu, untuk mengetahui apakah
sesuatu pengetahuan atau gagasan sudah
menjadi kebudayaan suatu masyarakat, dapat
dilihat dari sikap dan perilaku masyarakat itu
sendiri dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Dua Tinjauan Berbeda
Goodenough (1961), ada perbedaan penting antara pola
untuk perilaku dengan pola dari perilaku:
Pertama, budaya digunakan untuk mengacu pada ”pola
kehidupan suatu masyarakat – kegiatan dan pengaturan
material dan sosial yang berulang secara teratur” yang
merupakan kekhususan suatu kelompok manusia tertentu.
Dalam pengertian ini, istilah budaya telah mengacu pada
kedalaman fenomena benda-benda dan peristiwa-peristiwa
yang bisa diamati ”di sana” di dunia.
Kedua, istilah budaya dipakai untuk mengacu pada sistem
pengetahuan dan kepercayaan yang disusun sebagai
pedoman manusia dalam mengatur pengalaman dan
persepsi mereka, menentukan tindakan, dan memilih
diantara alternatif yang ada. Pengertian budaya yang
demikian ini mengacu pada dunia gagasan.
Alat Ukur Budaya??
Budaya tidak terdiri dari bendabenda dan peristiwa-peristiwa
yang dapat kita amati, dihitung
dan diukur. Budaya terdiri dari
gagasan-gagasan dan maknamakna yang dimiliki bersama.
Lanjutan
Clifford Geertz, meminjam dari pakar
filsafat Gilbert Ryle, memberikan contoh
yang menarik: kejapan mata (tidak
disengaja) dengan kedipan mata yang
disengaja. Sebagai peristiwa lahiriah,
keduanya mungkin serupa – pengukuran
keduanya tidak akan menemukan
perbedaan. Yang satu adalah tanda, kode
yang mengandung makna yang sama bagi
orang Amerika (tetapi yang mungkin tdak
akan bisa dimengerti oleh orang Eskimo
atau Aborigin Australia.
Lanjutan
Hanya dalam kesemestaan makna
yang dimiliki bersama bunyi-bunyi
dan peristiwa-peristiwa fisik bisa
dipahami dan meneruskan informasi.
Kita dapat mengukur sepuas hati
tanpa bisa menangkap makna
kejapan mata dan membedakannya
dari kedipan.
Manusia Dan Kebudayaan
Manusia dan kebudayaan merupakan
kesatuan yang tidak terpisahkan,
sementara itu pendukung kebudayaan
adalah makhluk manusia itu sendiri.
Sekalipun makhluk manusia akan mati,
tetapi kebudayaan yang dimilikinya akan
diwariskan pada keturunannya,
demikian seterusnya.
Budaya Yang Berubah
Selain kebudayaan harus melalui
proses belajar mengajar yang terus
menerus tanpa henti-hentinya, dalam
membicarakan kebudayaan, kita juga
tidak dapat lepas dari sifat utama
lainnya dari kebudayaan, yaitu sifat
kebudayaan yang selalu berubah.
Proses Internalisasi Kebudayan
Pada dasarnya ada dua cara proses belajar
yang dilalui manusia dalam rangka internalisasi
kebudayaan.
1) Melalui pewarisan (transmission). Pewarisan
nilai itu dilakukan dengan mengajarkan
pelbagai gagasan untuk dijadikan pedoman
dalam praktik kehidupan.
2) Manusia juga mengalami pelbagai proses
interaksi dengan lingkungan sekitarnya, baik
lingkungan sosial maupun lingkungan alamnya.
Dari interaksi dengan lingkungannya itu
manusia juga berupaya untuk
menginternalisasikan bermacam-macam makna
yang ditangkapnya.
Pewarisan Kebudayaan
Sebagai suatu sistem, kebudayaan tidak diperoleh
manusia begitu saja secara ascribed, tetapi melalui
proses belajar yang berlangsung tanpa henti, sejak
dari manusia itu dilahirkan sampai dengan ajal
menjemputnya.
Proses belajar dalam konteks kebudayaan bukan
hanya dalam bentuk proses internalisasi dari sistem
”pengetahuan” yang diperoleh manusia melalui
pewarisan atau transmisi dalam keluarga, lewat
sistem pendidikan formal di sekolah atau lembaga
pendidikian formal lainnya, tetapi juga diperoleh
melalui proses balajar dari berinteraksi dengan
lingkungan alam dan sosialnya.
Lanjutan
Pewarisan kebudayaan makhluk
manusia, tidak selalu terjadi secara
vertikal atau kepada anak cucu
mereka, melainkan dapat pula secara
horizontal yaitu manusia yang satu
dapat belajar kebudayaan dari
manusia lainnya.
Lanjutan
Dalam proses kebudayaan, sistem pewarisan
dan interaksi manusia dengan lingkungan itu
selalu saling berhadapan. Keduanya bertemu
dalam proses dialektika secara terus menerus.
Proses seperti itu tidak pernah berhenti dan
berlangsung terus dlm kehidupan masyarakat.
Gagasan-gagasan baru yang muncul sebagai
hasil dialektika itulah yang kemudian menjadi
milik masyarakat, dan hal inilah yang kemudian
menjadi pengarah dan pedoman bagi sikap dan
perilaku warga masyarakat pendukung kebudayaan itu. Oleh karena itu, berubah adalah sifat
utama dari kebudayaan.
Karakteristik Kebudayaan
1. Kebudayaan adalah milik bersama: Tidak
mungkin ada kebudayaan tanpa masyarakat
2. Kebudayaan adalah hasil belajar (bukan
sebagai warisan biologis): kebudayaan
sebagai “warisan sosial” (Ralph Linton) →
melalui proses enkulturasi.
3. Kebudayaan didasarkan pada lambang.:
kebudayaan diteruskan melalui komunikasi
gagasan, emosi, dan keinginan yang
diekspresikan dalam bahasa.
4. Kebudayaan adalah terpadu (integrasi kebudayaan): semua aspek kebudayaan berfungsi sebagai kesatuan yang integral.
Orientasi Nilai Budaya
Konsep “orientasi nilai budaya” (value
orientation) digunakankan oleh Florence
Kluckhohn dan Fred Strodbeck dalam
buku mereka “Variations in Value
Orientation (1961). Di Indonesia konsep ini
dikembangkan oleh Koentjaraningrat pada
akhir dasawarsa 1960-an.
Berasal dari konsep “value” yang dikembangkan oleh Clyde Kluckhohn, suami dari
Florence Kluckhohn, di Universitas
Harvard USA.
Konsep Value (nilai)
Konsep “value” dijelaskan sbb: “Sebuah nilai
adalah sebuah konsepsi, eksplisit atau
inplisit, yang khas milik seseorang individu
atau suatu kelompok, tentang yang
seharusnya diingin-kan yang mempengaruhi
pilihan yang tersedia dari bentuk-bentuk,
cara-cara, dan tujuan-tujuan tindakan”
Di sini perlu diingat bahwa “hal yang seharusnya diinginkan” (the desirable)adalah berbeda
dari “hal yang diinginkan” (the desired).
Lanjutan
Nilai merupakan kriteria dalam menentukan
tentang apa yang seharusnya diinginkan
seseorang sebagai anggota suatu masyarakat, bukan tentang apa yang diinginkannya.
Contohnya, ada banyak keluarga dalam
masyarakat Batak yang ingin memiliki anak
laki-laki. Ini bukan nilai, bukan the desirable .
Ini hanya suatu keinginan, tapi kalau masyarakat Batak mengatakan bahwa setiap
keluarga seharusnya ingin punya anak lakilaki, maka ini barulah nilai. Ini adalah the
desirable..
Lanjutan
Sebagai konsepsi, nilai adalah abstrak, sesuatu
yang dibangun dan berada di dalam pikiran atau
budi, tidak dapat diraba dan dilihat secara langsung
dengan pancaindra.
Nilai yang dianut seseorang atau suatu masyarakat, biasanya berbentuk samar-samar, Nilai tsb
tidak diungkapkan dalam bentuk verbal secara
komplit dan tepat oleh pemiliknya. Dia lebih implisit
dari pada eksplisit. Dia berbentuk ide, atau pemikiran yang abstrak dan sangat umum (intangible).
Nilai hanya dapat disimpulkan dan ditafsirkan dari
ucapan, perbuatan, dan materi yang dibuat
manusia. Ucapan, perbuatan, dan materi adalah
manifestasi dari nilai.
Lanjutan
Namun demikiann, setelah melakukan penilaian
yang mendalam, satu nilai dari suatu masyarakat
dapat dirumuskan dalam bentuk kata-kata oleh
sang peneliti. Kemudian makna yang diperoleh
sang peneliti ini diajukan kepada anggota
masyarakat tersebut untuk diuji kebenarannya.
Apakah kesimpulan peneliti tentang nilai yang
diungkapkan dalam bentuk kata-kata tersebut benar
atau tidak. Sang pemiliknya (anggota masyarakat)
dapat memberikan persetujuan atau penolakan.
Metode ini disebut verbalizability (suatu cara untuk
menguji kebenaran dari kesimpulan tentang suatu
nilai yang diperoleh seorang peneliti dari suatu
masyarakat)
Lanjutan
Untuk memperoleh nilai yang terkandung
dalam suatu ucapan atau suatu perbuatan,
seseorang harus melakukan penafsiran
(interpretasi) dan penarikan kesimpulan
(inferensi). Misalnya, ucapan “orang harus
menghormati orang tua” bukanlah sebuah
nilai, tapi manifestasi dari suatu nilai yang
diungkapkan dalam kata-kata.
Lanjutan
Contoh lain:
Perbuatan “membungkuk ketika berjalan di depan
orang tua” bukanlah sebuah nilai,tapi manifestasi
dari suatu nilai yang diungkapkan dalam bentuk
perilaku.
“ Sebuah keris yang indah dan bertuah” bukanlah
nilai kultural, tapi manifestasi dari suatu nilai yang
diwujudkan dalam bentuk materi.
Tugas dari seorang peneliti antropologi adalah
mengorek atau mencari nilai-nilai yang dihargai oleh
suatu masyarakat melalui ucapan, perilaku, dan
hasil kelakuan anggota masyarakat tersebut.
Peneliti VS Nilai
Jadi untuk menangkap nilai yang hidup
dalam suatu masyarakat, seorang peneliti
tidak cukup hanya mengamati dan mencatat
ucapan, perbuatan, atau materi yang
dihasilkan oleh anggota masyarakat tersebut,
tapi dia harus pandai pengorek dan
menemukan konsepsi yang tersembunyi di
bawah permukaan ucapan, perbuatan, dan
materi tersebut.
Lanjutan
Robert Bellah, dalam bukunya Tokugawa
Religion (1957/1970), mengupamakan
ucapan, perbuatan dan materi tersebut
sebagai “the husk” (kulit luar), atau sesuatu
yang nyata, yang terlihat (tangible), dan yang
ada di permukaan. Sedangkan nilai yang
tersembunyi di bawah kulit tersebut
disebutnya sebagai “the kernel” (inti). Nilai ini
tidak terlihat dan tidak teraba (intangible).
Lanjutan
Metode penafsiran dan penyimpulan dalam
kajian tentang nilai disebut sebagai metode
verstehen,lawannya adalah metode erklaren.
Dengan demikian, kajian tentang nilai
memerlukan tenaga peneliti yang benarbenar mempunyai kemampuan, baik dalam
penguasaan konsep maupun dalam
keterampilan metodologis.
Pengunaan konsep nilai yg salah
Banyak para akhli limu sosial sering menggunakan konsep nilai secara kasar atau
kurang tajam, bahkan membingungkan:
Linton dalam bukunya “Study of Man” (1936)
menyamakan konsep nilai dengan sikap atau
sikap mental.
Sebagian sarjana lain menyamakan konsep
nilai tersebut dengan kode moral, kepercayaan yang dipegang teguh, aspirasi kebudayaan, bahkan sampai kepada sangsi.
Lanjutan
Satu kecenderungan umum yang lain adalah
menyamakan konsep nilai dengan konsep
budaya (culture). Ini jelas tidak betul. Budaya
adalah sesuatu yang lebih luas dari pada
nilai.
Jika kita menerima pandangan bahwa budaya adalah suatu sistem ideasional, maka nilai,
bersama dengan konsep-konsep sejenis
seperti ethos, kepercayaanm worldview
adalah unsur dari budaya.
Lanjutan
Yang membedakan nilai (value) dari kepercayaan
(belief) : Nilai mengacu kepada kategori “good” dan
“bad”, dan “right” dan “wrong”; sedangkan kepercayaan mengacu kepada kategori “true” dan “false”,
dan “correct” dan “incorrect”.
Kepercayaan dalam pengertian populer sering juga
diartikan sebaga the desirable yang disetujui dan
diperintahkan oleh Tuhan. Jadi bagaimanapun,
dalam hal tertentu nilai dan kepercayaan mempunyai suatu titik persamaan. Dua-duanya
mengandung pemikiran tentang standar dan alat
pengukuran.
Konsep “Orientasi Nilai” (Value
Orientation)
Value Orientation sebagai sebuah
konsep, di satu pihak tampak lebih khusus
dari pada konsep “value” (nilai), karena
ditujukan kepada hal-hal yang sudah
tertentu. Namun di pihak lain konsep ini
tampak lebih luas, karena di samping
menyangkut hal-hal yang seharusnya
diinginkan juga menyangkut hal-hal yang
seharusnya tidak diinginkan.
Lanjutan
Dikatakan oleh C. Kluckhohn bahwa orientasi nilai
adalah suatu konsepsi yang umum dan
terorganisasi tentang alam, tentang tempat
manusia dalam alam, tentang hubungan manusua
dengan manusia, dan tentang the desirable dan
non disarable.Di sini konsepsi tersebut ditempatkan
dalam konteks hubungan manusia dengan lingkungannya dan hubungan manusia antar manusia.
Orientasi nilai, sebagai sebuah konsepsi mempengaruhi perilaku mjanusia dalam berhubungan
dengan alam dan dengan manusia yang lain.
Definisi “Orientasi Nilai”
Secara formal orientasi nilai dapat didefinisikan
sebagai:
“.......... satu konsepsi yang umum dan bersistem
(mempengaruhi perilaku) tentang alam, tentang
tempat manusia dalam alam, tentang hubungan
manusia dengan manusia, dan tentang yang
seharusnya diinginkan dan tidak seharusnya
diinginkan, sebagaimana mereka itu dapat
dikaitkan dengan hubungan manusia-lingkungan
dan antar manusia”
Selanjutnya di Indonesia Koentjaraningrat
mengembangkan konsep ini dengan nama
“orientasi nilai budaya”.
KERANGKA ORIENTASI NILAI BUDAYA
MASALAH HIDUP
ORIENTASI NILAI BUDAYA
Hakikat dan sifat
hidup
Hidup adalah
buruk
Hidup adalah
baik
Hidup adalah buruk
tapi hrs diperbaiki
Hakikat kerja
Kerja adalah
untuk hidup
Kerja adalah
untuk mencari
kedudukan
Kerja adalah untuk
menambah mutu
karya
Hakikat kedudukan
manusia dlm ruang
waktu
Masa lalu
Masa kini
Masa depan
Tunduk kpd alam
Mencari keselaras
an hidup dengan
alam
Menguasai alam
Hakikat hubungan
manusia dgn alam
Hakikat hubungan
manusia dgn manusia
Memandang kpd
tokoh-tokoh atasan
Mementingkan ra- Mementingkan rasa ketergantungsa tdk tergantung
an pd sesama
pada sesama
Lanjutan
Kerangka di atas dibuat berdasar pada asumsi
yang dipakai dalam penelitian komparatif tentang
orientasi nilai yang dilakukan oleh Kluckhohn dan
Strodtbeck:
1. Semua masyarakat dalam semua kurun waktu
menghadapi sejumlah masalah tertentu yang
harus mereka selesaikan. Ada lima masalah pokok
yang secara universal dihadapi manusia yaitu:





Persoalan mengenai sifat dasar manusia
Persoalan manusia dengan alam
Persoalan titik masa yang menjadi perhatian kehidupan
manusia
Persoalan mengenai kegiatan manusia.
Persoalan hubungan antara manusia dengan
sesamanya.
Lanjutan
1. Meskipun terdapat berbagai macam variasi
jalan penyelesaian terhadap setiap masalah di
atas, namun jalan penyelesaian yang sangat
mungkin tidaklah bersifat random maupun
terbatas, tapi mempunyai variasi yang jelas.
1. Semua alternatif dalam penyelesaian masalah
terdapat dalam semua masyarakat dalam
semua waktu. Yang berbeda hanya
preferensinya. Setiap masyarakat mempunyai
sejumlah variasi pilihan atau pilihan pengganti,
di samping pilihan dominan atas orientasi-nilai.
Kebudayaan Ind Masa Kini
Masyarakat Indonesia sekarang sedang bergerak
dari masyarakat agraris tradisional yang penuh
dengan nuansa spiritualistik menuju masyarakat
industrial modern yang materialistik.
Warna kehidupan masyarakat industrial sudah
terasa dalam denyut jantung kehidupan
masyarakat, walaupun corak kehidupan agraris
tradisional tidak lenyap sama sekali. Dalam
terminologi Durkheim keadaan bangsa Indonesia
ini dapat dikategorikan sebagai masyarakat yang
sedang bergerak dari bentuk masyarakat yang
penuh solidaritas organik.
Lanjutan
Dalam masyarakat seperti itu
kemungkinan akan muncul fenomena
kegalauan budaya (pada tingkat
individual) yang disebut oleh
Durkheim (1951) dengan istilah
anomie. Pada tingkat sosial Victor
Turner (1976) menyebutnya sebagai
fenomena liminality.
Lanjutan
Masyarakat yang mengalami fenomena anomie
seperti itu akan ” ”tidak berada di sini dan tidak pula
berada di sana” , tidak dalam budaya tradisional
yang sudah mulai ditinggalkannya, dan tidak pula
dalam budaya modern yang sedang dicicipinya.
Untuk tetap bertahan dan berpegang teguh pada
kehidupan tradisional tidak mungkin lagi karena
dianggap tidak cocok dan ketinggalan zaman, tetapi
untuk meninggalkannya secara keseluruhan jugfa
tidak mungkin, karena model kehidupan unia baru
pun belum jelas dalam sistem gagasan mereka.
Akibat perilaku masyarakat menjadi sangat ambigu
atau mendua.
Lanjutan
Konsep pewarisan nilai luhur yang selama
menjadi slogan politik kebudayaan kita
harus dikaji ulang. Pewarisan nilai budaya
harus dipahami sebagai suatu proses
yang rumit dan tidak sederhana, karena
menyangkut semua dimensi dinamika
kehidupan masyarakat. Terdapat kendalakendala yang membutuhkan kecermatan
yang mendalam dalam proses pewarisan
nilai budaya itu.
Lanjutan
Kendala pertama menyangkut penentuan
nilai-nilai yang perlu diwariskan, yang
sesuai dengan tantangan yang dihadapi
bangsa Indonesia di masa depan. Bangsa
Indonesia yang mempunyai ratusan kelompok etnik dengan beragam kebudayaannya mempunyai sistem nilai budayanya
sendiri-sendiri. Bukan hal yang mudah
untuk menentukan nilai mana yang akan
diwariskan.
Lanjutan
Kendala kedua adalah menyangklut ”agen” yang
bertugas untuk mewariskan nilai-nilai luhur itu.
Apakah ”agen” yang akan mewariskan nilai itu
sendiri memahami benar keunggulan nilai budaya,
dan meyakininya sebagai ”suatu” yang patut untuk
diwariskan. Hal itu hanya dapat dibuktikan dari
sikap dan perilaku para ”agen” itu sendiri.
Pewarisan akan lebih mudah dilakukan jika diiringi
dengan praktik kehidupan. Di sinilah pentingnya
pelaksanaan hukum (law enforcement order) dalam
praktik kehidupan masyarakat.
Lanjutan
Kendala ketiga, proses globalisasi yang telah kita
rasakan denyutnya dalam arah kehidupan bangsa
itu, selain telah membentuk corak budaya
masyarakat yang mengarah pada gagasan yang
relatif sama (borderless), tetapi juga telah
menumbuhkan gelombang perlawanan pada
sebagian masyarakat (Feathrstonhe, 1995 dalam
Sairin 2002).
Munculnya kelompok-kelompok sosial baru dengan
sistem nilainya sendiri, menjadi kenyataan yang
tidak bisa dihindari. Hal ini menyebabkan nilai
budaya yang ingin diwariskan akan mendapatkan
respon yang beragam pula, dan bahkan kemungkinan akan berbeda antara satu kelompok masyarakat kepada kelompok lainnya, dan mungkin saja
hal ini dapat mengganggu keutuhan bangsa.
Lanjutan
Dalam keadaan seperti itu masyarakat
cnderung untuk memungut simbol-simbol
budaya dunia baru yang diambil secara
sepotong-sepotong, sementara memilih
sebagian simbol-simbol tradisional untuk
tetap dipertahankan. Masyarakat cenderung mengadopsi kedua sistem budaya itu
secara bersamaan, walaupun yang
diambil umumnya hanya unsur-unsur yang
dipandang bermanfaat guna kepentingan
tertentu saja.
Budaya Dan Globalisasi
Akibat Globalisasi:
Mentalitas nerabas: menghindari kerja keras,
tidak disiplin, tidak bertanggungjawab.
Dengan mentalitas nerabas itu secara perlahan membawa masyarakat kepada menipisnya bahkan hilangnya rasa malu (shameless).
Perilaku konsumtif dan luarnegri minded.
Krisis nilai dan orientasi nilai, identitas:
reidentifikasi dan revitalisasi unsur budaya etnik muncul di berbagai belahan dunia: Bosnia.