Transcript Al Ahkam

Al-Ahkam
As-Sulthaniyyah
Hukum-Hukum Penyelenggaraan Negara
dalam Syariat Islam
Imam Al-Mawardi Darul Falah 2006
Zaman Al Mawardi (370 H-450 H)






Era bani Abbasiyah Kedua
Kondisi Politik
 Negara Fathimiyah di Mesir
 Bani Umaiyah di Andalusia
 Bani Abbasiyah di Irak, Khurasan dan daerah-daerah Timur
 Internal negara  Bani Buwaih pemegang kekuasaan
sebenarnya
Kondisi Sosial
 Mewah, hedon diseputar pemegang kekuasaan
 Kemiskinan, kelaparan akibat paceklik disebagian besar
manusia
Kondisi Ilmiah
 Taqlid terhadap imam-imam madzhab
 Muncul banyak ulama diberbagai disiplin ilmu
Al Mawardi belajar di Basrah dan Baghdad selama dua tahun. Ia
termasuk pakar fiqh pengikut madzhab Syafi’I
Al Mawardi hidup masa pemerintahan Al Qadir Billah (381-422)
dan Al Qa’imu Billah (422-467 H)
Pelajaran yang Saya Dapat






Hubungan yang integral antara agama dan
negara
Khalifah sentris atau kewajiban taat kepada
kepala negara
Pengutamaan suku Quraisy sebagai khalifah
Penolakan terhadap oposisi
Akomodatif terhadap kekuasaan
Prinsip lebih mengutamakan keharmonisan
dalam politik Islam.
Hubungan yang Integral antara Agama dan Negara



Negara dibentuk untuk menggantikan posisi kenabian
dalam rangka memelihara agama dan mengatur
kehidupan dunia.
Pelembagaan negara merupakan fardhu kifayah
berdasarkan ijma` ulama.Hal ini didasarkan atas realitas
sejarah al-Khulafa’ al-Rasyidun dan khalifah-khalifah
sesudah mereka, baik Bani Umaiyah maupun Bani
Abbas, yang merupakan lambang kesatuan politik umat
Islam.
Juga sejalan dengan kaidah ushul fiqh ma la yatimmu alwajib illa bihi fahuwa wajib (suatu kewajiban tidak
sempurna terpenuhi kecuali melalui sarana atau alat,
maka sarana atau alat tersebut juga wajib dipenuhi).
Artinya, menciptakan dan memelihara kemaslahatan
adalah wajib, maka mendirikan negara sebagai sarana
menciptakan kemaslahatan tersebut juga wajib.
Khalifah Sentris
Kewajiban Taat Kepada Kepala Negara


Kepala negara sebagai sosok sentral dalam pemerintahan Islam.
Otoritasnya tidak boleh digugat dan perintahnya tidak boleh
dibantah. Dalam batas-batas tertentu bahkan kepatuhan ini
bersifat mutlak.
Proses pemilihan kepala negara.
 Unsur ahl alaqdi wal al hal (parlemen). Harus memenuhi
kualifikasi adil, mengetahui dengan baik kandidat kepala
negara serta mempunyai wawasan yang luas dan kebijakan,
sehingga dapat mempertimbangkan hal-hal yang terbaik untuk
negara.
 Unsur ahl al-imamah (orang yang berhak menduduki jabatan
kepala negara). Calon kepala negara harus memenuhi tujuh
persyaratan, yaitu adil, memiliki ilmu yang memadai untuk
berijtihad, sehat panca indranya, punya kemampuan
menjalankan perintah agama demi kepentingan rakyat, berani
melindungi wilayah kekuasaan Islam, berjuang memerangi
musuh serta berasal dari keturunan Quraisy.
Cont’d



Pemilihan kepala negara ini diawali dengan
adanya kontrak antara ahl alaqdi wal al hal
dan ahl al-imamah ini.
Dari kontrak ini lahirlah hak dan kewajiban
secara timbal balik antara kepala negara
sebagai pemegang amanah dan rakyat
sebagai pemberi amanah.
Kepala negara wajib menjalankan
pemerintahannya dengan baik dan sesuai
dengan ajaran-ajaran agama.
Penolakan Terhadap Oposisi




Sebagai balasannya, rakyat yang telah memberikan bai`at
mereka atas kepala negara wajib taat kepada kepala negara.
Kewajiban taat ini tidak terbatas hanya untuk kepala negara yang
baik dan adil, tetapi juga untuk kepala negara yang jahat.
Al-Mawardi melandaskan pandangannya pada surat al-Nisa’ ayat
49 yang mewajibkan umat Islam taat kepada Allah, Rasul-Nya dan
ulul amri di antara mereka.
Selain itu, al-Mawardi juga mengutip hadis Nabi dari Abu
Hurairah, "Kelak akan ada pemimpin-pemimpin kamu sesudahku,
baik yang adil maupun yang jahat. Dengarkan dan taatilah
mereka sesuai denga kebenaran. Kalau mereka baik, maka
kebaikan itu untuk kamu dan mereka. Jika mereka jahat, maka
akibat baiknya untuk kalian dan kejahatannya akan kembali
kepada mereka."
Pandangan ini lebih didasarkan pada akibat buruk yang mungkin
terjadi dalam masyarakat. Sangat mungkin timbul suasana chaos
dalam negara bila rakyat melakukan oposisi terhadap kepala
negara. Karena itu, bagi mereka, menghindarkan kekacauan yang
lebih besar merupakan hal yang perlu diambil
Cont’d

Namun Mawardi juga mencantumkan
dua hal yang mengubah kondite diri
imamah sehingga harus mundur dari
kepemimpinan jika tidak mampu lagi
memerintah



Cacat jasmani
Mental dan Akhlaq (keadilan)
Mawardi tidak menunjukan bagaimana
penurunan itu dilaksanakan
Penilaian Terhadap Buku



Spesifik seputar pemerintahan yang dapat dibaca
khalifah dan amir untuk mengetahui hak dan
kewajiban mereka.
Berperan besar dalam merumuskan hubungan
yang akomodatif antara Islam dan kekuasaan.
Metodologi penulisan komparatif sambil
menguatkan madzhabnya.






Al-Quran surat al-Nisa’ ayat 58 memerintahkan umat Islam untuk
menyerahkan amanah kepada yang berhak menerimanya
Ibnu Taimiyah, hanya menetapkan syarat kejujuran (amanah) dan
kewibawaan atau kekuatan (quwwah) bagi seorang kandidat kepala negara
dan tidak memutlakan suku Quraisy kejujuran (amanah) dan
kewibawaan atau kekuatan (quwwah)
Al-Mawardi melarang tindakan oposisi meskipun ia
mengembangkan teori kontrak sosial.
Paradigma yang menekankan harmonisasi ini dalam batas-batas
tertentu dapat menjadi kekuatan perekat bagi bangunan politik
Islam sekarang yang majemuk.
Oposisi sebagai upaya membatasi kekuasaan penguasa dan
menerapkan etika-moral Islam dalam kehidupan berpolitik secara
utuh.
Mutlak adanya lembaga permusyawaratan (syura) sebagai
implementasi kongkret dari perintah melakukan musyawarah yang
terdapat dalam al-Qur’an. Bukan hanya memilih Imamah tapi
memiliki kekuasaan yang independen dan bebas campur tangan
kepala negara untuk melakukan kontrol terhadap keputusan dan
kebijakan yang akan dan telah diambil kepala negara.







Pemikiran politik Islam periode klasik dan pertengahan bertitik tolak pada
realitas sistem monarkhi yang ada, yang Mawardi terima sebagai sistem
yang tidak perlu lagi dipertanyakan kebsahannya.
Namun tentu saja Mawardi tidak menyajikan satu konsep utuh yang otentik
tentang sistem politik Islam yang dapat dijalankan dalam kehidupan modern saat ini
dimana tidak ada kekhalifahan sebagai institusi Islam yang menaungi
Jika dikontekstualisasikan dengan semangat perkembangan dan
tantangan politik yang dihadapi umat Islam sekarang, saya menyimpulkan
penyelenggaraan negara dalam syariat Islam tidak harus berbentuk
khalifah.
Islam adalah agama yang sempurna (kafah) dan lengkap (kamilah) yang mengatur
segala aspek kehidupan manusia, termasuk kehidupan bernegara
Namun dalam Islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan yang baku
Pembentukan sistem musyawarah (lembaga legislatif) merupakan salah satu
masalah yang pelaksanaannya diserahkan Tuhan kepada manusia (umat Islam). Dan
umat Islam sendiri punya kepentingan untuk membentuk seperti itu dalam rangka
mengakomodasi berbagai aspirasi yang muncul dari berbagai lapisan anggota
masyarakat
Dengan pendekatan ini diharapkan keadilan dan redistribusi sosial tidak
hanya digantungkan pada ketakwaan pemimpin, tetapi juga kepada
sistem dan manajemen yang memadai.





Ilmu yurisprudensi  sistem independen  fikih
Fikih = ilmu yang memuat berbagai hukum
Islam, meliputi seluruh perintah Allah dalam Al
Quran dan hadis sebagai akar/prinsip
Hanya sekitar 200 ayat yang bisa disebut ayatayat hukum terutama surat ke-2 dan ke-4
Berbagai ketentuan hukum tersebut tidak cukup
memadai untuk menangani semua kasus yang
dihadapi umat.
Dibutuhkan pemikiran spekulatif yang melahirkan
dua prinsip baru : qiyas dan ijma’






Ra’y, hampir tidak pernah dipandang sbg sumber hukum
kelima.
Perbedaan kondisi sosial dan latar belakang budaya dan
pemikiran tiap wilayah, pemikiran hukum Islam
berkembang ke dalam sejumlah madzhab.
Abu Hanifah di Irak (w 767 M)  pemikiran spekulatif dan
preferensi untuk mengejar keadilan yang lebih besar
Malik di Madinah (w 795 M) hadis (kehidupan&pola pikir
Nabi)
Syafi’i di Baghdad dan Kairo (w 820 M) spekulatif dengan
catatan tertentu
Ibn Hanbal di Baghdad (w 857 M)  hadis