Pencucian Uang dan Korupsi Struktural di Indonesia

Download Report

Transcript Pencucian Uang dan Korupsi Struktural di Indonesia

Seminar Dies Natalis FEB UGM ke 57 Senin, 10 September 2012

Pencucian Uang dan Korupsi Struktural di Indonesia

Sumber Korupsi Struktural Korupsi dan Pencucian Uang Evidence-Based Policy Biaya Sosial Korupsi dan Pencucian Uang Sumber Korupsi Pencucian Uang 2

• • • •

Korupsi

Corruption: illegal, immoral or dishonest behaviour,

especially by people in positions of power (Cambridge Advanced Learner’s Dictionary, 2003) • Korupsi adalah perilaku penyalahgunaan terhadap kekuasaan dan pengaruh publik untuk kepentingan pribadi (Waterbury,1973) Korupsi adalah kekuasaan untuk menggunakan segala urusan pemerintahan untuk kepentingan pribadi yang bertentangan dengan aturan yang ada (Jain, 2001) Kegiatan korupsi Bowles (2000) antara lain: – Embezzlement (Penggelapan) – Bribery (Penyogokan) – Extortion (Pungutan Liar)

Pencucian Uang

Perbuatan:

– Menempatkan – – – – – – – – – Mentransfer Membayarkan Membelanjakan Menghibahkan Menyumbangkan Menitipkan Membawa ke luar negeri Menukarkan Atau perbuatan lainnya atas Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan

Hasil Tindak Pidana

dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan sehingga seolah-olah mnejadi Harta Kekayaan yang sah 3

• • • •

Korupsi

Efficient grease hypothesis, Leff (1964), Meon and Weill (2005): korupsi mungkin akan meningkatkan efisiensi ekonomi khususnya untuk negara dengan institusi yang belum efektif. Kuncoro (2004), Rivayani (2011): terdapat korelasi positif antara waktu yang diperlukan oleh aparat pemerintah untuk menyelesaikan administrasi dengan jumlah sogokan (bertentangan dengan efficient grease hypothesis) Economic analysis of corruption (Rose Ackerman, 1975, Bowles, 2000, Polinsky and Shavell, 2001, 2007 etc) Police corruption (Bowles and Garoupa, 1997) • • • • •

Pencucian Uang

Permintaan di pasar input merupakan derived demand dari aktivitas produksi di pasar output.

Seperti halnya di pasar input, demand terhadap pencucian uang adalah derived demand dari tindak kejahatan sebelumnya.

Umumnya money laundering dilakukan oleh pelaku tindak kejahatan korupsi dan organised crime.

Melibatkan lembaga keuangan di berbagai negara di dunia Pelacakan money laundering relatif sulit, membutuhkan waktu lama dan biaya besar 4

Korupsi & Pencucian Uang

5

• • • • •

UN Convention Against Corruption

• • • Penyogokan kepada PNS, pegawai negeri asing dan di sektor swasta Penggelapan di sektor publik dan swasta Memperjualbelikan pengaruh/kekuasaan Penyalahgunaan kekuasaan

Ellicit enrichment

Pencucian hasil korupsi Penyembunyian hasil korupsi Mempengaruhi proses pengadilan

• • • • •

UU Tipikor

Penyogokan kepada PNS dan staff pengadilan Penggelapan di sektor publik Memperjualbelikan pengaruh/kekuasaan Penyalahgunaan kekuasaan

Ellicit of enrichment

Tidak tercantum di UU Tipikor

6

Konsep Merugikan Keuangan Negara (UU 31/1999 & UU 20/2001) Pasal 2 (Break of Law) - secara melawan hukum; - memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi; Setiap Orang atau Korpo rasi Pasal 3 (Abuse of Power) - dengan tujuan menguntungkan diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi; - menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan;

Yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara

Sumber: Dr Haryono Umar (2009) disampaikan pada Seminar ‘ Korupsi dan Money Laundering: Tantangan, Prospek dan Dampak terhadap Perekonomian ’ Magister Sains dan Doktor , FEB-UGM, 31 Januari 2009 7

Kompleksitas Korupsi di Indonesia

Diatur di UU Tipikor Yudikatif Lembaga Internasional di Indonesia Belum Diatur di UU Tipikor Legislatif Swasta Internasional di Indonesia Eksekutif

Korupsi

Non-Profit Organisation 8

• • • •

Kompleksitas UU Tipikor

Biaya korupsi hanya dihitung berdasarkan biaya eksplisit, sehingga error types I dan II keputusan pengadilanlebih besar dari yang seharusnya UU Antikorupsi menggunakan hukuman maksimum – Inflasi di Indonesia tinggi 2001-2009 inflasi 100% – Hukuman maksimum justru mendorong potential offenders untuk melakukan korupsi (sinyal positif bagi calon koruptor) Koruptor tidak bisa dihukum lebih berat dari intensitas hukuman yang diatur dalam UU Antikorupsi Pradiptyo (2012): tuntutan dan putusan pengadilan tentang denda dan biaya pengganti tidak ada kaitannya dengan jumlah uang yang dikorupsi!!

• • UU disusun tanpa memperhatikan rasionalitas pelaku/calon pelaku korupsi – Pencantuman hukuman maksimal justru merangsang pelaku/calon pelaku untuk melakukan perhitungan tingkat korupsi yang menguntungkan – Pencantuman denda maksimum di UU membuat efek jera lemah dengan semakin berjalannya waktu, karena inflasi di Indonesia tinggi – Semakin tinggi inflasi, semakin rendah efek jera denda dan kebutuhan amandemen UU makin mendesak (biaya bagi tax payers) Koruptor diasumsikan memiliki karakteristik yang sama dengan penjahat konvensional (extra ordinary crime diperlakukan sebagai ordinary crime) 9

• •

Kompleksitas

‘Kerugian kuangan negara atau perekonomian negara’ idealnya dihitung dengan konsep biaya keekonomian Biaya keekonomian = Biaya eksplisit + Biaya implisit (opportunity costs) – Setiap kegiatan/kebijakan selalu memiliki biaya oportunitas •

Jika biaya keekonomian hanya diartikan sempit sebagai biaya eksplisit, maka dampaknya:

– memunculkan error types I dan II dalam keputusan pengadilan – – – Kesalahan pengambilan kebijakan menghasilkan biaya oportunitas yang tinggi yang menjadi beban para pembayar pajak • Contoh: dana rekapitulasi perbankan saat krisis ekonomi yang beban hutangnya baru akan impas tahun 2035 Tantangan: bagaimana meminimasi biaya oportunitas dari setiap kebijakan? Kecenderungan perilaku birokrat seperti robot, mengikuti prosedur yang seringkali tidak kontekstual, dan birokrat tidak memiliki kemampuan diskresi (bertentangan dengan prinsip dasar birokrat) 10

Konsep Biaya Economi vs Biaya Akuntansi

Cara ekonom menilai Biaya dan Laba

Keuntungan Economi

Cara akuntan menilai Biaya dan Laba

Accounting profit Biaya Implisit

Revenue Revenue

Total opportunity costs Biaya Eksplisit Sumber: Mankiw (2010) Explicit costs 11

Pasal

Hukuman di UU 20/2001

Nilai Korupsi Jenis Korupsi Denda Maksimum Penjara Maksimum Pasal 5 Rp 5 jt – ∞ Penyogokan PNS/penyelenggara negara Rp 50-250 juta 1-5 th Pasal 6 Pasal 8 Pasal 12 • • Rp 5 jt - ∞ Rp 5 jt - ∞ Rp 5 jt - ∞ Penyogokan Hakim, aparat hukum & saksi ahli Penggelapan uang oleh PNS Korupsi oleh PNS Rp 150-750 juta Rp 150 – 750 juta Rp 200 jt – Rp 1 M 3-15th 3-15th 4-20th

Catatan:

Jaksa dan hakim belum tentu menuntut/menjatuhkan hukuman pembayaran uang pengganti sebesar jumlah uang yang dikorupsi Atas dasar pertimbangan apa maksimum denda = Rp 1 Miliar sementara nilai korupsi tidak ada batasnya?

12

250 200 150 100 50 0

Perbandingan Hukuman Penjara

Penjara (Indonesia) Penjara (Eropa/USA)

250 Hukuman Mati 200 Tak ada hukuman mati & tak ada batas atas masa penjara 150 Seumur Hidup 100 50 20 Tahun 0 13

Prinsip Hukum vs Rasionalitas Manusia

Prinsip Transitivity – Jika A > B & B > C, maka A > C – Di UU Tipikor denda Rp50 juta setara dengan hukuman penjara 1 tahun (subsidair) – Jika denda Rp 50 juta = penjara 1 tahun, maka penjara 1 bulan = Rp4,167 juta. – Di kasus pidana biasa, orang mencuri 3 buah kakao atau 3 buah semangka diganjar penjara 3 bulan – Kenyataan di atas memicu rasa ketidakadilan karena prinsip transitivity akan menyebabkan orang berpersepsikan bahwa harga 1 buah kakao/semangka = Rp4,167 juta. • • •

Transitivity ada di dalam benak setiap manusia, dan merupakan salah satu karakteristik rasionalitas Para pakar hukum sering merumuskan UU berdasarkan prinsip-prinsip hukum. Permasalahan: rasa keadilan dan rasionalitas manusia TIDAK mengikuti prinsip prinsip hukum.

14

Sumber Korupsi Struktural Korupsi dan Pencucian Uang Evidence-Based Policy Biaya Sosial Korupsi dan Pencucian Uang Sumber Korupsi Pencucian Uang 15

• • • Evidence-Based Penanggulangan dan Pencegahan Tindak Pidana Pada sistem demokrasi, rakyat, yang juga pembayar pajak, memiliki kekuasaan tertinggi Setiap uang rakyat yang dialokasikan dan dibelanjakan, baik oleh eksekutif, legislatif dan yudikatif, HARUS ada pertanggung jawabannya – Bagaimana efektivitas dan efisiensi alokasi dan penerapan kebijakan di lapangan?

Diperlukan hard evidence untuk membuktikan bahwa kebijakan pemerintah memiliki dampak positif terhadap masyarakat dan diterapkan dengan biaya seminimum mungkin.

• • • • Evidence-Based Policy (EBP) diterapkan untuk menjamin agar setiap Rp yang dialokasikan bermanfaat maksimal bagi masyarakat. EBP didasarkan pada economic evaluation atau impact evaluation yang memisahkan antara MITOS dan REALITAS EBP merupakan sistem pertanggung jawaban yang transparan atas segala uang rakyat yang dialokasikan untuk pembangunan EBP diterapkan di semua bidang, tidak terkecuali penanggulangan dan pencegahan pidana, termasuk KORUPSI 16

Evaluasi Kinerja Pengadilan

Data set terdiri dari 549 kasus, melibatkan 831 terdakwa Data dibagi dalam 5 (lima) skala korupsi Gurem ∈ (Rp 0, Rp10 juta) Kecil ∈ [Rp10 juta, Rp100 juta) Sedang ∈ [Rp100juta, Rp1 miliar) Besar ∈ [Rp1 miliar, Rp25 miliar) Kakap ∈ [Rp25 miliar, ∾ ] 17

• • • • Evaluasi Putusan Pengadilan

Becker (1968) deterrence effect (efek jera) akan optimum ditentukan oleh dua faktor:

Detection rate

Intensitas hukuman Hypothesis: Jenis dan intensitas hukuman = f(social cost of crime) – Hanya biaya eksplisit korupsi yang diperhitungkan Logistic Regressions:

Probabilitas pengenaan hukuman = f(criminogenic factors, biaya eksplisit korupsi, dll) TOBIT (Tobin’s Logistic) Regressions:

Intensitas hukuman = f(criminogenic factors, biaya eksplisit korupsi, dll) 18

LOGIT/Probabilitas (Denda)

Gender Umur Biaya Ekplisit Korupsi

D_Jawa*

D_Jabodetabek D_Karyawan_BUMN D_Anggota_DPR D_Swasta D_Korupsi_Kakap

D_Korupsi_Besar*** D_Korupsi_Kecil*

D_Korupsi_Gurem

D_Denda_PN***

D_Banding_PT D_Peninjuan_Kembali 0.7496

0.4905

0.3908

0.0842

0.1963

0.0865

0.1479

0.8366

1 0.038

0.098

0.656

0.000

0.103

0.873

TOBIT/Intensitas (Denda)

Gender Age Explicit Cost D_Jawa D_Jabodetabek D_Karyawan_BUMN D_Anggota_DPR

D_Swasta** D_Korupsi_Kakap*** D_Korupsi_Besar*** D_Korupsi_Kecil***

D_Korupsi_Gurem

Ln(DC_Denda)*** D_Banding_PT**

D_Peninjauan_Kembali 0.400

0.498

0.241

0.289

0.132

0.806

0.523

0.029

0.000

0.004

0.006

0.150

0.000

0.018

0.257

19

• •

Hukuman Denda

Intensitas Hukuman (ideal)

Kakap > Besar > Sedang > Kecil > Gurem Probabilitas Menerima Hukuman (ideal)

Kakap > Besar > Sedang > Kecil > Gurem

• •

Intensitas Hukuman (di lapangan)

Kakap atau Besar >

Sedang = Gurem

> Kecil Probabilitas Menerima Hukuman (di lapangan)

Besar >

Kakap = Sedang = Gurem

> Kecil

20

LOGIT/Probabilitas (Biaya Pengganti)

Gender Umur Biaya Ekplisit Korupsi

D_Jawa** D_Jabodetabek**

D_Karyawan_BUMN D_Anggota_DPR

D_Swasta** D_Korupsi_Kakap**

D_Korupsi_Besar D_Korupsi_Kecil D_Korupsi_Gurem

D_B_Pengganti_PN*** D_Banding_PT**

D_Peninjauan_Kembali

0.426

0.539

0.301

0.023

0.014

0.252

0.564

0.047

0.027

0.135

0.161

0.536

0.000

0.033

0.449

TOBIT/ Intensitas (Biaya Pengganti)

Gender Umur Biaya Ekplisit Korupsi D_Jawa D_GreaterJakarta D_Karyawan_BUMN D_Anggota_DPR D_Private Sector

D_Korupsi_Kakap***

D_Korupsi_Besar D_Korupsi_Kecil D_Korupsi_Gurem

D_B_Pengganti_PN***

D_Banding_PT

D_Peninjaun_Kembali** 0.806

0.118

0.927

0.346

0.134

0.916

0.508

0.445

0.000

0.482

0.995

0.903

0.000

0.721

21

0.035

• •

Hukuman Uang Pengganti

Intensitas Hukuman (ideal)

Kakap > Besar > Sedang > Kecil > Gurem Probabilitas Menerima Hukuman (ideal)

Kakap > Besar > Sedang > Kecil > Gurem

• •

Intensitas Hukuman (di lapangan)

Besar = Sedang = Kecil = Gurem

> Kakap Probabilitas Menerima Hukuman (di lapangan)

Besar = Sedang = Kecil = Gurem

> Kakap

22

Skala Korupsi

Gurem Kecil Sedang Besar Kakap Total

Rata-rata hukuman penjara

Rata-Rata Tuntutan Penjara (bulan) [A]

22.3

21.6

53.2

79.0

115.7

53.8

Rata-rata Hukuman Penjara (bulan) [B]

13.7

15.2

32.8

43.5

58.0

31.7

B:A (%)

61.4% 70.3% 61.6% 55.0% 50.1% 58.8%

23

Perbandingan Kerugian dan Hukuman Finansial kepada koruptor (harga 2008)

Skala Korupsi Jumlah Pelaku Total Biaya Eksplisit Korupsi (hasil hitungan jaksa) Total Biaya Eksplisit Korupsi/ Total Hukuman Finansial yang dituntut jaksa (%) Total Biaya Eksplisit Korupsi/ Total Hukuman Finansial yang dijatuhkan MA (%)

Gurem 22 Rp108,40 Jt 1682.2% 1141.3% Kecil Medium 128 240 Rp6,300 M Rp101,3 M 183.2% 118.6% 401.1%

88.9%

Besar Kakap Total 122 30 542

Rp735,5 M Rp72,2 T Rp73,1 T 65.6% 44.0% 44.4% 49.4% 6.7% 7.3%

24

Beban siapa??

  Nilai biaya eksplisit korupsi Rp73,07 T, namun total nilai hukuman finansial hanya Rp5,32 T (7,29%)  Biaya oportunitas korupsi belum termasuk!!!

Lalu siapa yang menanggung kerugian sebesar Rp73,07T - Rp5,32 T = Rp67,75 T???

 Tentu saja para pembayar pajak yang budiman  Ibu-ibu pembeli sabun colek dan mie instant  Anak-anak yang membeli permen  Orang tua yang membelikan anaknya obat dan susu kaleng 

Di Indonesia terjadi pemberian SUBSIDI dari RAKYAT KEPADA KORUPTOR, dan hal ini sesuai dengan amanah implisit UU TIPIKOR!!

25

Penjahat Konvensional

 Mayoritas berasal dari keluarga dengan latar belakang pendapatan dan pendidikan rendah (Einat, 2004)  Sebagian terdorong untuk memenuhi kebutuhan hidup  Pada beberapa kasus pelaku dulunya adalah korban bullying di masa muda (Bowles & Pradiptyo, 2005)  Perilaku kejahatan cenderung sensitif terhadap usia (Bowles and Pradiptyo, 2005)  Detection rate cenderung tinggi

Koruptor

 Pada umumnya memiliki latar belakang pendapatan dan pendidikan yang cukup tinggi  Perilaku tindak kejahatan yang dilakukan tidak sensitif terhadap usia  Penggunaan metoda yang canggih sehingga sulit untuk dibuktikan  Penggunaan kekuasaan untuk menghalangi proses hukum 

Detection

rate cenderung rendah 26

Kecanggihan Korupsi di Indonesia

Korupsi oleh anggota masyarakat • Pra Pengadilan Korupsi oleh Polisi • Pra pengadilan Makelar Kasus dan Joki Napi hanya ada di Indonesia Teori Korupsi di Ekonomika Kriminalitas Makelar Kasus Korupsi oleh Jaksa dan Hakim • Pengadilan Teknologi Baru dalam Korupsi Korupsi di LP • Pasca Pengadilan 27

Salah Satu Sumber Penyebab Makelar Kasus

UU Tipikor UU Lain

Apakah fenomena ini

by accident

ataukah by designed?

28

Sumber Korupsi Struktural Korupsi dan Pencucian Uang Evidence-Based Policy Biaya Sosial Korupsi dan Pencucian Uang Sumber Korupsi Pencucian Uang 29

Jenis PJK Bank

- Bank Milik Negara - Bank Swasta BPD - Bank Asing - Bank Campuran BPR

Non Bank

- Perusahaan Efek - Manajer Investasi - Pedagang Valuta Asing - Dana Pensiun - Lembaga Pembiayaan Asuransi Perusahaan Pengiriman Uag

Jumlah PJK Pelapor 160

5 74 26 11 17 27

199

60 4 65 1 26 37 6

359 42.045

34.779

LTKM

13.234

15.033

9.263

2.883

1.237

395 1.330

61 26.526

1 3.960

2.842

59

76.824

Sumber: Husein, Y (2011) Penelusuran dan Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana, dipaparkan di Seminar Ekonomi Bebas Korupsi, BEM FEB UGM, 8 Oktober 2011 30

TAHUN Kumulatif PJK 2001 2002 2003

1 19 51

2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

*) Sampai Agustus 2011 71 133 161 193 244 304 334 359

Jumlah LTKM 2001-2011

LTKM

90.000 80.000

Jumlah Rata-rata Perbulan Kumulatif

14 124 280 838 2.055 3.482 5.831 - 10,3 23,3 69,8 171,3 290,2 485,9 14 138 418 1.256 3.311 6.793 12.624 76.824 70.000 60.000 50.000 40.000 46.576 63.924 30.000 23.056 20.000 10.000 14 138 418 1.256 3.311 6.793 12.624 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 *) Sampai Agustus 2011 10.432 869,3 23.056 23.520 17.348 12.900 1.960,0 1.445,7 1.612,5 46.576 63.924 76.824 Sumber: Husein, Y (2011) Penelusuran dan Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana, dipaparkan di Seminar Ekonomi Bebas Korupsi, BEM FEB UGM, 8 Oktober 2011 31

Jumlah LTKT dan Jumlah Kumulatif LTKT

Jenis PJK PJK Pelapor LTKM Bank Umum 141 9.847.412

BPR PVA Asuransi Perusahaan Pembiayaan Perusahaan Efek Perusahaan Pengiriman Uang Total 123 100 11 4 4 3 386 9.866.134

5.003

12.822

167 26 48 656

Sumber: Husein, Y (2011) Penelusuran dan Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana, dipaparkan di Seminar Ekonomi Bebas Korupsi, BEM FEB UGM, 8 Oktober 2011

Lokasi Pelaporan Pembawaan Uang Tunai Jakarta Batam Bandung Tanjung Balai Karimun Denpasar Dumai Teluk Bayur (Sumbar) Teluk Nibung (Sumut) Medan Total Jumlah 3459 2683 4 98 50 1 7 1 3 6307

Sumber: Husein, Y (2011) Penelusuran dan Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana, dipaparkan di Seminar Ekonomi Bebas Korupsi, BEM FEB UGM, 8 Oktober 2011 33

Hasil Analisis Menurut Tindak Pidana Asal Korupsi Penipuan Narkotika Penyuapan Penggelapan Di Bidang Perbankan Terorisme Perjudian Di Bidang Perpajakan Di Bidang Kehutanan Kepabeanan Pemalsuan uang Pencurian Prostitusi Di Bidang Perasuransian Pidana lain penjara 4 tahun/lebih Tidak Teridentifikasi Jumlah Jumlah 750 436 64 63 53 51 27 21 13 9 9 5 5 4 1 3 247 1762

Sumber: Husein, Y (2011) Penelusuran dan Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana, dipaparkan di Seminar Ekonomi Bebas Korupsi, BEM FEB UGM, 8 Oktober 2011

Putusan Pengadilan Terkait TPPU

Sumber: Husein, Y (2011) Penelusuran dan Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana, dipaparkan di Seminar Ekonomi Bebas Korupsi, BEM FEB UGM, 8 Oktober 2011 35

Sumber Korupsi Struktural Korupsi dan Pencucian Uang Evidence-Based Policy Biaya Sosial Korupsi dan Pencucian Uang Sumber Korupsi Pencucian Uang 36

Bisnis

Rasionalitas Bisnis vs PNS

Entry Sunk Cost

Pasar

Exit Sunk Cost Entry Sunk Cost

PNS

• • Sulit dipecat (bisa masuk, tak bisa keluar)

Riskless prospect

• Korupsi = upaya mengembalikan investasi ketika entry 37

• • •

Rasionalitas Bisnis

Pelaku bisnis harus menanggung sunk costs ketika ybs ingin memasuki pasar (mempelajari seluk beluk bisnis, mencari informasi yang diperlukan dll) • • Ketika pelaku bisnis akan meninggalkan pasar pun, mereka menanggung sunk costs (closing down sale hingga 70% untuk meminimasi kerugian) • • Sunk costs adalah semua biaya yang perlu dikeluarkan oleh pengusaha untuk memulai atau mengakhiri usaha dan biaya tersebut tidak dapat dialihkan ke konsumen. •

Rasionalitas PNS

Para calon PNS menanggung sunk cost untuk menjadi PNS (usaha untuk tes CPNS, kelengkapan administrasi dll) Ketika seseorang sudah menjadi PNS, terlepas dari kinerja ybs, kemungkinan dipecat hampir mendekati 0 Dampaknya PNS menghadapi riskless prospect. Meski sulit untuk menjadi PNS, namun setelah menjadi PNS ybs tidak pecat able. PNS pusat hanya bisa dipecat oleh Menteri dan proses ini bisa memakan waktu 3-4 tahun atau lebih (selama itu si PNS tetap menerima gaji) Di negara maju, apapun jenis pekerjaannya, setiap pekerja memiliki probabilitas yang cukup besar untuk dipecat selama ybs tidak memenuhi kinerja tertentu.

38

Sistem penggajian PNS di masa Orba:

– – – – – – –

Irasionalitas Sistem Penggajian PNS

Gaji rendah dan komponennya terpisah-pisah • Sulit termonitor total pendapatannya Proyek-proyek dipakai sebagai tambahan gaji Pendapatan tidak bisa dinyatakan dalam satuan jam atau hari Tidak ada job description Tidak ada Indikan Kinerja Kunci Sulit dipecat (tidak ada dasar teori yang melandasi sistem ini) Rangkap jabatan dimungkinkan •

Sistem penggajian PNS ideal:

– Gaji tinggi tanpa pemisahan komponennya. • Gaji harus bisa dinyatakan dalam satuan jam atau hari – Proyek-proyek dan kunjungan lapangan TIDAK akan menambah pendapatan PNS (at cost) – Job description jelas dan memperhitungkan beban kerja full time (40 jam seminggu) – Indikan Kinerja Kunci jelas dan bersifat mengikat • Promosi, penurunan pangkat, mutasi dan pemecatan berdasarkan hard evidence – Proses pemecatan cepat dan tidak berbelit-belit – Rangkap jabatan tidak dimungkinkan, kecuali ybs bersedia bekerja 2 x full time (tidak mungkin) 39

Rasionalitas Bisnis vs Keuangan Negara

Pemasukan Pemasukan Pengeluaran Pemasukan dan Pengeluaran via satu pintu Penerimaan

Anggaran

• • Uang yang sudah dikeluarkan sulit dimasukkan kembali Uang yang sudah terlanjur masuk, sulit dikembalikan Pengeluaran 40

Rasionalitas Bisnis vs Pilleg/Pilkada

Biaya Input Semurah mungkin Penerimaan Output Semaksimal mungkin Biaya Politik Sangat Mahal

Politisi

Pendapatan dari jabatan Tidak Besar 41

Rasionalitas Bisnis vs Parpol

Biaya Input Output Sumber Pembiayaan jelas Minimasi Biaya Sumbangan Parpol Tidak Jelas

Parpol

Kegiatan Parpol Cenderung Berbiaya Besar 42

Sumber Korupsi Struktural Korupsi dan Pencucian Uang Evidence-Based Policy Biaya Sosial Korupsi dan Pencucian Uang Sumber Korupsi Pencucian Uang 43

• • • •

Metoda Estimasi Biaya Sosial Kejahatan

Brand and Price (2000) – Crime against households and individuals – Crime against commercial and public sectors Dubourg et al (2005) – Crime against households and individuals Crime Against Individuals and Households • Buglary • Robbery Crime Against Commercial Sectors • Criminal Damaged on business • Shoplifting Crime Against Government • Criminal Damaged on public facilities • Physical attack on civil servants Loomes et al (1999) – Cost on victims of crime Estimasi masih terbatas pada kejahatan konvensional dan kejahatan yang ada korbannya (belum mencakup korupsi dan victimless crimes)) Biaya Sosial Kejahatan 44

Tanpa Korupsi Public Money Korupsi

Dampak Korupsi

• Multiplier tinggi ekonomi • Cenderung terjadi di dalam negeri • Menurunkan kesenjangan pendapatan Masyarakat Individual • Multiplier ekonomi relatif kecil • Meningkatkan kesenjangan pendapatan •

Misallocation of resources

45

No Money Laundering

Dampak Korupsi + Pencucian Uang

• Tidak Rupiah menekan nilai • Multiplier lebih banyak terjadi di dalam negeri ekonomi Domestic market/bank yak Uang Kejahatan Money Laundering Demand for Foreign Currency Increase Cash Outflow • Memberikan tekanan terhadap nilai Rupiah • Meningkatkan

loanable fund

di LN • Multiplier ekonomi lebih dinikmati pihak asing • Dana sulit kembali ke dalam negeri 46

• • •

Dampak Korupsi

Dampak korupsi adalah misallocation of resources sehingga perekonomian tidak dapat berkembang optimum Biaya sosial korupsi tidak saja dari besarnya uang yang dikorupsi (biaya eksplisit korupsi), namun juga mencakup perbedaan multiplier ekonomi jika uang tersebut tidak dikorupsi dibandingkan dengan jika uang tersebut dikorupsi (biaya implisit korupsi atau opportunity costs) Selama uang hasil korupsi tidak dicuci ke luar negeri, dampak korupsi tidaklah sebesar jika uang hasil korupsi dicuci ke luar negeri • Biaya persidangan dan biaya negosiasi ke luar negeri • Biaya/fees yang dikenakan oleh FIU mitra untuk membantu PPATK (25% dari total nilai uang yang berhasil dikembalikan) • Seringkali dana diparkir di beberapa negara sehingga biaya penelusuran akan sangat besar. 47

The Social Costs of Corruptions

Explicit costs of Corruptions Costs in Anticipation of Corruptions Costs in Reaction to Corruption The Implicit Costs of Corruptions • • • •

Biaya Eksplisit Korupsi

– Nilai uang yang dikorupsi, baik itu dinikmati sendiri maupun bukan (kerugian negara secara eksplisit)

Biaya Implisit Korupsi

– Opportunity costs akibat korupsi, termasuk beban cicilan bunga di masa datang yang timbul akibat korupsi di masa lalu – Perbedaan multiplier ekonomi antara kondisi tanpa adanya korupsi dengan kondisi jika terdapat korupsi

Biaya Antisipasi Tindak Korupsi

– Biaya sosialisasi korupsi sebagai bahaya laten – Reformasi birokrasi untuk menurunkan hasrat korupsi (memisahkan orang korupsi karena terpaksa atau karena keserakahan)

Biaya Akibat Reaksi Terhadap Korupsi

– Biaya peradilan (jaksa, hakim, dll) – Biaya penyidikan (KPK, PPATK, dll) – Policing costs (biaya operasional KPK, PPATK dll) – Biaya proses perampasan aset di luar dan di dalam negeri 48

Sumber Korupsi Struktural Korupsi dan Pencucian Uang Evidence-Based Policy Biaya Sosial Korupsi dan Pencucian Uang Sumber Korupsi Pencucian Uang 49

• • • •

Korupsi Struktural

Korupsi di Indonesia tidak saja bersifat sistemik, namun lebih dari itu korupsi di Indonesia cenderung bersifat struktural Korupsi struktural adalah korupsi yang terjadi akibat sistem yang berlaku di suatu negara cenderung mendorong individu yang tinggal di negara tersebut untuk melakukan korupsi.

Dalam korupsi struktural, sistem yang berlaku memberikan insentif lebih tinggi untuk melakukan korupsi daripada insentif untuk mematuhi hukum. Korupsi struktural terjadi akibat: – Perumus kebijakan tidak berorientasi pada optimasi kemakmuran masyarakat (social welfare function) – Perumus kebijakan mengedepankan rasionalitas pribadi (supply side) daripada berusaha memahami rasionalitas subyek yang terkena kebijakan (demand side) 50

Perumusan Kebijakan di Indonesia

• • •

Tanpa Teori

‘Optimalisasi’ APBN oleh DPR (Banggar) Subsidi BBM, Subsidi Pupuk, Subsidi Benih Gaji PNS rendah, tanpa jobs description, sulit (tak bisa) dipecat

• • •

Ekonomika Neo Klasik Cukai Rokok Bea Keluar Kakao Pajak Buku, Pajak Susu Bayi Ekonomika Keperilakuan 51

Jenis Perumusan Kebijakan

Demand Side (bottom up) Approach Supply Side (top down) Approach Pembuat Kebijakan Obyek Kebijakan Pembuat Kebijakan • • Didasarkan pada hard evidence perilaku pelaku ekonomi yang menjadi target kebijakan Pemahaman terhadap rasionalitas pelaku ekonomi sangat penting • • Obyek Kebijakan Obyek Kebijakan Rumusan kebijakan didasarkan pada rasionalitas penyusun kebijakan; Subyektivitas perumus kebijakan sangat domunan dalam pendekatan ini 52

• • • •

Kompleksitas UU di Indonesia

(p) Krisis Intervention (HARUS) Nature (state of the world )

(1-p)

Tidak Krisis Intervention No Intervention Evidence Based Policy Sebagian besar UU di Indonesia mengatur saat situasi TIDAK KRISIS UU yang mengatur kondisi krisis sangat terbatas (OJK), bahkan RUU JPSK ditolak oleh DPR (negara sebenarnya sangat beresiko terhadap krisis ekonomi) Dalam kondisi non krisis, pada beberapa kasus no intervention is the best intervention

evidence-based policy

Namun dalam kondisi krisis, intervention adalah suatu keharusan. 53

• • • •

Tanggung Jawab Siapa

RUU hanya akan disahkan menjadi UU jika mendapat persetujuan dari DPR Menurut Principal-Agency Theory (untuk penyederhanaan saya sebut sebagai Jongos): – Principal = DPR atau legislatif (legislator = pembuat UU) – Agent = Birokrat atau eksekutif Namun demikian, posisi DPR dihadapan rakyat: – Principal: Rakyat – Agent: DPR

T eori B os-

Konsekuensi: – Jika UU Tipikor menciptakan sistem subsidi kepada koruptor, maka terletak pada legislator atau DPR yang menyetujui RUU menjadi UU

tanggung jawab

– Anggota DPR = legislator = pembuat UU, jadi kinerja seorang legislator bisa diukur dari kualitas UU yang dibuatnya – Meski sebagian besar UU diusulkan oleh Birokrat, tetap saja pertanggung jawaban tentang mutu UU ada di anggota DPR, karena anggota DPR adalah legislator yang tugas utamanya membuat UU 54

Perubahan Struktur Pasca Reformasi

Orba Reformasi

Birokrat Judikatif Politisi • •

Perubahan struktur organisasi tidak diikuti perubahan perilaku dan pola berfikir Reformasi di Indonesia mirip dengan English Civil War (1642–1651)

Politisi Judikatif Birokrat

55

• • • Sebagian besar UU di masa Presiden Habibie bersumber dari LoI : –

The Phantom of Indonesia Economy

77 UU selama 1,5 tahun • Di awal era otonomi daerah, setiap UU pemekaran daerah hanya mencakup 1 daerah yang dimekarkan. Lambat laun 1 UU pemekaran berisi beberapa daerah sekaligus. LoI satu masalah, perilaku DPR dalam menghadapi LoI adalah masalah lain: – Pemecahan organisasi yang sebenarnya satu (Mengapa KPPU dan Lembaga Perlindungan Konsumen dipisah, mengapa KPK dan PPATK dipisah?) • 2001-2005 terjadi perubahan UU, namun ternyata tidak substansial karena tidak banyak berbeda dari UU di masa Presiden Habibie, dan UU tersebut berlaku hingga sekarang dan terakhir ditandai dengan UU OJK.

– Biaya gaji pegawai membengkak akibat pemekaran karena dibutuhkan kepala daerah baru, kantor kantor pemerintah baru (Kepolisian, Kejaksaan, Kehakiman, BPS, Rumah Sakit, dll) Sebagian besar UU teknis diajukan oleh birokrat. Jika DPR adalah principal dan Birokrat adalah agent, lalu mengapa RUU justru sebagian besar diajukan oleh agent? Apakah di rumah para anggota DPR kontrak kerja pembantu rumah tangga mereka diajukan juga oleh para pembantu mereka? Lalu bagaimana dengan tupoksi anggota DPR sebagai legislator? 56

Perbandingan Fungsi DPR Anggaran

Pengawasan

Apa ukuran kinerja (outcome measures) untuk fungsi penganggaran bagi DPR?

DPR

Legislasi

Mengapa peran sebagai legislator minimum namun peran yang lain maksimum?

57

UU Pemekara n122 (31%)

388 UU Dihasilkan Pasca Reformasi (1999-2010)

UU APBN, 27 (7%) 50 45 40 47 35 30 10 5 0 25 20 15 30 28 22 24 21 19 20 25 23 11 8 12 15 13 15 10 11 1 5 4 2 4 2 0 0 0 0 4 0 3 2 3 2 2 0 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 UU Teknis, 239, 62% UU APBN UU Teknis UU Pemekaran 58

Peningkatan Peran DPR

Sebelum Amandemen UUD 1945 Pasal 5 ayat (1):

Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

Pasal 20 ayat (1):

Tiap-tiap undang-undang mengehendaki persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

Pasal 23 ayat (1):

Anggaran pendapatan dan belanja ditetapkan tiap tiap tahun dengan undang-undang. Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui anggaran yang diusulkan pemerintah, maka pemerintah menjalankan anggaran tahun yang lalu.

Pasca Amandemen UU 1945 Pasal 5 ayat (1):

Presiden berhak mengajukan rancangan undang undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat.

Pasal 20 ayat (1):

Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang.

Pasal 23 ayat (2):

Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD.

59

Peningkatan Peran DPR (lanjutan)

2001: Asumsi makro dibahas di rapat kerja Panitia Anggaran (Panggar) 2004 dan 2005: Tsunami Aceh dan Peningkatan ICP konsultasi pemerintah dan DPR intensif • • Di Indonesia, Legislatif kurang memiliki informasi dan pengetahuan teknis terkait dengan penyusunan APBN dibandingkan eksekutif (asymmetric information dan asymmetric capacity) DPR tidak dibantu oleh lembaga dengan kapasitas memadai seperti OCB dan GAO di USA.

Tatib DPR (2010-2014) ps 61 & 65 tugas Banggar: 1) bersamaPemerintah tentukan kebijakan fiskal dan prioritas anggaran tiap K/L; 2) bersama pemerintah menetapkan APBN; 3) bersama pemerintah menetapkan asumsi makro Tatib DPR (2005 2009) ps. 37: Banggar membahas dan mengajukan usul penyempurnaan RAPBN dengan Pemerintah • • DPR juga tidak dibantu lembaga independen yang faham tentang APBN Masalah: • Peran DPR sangat besar dalam penentuan APBN, bahkan berhak menentukan asumsi makro; • Asumsi makro sering menjadi outcome measures untuk evaluasi pemerintah (salah kaprah) 60

Asumsi Makro

Kompleksitas Asumsi Makro

ICP • Apakah rasional mengasumsikan faktor eksogen yang sangat minim bisa dipengaruhi pemerintah?

(eksogen) Lifting minyak (eksogen) • Mengapa tidak hanya faktor endogen saja yang perlu menjadi asumsi makro?

• Penerimaan pajak?

Kurs • Penerimaan ekspor?

(eksogen) • Lifting gas, karena sumber gas melimpah?

Inflasi (endogen) • Asumsi makro hanya sebagai dasar perhitungan APBN dan tidak bisa berperan sebagai ukuran kinerja (outcome measures) pemerintah.

Pertumbuhan Ekonomi (endogen) • Tidak ada cukup bukti empiris (hard evidence) bahwa asumsi makro selalu tepat sasaran!!

Tingkat Bunga SBN (endogen) 61

APBN & Realisasi Beda Realisasi Pra-2005 Beda Pasca-2005 Realisasi Beda Realisasi

Pertumbuhan ekonomi (%) Inflasi (%) Nilai tukar (Rp/US$1) Harga minyak (US$/barel) Produksi minyak (ribu barel/hari) Tingkat bunga SBI/SPN 3 bulan (%) 8.0

4.6

-4.0

-15.7

Under

-20.4

8.5

-6.1

Over Over Over Over Under

8.0

6.1

-7.7

10.8

0.3

Over Over Over Under Over Over

8.0

3.6

-1.5

-12.7

7.0

-10.3

Over Over Over Under Over Under APBN-P & Realisasi Beda Pra-2005 Pasca-2005 Realisasi Beda Realisasi Beda Realisasi

0.5

-2.8

0.0 Matched -0.5

-4.0

1.4

-2.4

Over Under Over Under

0.7

4.3

0.1

1.2

Over Over Over Under

-2.1

Under

-5.2

Over Over

0.4

-7.5

0.4

2.3

-4.7

Over Under Under Under Over Under

62

x

2

Optimalisasi Anggaran

Fungsi Tujuan

z

2 u Constraint set Kendala Biaya 

x*

x

1 

x* z*

 Contours of objective function 63

z

1

x

2

Maksimalisasi Anggaran oleh Banggar

• Anggota DPR, khususnya Banggar, sering menggunakan konsep ‘optimalisasi anggaran’. • Kenyataannya, bukan optimalisasi anggaran yang dilakukan namun maksimalisasi anggaran •  

x** x*

BL 1 BL 2

x

1 Maksimalisasi anggaran dilakukan dengan cara mengubah-ubah asumsi makro sedemikian rupa agar potensi penerimaan pemerintah meningkat, sehingga spending juga akan meningkat. • Kasus Hambalang, dll adalah contoh dari hasil maksimalisasi anggaran ini. 64

Subsidi BBM dan Energi yang Membengkak

x

2 • Konsep ‘optimalisasi’ sering dilupakan jika menyangkut kebijakan ekonomi yang dipolitisasi seperti kasus BBM bersubsidi • Berapapun konsumsi BBM, bagaimanapun gejolak harga minyak dunia, kebutuhan BBM selalu dicukupi dengan harga MURAH (compensated consumption) •  

x** x*

IC 2 IC 1

x

1 Faktor penyebab pembengkakan subsidi: – Volatilitas harga ICP; – – Volatilias kurs; Peningkatan konsumsi BBM-bersubsidi akibat peningkatan aktivitas ekonomi; – Pengalihan konsumsi dari BBM-non-subsidi ke BBM bersubsidi akibat perbedaan harga – Adanya pasar gelap dan penyelundupan akibat penerapan dua harga pada satu komoditas; 65

Postur Subsidi Energi di Luar Batas Kewajaran

Pengeluaran Subsidi 2005 LKPP 2006 LKPP 2007 LKPP 2008 LKPP 2009 LKPP 2010 LKPP 2011 APBN P Energi

Subsidi BBM (A) Listrik

Total Energi (1) Total Non-Energi (2) Total Pengeluaran Subsidi (3=1+2) Total Belanja Negara (4) Rasio (%) Subsidi BBM/Total Subsidi (=A/3) Rasio (%) Subsidi Energi/Total Belanja (=1/4)

95.6

8.9

104.5

16.2

120.7

361.2

79.2

28.9

64.2

30.4

94.6

12.9

107.5

440

59.7

21.5

83.8

33.1

116.9

33.3

150.2

504.6

55.8

23.2

139.1

83.9

223 52.2

275.2

693.4

50.5

32.2

45 49.5

94.5

43.5

138 628.8

32.6

15.0

82.4

57.6

140 52.8

192.8

697.4

42.7

20.1

129.7

65.6

195.3

41.9

237.2

908.2

54.7

21.5

2012 APBN

123.6

45 168.6

40.2

208.8

954.1

59.2

17.7

Sumber: diolah dari Kementrian Keuangan (2010; 2011) dan Pradiptyo dan Sahadewo (2012) 66

300 250 Subsidi Triliun Rp 200 150 100 50 0

Subsidi Energi, Triliun Rupiah

2005 2006 Subsidi BBM

Beban Subsidi BBM di Perekonomian

2007 2008 Subsidi Listrik Harga Minyak Dunia Harga US$/B 2009 CPI 2010 2011 CPI Low 140 80 60 40 20 2012 CPI High 0 160 • 120 100 • • • Pemerintah menetapkan subsidi BBM sebesar Rp129,7 triliun di APBN-P 2011, tetapi realisasi subsidi BBM mencapai Rp165 triliun, meningkat sebesar 27,3%.

Proporsi subsidi BBM 2011 (tanpa memperhitungkan subsidi listrik) mencapai 54,7% dari total subsidi yang disalurkan pemerintah Asumsi pengeluaran subsidi BBM di APBN 2012 sebesar Rp123,6. Tanpa perubahan kebijakan,

subsidi bisa mencapai Rp300 triliun

.

Subsidi idealnya diberikan kepada rumah tangga untuk mengatasi eksternalitas negatif dan kegagalan pasar.

600000

APBN Sebagai Stimulus Ekonomi

60,00% Nominal, Rp Triliun 50,00% Proporsi (%) 500000 400000 40,00% 30,00% 300000 200000 100000 0 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Belanja Rutin (pegawai dan belanja barang) Belanja Modal Pembayaran Bunga Utang Subsidi, Bantuan Sosial dan Hibah Belanja Lain-lain 2011 2012 20,00% 10,00% 0,00% 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Belanja Rutin (pegawai dan belanja barang) Belanja Modal Pembayaran Bunga Utang Subsidi, Bantuan Sosial dan Hibah Belanja Lain-lain 2011 2012

Sistem Penyusunan APBN

Recall (memori ke masa lalu) Foresight (orientasi ke depan)

Perfect Rational System (Ideal namun tidak realistis) Rational System (Sistem APBN di negara maju) Fictitious Play System (Myopic)

Beresiko terjebak pada cycles , kecuali memiliki kemampuan pattern recognition

Cournot System (Ultra Myopic) (sistem APBN di Indonesia)

Sangat beresiko terjebak pada cycles , karena sistem tidak memungkinkan untuk memiliki pattern recognition

69

• • • •

Contoh: SILIN vs Regim Anggaran Myopic

SILIN (Silvicultur Intensif)

asli Indonesia untuk pelestarian hutan.

– Dikembangkan sejak 1994 hingga saat ini oleh Fakultas Kehutanan, UGM adalah metoda inovasi 30 – Hasil yang diperoleh adalah sistem pengembalian kelestarian hutan terbaik di dunia dan diakui di level international 25 Dengan hanya 100,000 ha selama 30 tahun, SILIN ERA I mampu mengembalikan produksi hutan ke tahun 1990 (28 juta m3) – Saat ini dilakukan SILIN ERA II untuk menurunkan masa rotasi dari 30 tahun ke 17 tahun. SILIN ERA III menurunkan rotasi dari 17 tahun ke kurang dari 10 tahun) 20 15 10 5

Produksi Hutan Indonesia (juta m3)

28 Diperlukan investasi 3 tahun dengan biaya per tahun Rp700 miliar (total Rp2,1 triliun) 0 Dengan regim anggaran saat ini, bagaimana memastikan pembiayaan kegiatan ini berlangsung? 4,55 70