Ruju* Ila Qur*an dan Sunnah, Terbukanya Pintu Ijtihad dan

Download Report

Transcript Ruju* Ila Qur*an dan Sunnah, Terbukanya Pintu Ijtihad dan


kondisi masyarakat saat itu yang mulai jauh dari
nilai-nilai Islam. Cara ibadah mereka mulai
bercampur dengan kemusyrikan, takhayul,
bid’ah, dan lain sebagainya. Kemudian dalam hal
pemikiran, umat Islam saat itu cenderung telah
mengalami stagnasi pemikiran. Pola pikir yang
dikedepankan cenderung taklid (mengikuti saja)
tanpa mau mencari dasarnya. Bahkan, mulai
muncul kekhawatiran di masyarakat karena
adanya fatwa yang menyatakan bahwa pintu
ijtihad telah tertutup. Bagi tokoh pembaru
seperti Abduh, Al-Afghani, dan Ibnu Taimiyah, hal
ini dapat menyebabkan taklid buta dan
pemikiran umat Islam pun menjadi jumud
(stagnan).

Pertama, Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid
terus mendorong tumbuhnya gerakan pemurnian
ajaran Islam dalam masalah yang baku (altsawabit) dan pengembangan pemikiran dalam
masalah-masalah ijtihadiyah yang
menitikberatkan aktivitasnya pada dakwah amar
makruf nahi munkar. Muhammadiyah
bertanggung jawab atas berkembangnya syiar
Islam di Indonesia, dalam bentuk:
1) makin dipahami dan diamalkannya ajaran
Islam dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara
2) kehidupan umat yang makin bermutu, yaitu
umat yang cerdas, berakhlak mulia, dan
sejahtera
 Kedua,
Muhammadiyah sebagai gerakan Islam
dengan semangat tajdid yang dimilikinya
terus mendorong tumbuhnya pemikiran Islam
secara sehat dalam berbagai bidang
kehidupan. Pengembangan pemikiran Islam
yang berwatak tajdid tersebut sebagai
realisasi dari ikhtiar mewujudkan risalah
Islam sebagai rahmatan lil-alamin yang
berguna dan fungsional bagi pemecahan
permasalahan umat, bangsa, negara, dan
kemanusiaan dalam tataran peradaban
global.
 Ketiga,
sebagai salah satu komponen bangsa,
Muhammadiyah bertanggung jawab atas
berbagai upaya untuk tercapainya cita-cita
bangsa dan Negara Indonesia, sebagaimana
dituangkan dalam Pembukaan Konstitusi
Negara.
 Keempat,
sebagai warga Dunia Islam,
Muhammadiyah bertanggung jawab atas
terwujudnya kemajuan umat Islam di segala
bidang kehidupan, bebas dari ketertinggalan,
keterasingan, dan keteraniayaan dalam
percaturan dan peradaban global.

Kelima, sebagai warga dunia, Muhammadiyah
senantiasa bertanggungjawab atas terciptanya
tatanan dunia yang adil, sejahtera, dan
berperadaban tinggi sesuai dengan misi
membawa pesan Islam sebagai rahmatan lilalamin. Peran global tersebut merupakan
keniscayaan karena di satu pihak Muhammadiyah
merupakan bagian dari dunia global, di pihak
lain perkembangan dunia di tingkat global
tersebut masih ditandai oleh berbagai persoalan
dan krisis yang mengancam kelangsungan hidup
umat manusia dan peradabannya karena
keserakahan negara-negara maju yang
melakukan eksploitasi di banyak aspek
kehidupan.
 “Sesungguhnya
Allah mengutus bagi umat ini
pada tiap-tiap penghujung abad seorang yang
akan memperbarui pemahaman agama bagi
umat tersebut”. Dari Hadis ini ditarik
kesimpulan, setiap abad akan muncul
mujadid (reformer) Islam.
Ijtihad adalah instrumen utama dan
pembimbing gerakan tajdid sehingga tidak
bisa terpisah darinya.
Secara
etimologi
Secara terminologis




Menurut Yusuf al-Qaradhawi akar katanya sama
dengna akar kata jihad yakni ja ha da.
Menurut Ibnu Manzhur, kata yang berakar dari ketiga
huruf tadi bisa berarti kesulitan, kemampuan,
kesanggupan dan tujuan.
Sedangkan jika telah berubah wazanya dan menjadi
lafal ijtihad maka artinya adalah mengerahkan
kemampuan (Mandzur, 2003 : 239).
Kata ijithad hanya digunakan untuk pekerjaan yang
benar-benar sulit, sehingga kata ini digunakan untuk
menggambarkan seorang yang mengangkat batu yang
berat dengan kalimat ijtahada fi hamli al-hajri, dan
tidak digunakan untuk menggambarkan pekerjaan
yang tidak membutuhkan tenaga banyak seperti
mengangkat biji sawi (al-Ghazali, 1992 : 4).

Secara terminologis ijtihad menurut al-Ghazali
adalah : Pencurahan kemampuan seorang
mujtahid dalam rangka memperoleh
pengetahuan (al-ilm)tentang hukum-hukum
syar’i. (al-Ghazali, 1992 : 4). Rumusan alGhazali masih umum dan tidak menjelaskan
lapangan ijtihad, meskipun demikian dari
kalimat badzlu al-mujtahidi wus’ahu dapat
difahami bahwa lapangan ijtihad adalah
masalah-masalah yang zhanni saja, sedangkan
masalah-masalah yang sudah qath’i tidak perlu
lagi dilakukan ijtihad. Di dalam kitab al-Ihkam
al-Amidi menyebutkannya secara eksplisit bahwa
yang menjadi lapangan ijtihad adalah
permasalahan yang zhanni saja (al-Amidi, 1984 :
169)
Ijtihad menurut al-Ghazali adalah :
Pencurahan kemampuan seorang mujtahid
dalam rangka memperoleh pengetahuan (alilm)tentang hukum-hukum syar’i.
(alGhazali, 1992 : 4).
lapangan ijtihad adalah masalah-masalah
yang zhanni saja, sedangkan masalahmasalah yang sudah qath’i tidak perlu lagi
dilakukan ijtihad.


Pengertian pertama adalah ijtihad secara umum, dimana
dikatakan bahwa ijtihad adalah mencurahkan segenap
kemampuan berfikir dalam menggali dan merumuskan
ajaran Islam baik bidang hukum, aqidah, filsafat,
tasawwuf, maupun disiplin ilmu lainnya berdasarkan wahyu
dengan pendekatan tertentu . Pada rumusan ini diakui
adanya ijtihad pada ranah aqidah, filsafat, dan tasawwuf
sehingga pendapat para mutakallimin tertampung di
dalamnya.
Pengertian ijithad yang kedua dikhususkan pada bidang
hukum, dimana dikatakan bahwa ijtihad hukum adalah
mencurahkan segenap kemampuan berfikir dalam menggali
dan merumuskan hukum syar‘i yang bersifat zhanni dengan
menggunakan metode tertentu yang dilakukan oleh yang
berkompeten baik secara metodologis maupun
permasalahan.
 Pertama,
mengandung pengertian purifikasi
dan reformasi. Yaitu pembaruan dalam
pemahaman dan pengamalan ajaran Islam ke
arah keaslian dan kemurniannya sesuai
dengan Alquran dan As-Sunnah Al-Maqbulah.
Dalam pengertian pertama ini diterapkan
pada bidang akidah dan ibadah mahdhah.
 Kedua,
mengandung pengertian modernisasi
atau dinamisasi ( pengembangan ) dalam
pemahaman dan pengamalan ajaran Islam
sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi serta perubahan masyarakat.
Pengertian yang kedua diterapkan pada
masalah muamalah duniawi.
 Dalam
arti “pemurnian” tajdid dimaksudkan
sebagai pemeliharaan matan ajaran Islam
yang berdasarkan dan bersumber kepada alQur’an dan As-Sunnah Ash-Shohihah. Dalam
arti “peningkatan, pengembangan,
modernisasi dan yang semakna dengannya”,
tajdid dimaksudkan sebagai penafsiran,
pengamalan, dan perwujudan ajaran Islam
dengan tetap berpegang teguh kepada alQur’an dan As-Sunnah Ash-Shahihah.
Tajdid sangat diperlukan,
terutama setelah memasuki era
globalisasi, karena pada era ini
bangsa-bangsa di dunia
rnengalami interaksi
antarbudaya yang sangat
kompleks.

Untuk melaksanakan tajdid dalam kedua
pengertian istilah tersebut, diperlukan
aktualisasi akal pikiran yang cerdas dan fitri,
serta akal budi yang bersih, yang dijiwai oleh
ajaran Islam. Menurut Persyarikatan
Muhammadiyah, tajdid merupakan salah satu
watak dari ajaran Islam.
 Rumusan
tajdîd di atas mengisyaratkan,
bahwa dalam Muhammadiyah ijtihad dapat
dilakukan terhadap peristiwa atau kasus yang
tidak terdapat secara eksplisit dalam sumber
utama ajaran Islam, al-Qur’an dan Hadits,
dan terhadap kasus yang terdapat dalam
kedua sumber itu. Ijtihad dalam bentuknya
yang kedua dilakukan dengan cara
menafsirkan kembali al-Qur’an dan Hadits
sesuai dengan kondisi masyarakat sekarang
ini.

Seorang mujaddid harus dari Ahlus Sunnah
wal Jamaah yang bebas dari kebid’ahan dan
berjalan di atas manhaj Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para
sahabatnya dalam seluruh urusannya. Oleh
karena itu, tidak boleh menetapkan ahlu
bid’ah dan tokoh sekte sesat sebagai
mujaddid, walaupun telah mencapai
ketinggian derajat dalam ilmu.
 Memiliki
sumber pengambilan ilmu dan
manhaj istidlal (metodologi pengambilan
dalil) yang benar. Hal ini dilihat kepada
metodologi dalam belajar dan pengambilan
dalil yang dibangun di atas al-Qur`an, sunnah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
ijma’, qiyas yang shahih (benar) dan tinjauan
maslahat yang tidak bertentangan dengan
nash syariat.
Memiliki ilmu syar’i yang benar, hal ini karena di
antara aktivitas tajdid adalah mengajarkan
agama, menebarkan ilmu syar’i dan membela
sunnah dan ahlinya, serta menghancurkan
kebid’ahan.
 Mampu menempatkan dengan pas dan tepat
nash-nash syariat pada realita dan peristiwa yang
terjadi.
 Memiliki manhaj (metodologi) dan kaidahnya
yang jelas. Seorang mujaddid harus menyertai
dalam aktivitas tajdid-nya dengan manhaj dan
kaidah yang jelas dalam segala keadaannya

 Revitalisasi
tajdid sangat diperlukan, dalam
arti kegiatan ditingkatkan, pengengertiannya
dikembangkan, dan wilayah kajian diperluas.
Selama ini kajian masih berkutat pada bidang
ibadah. Maka perlu diperluas untuk
membahas masalah aktual yang dihadapi
oleh bangsa Indonesia dan umat manusia
secara global, meliputi teologi, ekonomi,
politik, sosial, budaya, dan isme-isme yang
sedang ngetren ( sekularisme, pluralisme,
fundamentalisme, liberalisme) kaitannya
dengan bidang agama
Semboyan ini menjiwai etos kerja warga,
sehingga Muhammadiyah sering diidentikkan
sebagai organisasi amal. Tak ada hari tanpa
beramal. Kenyataannya memang demikian,
betapa banyaknya amal usaha
Muhammadiyah dalam bidang pendidikan,
kesehatan, pelayanan sosial, dan ekonomi
yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.
Keikhlasan dalam mengabdi di organisasi
sangat diutamakan, sehingga muncul
semboyan “Hidup-hidupilah Muhammadiyah,
dan jangan mencari hidup di
Muhammadiyah”.
“Barang siapa yang mengerjakan ibadah yang
tidak ada perintahnya dari aku, maka
tertolaklah ibadahnya”.
Sesuai dengan isi Hadis tersebut, maka
Muhammadiyah menyerukan kepada umat Islam
agar menjauhi TBC, singkatan dari takhayul,
bid’ah, dan churafat. Dalam churafat itu
terdapat unsur syirik, sehingga lebih lengkapnya
ialah agar umat Islam menjauhi takhayul, bid’ah,
churafat, dan syirik. Inilah bentuk awal dari
tajdid yang diserukan oleh KH Dahlan. Kemudian
oleh para pemimpin Muhammadiyah periode
berikutnya, pengertian itu dikembangkan.




bidang pendidikan
kesehatan
kesejahteraan sosial
 Pola
yang dikembangkan Muhammadiyah
berusaha untuk mengadopsi pendidikan Barat
yang berbeda dengan paham masyarakat
Indonesia saat itu.
 Berusaha
mendorong didirikannya balai
pengobatan untuk rakyat miskin. Sebab,
waktu itu banyak masyarakat Indonesia
dengan kondisi ekonomi yang sangat
tertinggal, sangat kesulitan mendapatkan
layanan kesehatan, kecuali mereka yang
berasal dari kalangan bangsawan.
 Dalam
bidang kesejahteraan sosial, beliau
membentuk lembaga amil zakat, lembaga
peduli umat, dan lain sebagainya. Tujuannya
adalah untuk membebaskan masyarakat dari
kemiskinan, kebodohan, ketertinggalan, dan
lain sebagainya.