Hak Ibu Muwashafat yang ingin dicapai • Menyambung silaturrahim (p) • Berhati lembut (s) • Komitmen dengan adab Islam di rumah (p) • Tidak inda.

Download Report

Transcript Hak Ibu Muwashafat yang ingin dicapai • Menyambung silaturrahim (p) • Berhati lembut (s) • Komitmen dengan adab Islam di rumah (p) • Tidak inda.

Hak Ibu
Muwashafat yang ingin dicapai
• Menyambung silaturrahim (p)
• Berhati lembut (s)
• Komitmen dengan adab Islam di rumah
(p)
• Tidak inda (p)
• Komitmen dengan adab meminta izin
(p)
I. TUJUAN UMUM
Menguatkan ikatan dengan sunnah Rasulullah
Saw, berdasarkan pada landasan fahm
(pemahaman), cinta, mengerti akan pikiran-pikiran
pokoknya, dan ikatan dengan petunjukpetunjuknya, beramal dengan hukumnya diiringi
dengan pemahaman yang baik, merumuskan
sasaran-sasaran yang tepat sebagai petunjuk
untuk segala zaman dan tempat, dan kembali
kepadanya dalam segala hal lebih-lebih ketika
terjadi pertentangan.
II. TUJUAN KHUSUS
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Menerangkan urgensi seorang muslim memperhatikan
halal haram
Menerangkan diperbolehkannya berhubungan dengan
orang musyrik yang menjadi ayahnya, ibunya, atau
saudaranya selama tidak memerangi Islam
Menyimpulkan nilai-nilai tarbiyah dari hadits ini
Menyebutkan orang-orang yang lebih berhak
mendapatkan kebaikan
Menerangkan kenapa Nabi Muhammad saw
mengkhususkan kebaikan itu kepada ibu sampai tiga kali
baru disusul dengan ayah
Menyimpulkan nilai-nilai tarbawi yang ada dalam hadits
III. SASARAN AFEKTIF & PSIKOMOTORIK
1. berinteraksi dengan bagus terhadap hadits-hadits
Rasulullah Saw
2. tekun menghafal matan (isi) hadits
3. komitmen dengan arti dan arahan hadits tersebut
4. komitmen dengan hak-hak tetangga
5. saling memberi hadiah
6. Mencintai non muslim yang tidak memusuhi Islam
7. Berhati-hati dalam halal haram terutama yang agak samar
dalam kehidupan kita
8. Mengusulkan kepada ustadz atau qiyadah (pemimpin)
tentang apa yang kita rasa cocok bagi dakwah.
9. Ihsan dan bermuamalah dengan kedua orang tua
khususnya ibu.
IV. KEGIATAN PEMBELAJARAN
Pilihan kegiatan yang bisa diselenggarakan dalam halaqah adalah:
1. Kegiatan Pembuka
• Mengkomunikasikan tema dan tujuan kajian Hak Ibu
2. Kegiatan Inti:
• Kajian tentang tema Hak Ibu
• Berdiskusi dan tanya jawab tema tersebut ( lihat tujuan
Kognitif, afektif dan psikomotor)
• Penekanan dari Murabbi tentang nilai dan hikmah yang
terkandung dalam kajian tersebut
3. Kegiatan Penutup:
• Tugas mandiri (lihat kegiatan pendukung)
• Evaluasi (dibuat soal sesuai tujuan khusus, afektif, dan psikomotor)
V. PILIHAN KEGIATAN PENDUKUNG.
1. Memberikan hadiah secara periodik untuk ibu agar membahagiakan
hatinya
2. Membantu memenuhi kebutuhannya
3. Banyak mengunjunginya jika berada di rumah yang berbeda
4. Memuliakan ayah dan menghormatinya
5. Menyuruh anak-anaknya mentaati kakek dan neneknya, memberikan
peringatan/hukuman jika mendurhakainya.
6. Mengundang seorang ulama (faqih: ahli fiqh) untuk memberikan ceramah
tentang dhawabith (rambu-rambu) hubungan sosial antara muslim dan
non muslim yang tidak memerangi Islam
7. Menyediakan film atau power point yang menjelaskan sikap Asma’ ra
terhadap ibunya
8. Menulis makalah yang menjelaskan keharusan berkomunikasi dengan non
muslim selama mereka tidak memerangi kita, berbuat baik kepada mereka
sehingga mereka mengakui hakikat Islam dari hubungan itu
VI. TUJUAN TARBIYAH DZATIYAH
1. menerangkan luasnya rahmat Allah Swt
2. menjelaskan maksud dari rahmat itu
3. memberi bukti mengapa Nabi Saw memilih kuda, yang melaluinya dapat
menjelaskan betapa luasnya rahmat Allah Swt
4. menyimpulkan hakikat-hakikat dan nilai-nilai tarbawi yang dituju oleh hadits
itu
5. Menerangkan pentingnya seorang muslim memperhatikan halal dan haram
dalam urusannya
6. Menjelaskan hubungan seorang muslim dengan kerabatnya yang bukan
muslim
7. Menyimpulkan hakikat-hakikat dan nilai-nilai tarbawi yang dituju oleh dua
hadits mulia tersebut
8. Menerangkan faedah dari hadits tersebut
9. Berbuat baik kepada tetangga sesuai dengan kemampuan seperti memberi
hadiah, salam, berwajah cerah ketika berjumpa.
10. Menjelaskan bahwa hak tetangga diukur dengan kedekatan pintu rumah
VI.
SARANA EVALUASI DAN MUTABA’AH.
1. dialog dan diskusi
2. pencatatan untuk menegaskan ketelitian
membaca nash hadits, memahami dan
mempraktekkannya
3. berbaur melalui kunjungan-kunjungan, rihlah
dan aktifitas yang berbeda-beda
4. menyiapkan formulir untuk menegaskan
tercapainya sasaran
5. wirid muhasabah pada bidang yang dituju oleh
hadits
VIII. Referensi
1. Buku-buku hadits yang terpercaya
(mu`tamad) ( Shahih Bukhari – Shahih
Muslim-Riyadhus Shalihin)
2. Buku-buku syarah hadits ( Fathul Bari – an
Nawawi dalam syarah Muslim – Dalilul Falihin
fi Syarhi Riyadis Shalihin )
3. Taujihat Nabawiyah karya Dr. Sayyid Nuh.
4. Riyadhus Shalihin Karya Imam Nawawi
5. Targhib dan Tarhib Karya Mundziri
Al-Muhtawa: HAK IBU
HAK IBU
Hubungan dengan orang tua yang musyrik
َ ‫عن أَ ْس َما َء‬
‫أَتَ ْتنِي أُ ِّمي َو ِه َي َرا ِغبَة فِي َع ْه ِد‬:‫ تَقُو ُل‬،‫بنت أَبِي بَ ْك ٍر‬
‫ يَا َرسُو َل ه‬:‫ت‬
ُ ‫ فَقُ ْل‬،‫ش‬
‫ فَأَ ْن َز َل‬: ‫ال اب ُْن ُعيَ ْينَه‬
َ َ‫ ق‬.‫ نَ َع ْم‬:‫ل‬
َ ‫صلُهَا؟ قَا‬
ِ َ‫َّللاِ أ‬
ٍ ‫قُ َر ْي‬
‫ ََل يَ ْنهَا ُك ُم ه‬ : ‫َّللاُ فِ ْيهَا‬
‫ين لَ ْم يُقَاتِلُو ُك ْم فِي ال ِّدي ِن َولَ ْم‬
َ ‫َّللاُ َع ِن اله ِذ‬
‫ار ُك ْم أَ ْن تَبَروهُ ْم َوتُ ْق ِسطُوا إِلَ ْي ِه ْم إِ هن ه‬
‫َّللاَ ي ُِحب‬
ِ َ‫ي ُْخ ِرجُو ُك ْم ِم ْن ِدي‬
.  ‫ين‬
َ ‫ْال ُم ْق ِس ِط‬
Dari Asma’ bintu Abu Bakar ra berkata: Ibuku datang kepadaku yang belum
suka Islam pada masa Rasulullah saw. Lalu aku bertanya kepada Nabi
Muhammad saw apakah aku boleh berhubungan dengannya? Jawabnya: Ya
boleh. Ibnu Uyainah berkata: maka turunlah ayat Allah dalam hal ini: ” Allah
tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orangorang yang tiada memerangimu Karena agama dan tidak (pula) mengusir
kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
berlaku adil”. (Al Mumtahanah: 8) (Al Bukhari, Muslim dan Abu Daud)
Penjelasan:
ُ ‫ َذ‬pemilik dua ikat pinggang.
Dari Asma’ bint Abu Bakr Ash Shiddiq ra, dialah yang dijuluki ‫ات ال ِّن َطا َقيْن‬
Mendapatkan gelar ini karena perannya dalam hijrah Rasulullah saw yang merobek ikat
pinggangnya untuk menjadi pengikat bekal Rasulullah saw dan Abu Bakar dalam perjalanan hijrah
itu. Inilah peran besar yang dilakukan Asma’; membantu perjalanan hijrah pada situasi yang
ُ ‫ال ِّن َط‬bermakna ‫ش َق ًة‬: sobekan dari pakaian
sangat sulit itu. Dalam kamus : ‫ م ُْخ َتارُ الص ََّحاح ـ‬kata ‫اق‬
wanita.
Asma berkata: ”Ibuku” bernama Quatailah bint Abdul Uzza bin Asad. Menurut Az Zubair bin
Bakkar, namanya adalah Qiylah ( dengan ya’ bertitik dua di bawah setelah qaf). Ibu Asma yang
disebutkan itu adalah juga ibunya Abdullah bin Abu Bakar –saudara sekandung Asma’. Abu Bakar
telah menceraikannya di masa jahiliyah. Kedatangannya menemui anaknya –Asma’- dengan
membawa hadiah (zabib, keju, kulit yang telah disamak) lalu Asma’ tidak mau menerima hadiah
ini, atau tidak mau memasukkannya ke dalam rumahnya, dan mengutus orang ke rumah Aisyah:
Tanyakan kepada Rasulullah saw ? lalu Rasulullah menyuruhnya untuk menerima dan
memasukkan hadiah itu ke dalam rumah Asma’. Peristiwa ini terjadi pada masa damai antara
Rasulullah dan Kafir Quraisy, setelah peristiwa Hudaibiyah sampai peristiwa fathu Makkah.
" ‫ " َوه َي َراغ َب ٌة‬Dia senang dengan kebaikanku dan hubunganku dengannya –padahal ia masih
musyrik- atau maknanya: ia tidak suka Islam. Menurut riwayat Abu Daud berbunyi: ‫َوه َي َراغ َم ٌة‬
dengan mim yang berarti: Tidak suka Islam. Lalu aku bertanya kepada Rasulullah saw : ‫" آصلُ َها‬
"hamzah dibaca panjang, berbentuk kalimat Tanya: Bolehkah aku berhubungan. Dalam riwayat
lain: " ْ‫" أَ َفأَص ُل أُمِّي‬bolehkah aku bersilaturrahim dengan ibuku?
Rasulullah saw menjawab: " ‫ " َن َع ْم‬dalam riwayat lain: " ‫َّك‬
َ ‫ " َن َع ْم صلى أُم‬ya, bersilaturrahimlah dengan
ibumu. Rasulullah saw memperbolehkan Asma’ untuk berhubungan dengan ibunya dan tidak
mensyaratkan untuk bermusyawarah dulu dengan suaminya; padahal saat itu Asma’ menjadi isteri
Az Zubair bin Al Awwam.
Sufyan bin Uyainah mengatakan: Maka Allah turunkan ayat dalam kaitan
ini:
‫اَل يا ْن اها ُك ُم ه‬
‫ين اولا ْم يُ ْخ ِر ُجو ُك ْم‬
‫َّللاُ اع ِن اله ِذ ا‬
ِ ‫ين لا ْم يُقااتِلُو ُك ْم فِي ال ِّد‬
‫سطُوا ِِلا ْْ ِه ْم ِِ هن ه‬
‫ْن‬
‫س ِط ا‬
ِ ‫َّللاا يُ ِِ ُّب ا ْل ُم ْق‬
ِ ‫ِمنْ ِدياا ِر ُك ْم أانْ تابا ُّرو ُه ْم اوتُ ْق‬
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orangorang yang tiada memerangimu Karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari
negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. (Al
Mumtahanah:8)
Inilah kemudahan dari Allah swt dalam berhubungan dengan orang-orang yang
tidak memusuhi kaum mukminin dan tidak memeranginya.
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan bahwa ayat ini turun berkaitan dengan sekelompok
kaum musyrikin yang sikapnya lunak dan akhlaqnya baik.
Al Hafiz Ibnu Hajar berkata: Tidak ada yang bertentangan antara kedua penjelasan
di atas. Karena sababunnuzul bisa khusus, dan kalimat Al Qur’annya umum; sehingga
dapat mencakup semua orang yang memiliki kesamaan sikap dengan ibunya Asma’;
yaitu semua orang musyrik laki-laki atau wanita yang tidak memerangi kaum muslimin.
Dari hadits ini dapat diambil pelajaran:
1. Bahwa ibu yang masih kafir, tetap dijalin hubungan
silaturahim sebagaimana dengan ibu yang sudah
muslimah, baik dengan harta dan sejenisnya.
Demikian juga ayah yang masih kafir dan orangorang yang sejenisnya seperti saudara yang masih
musyrik.
2. Seorang muslim berhati-hati dalam masalah
agamanya, sebagaimana kehati-hatian Asma’
dalam masalah agamanya. Ia tidak menjalin
hubungan dengan ibunya yang masih musyrik
kecuali setelah mendapatkan izin dari Rasulullah
saw.
Hubungan dengan Saudara yang masih musyrik
‫ار َعنْ ا ْب ِن ُع َم َر َرضِ َي ه‬
‫َّللا ُ َع ْن ُه َما َقال َ َرأَى ُع َم ُر ُحله ًة َعلَى َر ُج ٍل‬
ِ ‫عن َع ْب ِد ه‬
ٍ ‫َّللا ْبنُ دِي َن‬
‫صلهى ه‬
‫سله َم ا ْب َت ْع َه ِذ ِه ا ْل ُحله َة َت ْل َب ْس َها َي ْو َم ا ْل ُج ُم َع ِة َوإِ َذا‬
َ ‫َّللاُ َعلَ ْي ِه َو‬
َ ‫ُت َبا ُع َف َقال َ لِل هن ِب ِّي‬
‫صلهى‬
ِ ‫سول ُ ه‬
َ ‫َّللا‬
ُ ‫س َه َذا َمنْ ََل َخ ََل َق لَ ُه فِي ْاْلخ َِر ِة َفأُت َِي َر‬
ُ ‫اء َك ا ْل َو ْف ُد َف َقال َ إِ هن َما َي ْل َب‬
َ ‫َج‬
‫ه‬
ْ‫س َها َو َقد‬
ُ ‫ف أَ ْل َب‬
َ ‫سل َ إِلَى ُع َم َر ِم ْن َها ِب ُحله ٍة َف َقال َ ُع َم ُر َك ْي‬
َ ‫سله َم ِم ْن َها ِب ُحلَ ٍل َفأ َ ْر‬
َ ‫َّللا ُ َعلَ ْي ِه َو‬
‫سل َ ِب َها ُع َم ُر‬
َ ‫سوهَا َفأ َ ْر‬
ُ ‫س َها َت ِبي ُع َها أَ ْو َت ْك‬
َ ‫س َك َها لِ َت ْل َب‬
ُ ‫قُ ْل َت فِي َها َما قُ ْل َت َقال َ إِ ِّني لَ ْم أَ ْك‬
َ
.‫خ لَ ُه مِنْ أَهْ ِل َم هك َة َق ْبل َ أَنْ ُي ْسلِ َم‬
ٍ ‫إِلَى أ‬
Dari Abdullah bin Dinar ra berkata: Aku mendengar Ibnu Umar ra berkata: Umar melihat hullah
saira’ (jaket bergaris-garis terbuat dari sutera) yang dijual. Lalu berkata: Ya Rasulullah, belilah jaket
ini dan pakailah di hari jum’at, dan jika ada tamu”. Rasulullah saw menjawab: Sesungguhnya yang
memakainya adalah orang yang tidak mendapatkan bagian di akhirat. Lalu dibawakanlah untuk
Rasulullah saw beberapa jaket, termasuk jaket hullah saira’ tadi. Maka Rasulullah berikan kepada
Umar. Umar bertanya: Bagaimana saya memakainya? Sedangkan Engkau telah mengatakan
seperti yang pernah Engkau katakan? Jawab Rasulullah: Sesungguhnya aku memberikannya tidak
untuk kamu kenakan, akan tetapi untuk kamu jual, atau kamu berikan kepada orang lain. Maka
Umar kirimkan jaket itu kepada saudaranya yang ada di Makkah yang masih belum masuk Islam.
(Al-Bukhari).
Penjelasan hadits
" ‫ار‬
ٍ ‫" َعنْ َعبْد هللا بْن د ْي َن‬Abdullan bin Dinar, Al Madani adalah mantan budak Abdullah bin Umar.
Umar bin Al Khaththab melihat kata hullah digabungkan dengan kata saira, ada yang
meriwayatkannya dengan membaca tanwin kata hullah. Saira’ adalah sejenis mantel dingin
bergaris-garis terbuat dari sutera.
" ‫ " َمنْ الَ َخالَ َق لَ ُه‬Orang yang tidak memiliki agama, atau tidak memiliki bagian di akhirat. Hal
ini jika ia menganggapnya halal. Atau kalimat ini untuk memberatkan hukumnya.
‫ َفأ َت َى ال هن ِبي‬Hamzah dibaca dhammah, tak bertitik dua di atas di baca kasrah.
Lalu Rasulullah saw mengirimkan jaket itu kepada Umar. Umar bertanya: Bagaimana
memakainya, sedangkan Rasulullah telah mengatakan bahwa pemakainya tidak memiliki bagian
agama, atau bagian di akhirat.
، ‫س ْوهَا " أَ ْي ُت ْعطِ ْي َها َغ ْي َر َك‬
ُ ‫ َولَكِنْ لِ َتبِ ْي َع َها " َف َت ْن َتف ُِع بِ َث َمنِ َها " أَ ْو َت ْك‬، ‫س َها‬
َ ِ‫السَلَ ُم " إِ ِّن ْي لَ ْم أ ُ ْعطِ ُك َها لِ َت ْلب‬
‫الصَلَةُ َو ه‬
‫" َقال َ " َعلَ ْي ِه ه‬
، ِ‫ َوا ْل َح ِر ْي ُر َحَلَل ٌ لِل ِّنسَاء‬. ‫ إِ َذا َكانَ َيحِل لَ ُه َذلِ َك‬، ‫س َها‬
ُ ِ‫َف َي ْلب‬
Rasulullah saw bersabda: sesungguhnya aku memberikannya tidak untuk kami pakai, akan
tetapi agar kamu jual sehingga mendapatkan uangnya, atau kamu berikan kepada orang lain,
yang boleh mengenakannya. Karena sutera itu halal bagi wanita.
Kemudian Umar mengirimkannya kepada saudaranya –seibu yang bernama Utsman bin
Hakim,- ibunya adalah Asma’ bin Wahb, agar ia jual atau dikenakan bagi isterinya, atau Utsman
yang disebutkan itu masih berada di Mekkah dan belum masuk Islam.
Hadits ini dapat diambil pelajaran tentang diperbolehkannya
berhubungan dengan suadara yang masih musyrik.
Orang yang lebih berhak mendapatkan kebaikan
‫صلهى ه‬
‫ول ه‬
‫ض اي ه‬
ُ ‫َّللاُ اع ْنهُ قاا ال اجا اء ار ُج ٌل ِِلاى ار‬
‫َّللاِ ا‬
ِ ‫اعنْ أابِي ُه ار ْي ارةا ار‬
ُ‫َّللا‬
ِ ‫س‬
‫سو ال ه‬
‫ص اِاباتِي قاا ال‬
ُّ ‫َّللاِ امنْ أا اح‬
ْ ُِ ِ‫س ب‬
ُ ‫سله ام فاقاا ال ياا ار‬
‫س ِن ا‬
‫اعلا ْْ ِه او ا‬
ِ ‫ق النها‬
‫أُ ُّم اك قاا ال ثُ هم امنْ قاا ال ثُ هم أُ ُّم اك قاا ال ثُ هم امنْ قاا ال ثُ هم أُ ُّم اك قاا ال ثُ هم امنْ قاا ال ثُ هم‬
‫أابُو اك‬
Dari Abu Hurairah ra berkata: Ada seseorang yang
datang menghadap Rasulullah dan bertanya: Ya
Rasulullah, siapakah orang yang lebih berhak dengan
kebaikanku? Jawab Rasulullah: Ibumu. Ia bertanya lagi:
Lalu siapa? Jawabnya: Ibumu. Ia bertanya lagi: Lalu
siapa? Jawabnya: Ibumu. Ia bertanya lagi: Lalu siapa?
Jawabnya: Ayahmu. (Al Bukhari, Muslim, dan Ibnu
Majah).
Penjelasan:
Ada seseorang yang datang, disebutkan namanya Muawiyah bin
Haydah ra, bertanya:
:‫ي‬
ْ ِ‫ص َحابَت‬
َ ‫ْن‬
ِ ‫اس بِ ُحس‬
ِ ‫ َم ْن أَ َحق النه‬، ِ‫َّللا‬
Ya Rasulullah, siapakah orang yang lebih berhak dengan
‫يَا َرس ُْو َل‬
kebaikanku? Kata ُ‫َوالصحْ بَة‬
‫ ال ه‬adalah dua kata masdar
، ُ‫ص َحابَة‬
yang memiliki satu makna yaitu: ُ‫حبَة‬
َ ‫صا‬
َ ‫ ْال ُم‬persahabatan.
Jawab Rasulullah saw: ‫ك‬
‫ أُ ُّم ا‬ibumu.
Dengan diulang tiga kali pertanyaan dan jawaban ini
menunjukkan bahwa ibu lebih berhak atas anaknya
dengan bagian yang lebih lengkap, seperti al bir
/kebajikan, ihsan/pelayanan.
Ibnu Al Baththal mengatakan:
ً‫ث ام هرة‬
‫ ِم ان ا ْلبِ ِّر فاقا ْد اذ اك ار األا ا‬: ‫ب‬
ِ ‫ب فِي ا ْل اِ ِد ْي‬
ِ ‫ال اما لِألا‬
ٍ ‫أانْ يا ُك ْو ان لا اها ثاالاثاةا أا ْمثا‬
‫ فا اه ِذ ِه‬، ‫ع‬
ُ ‫ضا‬
ْ ‫ ثُ هم ا ْل او‬، ‫ص ُع ْوبا ِة ا ْل اِ ْم ِل‬
ُ ِ‫ او اكأانه اذلِكا ل‬، ً‫اح ادة‬
‫ ثُ هم ال هر ا‬، ‫ض ُع‬
ِ ‫او‬
. ‫ب فِي الته ْربِْا ِة‬
ْ ‫ اوتا‬، ‫األُ ُم ْو ُر الثهالاثاةُ تا ْنفا ِر ُد بِ اها األُ ُّم‬
ُ ‫ااركا األا‬
‫ ثُ هم تاش ا‬، ‫شقاى بِ اها‬
Bahwa ibu memiliki tiga kali hak lebih banyak daripada ayahnya.
Karena kata ”ayah” dalam hadits disebutkan sekali sedangkan
kata ”ibu” diulang sampai tiga kali. Hal ini bisa difahami dari
kerepotan ketika hamil, melahirkan, menyusui. Tiga hal ini hanya
bisa dikerjakan oleh ibu, dengan berbagai penderitaannya,
kemudian ayah menyertainya dalam tarbiyah, pembinaan dan
pengasuhan. Hal ini diisyaratkan pula dalam firman Allah:
‫ان بِ اوالِ اد ْي ِه اح املا ْتهُ أُ ُّمهُ او ْهنًا اعلاى اوه ٍْن‬
‫س ا‬
‫او او ه‬
‫اْل ْن ا‬
ِ ْ ‫ص ْْناا‬
‫صْ ُر‬
ْ ‫صالُهُ فِي اعا ام ْْ ِن أا ِن ا‬
‫اوفِ ا‬
ِ ‫ش ُك ْر لِي اولِ اوالِ اد ْي اك ِِلا هي ا ْل ام‬
“Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada
dua orang ibu- bapanya; ibunya Telah mengandungnya dalam
keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya
dalam dua tahun. bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang
ibu bapakmu, Hanya kepada-Kulah kembalimu”. (Luqman:14)
Allah swt menyamakan keduanya dalam berwasiat, namun
mengkhususkan ibu dengan tiga hal yang telah disebutkan
diatas.
Imam Ahmad dan Al Bukhari meriwayatkan dalam Al Adabul Mufrad,
demikian juga Ibnu Majah, Al Hakim, dan menshahihkannya dari Al Miqdam
bin Ma’di Kariba, bahwa Rasulullah saw bersabda:
‫ ِِ هن ه‬،‫وصْ ُك ْم بِأ ُ هم اهاتِ ُك ْم‬
‫ ِِ هن ه‬،‫وصْ ُك ْم بِأ ُ هم اهاتِ ُك ْم‬
‫ِِ هن ه‬
ِ ُ‫َّللاا ي‬
ِ ُ‫َّللاا ي‬
‫َّللاا‬
‫ ِِ هن ه‬،‫وصْ ُك ْم بِآباائِ ُك ْم‬
.‫ب‬
ِ ‫ب فااألا ْق ار‬
ِ ‫وصْ ُك ْم بِاألا ْق ار‬
ِ ُ‫َّللاا ي‬
ِ ُ‫ي‬
Sesungguhnya Allah swt telah berwasiat kepada kalian tentang ibu
kalian, kemudian berwasiat tentang ibu kalian, kemudian berwasiat tentang
ibu kalian, kemudian berwasiat tentang ayah kalian, kemudian berwasiat
tentang kerabat dari yang terdekat.
Hal ini memberikan kesan untuk memprioritaskan kerabat yang
didekatkan dari sisi kedua orang tua daripada yang didekatkan
dengan satu sisi saja. Memprioritaskan kerabat yang ada hubungan
mahram daripada yang tidak ada hubungan mahram, kemudian
hubungan pernikahan. Ibnu Baththal menunjukkan bahwa urutan itu
tidak memungkinkan memberikan kebaikan sekaligus kepada
keseluruhan kerabat.
Dari hadits ini dapat diambil pelajaran tentang ibu yang lebih diprioritaskan dalam
berbuat kebaikan dari pada ayah. Hal ini dikuatkan oleh hadits Imam Ahmad, An
Nasa’iy, Al Hakim yang menshahihkannya, dari Aisyah ra berkata:
ُ ‫َسأ َ ْل‬
: ‫ال‬
َ َ‫اس أَ ْعظَ ُم َحقا ً َعلَى ْال َمرْ أَ ِة ؟ ق‬
َ ‫يـ‬
‫ت النهبِ ه‬
ِ ‫صلهى َّللاُ َعلَ ْي ِه َو َسله َم ـ أَي النه‬
ُ ‫ قُ ْل‬. ‫َز ْو ُجهَا‬
" ُ‫ أُمه‬: ‫ فَ َعلَى ال هرج ُِل ؟ قَا َل‬: ‫ت‬
Aku bertanya kepada Nabi Muhammad saw. Siapakah manusia yang paling berhak
atas seorang wanita? Jawabnya: Suaminya. Kalau atas laki-laki? Jawabnya: Ibunya.
Demikian juga yang diriwayatkan Al Hakim dan Abu Daud dari Amr bin Syuaib dari
ayahnya dari kakeknya, bahwa ada seorang wanita yang bertanya:
‫ اوِِنه‬، ‫ او اح اج ِري لاهُ اح اوا ٌء‬، ‫سقاا ٌء‬
‫ اك ا‬، ‫ ِِنه ا ْبنِي اه اذا‬: ِ‫س ْو ال َّللا‬
ُ ‫ياا ار‬
‫ اوثادِّي لاهُ ا‬، ‫ان با ْطنِي لاهُ ِو اعا ٌء‬
" ‫ق بِ ِه اما لا ْم تا ْن اك ِِ ْي‬
ٌّ ‫ أا ْنتا أا اح‬: ‫ فاقاا ال‬: ‫ اوأا ارا اد أا ٍن يا ْن ِز اعهُ ِم ان ِِي‬، ‫أابااهُ طالهقانِي‬
Ya Rasulullah, sesungguhnya anak laki-lakiku ini, perutku pernah menjadi
tempatnya, air susuku pernah menjadi minumannya, pangkuanku pernah menjadi
pelipurnya. Dan sesungguhnya ayahnya menceraikanku, dan hendak mencabutnya
dariku. Rasulullah saw bersabda: Kamu lebih berhak daripada ayahnya, selama kamu
belum menikah.
Maksudnya menikah dengan lelaki lain, bukan ayahnya, maka wanita itu yang
meneruskan pengasuhannya, karena ialah yang lebih spesifik dengan anaknya, lebih
berhak baginya karena kekhususannya ketika hamil, melahirkan dan menyusui.