Gedung Kematianpp

Download Report

Transcript Gedung Kematianpp

Gedung Kematian
@hadiyahmarowati
Aku melihatnya, gedung itu muncul. Di seberang perlintasan kereta tanpa palang pintu, bangunan megah itu
menampakan diri. Aku berlari menyongsong kereta api yang akan mengantarku ke sana. Harus bergegas karena pintu
gedung hanya terbuka sesaat ketika kereta menyambar tubuhku. Dan setelah itu aku akan berkumpul kembali dengan
penghuni gedung itu.
“Candra, awas!” Puput memekik sambil menarik tubuhku menjauh dari rel.
Kereta api melintas. Telingaku nyaris tuli dihajar deru kereta api. Puput mengagalkan usahaku untuk pulang.
Puput menamparku. “Bodoh! Apa yang kau lakukan? Mau Mati? Lalu gimana nasibku?” gadis itu menangis.
“Kau yang membawaku ke sini. Teganya kau lari dari tanggung jawab!”
“Aku tak pernah mengajakmu. Kamu yang nekat ikut bersamaku. Kamu mempersulitku,” sahutku.
“Kau menyalahkanku? Ya, aku memang bersalah. Kesalahanku adalah mencintaimu, cowok cengeng!”
***
selanjutnya
Kembali
Aku mengajak Puput ke rumah lama. Rumah kosong yang hanya sesekali dibersihkan oleh
Pak Amat, tukang kebun kami. Bangunan tua tipe gudang dengan dua kamar tidur, ruang tamu,
dapur dan kamar mandi. Dilengkapi loteng untuk menjemur pakaian. Rumah kecil yang
terabaikan.
“Ini rumahmu? Kok sepi, keluargamu mana?” tanya Puput sambil celingukan mengamati
kondisi rumah.
“Sedang menginap di rumah kerabat,” sahutku. “Kamu tidur di kamar ini saja, kamar
adikku,” kubukakan pintu kamar depan.
Puput menurut. Ia meletakkan tasnya di lantai. Mengambil kelut(sapu lidi kecil) di sisi
ranjang dan mennyeblak kasur sebelum merebahkan diri di ranjang.
“Nyamankan dirimu, aku beli makanan dulu,” pamitku.
“Jangan lama-lama,” sahut Puput.
Aku mengangguk. Aku keluar membeli nasi rames dan cemilan di warung yang berjarak 50
meter dari rumah.
“Tadi itu pacarmu, Ndra? Kok malah diajak kesini, nggak dibawa ke rumah besar?” tanya
Darmi, pemilik warung. Ada nada sindiran yang menyentil telingaku.
“Teman kuliah, Budhe. Lebih nyaman di sini, hawanya adem.”
Selanjutnya
Kembali
“Syukurlah, masih ada kamu yang waras dari keluargamu. Lainnya itu lho gila harta semua.
Mentang-mentang kaya terus lupa diri. Nggak eling asal muasalnya,” celoteh Darmi membuat
telingaku memerah.
Usai membayar, aku bergegas pulang. Tak tahan mendengar celotehan perempuan bawel itu.
Nanti malam akan kukirim oleh-oleh sebagai ganjaran kebawelannya.
***
Pintu kamar Puput tertutup tapi tak di kunci. Aku mengintip dari lubang kunci. Terlihat
Puput sedang terlelap. Ada sesosok mahluk berambut hitam panjang sedang berbisik di telingga
Puput.
Puput mengeliat merasakan hembusan angin di telinganya. Ia masih terpejam.
Kudorong pintu perlahan agar Puput tak terbangun. Kuhampiri sosok itu, kubelai rambutnya
dengan lembut. Sosok itu berupa kepala sebatas leher, berwajah gadis kecil nan cantik. Wajah
adikku.
“Tenanglah, takkan ada yang menganggumu…” bisik makhluk itu di telinga Puput.
“Ada tugas untukmu,” kataku lirih. Kudekatkan bungkusan nasi rames ke hidungnya.
Selanjutnya
kembali
Makhluk itu mengangguk. Ia menyeringai, memahami maksudku. Ia melayang di dekat
wajah Puput dan mengecup keningnya.
Puput terjaga seketika. Ia menjerit ketakutan. Berusaha menepis makhluk mengerikan di
hadapannya.
“Tenang, aku ada di sini. Apa yang membuatmu takut?” aku membenamkan wajah Puput di
dadaku. Kasihan juga membuatnya ketakutan seperti ini. Tapi tak terpikirkan cara lain untuk
memperkenalkan Puput dengan adikku.
“Aku takut, Candra. Tadi ada hantu…” Puput terisak.
“Tenanglah, kamu cuma bermimpi,” kuelus rambut hingga punggungnya agar ia lebih tenang.
“Sekarang, kita makan dulu. Seharian perutmu belum terisi.”
***
Kegelapan telah menjemput. Puput telah terlelap dalam selimut malam. Obat tidur yang
kularutkan dalam minumannya akan mengantarnya ke alam mimpi. Aku tak ingin kesenanganku
malam ini terusik olehnya, maka kukunci kamarnya dari luar.
Kesenanganku telah dimulai. Aku duduk bersila di lantai. Merapal mantra. Melalui mata
adikku, aku melihat perempuan bawel itu sedang menghitung uangnya. Lumayan banyak juga
jumlahnya.
Selanjutnya
kembali
Darmi menjerit ketika adikku mendekat. Ia ketakutan melihat sosok “gundul pringis” alias
kepala tanpa badan menghampirinya. Ia jatuh pingsan.
Gigi-gigi adikku serupa taring semua. Tajam mengoyak leher Darmi. Cairan merah muncrat
membasahi wajah dan rambutnya. Ia menghisap darah yang bercucuran di leher Darmi. Ia beralih
menggerogoti lengan Darmi. Mengunyah daging dan jemari Darmi. Pipinya menggembung.
Muncul tembolok di lehernya.
“Cukup, Dik. Pulanglah,” panggilku lirih.
Adikku melayang di udara. Melesat melintasi pekarangan dan masuk melalui jendela kamar.
Ia meringis memamerkan giginya yang tajam berlumuran darah.
“Sudah kenyang?” tanyaku.
Adikku menggeleng. Ia menjulurkan lidah menjilati darah yang menempel di wajahnya.
Lidahnya memanjang hingga sanggup membersihkan darah di seluruh wajah dan rambutnya. Bau
amis masih menguar darinya.
“Tunggu,” kutarik rambut adikku sebelum ia keluar kamar.
Ia menoleh. “Aku masih lapar,” katanya lirih.
“Jangan malam ini, aku masih ingin bersamanya. Istirahatlah,” kuraih kuali di bawah ranjang
lalu perlahan kumasukkan adikku ke dalam kuali dan menutupnya.
***
Selanjutnya
kembali
Ada resah yang menyusup. Tak biasanya aku dilanda kebimbangan seperti ini. Ini
pertamakalinya aku tak rela menyerahkan gadis pilihanku pada adikku. Tapi aku juga tak tega
membuat adikku kelaparan.
Kukunci pintu kamarku. Lalu masuk ke kamar Puput. Aku harus membawanya pergi sebelum
semuanya terlambat.
“Put, bangun! Kita harus berangkat sekarang,” kuguncangkan tubuh Puput.
“Kemana? Aku masih ngantuk,” sahut Puput dengan mata setengah terpejam. Suaranya
seperti orang mengigau. Ia kembali tertidur pulas.
Kutarik selendang yang menyelimuti Puput. Tak ada waktu lagi bila menunggu Puput
terbangun. Kugunakan selendang itu untuk menggendong Puput.
“Prakk!” terdengar suara gerabah pecah dari dalam kamarku. Gawat, aku ketahuan adikku.
Aku berlari sambil menggendong Puput di punggungku. Aku akan mengantarnya pulang ke
rumahnya secepatnya. Kupercepat lariku saat mendengar suara kaca jendela pecah. Harus lebih
cepat sebelum adikku menyusul.
***
Kembali ke awal