Perjalanan Karier Manusia

Download Report

Transcript Perjalanan Karier Manusia

PERJALANAN HIDUP MANUSIA :
DARI ALLAH, KEMBALI KE ALLAH
WAHDAH AL-WUJUD

Islam, menurut ‘irfan, bukan hanya menekankan pada
kepercayaan kesatuan/ketunggalan Tuhan, melainkan
kesatuan/ketunggalan semua realitas (semua yang ”ada”,
wujud). Dengan kata lain, meski sama sekali tak mengurangi
sifat transendensi (tanzih) Tuhan, cara pemahaman teologis
ini juga menempatkan Tuhan sebagai tidak terpisah dari
ada-ada yang lain. Atau, tepatnya, ada-ada yang lain – yang
nota-bene tercipta/bersumber/terlahir dari-Nya –
sesungguhnya adalah bagian atau manifestasi
(pengejawantahan, tajalliy) dari wujud Tuhan juga. Jadi,
selain bersifat transenden, Tuhan juga bersifat imanen
(tasybih, menyatu dengan alam – ’alam, yakni segala
sesuatu yang ”selain” Tuhan, ma siwa Allah).
WAHDAH AL-WUJUD (2)

Keseluruhan ada (wujud atau eksistensi) dan apa saja yang mengada
atau teradakan (maujud) -- merupakan ketunggalan, kesatuan. Beragam
realitas ”non-Tuhan” itu tak me-wujud sendiri melainkan “sekadar”
sebagai pengungkapan dari realitas atau wujud— Realitas atau Wujud—
tunggal. Itu semua, baik yang bersifat indrawi maupun intelektual
(noninderawi), hanyalah seperti bayangan. Yakni, sebagaimana
bayangan yang bermain dalam pikiran kita sebagai citra-kedua sebuah
objek di mata seorang yang juling. Meskipun demikian, tidak dikatakan
bahwa realitas-realitas itu semu. Semuanya itu benar-benar ada, hanya
saja keber-ada-an mereka bergantung dan meminjam dari Ada atau
Wujud-nya Tuhan. Dalam cara pemahaman seperti ini – yakni dalam
sifat-gandanya sebagai Tunggal, Yang Melahirkan yang majemuk -Tuhan disebut sebagai Yang Tunggal/Yang Majemuk (Al-Wahid Al-Katsir).
WAHDAH AL-WUJUD (3)

Wujud tak hanya berarti “ber-ada”, melainkan juga “menemukan”
dan “ditemukan” – sebagaimana arti-asli kata ini. Dengan kata lain,
wujud menampilkan bukan hanya eksistensi, melainkan juga
kesadaran-diri. Ia ”sadar” tentang diri dan apa-apa yang ada di
sekitarnya). Nah, dalam menyadari dirinya sendiri Ia memahami
kemungkinan-kemungkinan yang tak terbatas dan sempurna
mengenai dirinya sendiri. Maka, lahirlah dari kesadaran diri Wujud
Ketuhanan akan Diri-Nya sendiri ini pengungkapan-pengungkapan
dalam berbagai modus, yang bukan hanya beragam, melainkan juga
bertingkat-tingkat, meski tetap dalam matriks suatu wujud tunggal.
Inilah yang disebut sebagai tajally (pengejawantahan), yang paralel
dengan emanasi (luberan) Tuhan dalam filsafat.
WAHDAH AL-WUJUD (4)

Wujud bisa dianalogikan dengan cahaya, sementara maujud-maujud
(segala sesuatu yang terwujud) analog dengan warna yang spesifik
dan khas. Meski termanifestasi dalam suatu spektrum warna, wujud
sesungguhnya tunggal. Setiap warna tak memiliki eksistensi tanpa
adanya cahaya tapi, pada saat yang sama, realitas masing-masing
warna tak kemudian hilang oleh kenyataan bahwa warna-warna itu
merupakan unsur-unsur suatu cahaya tunggal. Demikian pula, meski
setiap warna identik dengan cahaya, tapi cahaya tetap saja bersifat
khas dan tak bisa dibandingkan dengan masing-masing warna,
bahkan dengan jumlah total warna-warna. Dengan demikian, segala
sesuatu identik dengan Wujud dan sekaligus berbeda dengannya.
Tuhan mengejawantah di alam dan dalam diri manusia, tapi Tuhan
tak identik dengan alam, dan manusia bukanlah Tuhan. Alam dan
Manusia mengambil bagian dalam Wujud Tuhan, tapi manusia dan
alam bukanlah Tuhan.
WAHDAH AL-WUJUD (5)

Adalah keterbatasan kemampuan penampakan
(persepsi) yang membuatnya gagal untuk melihat
ketunggalan wujud ini. Kenyataannya, jika
seseorang telah dapat mencapai maqâm (tataran)
spiritual tertentu dalam kehidupan spiritualnya,
maka ia akan bisa melihat betapa—meski, dilihat
dari satu sisi, Wujud Allah berbeda dari wujudwujud maujud (selain) Allah, di lain sisi,
sesungguhnya keseluruhan wujud adalah bersifat
Tunggal.
BEBERAPA PERUMPAMAAN

Huruf-huruf yang ditulis oleh tinta pada hakikatnya
tak pernah wujud sebagai huruf-huruf. Karena
huruf pada hakikatnya adalah berbagai bentuk
dari (adanya) tinta yang dibentuk berdasarkan kesepakatan. Keberadaan huruf-huruf itu pada
hakikatnya tak lain dan tak bukan adalah
keberadaan tinta. Cara melihat yang benar
adalah, pertama, melihat keberadaan tinta di
semua huruf itu dan, kemudian, melihat hurufhuruf itu sebagai berbagai modifikasi (perubahan
bentuk) dari tinta yang dipakai.
BEBERAPA PERUMPAMAAN (2)

Samudra, selama ia adalah samudra, tak pernah dapat
memisahkan-diri dari gelombang-gelombang. Tak pula
gelombang bisa memisahkan diri dari samudra.
Gelombang—sesungguhnya juga sungai—tak lain adalah
“pengungkapan” samudra ke dalam bentuk gelombang dan
sungai. Selanjutnya, bisa dikatakan bahwa gelombanggelombang dan sungai-sungai bukanlah samudra, tapi di sisi
lain kesemuanya itu sesungguhnya satu saja, yakni
samudra. “Samudra,” kata ‘Amuli, “jika ditetapkan
(bentuknya) sebagai gelombang, disebut gelombang. Jika
ditetapkan dalam bentuk sungai, ia menjadi sungai. Dengan
cara yang sama, samudra bisa disebut sebagai salju, hujan,
es, dan sebagainya. Tapi dalam hakikatnya, sama sekali tak
ada sesuatu yang lain kecuali samudra.
HIRARKI ALAM
Martabat Dzat al-Wujud atau Ghayb al-Ghuyub
Misteri Mutlak) .
I
 Martabat Ahadiyah (Martabat al-Kanz) (Ruhani-Tunggal)
I
Martabat Wahidiyah (Martabat Asma’ dan Sifat/al-a’yan al-tsabitah)
(Ruhani-Majemuk)
I
 Alam Mitsal (Alam Khayal/Alam Barzakh)
(Antara Ruhani dan Material-Majemuk)
I
 Alam Syahadah (Empiris)
(Materi-Majemuk)


SIMBOL HIRARKI ALAM
DASAR-DASAR NAQLI







Tiada tuhan (wujud) kecuali Tuhan/Allah (Wujud)
(Syahadat)
Katakan : “Tuhan itu Ahad (QS. 112 : 1)
Dia yang Pertama dan Terakhir, Dia yang Lahir dan
Yang Batin (57 :3)
Tak ada sesuatu yang menyamai-Nya (42:11)
Tuhan adalah Cahaya Langit dan Bumi (24:35)
Dia lebih dekat kepadamu dari urat lehermu (50 : 16)
Dia selalu bersamamu di mana pun kamu berada (5 :4)




Karier manusia sesungguhnya adalah menempuh dua busur
turun naik. Busur turun (al-qaws al-nuzul) adalah busur
penciptaan melalui berbagai tingkatan wujud tersebutg di
atas. Sementara busur naik adalah tasawuf : yakni
perjalanan kembali kepada Allah melalui penanaman akhlak
Allah di dalam diri kita.
Inilah, menurut sebagian ‘arif, yang dirujuk al-Qur’an dalam
ayat (yang biasa dikaitkan dengan peristiwa mi’raj) berikut
ini :
Thumma danā fatadallā fakāna qāba qawsayni aw adnā”
“Dia (Allah) makin dekat kepadanya (Muhammad saw.), dan
makin dekat lagi. Dan dia pun mendekat hingga sejarak dua
busur (qaba qawsayn), atau lebih dekat lagi.” (QS.
BUSUR TURUN, BUSUR NAIK
TASAWUF

Tasawuf berarti “(proses) mengaktualkan potensi akhlak
Allah yang ada di dalam diri kita, dan menjadikannya
akhlak kita” (al-takhalluq bi akhlaq Allah). Sebuah
definisi yang ringkas dan simple, tapi dibaliknya
terkandung pemikiran yang sangat mendalam. Dan ini
terkait dengan gagasan tentang manusia – bahkan
alam semesta – sebagai tajally (pancaran, manifestasi)
Allah Swt. Yakni, manusia sebagai pembawa ruh-Nya,
yang dicipta atas fitrah keilahian. Dengan demikian,
kepenuhan dan kebahagiaan hidupnya -- bukan hanya
di akhirat, melainkan juga dunia -- tergantung pada
keberhasilannya mengaktualkan potensi keilahian-Nya
itu.
TASAWUF (2)

Berakhlak dengan akhlak Allah identik dengan
menanamkan asma’/sifat-Nya di dalam diri kita. Dengan
kata lain, menjadikan akhlak kita berakar pada akhlak-Nya.
Ibn ‘Arabi segera melihat bahwa kesamaan kata dasar khulq
(bentuk tunggal akhlaq) dengan kata khalq (ciptaan)
menunjukkan bahwa sesungguhnya potensi akhlak Tuhan
sudah tertanam dan menjadi bawaan (fitrah/khalq) manusia
– betapa pun masih potensial. Syaikh menyebutnya sebagai
kesiapan (jibillah, disposisi). “Dan hadapkanlah wajahmu
dengan hanif kepada al-din (cara hidup Islam). Fitrah Allah
yang atasnya dia diciptakan (fithrah Allah fathara al-nas
‘alay-ha). Tak ada perubahan dalam ciptaan (khalq) Allah.
(QS. : ). (Proses) menuju hidup berakhlak dengan akhlak
Allah, itulah tasawuf,
TASAWUF (3)

Jika dikelompokkan, Allah memiliki asma’ yang termasuk dalam
kelompok asma’ jalaliyah (nama-nama yang mencerminkan
kedahsyatannya yang menggentarkan, tremendum) dan kelompok
asma’ jamaliyah (nama-nama yang mencerminkan keindahan dan
kelembutannya yang memesonakan, fascinans). Manusia harus
mampu menanamkan semuanya itu di dalam dirinya, dalam
kombinasi yang lengkap dan utuh. Mengambilnya secara parsial dan
tidak seimbang akan justru menjadikan akhlak yang berkembang
bersifat madzmumah (akhlak yang buruk), bukan justru al-akhlaq alkarimah (akhlak mulia) yang dianjurkan. Kombinasi utuh-menyeluruh
dan seimbang ini diwakili oleh nama “Allah” sebagai namapenghimpun (al-ism al-jami’) semua nama Allah yang tak terbatas
itu.Dan, sebaliknya. Nah, melanjutkan tamsil warna di atas,
berakhlak dengan akhlak Allah sama dengan menanamkan akhlak
Allah itu dalam kombinasi yang utuh dan pas sehingga unsur-unsur
akhlak itu menghasilkan warna cahaya putih yang seimbang.
TASAWUF (4)

Kombinasi seimbang dari berbagai asma’ Allah itu tidak
bersifat netral – yakni gabungan dari yang jamaliyat dan
jalaliyat, atau seluruh spektrum-warna sifat-Nya dengan
sama kuat – melainkan sebagai didominasi dengan yang
jamaliyat. Terkait dengan ini Sang Syaikh merujuk pada
berbagai ayat al-Qur’an yang bermakna seperti ini, termasuk
: “Kasih-sayangnya meliputi segala sesuatu.” Juga hadis
qudsi yang berbunyi “ Kasih-sayang-Ku mendominasi murkaKu”. Dengan demikian, menanamkan akhlak Allah identik
dengan menanamkan sifat cinta di dalam diri kita dan
menjadikannya sumber bagi setiap tindakan kita, baik
dalam berinteraksi dengan Allah, manusia, maupun alam
semesta selebihnya.
TASAWUF (5)

Dengan kata lain, bertasawuf adalah berjalan kembali
kepada Allah. Dari Allah, kembali kepada Allah. Innaa lilLah wa innaa ilay-Hi raji’un. Kita adalah milik Allah, dan
kepadanya kita kembali. Dari awal (mabda’) yang
bersifat ruhani-keilahian, kembali kepada akhir/tempat
kembali (ma’ad) yang bersifat ruhani-keilahian pula.
Tasawuf adalah mendaki busur naik (qaws al-su’ud)
kepada Allah, setelah sebelumnya kita memancar dari
Allah melalui busur turun (qaws al-nuzul). Pendakian
dilakukan dengan menanamkan akhlak Allah secara
seimbang, yang secara keseluruhannya tertaklukkan
atas sifat kasih-sayang.