Clostridial.kuliah 3pptx

Download Report

Transcript Clostridial.kuliah 3pptx

Drh. Maxs U.E. Sanam, M.Sc.
Drh. Hembang MP

Kuman Clostridium berbentuk batang, ukuran cukup besar,
ber-spora, gram-positif

Ditemukan sebagai sel-sel vegetatif yang hidup atau
sebagai spora yang dorman

Habitat alami adalah tanah dan saluran intestinum hewan
dan manusia

Spora dorman pernah ditemukan pada otot kuda dan sapi

Bentuk vegetatif di dalam cairan jaringan dari hewan
terinfeksi berada dalam bentuk tunggal, atau berpasangan,
namun jarang membentuk rantai

Endospora berbentuk oval kadang sferikal, dan terletak di
tengah (sentral), subterminal, atau terminal dari sel
vegetatif.

Diferensiasi berbagai species patogen kuman clostridial
didasarkan pada karakteristik kultur, bentuk dan posisi
spora, reaksi-reaksi biokimiawi, dan spesifisitas antigenik
dari toksin atau antigen permukaan
Clostridium pefringens
C tetani, spora di bagian ujung sel
vegetatif
Clostridium difficile, Spora di tengah
atau di subterminal sel vegetatif
 Strain-strain
patogenik ataupun toksinnya
masuk ke dalam tubuh hewan melalui
kontaminasi luka ataupun ingesti
 Penyakit-penyakit klostridial dikelompokkan ke
dalam 2 kategori:

1. Kelompok penyakit dimana kumannya secara aktif
menginvasi ataupun spora lokal yang dorman
teraktivasi dan menggandakan diri di dalam jaringan
hospes lalu menghasilkan toksin dan meningkatkan
penyebaran infeksi (kelompok gangren gas)

2. Kelompok yang menimbulkan toksemia yang
terjadi akibat absorbsi toksin yang diproduksi oleh
kuman di dalam sistem pencernaan
(enterotoksemia), di dalam jaringan (tetanus), atau
di dalam makanan (botulismus)
 Blackleg
adalah penyakit akut pada sapi dan
domba yang disebabkan oleh Clostridium
chauvoei ditandai dengan pembengkakan
emfisematosa, biasanya pada otot-otot berat
(myositis clostridial).
 Penyakit
ditemukan di seluruh dunia.
Etiologi

Normal ditemukan di dalam saluran pencernaan hewan.
Spora berada di tanah dan bertahan hidup selama
bertahun-tahun dan menjadi sumber infeksi

Wabah muncul menyusul pembongkaran tanah ataupun
banjir

Kuman mungkin teringesti, melewati dinding saluran GI,
dan masuk ke dalam darah dan akhirnya terdeposit di
dalam otot dan jaringan lain (limpa, hati, dan saluran
pencernaan) dan bertahan dorman di sana.

Pada sapi, infeksi blacklag bersifat endogenous, berbeda
dengan malignant edema

Lesi muncul & berkembang tanpa ada riwayat luka. Sapi
yang terinfeksi umumnya jenis sapi potong, dan memiliki
pertumbuhan BB yang bagus. Umumnya sapi muda
berumur 6-24 bulan, namun sapi muda (6 minggu)
maupun sapi tua (10-12 tahun) juga dapat terinfeksi
 Pada
domba, penyakit biasanya terjadi akibat
adanya infeksi luka trauma ataupun menyusul
tindakan kastrasi, luka pencukuran bulu,
pemotongan ekor.
 CFR
(case fatality rate) mencapai 100%. Di New
Zealand lebih banyak ditemukan blacklag pada
domba dibanding sapi
Gejala Klinis

Onsetnya biasa cepat, beberapa sapi ditemukan mati tanpa
tanda atau gejala klinis

Kepincangan hebat yang akut dan depresi berat umum terlihat

Awalnya, demam namun ketika gejala klinis semakin jelas,
suhu tubuh menjadi normal ataupun subnormal

Pembengkakan edematous yang khas terjadi di daerah pinggul,
bahu, dada, punggung, leher, atau tempat lain.

Mulanya berukuran kecil, panas, dan sakit. Namun ketika
berlanjut akan membasar teraba krepitasi dan kulit dingin dan
insensitif karena menurunnya suplai darah ke daerah tsb.

Gejala umum meliputi lesu dan tremor. Kematian terjadi
dalam 12 – 48 jam

Pada beberapa sapi, lesi terbatas pada myocardium dan
diafragma
Diagnosis

Penyakit fatal yang berjalan secara cepat yang terjadi
pada sapi yang dalam keadaan score tubuh baik,
terutama sapi potong, menderita pembengkakan
kresipitasi pada otot-otot berat mengindikasikan blacklag

Otot yang terserang berwarna merah gelap hingga hitam,
kering, dan berbusa. Otot memiliki bau agak khas,
terinfiltrasi oleh gelembung udara dan sedikit edema

Kadang perubahan jaringan yang disebabkan oleh
C septicum, C novyi, C sordellii, dan C perfringens
menyerupai blacklag

Diagnosis lapangan diteguhkan dengan menemukan
C chauvoei di dalam otot

Sampel otot supaya diambil sesegera mungkin setelah
hewan mati.

Fluorescent antibody test (FAT) merupakan uji yang cepat
untuk mendeteksi adanya C chauvoei
Kontrol

Vaksin multivalen yang mengandung antigen C chauvoei,
C septicum, C novyi sudah tersedia dan aman digunakan
untuk sapi dan domba

Pedet umur 3-6 bulan harus divaskinasi 2 kali, dengan
interval 4 minggu, diikuti dengan booster tahunan

Pada keadaan wabah, semua hewan peka harus
divaksinasi dan disuntik penicillin (10.000 IU/kg IM) untuk
mencegah munculnya kasus baru setidaknya untuk
selama 14 hari

Sapi harus dipindahkan dari padang yang terinfeksi

Domba induk harus divaksinasi 2 kali 1 bulan sebelum
melahirkan dan vaksinasi tahunan

Domba muda harus divaksinasi sebelum mulai merumput

Dalam keadaan wabah, penyuntikan penicillin dianjurkan
sebagai profilaktik
 Disebut
juga infeksi Clostridium novyi, dan
black disease
 Infectious
necrotic hepatitis adalah penyakit
toksemia akut pada domba dan kadang
terjadi pada sapi dan jarang terjadi pada
babi dan kuda
Etiologi dan Patogenesis

Agen etiologik adalah C novyi tipe B. Kuman berada
di tanah dan terdeposisi di dalam usus dan liver
herbivora. Kuman bisa berada di kulit dan menjadi
sumber infeksi bagi luka

Kontaminasi fekal oleh hewan karier pada padang
rumput merupakan sumber infeksi terpenting

Kuman berproliferasi di daerah nekrosis pada hati.
Nekrosis disebabkan oleh migrasi cacing hati dan
menghasilkan toksin penyebab nekrosis hebat (ά
toksin)

Toksin berdaya nekrosis hebat yang lethal tsb
menimbulkan kerusakan pada parenkim hati,
memungkinkan bakteri untuk bermultiplikasi dan
menghasilkan sejumlah toksin lethal.
Gejala Klinis
 Biasanya
 Hewan
hewan mati tanpa gejala yang jelas
yang diserang berumur 2-4 tahun
 Kasus
infeksi terjadi bersamaan dengan tingginya
infeksi cacing hati
 Penyakit
lebih banyak dialami oleh domba
dewasa yang dipelihara baik
 Hewan
yang mati secara perakut dan
menunjukkan lesi tipikal saat nekropsi harus
dicurigai sebagai infectious necrotic hepatitis
Lesi

Lesi makroskopis yang paling menciri adalah adanya
foki nekrotik berwarna kuning keabuan di dalam
hati, sepanjang jejak migrasi cacing hati muda

Secara histologik: lesi pada hati mengandung
peradangan eosinofilia di bagian tengah (diinduksi
oleh cacing hati) dikelilingi oleh nekrosis koagulasi
dibagian tepi dengan netrofil.

Lesi tsb mengandung bakteri batang, gram-positif

Biasanya, terjadi ruptur yang ekstensif pada
kapiler-kapiler jaringan subkutan, menyebabkan
kulit di sekitarnya menjadi hitam (makanya disebut
“black disease”)
Kontrol
 Insiden
penyakit dapat diturunkan dengan
menurunkan populasi siput Lymnea spp, hospes
intermediat cacing hati (Fasciola sp)
 Namun,
tindakan pengendalian ini kadang tidak
praktis
 Vaksinasi
dengan toxoid presipitat alumunium
C novyi efektif mencegah infeksi
 Kontaminasi
pastura dapat diminimalisir dengan
tindakan pemusnahan bangkai yang tepat
 Penyakit
akut
 umumnya bersifat toksemia yang fatal
 Menyerang semua species dan umur hewan
 Biasanya disebabkan oleh C septicum
 Namun, infeksi campuran dengan species
clostridial lain yang berhubungan dengan
infeksi melalui luka seperti: C chauvoei, C
perfringens, C novyi, dan C sordellii juga
dapat terjadi.
Etiologi dan Patogenesis

C septicum ditemukan di tanah dan isi pencernaan hewan
di seluruh dunia

Infeksi alamiah terjadi melalui kontaminasi luka, tanah,
ataupun melalu spora yang mengalami reaktivasi

Luka yang terjadi akibat trauma, kastrasi, potong ekor,
vaksinasi yang tidak saniter, prose kelahiran yang tidak
saniter dapat memicu terjadinya infeksi

Toksin clostridial menyebabkan gejala lokal dan sistemik,
bahkan menimbulkan kematian

Eksotoksin lokal menyebabkan inflamasi berlebihan yang
menimbulkan edema berat, nekrosis, dan gangren

Faktor-faktor risiko meliputi: injeksi IM pada kuda,
pencukuran bulu, pemotongan ekor, kelahiran pada
domba, dan parturisi traumatik pada sapi, serta kastrasi
pada sapi
Gejala Klinis

Gejala-gejala umum: anoreksia, intoksikasi, dan
demam tinggi, dan juga lesi lokal terjadi dalam
6-48 jam pasca terjadinya luka/kejadian
predisposisi tersebut

Lesi lokal merupakan pembengkakan yang lunak
dan meluas secara cepat oleh karena
terdapatnya sejumlah besar eksudat yang
menginfiltrasi jaringan subkutan dan jaringan
ikat intramuskuler daerah yang terserang

Otot di daerah tersebut berwarna coklat gelap
hingga hitam. Akumulasi gas mungkin terjadi

Edema hebat pada daerah kepala dari domba
jantan dapat terjadi menyusul infeksi yang
timbul pada luka akibat perkelahian
Diagnosis

Mirip dengan blackleg

Diferensiasi berdasarkan nekropsi tidak reliable

Konfirmasi laboratorium sangat penting untuk
meneguhkan diagnosis

Kuda dan babi sangat peka terhadap malignant
edema

Diagnosa cepat dapat dilakukan dengan FAT

C septicum normal yang ada di dalam usus dapat
bermigrasi ke jaringan lain bila specimen diambil
>24 jam (False positif)

PCR dapat digunakan untuk membedakan species
clostridium lain
Kontrol

Bakterin digunakan untuk vaksinasi

C septicum biasanya dikombinasikan dengan
chauvoei, tersedia dalam bentuk multivalen

Pada daerah endemis, hewan harus divaksinasi
sebelum dikastrasi, potong tanduk, atau potong
ekor.

Pedet harus divaksinasi pada umur 2 bulan. Dua
dosis dengan interval 2-3 minggu memberikan
proteksi yang baik

Treatment dengan penicillin atau antibiotika broadspectrum dosis tinggi sangat diindikasikan terutama
pada awal penyakit
C
 Botulismus
adalah penyakit lumpuh secara
cepat yang disebabkan oleh ingesti toksin
yang diproduksi oleh Clostridium botulinum
tipe A-G
 Kuman
anaerob, berspora, berproliferasi di
dalam jaringan hewan yang mengalami
dekomposisi dan kadang-kadang pada
material tanaman.
Etiologi

Botulismus pada prinsipnya adalah suatu intoksikasi,
bukan infeksi, dan dihasilkan oleh ingesti toksin di
dalam makanan

Ada 7 tipe C botulinum, dibedakan berdasarkan
spesifitas antigenik terhadap toksin: A, B, C1, D, E, F,
dan G. Tipe A, B, dan E adalah yang paling penting
bagi orang; C1 bagi hewan, terutama bebek liar,
angsa, ayam, mink (cerpelai), sapi, dan kuda; dan D
pada sapi.

Hanya 2 wabah pada orang yang pernah dilaporkan
terjadi oleh tipe F. Sedangkan tipe G belum diketahui
efek toksisitasnya baik pada orang maupun hewan

Sumber utama toksin adalah karkas yang mulai
membusuk, ataupun bahan-bahan vegetasi seperti
rumput, hay, biji-bijian yang mulai membusuk, atau
silase yang tercemar.

Semua tipe toksin memiliki efek farmakologik sama

Seperti tetanus, toksin botulinum adalah suatu enzim
metalloprotease yang mengikat zink dan efeknya
adalah memotong protein spesifik pada vesikel
sinapsis.

Reseptor permukaan neuron motorik sangat bervariasi
dalam respon terhadap toksin botulinum. Hal ini
menjelaskan fakta adanya perbedaan species dalam
kepekaannya terhadap berbagai toksin botulinum

Tingkat insidensi botulismus pada hewan tidak
diketahui secara pasti, namun relatif rendah pada
sapi dan kuda, mungkin lebih sering pada ayam, dan
tinggi pada unggas air yang liar

Anjing, kucing, dan babi relatif resisten terhadap
semua tipe toksin botulinum ketika diberikan per oral
Gejala Klinis dan Lesi
Gejala botulismus berupa paralisis otot yang
meliputi paralisis motorik secara progresif,
gangguan penglihatan, sukar mengunyah dan
menelan, dan kelemahan progresif secara umum
 Kematian biasanya akibat paralisis otot jantung
atau otot respiratorik
 Toksin mencegah/menghambat pelepasan
asetilkolin pada ujung sambungan neuromuskuler
(neuromusculer junction)
 Tidak ada lesi histologik ataupun perubahan
makro anatomi menciri yang bisa diamati
 Perubahan patologik lebih berhubungan dengan
aksi paralitik toksin terhdap otot-otot sistem
pernafasan, dan tidak berefek pada organ lain

Hewan mungkin ditemukan mati tanpa gejala
yang jelas
 Sering kali terlihat paralisis progresif motorik
secara simetris
 Hewan terlihat sempoyongan, tremor otot, dan
tidak mampu berdiri selama lebih dari 4-5 menit
 Gejala lain berupa disfagia, konstipasi,
mydriasis, dan urinasi frekuen
 Ketika berlanjut, terjadi dyspnoe dengan kepala
dan leher yang menjulur, takikardia, dan gagal
pernafasan. Hewan mati dalam waktu 6-72 jam
setelah rebah (recumbency)
 Temuan nekropsi yang paling konsisten adalah
edema dan kongesti pulmonum, cairan
perikardial berlebihan, yang mengandung fibrin.

Diagnosis
 Paralisis
motorik dan riwayat konsumsi pakan
membantu diagnosis botulismus
 Filtrat
lambung dan usus dapat digunakan
untuk menguji toksisitas pada mencit
 Dalam
kasus toxico-infectious, organisme
mungkin dapat diisolasi dari jaringan hewan
terinfeksi
 ELISA
adalah uji yang cukup efektif dan
efisien dalam menguji sejumlah besar sampel
yang diduga mengandung toksin botulinum
Treatment
 Rumput
dan komponen pakan lain yang busuk
tidak boleh digunakan sebagai pakan
 Imunisasi
sapi dengan toksoid tipe C dan D di
Afrika Selatan dan Australia dilaporkan efektif
 Treatment
menggunakn antitoksin botulinum
tipe C pada bebek dilaporkan berhasil; namun
treatmen ini jarang diterapkan kepada sapi
 Pengobatan
dini menggunakan antitoksin B
(30.000 IU, IV) pada anak kuda sebelum hewan
rebah dilaporkan sukses
 Prognosis
biasanya buruk pada hewan yang
telah roboh (recumbency)
o
Clostridium difficile adalah bakteri batang
berukuran besar, membentuk spora, gram-positif,
dan motil
o
Bakteri ini merupakan penyebab utama colitis yang
berhubungan dengan pemakaian antibiotika tak
terkontrol pada orang
o
C difficile juga dihubungkan dengan diare yang
terjadi secara spontan pada berbagai species hewan
termasuk kuda, babi, pedet, anjing, kucing,
hamster, marmut, tikus, dan kelinci
o
C difficile menghasilkan toksin A, B, dan/atau
toksin biner CDE di dalam usus
Perhatikan hasil visualisasi gen C
difficile pada gel elektroforesis
yang sebelumnya sudah
diamplifikasi dengan PCR
PCR untuk gen Alpha (900 bp)
Lane 1 & 10 DNA Marker, Lane 2
Kontrol negatif, Lane 3 Kontrol
Positif, Lane 4-9 Isolat-isolat
yang positif C perfringens tipe A

Toksin A adalah enterotoksin yang menyebabkan
hipersekresi cairan ke dalam lumen intestinum dan
menyebabkan kerusakan jaringan

Toksin B adalah sitotoksin yang potent yang menginduksi
inflamasi dan nekrosis. Mekanisme aksi dari CDT belum
diketahui

Clostridium difficile dan C perfringens ditemukan dalam
konsentrasi rendah dalam feses hewan normal. Kedua
organisme ini dapat ditemukan di dalam tanah atau
lingkungan eksternal yang teringesti oleh hewan

C difficile dan C perfringens menyebabkan diare dan
kolik sporadik akut pada kuda

Faktor pemicu penyakit tidak diketahui dengan jelas,
namun diduga bahwa perubahan flora normal
memungkinkan multiplikasi secara berlebihan bakteri
yang kemudian menghasilkan toksin yang kemudian
menyebabkan kerusakan intestinum dan gangguan
sistemik
 Faktor
predisposisi yang diduga kuat adalah
perubahan pakan dan terapi antibiotika.
 Faktor
hospes lain yang juga menentukan
terjadinya infeksi atau tidak adalah umur,
imunitas, ada/tidaknya reseptor intestinal
untuk toksin clostridial
 Test
diagnostik untuk C difficile meliputi uji
sitotoksitas sel (cell cytotoxicity assay) dan
ELISA pada sampel feses, kultur anaerobik,
dan PCR untuk membedakan strain
toksigenik dari strain nontoksigenik

C perfringens terdistribusi secara luas di tanah
dan saluran Gastrointestina (GI) hewan dan
dicirikan oleh kemampuannya untuk
menghasilkan eksotoksin yang poten, beberapa
diantaranya bertanggungjawab terhadap
timbulnya enterotoksemia spesifik

5 tipe telah diidentifikasi (A,B,C,D dan E) dan
menghasilkan 1 atau lebih dari 4 toksin utama
(alfa, beta, epsilon dan iota)

C perfringens tipe A adalah strain yang paling
bervariasi dalam sifat-sifat toksigeniknya.
Produksi toksin alfa berhubungan dengan gangren
gas, infeksi traumatik, enteritis nektotik pada
avian dan anjing, colitis pada kuda, dan diare
pada babi
Gejala klinis
 Infeksi
C difficile atau C perfringens pada kuda
menimbulkan tanda-tanda rasa sakit abdominal
(kolik) dan diare dengan atau tanpa darah
 Mungkin
terjadi distensi abdominal, terutama
diare karena infeksi C difficile
 Dehidrasi,
toksemia, dan shock dapat terjadi
 Satu
atau lebih hewan dalam suatu farm
mungkin terinfeksi
 Mortalitas
bervariasi
C
perfringens tipe B dan C menyebabkan
enteritidis hebat, disentri, toksemia, dan
mortalitas tinggi pada anak domba, pedet,
babi, dan anak kuda (toksin beta). Tipe C
menyebabkan enterotoksemia pada sapi,
domba, dan kambing dewasa
 Pengobatan
diare pada kuda akibat C difficile
atau C perfringens adalah Metronidazole per
oral (15 mg/kb BB, tid). Metronidazole bersifat
teratogenik sehingga harus dihindari
penggunaannya pada hewan bunting
Enterotoksemia oleh C perfringens tipe A
 Strain-strain C perfringens tipe A adalah bagian
mikroflora normal di dalam usus hewan dan tidak
memiliki toksin poten sebagaimana diproduksi oleh
strain tipe lain

C perfringens enterotoksin (CPE) adalah toksin utama
C perfringens yang terlibat di dalam penyakit
keracunan makanan (foodborne illness) dan juga
dikaitkan diare bukan keracunan makanan (nonfoodborne diarrheal disease) pada berbagai hewan.

C perfringens juga menghasilkan toksin penyebab
nekrosis pada kasus enteritis nekrotik pada unggas
dan anjing, colitis pada kuda, babi, dan diare
nosokomial akut atau kronik pada anjing.

Bentuk akut dicirikan oleh adanya enteritis nekrotik
dimana terjadi kerusakan berat pada villi dan
nekrosis koagulasi usus halus

Banyak bakteri batang gram-positif terlihat di dalam
smear (preparat ulas) feses, sejumlah besar C
perfringens tipe A di dalam feses bisa ditemukan
secara anaerobik pada anjing yang menderita diare
akut

Namun, test feses ini tidak memiliki nilai diagnostik
(karena adanya false-positive)

ELISA komersial untuk ajing sudah tersedia

PCR untuk evaluasi ekspresi gen pada infeksi CPE
anjing sedang dievaluasi

Enterotoksin juga sudah ditemukan dalam feses babi
yang diare namun tidak di dalam feses babi sehat

Enterotoksemia oleh C perfringens tipe B dan C

Menyebabkan enteritis berat, disentri, toksemia,
dan mortalititas tinggi pada anak domba, pedet,
genjik, dan anak kuda

Tipe B dan C menghasilkan toksin beta yang bersifat
sangat nekrotik dan lethal menimbulkan kerusakan
hebat pada intestinum

Toksin beta ini sensitif terhadap enzim proteolitik,
dan penyakit ini dikaitkan dengan inhibisi
(hambatan) proteolisis di dalam intestinum

Kolostrum babi mengandung inhibitor trypsin diduga
sebagai faktor meningkatnya kepekaan anak babi
terhadap infeksi

Tipe C juga menimbulkan enterotoksemia pada sapi,
domba, dan kambing dewasa
Enterotoksemia yang disebabkan oleh
C perfringens tipe B dan C
Penyakit
Tipe C perfringens
Hospes
Disentri anak domba
Tipe B
Umur ≤ 3 minggu
Enterotoksemia pedet
Tipe B dan C
Pedet yang gemuk ≤ 1
bulan
Enterotoksemia babi
Tipe C
Genjik umur beberapa
hari
Enterotoksemia anak
kuda
Tipe B
Anak kuda umur
beberapa minggu
Struck
Tipe C
Domba dewasa
Enteretoksemia kambing Tie C
Kambing dewasa
Gejala Klinis

Disentri pada anak domba umur kurang dari 3 minggu

Hewan dapat mati tanpa tanda sakit, namun
kebanyakan berhenti minum susu, lesu, dan tetap
berbaring

Diare dengan sedikit warna darah umum ditemukan

Kematian terjadi dalam beberapa hari

Pada pedet, diare akut, disentri, kesakitan perut,
kejang. Kematian dapat terjadi dalam beberapa hari

Pada genjik: diare akut, disentri, kemerahan anus,
mortalitas tinggi. Sebagian besar mati dalam 12 jam

Pada anak kuda: disentri akut, toksemia, dan mati
cepat.
Lesi
 Enteritis
hemoragika diserta ulserasi pada
mukosa usus adalah lesi utama pada semua
species hewan
 Usus terlihat berwarna ungu kebiruan dan
tampak mengalami infarksi karena torsio
mesenterika
 Smear (ulas) terhadap isi usus dapat ditemukan
sejumlah besar bakteri batang gram-positif
 Filtrat dapat diambil untuk mendeteksi adanya
toksin
 Identifikasi lanjutan dilakukan dengan uji
netralisasi menggunakan antisera spesifik
Treatment dan Kontrol
 Treatment
biasanya tidak efektif karena cepat
dan ganasnya penyakit
 Namun
dapat dicoba menggunakan serum
hiperimun dan antibiotika per oral
 Penyakit
dapat dikontrol dengan cara vaksinasi
pada induk bunting terutama pada 3 bulan
terakhir masa kebuntingan; 2 kali vaksinasi
dengan jeda 1 bulan. Selanjutnya dilakukan
vaksinasi setiap tahun
 Ketika
terjadi wabah pada hewan muda,
antiserum harus diberikan segera setelah
hewan lahir
Enterotoksemia tipe D (Pulpy kidney
disease, Overeating disease)

Enterotoksemia klasik pada domba, cukup sering pada
kambing, dan jarang pada sapi

Tersebar di seluruh dunia, menyerang hewan semua
umur

Lebih banyak terjadi pada domba yang diberi pakan
tinggi karbohidrat, atau kadang pada hewan yang
merumput pada pastura hijau yang subur

Penyakit ini dikaitkan dengan pedet yang mendapatkan
pakan gizi bagus, merumput di padang yang subur, dan
sindrom kematian mendadak (sudden death syndrome)
pada sapi yang digemukkan (feedlot)

Namun, bukti laboratorium dalam kaitan dengan sudden
death syndrome masih kurang
Etiologi
 Agen kausatif adalah C perfringens tipe D

Faktor predisposis adalah ingesti sejumlah besar
pakan secara berlebihan atau pada hewan muda
ingesti susu dalam jumlah banyak

Pada domba muda, infeksi lebih sering terjadi
penyakit biasanya terbatas pada anak domba yang
lahir tunggal, jarang pada yang lahir kembar

Pada hewan yang digemukkan, penyakit sering
terjadi pada individu yang dirubah pakannya
dengan biji-bijian kaya karbohidrat

Meningkatnya kandungan karbohidrat akan menjadi
media yang cocok untuk proliferasi C perfringens
dan menghasilkan toksin epsilon
 Toksin
epsilon menyebabkan kerusakan
vaskuler, terutama pada kapiler di otak
 Banyak
domba dewasa membawa strain C
perfringens tipe D sebagai bagian mikroflora
di dalam intestinumnya, yang kemudian
menjadi sumber infeksi bagi hewan yang
dilahirkannya
 Sebagian
besar hewan karier tersebut, meski
tidak divaksinasi, memiliki titer serum
antitoksin
Gejala klinis

Sudden death pada domba muda yang mendapatkan
pakan baik adalah indikasi pertama penyakit ini

Eksitasi, inkoordinasi, dan konvulsi sebelum mati

Opisthotonus, berputar, dan menyandarkan kepala
kepada obyek keras tertentu adalah gejala-gejala
gangguan neurologik

Seringkali, hiperglisemia ataupun glikosuria

Diare dapat/ataupun tidak terlihat

Domba dewasa dapat juga diserang, menunjukkan
kelemahan, inkoordinasi, konvulsi, dan mati dalam 24
jam

Pada kambing, penyakit berjalan perakut hingga
kronis, dengan gejala diare berair dengan/tanpa
darah hingga sudden death
Lesi
 Pada
saat nekropsi mungkin terlihat hanya
beberap daerah hiperemik pada intestinum
dan kantong perikardial yang terisi penuh
dengan cairan. Ini terutama terjadi pada
hewan muda
 Pada
hewan yang lebih tua: area-area
hemoragi dapat ditemukan pada
myocardium, dan juga peteki dan ekimose
pada otot-otot abdominal dan bagian serosa
intestinum
 Rumen
dan abomasum penuh dengan
makanan/ingesta, pakan yang tidak
terdigesti mungkin ditemukan di ileum
 Edema
dan malacia dapat terdeteksi secra
mikroskopis pada ganglia basalis dan
cerebellum domba muda
 Autolisis
yang cepat pada ginjal menjadi alasan
penamaan awal yang populer bagi penyakit ini
“pulpy kidney disease”
 Namun
sindrom PKD ini tidak selalu ditemukan
pada domba muda penderita, dan juga jarang
ditemukan pada kambing atau sapi
 Enterocolitis
hemoragika atau nekrotika
mungkin dapat diamati pada kambing
Clostridium perfringen tipe C
pada Babi
Diagnosis

Diagnosis presumtif (sementara) terhadap
enterotoksemia didasarkan pada adanya
kematian mendadak yang diserta kekejangan
pada domba muda yang diberi pakan kaya
karbohidrat

Smear isi intestinum ditemukan adanya banyak
bakteri batang gram-posif

Konfirmasi perlu dilakukan dengan menemukan
toksin epsilon (toksin ε) dalam cairan usus halus

Cairan, bukan ingesta, harus dikirim ke
laboratorium dalam vial steril beberapa jam
setelah hewan mati dan dikirim dalam kedaan
dingin untuk ientifikasi toksin
 Tambahkan
1 tetes Chloroform untuk setiap
10 ml cairan intestinal untuk menstabilkan
toksin yang ada
 Meski
uji imunologik telah dikembangkan
untuk menggantikan uji tradisional (mouse
assay/uji mencit), uji-uji tersebut masih
kurang sensitif
 Deteksi
toksin epsilon menggunakan PCR
sudah tersedia dan dapat digunakan untuk
mendeteksi isolat baik tipe B ataupun D
Kontrol

Metode kontrol bergantung pada umur domba, frekuensi
penyakit, dan manajemen peternakan (pakan)

Jika penyakit terjadi secara konstan pada suatu
peternakan maka imunisasi merupakan pilihan terbaik
untuk pengendalian penyakit

Induk pembiak harus mendapatkan 2 kali injeksi toksoid
tipe D di tahun pertama, lalu injeksi booster 4-6 minggu
sebelum melahirkan, dan kemudian vaksinasi tahunan

Enterotoksemia pada domba penggemukan (feedlot)
dikendalikan dengan mengurangi jumlah konsentrat di
dalam diet/pakan.

Akan tetapi cara tsb di atas tidak ekonomis. Imunisasi
semua domba muda dengan toksoid sebelum masuk
program penggemukan merupakan cara terbaik dan
dapat mengurangi kerugian hingga level yang acceptabel
 Dua
kali injeksi dengan interval 2 minggu
akan efektif memproteksi domba muda
tersebut selama masa penggemukan
 Jika
divaksinasi menggunakan bakterin
ataupun toksoid yang dipresipitasi dengan
alumunium, injeksi harus diterapkan pada
daerah yang tepat agar abses dingin lokal
yang biasa terjadi pasca injeksi, dapat
dengan mudah dihilangkan saat ‘dressing’
normal sehingga tidak merusak/menurunkan
mutu karkas

Toksemia tetanus disebabkan oleh neurotoksin
spesifik yang dihasilkan oleh Clostridium tetani
di dalam jaringan nekrotik

Hampir semua mamalia peka, meskipun anjing
dan kucing relatif resisten dibandingkan hewan
domestik dan hewan laboratorium lainnya

Burung cukup resisten; dosis letal untuk merpati
dan ayam adalah 10.000 – 30.000 kali lebih besar
(atas dasar berat badan) dari kuda

Kuda nampaknya adalah species yang paling
sensitif, di samping manusia
 Meski
tetanus ditemukan di seluruh dunia,
beberapa daerah seperti Rocky Mountain
utara di USA tetanus hampir tidak dikenali,
tanahnya juga jarang ditemukan kuman ini
 Umumnya,
kejadian C tetani di tanah dan
insidensi pada manusia dan kuda di berbagai
benua, lebih tinggi di bagian beriklim lebih
panas
Etiologi dan Patogenesis
 C tetani adalah bakteri anaerob dengan spora
yang berbentuk oval dan terletak di ujung sel
vegetatif-nya

Organisme di temukan di tanah dan saluran
pencernaan

Pada sebagian besar kasus, kuman masuk ke
dalam jaringan melalui luka, terutama luka tusuk
yang dalam, yang memberikan
kondisi/lingkungan anaerobik yang cocok untuk
pertumbuhan

Pada domba, dan kadang species hewan yang
lain, tetanus biasnya menyertai tindakan
pemotongan organ (telinga, tanduk) ataupun
kastrasi

Kadang, point of entry (pintu masuk) kuman
tidak ditemukan oleh karena luka mungkin kecil
atau telah menutup

Spora kuman tidak mampu untuk tumbuh pada
jaringan normal atau pada luka yang jaringannya
tetap mengalami potensi oksidasi-reduksi akibat
darah yang bersirkulasi

Kondisi yang cocok terjadi ketika sejumlah kecil
tanah ataupun obyek asing menimbulkan nekrosis
jaringan

Bakteri tetap terlokalisir di dalam jaringan
nekrotik tsb dan mulai menggandakan diri

Ketika bakteri mengalami autolisis, neurotoksin
poten terbebaskan
 Neurotoksin
adalah suatu protease yang
mengikat zinc yang memotong
synaptobrevin, suatu protein membran yang
berhubungan dengan vesikel.
 Biasanya
toksin diabsorbsi oleh nervus
motorik di area tsb dan berjalan ke atas
melalui saluran syaraf menuju corda spinalis,
tempat dimana toksin menimbulkan tetanus
bergerak ke atas (ascending)
 Toksin
menyebabkan spasmus, kontraksikontraksi tonik otot polos dengan cara
mengintervensi pelepasan neurotransmiter
inhibitor dari ujung syaraf presinaptik
 Spasmus
tsb dapat sedemikian hebatnya
sehingga dapat menimbulkan patah tulang
 Spasmus
yang menyerang larynx, diafragma,
dan otot-otot intercostalis dapat
mengakibatkan gagal pernafasan
 Terlibatnya
syaraf otonom menghasilkan
aritmia kardia, takikardia, dan hipertensi
Gejala Klinis
 Masa inkubasi berlangsung 1 hingga
beberapa minggu tetapi biasanya 10 – 14 hari

Kekakuan lokal, sering melibatkan otot masseter
dan otot-otot di bagian leher, kaki belakang, dan
daerah di sekitar luka terinfeksi adalah merupakan
tanda-tanda awal

Kekakuan umum muncul sehari kemudia, dan
spasmus tonik serta hiperestesia muncul jelas

Oleh karena tingkat resistensi yang tinggi, anjing
dan kucing biasanya memiliki masa inkubasi yang
lebih panjang dan sering kali menunjukkan tetanus
lokal; akan tetapi tetanus umum juga terjadi pada
species ini

Ketika refleks meningkat di dalam intensitasnya,
hewan mudah tereksitasi dan bergerak secara kasar
tidak terkendali

Spasmus pada otot kepala menyebabkan kesukaran
melakukan prehensi dan mastikasi makan, karena
itu dinamakan ‘lockjaw’ (rahang terkancing)

Pada kuda, telinga berdiri, ekor kaku dan lurus,
lubang hidung dilatasi, kelopak mata ketiga
prolapsus

Hewan biasanya berkeringat banyak

Spasmus umum mengganggu sirkulasi dan respirasi,
menyebabkan denyut jantung meningkat,
pernafasan cepat, dan kongesti selaput lendir
(membrana mukosa)
 Biasanya
suhu tubuh sedikit di atas normal,
tetapi dapat meningkat menjadi 42 – 43 C
 Mortalitas
rata-rata 80%
 Pada
hewan yang sembuh, periode
convalesens 2-6 minggu
 Imunitas
protektif biasanya tidak
berkembang pada hewan yang sembuh
Diagnosis
 Gejala
klinis dan riwayat adanya luka trauma
biasanya sudah cukup untuk suatu diagnosa
klinis terhadap tetanus
 Mungkin
juga diperlukan untuk
mengonfirmasi tetanus dengan
mendemonstarsikan keberadaan toksin
tetanus di dalam serum hewan penderita
 Pada
kasus dimana terdapat luka yang jelas,
demonstrasi keberadaan kuman batang grampositi di dalam preparat smear, dan kulur
anaerobik dapat dicoba
Treatment dan Kontrol

Jika dilakukan di awal penyakit, pemberian agen
curariform, tranquilizer, atau sedativa barbiturat,
berbarengan dengan injeksi IV 300.000 IU antitoksin 2
kali sehari memberikan hasil efektif pada kuda

Hasil yang baik juga dilaporkan dengan injeksi 50.000
IU antitoksin tetanus langsung ke dalam ruang
subarachnoide melalui cisterna magna

Terapi ini juga harus didukung dengan pengeringan
dan pembersihan luka dan pemberian penicillin atau
antibiotik spektrum luas

Perawatan yang baik juga harus diperharikan selama
periode akut

Kuda harus ditempatkan di dalam kandang yang
tenang dan gelap dengan tempat makan dan minum
cukup tinggi sehingga kuda dapat mengakses tanpa
perlu merendahkan kepalanya

Imunisasi aktif dapat dilakukan dengan injeksi
toksoid tetanus

Jika suatu luka berbahaya terjadi setelah
imunisasi, injeksi toksoid kedua dapat dilakukan
untuk meningkatkan antibody yang bersisrkulasi

Jika hewan belum pernah diimunisasi
sebelumnya, ia perlu diinjeksi dengan 1500 – 300
IU atau lebih antitoksin tetanus, yang biasanya
kan memberikan perlindungan pasif sampai 2
minggu.

Toksoid harus diberikan secara simultan
(bersamaan) dengan antitoksin dan diulangi 30
hari kemudian

Meskipun belum ada dasar ilmiahnya, injeksi
booster toksoid setiap tahun pada hewan sangat
disarankan; pada manusia booster toksoid
disarankan setiap 10 tahun

Kuda betina harus divaksinasi pada 6 minggu
terakhir masa kebuntingannya dan anaknya
divaksinasi pada umur 5-8 minggu

Pada daerah yang berisiko tinggi, anak kuda
harus diberikan antitoksin tetanus segera setelah
lahir dan setiap 2-3 minggu hingga berumur 3
bulan, pada saat dimana mereka sudah boleh
mendapatkan injeksi toxoid

Keputusan untuk memvaksinasi anak domba atau
pedet bergantung kepada prevalensi penyakit di
daerah tersebut
 Semua
hewan yang sembuh dari tetanus
harus divaksinasi secara teratur
 Semua
prosedur operasi harus dilakukan
secara aseptik
 Setelah
tindakan pembedahan, hewan harus
di tempatkan ke dalam kandang/ruangan
yang bersih, lebih disukai ditempatkan di
pastura rumput
 Gunakan
disinfektan oksidasi seperti iodine
dan chlorine yang mampu membunuh spora

Vaksinasi sering diterapkan sebagai tindakan
pencegahan infeksi penyakit-penyakit klostridial

Sejumlah variasi vaksin tersedia di pasaran, baik
secara tunggal atau kombinasi yang mengandung
bakterin, toksoid, atau campuran bakterin dan
toksoid

Vaksinasi tunggal dengan vaksin-vaksin klostridial
tidak memberikan level proteksi yang cukup.
Karena itu perlu diulang (booster) dalam 3-6 minggu
kemudian

Vaksinasi pada hewan muda tidak menghasilkan
imunitas yang cukup hingga mereka berumur 1-2
bulan
 Karena
itu sebagian besar vaksinasi memiliki
target pada induk bunting sehingga imunitas
maksimal dapat ditransfer kepada anaknya
melalui kolostrum
 Sebagian
besar vaksin diinaktivasi dan biasanya
mengandung 2, 4, 7, atau 8 cara kombinasi
organisma clostridial/toksoid
 Toksoid
tetanus umumnya digunakan sebagai
vaksin tunggal pada kuda namun sering
digunakan dalam bentuk kombinasi dengan
clostridial lain untuk domba, kambing, dan sapi
 Pada
domba dan kambing, kombinasi umum
adalah toksoid tetanus plus C perfringens tipe C
dan D.

Pada sapi, kombinasi yang umum pada program
feedlot, adalah 4 in 1: yang megandung kultur mati
C chauvoei, C septicum, C novyi, dan C sordellii
untuk mencegah blackleg dan malignant edema

Kombinasi yang lebih kompleks yang mengandung
C perfringens tipe C dan D di samping komponen
kombinasi 4 clostridial tadi. Hal ini untuk
memberikan perlindungan tambahan terhadap
enterotoksemia

Vaksin clostridial seringkali menimbulkan reaksi
jaringan dan pembengkakan. Karena itu pada sapi
harus diinjeksikan di bagian leher dengan cara SC
daripada IM
 The
Merck Veterinary Manuals.
http://www.merckmanuals.com/vet/