sains dan agama

Download Report

Transcript sains dan agama

SAINs
AGAMA
I. PENDAHULUAN
• SEPANJANG sejarah manusia, pertarungan antara sains dan agama
seolah tak pernah berhenti. Di satu pihak, ada kelompok saintis
yang tak pernah dianggap sebagai intelektual, tetapi kerjanya yang
berpijak pada dunia empiris secara nyata telah mengubah dunia
seperti yang kita lihat sekarang ini. Di pihak lain ada para
agamawan, kelompok yang secara tradisional menyebut dirinya
sebagai kaum yang berhak berbicara semua ihwal tentang
kebenaran. Kedua kelompok tersebut seolah tak pernah berhenti
untuk saling klaim bahwa merekalah yang berhak menentukan
kehidupan.
• Agama dan sains adalah bagian penting dalam kehidupan sejarah
manusia. Bahkan pertentangan antara agama dan sains tak perlu
terjadi jika kita mau belajar mempertemukan ide-ide spiritualitas
(agama) dengan sains yang sebenarnya sudah berlangsung lama.
• Kerinduan akan tersintesisnya agama dan sains pernah diurai Charles
Percy Snow. Ceramahnya di Universitas Cambridge yang dibukukan
dengan judul The Two Cultures menyorot kesenjangan antar budaya, yaitu
antara kelompok agamawan yang mewakili budaya literer dan kelompok
saintis yang mewakili budaya ilmiah.
• Saat ini, di tengah-tengah kemajuan bidang teknologi dan pengetahuan,
dunia dihadapkan pada berbagai krisis yang mengancam eksistensi
manusia. Bahkan jauh-jauh hari Sayyed Hosen Nasr telah mengidentifikasi
krisis eksistensi tersebut sebagai ancaman yang cukup serius. Lebih lanjut
ia mengungkapkan bahwa krisis eksistensi ini disebabkan karena manusia
modern mengingkari kehidupan beragama. Hingga pada akhirnya mereka
arogan terhadap agama bahkan tak jarang menolak keberadaan Tuhan.
• Modernisme diakui atau tidak telah membawa manusia kepada kemajuan
yang tak terduga sebelumnya. Hal ini bisa kita rasakan dengan semakin
mudahnya hidup. Kemudahan itu membuat manusia kehilangan fungsi
sebagai makhluk sosial. Implikasi dari itu semua, manusia modern
semakin hidup individualis dan tak peduli pada orang lain. Kenyataan
seperti ini memang tak bisa dihindari. Sains telah berhasil menyulap dunia
ini menjadi seperti yang kita lihat sekarang ini.
II. PEMBAHASAN
• 2.1 Hakekat Mempelajari Sains
• Tuhan mempersilahkan manusia untuk memikirkan alam
semesta berikut isinya dan segala konteksnya. Kecuali
jangan pernah memikirkan Dzat Tuhan, karena alam pikiran
manusia tidak akan pernah mencapainya. Hal ini adalah
sebagaimana tercantum dalam sebuah hadits Nabi:
“Pikirkanlah ciptaan Allah dan jangan memikirkan Dzat
Allah, sebab kamu tak akan mampu mencapaiNya”.
• Bahkan dalam QS Ar Rahmaan Ayat 33, Tuhan berfirman:
“Hai jama’ah jin dan manusia, jika kamu sanggup
menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka
lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali dengan
kekuatan“.
• Apa yang disabdakan Nabi dan yang difirmankan Tuhan ini memberikan
kesempatan kepada manusia untuk melakukan pemikiran dan eksplorasi
terhadap alam semesta. Upaya penaklukan ruang angkasa harus dilihat sebagai
suatu ibadah manusia yang ditujukan selain untuk memahami rahasia alam, juga
demi masa depan kehidupan manusia. Pencarian ilmu bagi manusia agamis
adalah kewajiban sebagai bentuk eksistensi keberadaannya di alam semesta ini.
Ilmu pengetahuan dapat memperluas cakrawala dan memperkaya bahan
pertimbangan dalam segala sikap dan tindakan. Keluasan wawasan, pandangan
serta kekayaan informasi akan membuat seseorang lebih cenderung kepada
obyektivitas, kebenaran dan realita. Ilmu yang benar dapat dijadikan sarana
untuk mendekatkan kebenaran dalam berbagai bentuk.
• Orang yang berilmu melebihi dari orang yang banyak ibadah. Ilmu manfaatnya
tidak terbatas, bukan hanya bagi pemiliknya, tetapi ia membias ke orang lain
yang mendengarkannya atau yang membaca karya tulisnya. Sementara itu,
ibadah manfaatnya terbatas hanya pada sipelakunya.
• Ilmu dan pengaruhnya tetap abadi dan lestari selama masih ada orang yang
memanfaatkannya, meskipun sudah beberapa ribu tahun. Tetapi pahala yang
diberikan pada peribadahan seseorang, akan segera berakhir dengan
berakhirnya pelaksanaan dan kegiatan ibadah tersebut.
•
•
•
•
2.2 Kloning, Sebuah Pembelajaran tentang Perdebatan Etika Sains.
Contoh kasus yang selalu menjadi menarik karena melibatkan perdebatan kaum
ilmuwan dan agamawan adalah masalah Kloning. Pada tahun 1997, keberhasilan proses
kloning yang menghasilkan domba Dolly menjadi perhatian utama dunia ilmu
pengetahuan. Keberhasilan ini memicu diskusi yang tidak pernah selesai mengenai
eksistensi keilmuan di satu sisi dengan etika keagamaan di sisi lainnya. Teknik kloning ini
terus berkembang secara cepat, dan dapat diterapkan tidak saja pada sel embrio, tetapi
juga dapat diterapkan pada sel dewasa.
Dengan kata lain, manusia telah mampu menciptakan suatu sel hidup sama seperti kita
membuat foto copy dokumen dengan mesin foto copy. Persoalannya adalah, debat dan
diskusi yang muncul harus menjawab sebuah pertanyaan mendasar: “Apakah semua hal
yang bisa dilakukan memang patut dilakukan?”. Dari sisi kemanusiaan misalnya, kloning
manusia boleh jadi akan menjadi penyelamat bagi pasangan-pasangan tidak subur untuk
memperoleh keturunan langsung. Sebaliknya bagi para etikawan dan agamawan,
memegang teguh sebuah prinsip bahwa dalam ilmu pengetahuan, tidak semua yang bisa
dilakukan patut dilakukan.
Pada dewasa ini, penelitian mengenai kloning manusia berjalan terus, sekalipun di
tengah derasnya kritik dan kecaman atas dasar-dasar prinsip etika. Etika agama “yang
bisa dilakukan belum tentu patut dilakukan” berhadapan dengan semangat teknologi
dan berjalan berdampingan. Kasus teknologi kloning memang akhirnya menjadi sebuah
tantangan tersendiri bagi masing-masing pihak untuk meresponnya.
• Ketika masalah kloning dibahas di PBB, Indonesia merupakan salah satu
dari 37 negara yang abstain dalam pemungutan suara atas draf deklarasi
Majelis Umum PBB pada 8 Maret 2005, yang berisi seruan larangan bagi
semua bentuk kloning manusia, termasuk kloning untuk keperluan
medis. Sebanyak 84 negara mendukung deklarasi tersebut, sedangkan
34 negara menentang. Alasan Indonesia untuk bersikap abstain adalah
karena masalah kloning tidak dapat diputuskan dengan cara
pemungutan suara. Harus dilakukan musyawarah dengan memandang
berbagai latar belakang dan sudut pandang, termasuk agama.
• Kasus kloning akan tetap menjadi perdebatan antara kalangan ilmuwan
dengan kalangan agamawan dan etikawan. Dan masing-masing akan
tetap berpegang pada sudut pandangnya. Jalan tengah yang perlu dibuat
adalah kesepakatan logis bahwa seyogyanya agamawan tidak
mengesampingkan akal budi, dan ilmuwan tidak mengesampingkan
etika. Diperlukan kearifan dan etika untuk memahami dan
menginterpretasikan “ijin Tuhan” untuk melakukan eksplorasi alam
semesta ini. Kasus kloning merupakan ujian atas bagaimana kalangan
agamawan dan ilmuwan harus bersikap satu sama lain. Kasus kloning
adalah kasus yang ada di permukaan bumi, sehingga akan lebih mudah
diinterpretasi dan dicerna untuk disikapi. Bagaimana dengan kasus yang
“tidak kasat mata”? Kasus perbedaan interpretasi antara kalangan
agamis dan saintis di bawah ini mencoba mendeskripsikan perbedaan
pandangan tersebut
• 2.3 Kasus Pertentangan Saintis dan Agamawan
• Kasus pengucilan Galileo oleh Gereja Katolik merupakan contoh
nyata betapa agama diinterpretasikan tidak dengan tepat dalam hal
pencarian kebenaran. Sekalipun Gereja Katolik merehabilitasi
kesalahan tersebut 500 tahun kemudian, peristiwa tersebut tetap
saja menjadi acuan betapa agama selalu ketinggalan dibandingkan
dengan sains.
• Galileo Galilei (15 Februari 1564 – 8 Januari 1642) adalah seorang
astronom, filsuf, dan fisikawan Italia yang memiliki peran besar
dalam revolusi ilmiah. Ia diajukan ke pengadilan gereja Italia pada
22 Juni 1633. Pemikirannya tentang matahari sebagai pusat tata
surya bertentangan dengan keyakinan gereja bahwa bumi adalah
pusat alam semesta. Pemikirannya ini menyebabkan Dinas Suci
Inkuisisi Gereja Katolik mengucilannya. Otoritas tertinggi Gereja
Katolik bahkan ingin menghapuskannya dari sejarah perkembangan
ilmu pengetahuan manusia. Semua ini terjadi karena ilmuwan yang
juga menulis puisi dan kritik sastra ini menyuarakan sebuah
pandangan yang waktu itu dianggap sebagai sebuah kekafiran besar
yang akan merusak akidah umat.
• Pandangan kosmologis yang dianggap “kafir” ini, yang juga dikenal
sebagai sistem Heliosentris sebenarnya sudah dipikirkan oleh manusia
sejak lebih dari 2.000 tahun yang silam. Karena ajaran Aristoteles dan
Kitab Suci Injil yang mengunggulkan sistem Geosentris yang dirumuskan
Ptolomeus, sistem heliosentris ini hilang dari dunia pengetahuan
manusia. Sistem kosmos ini kemudian muncul kembali di Eropa
Renaisans lewat pemikiran biarawan Nikolaus Kopernikus (1473-1543).
Pandangan ini kemudian dikukuhkan oleh Johannes Kepler (1571-1630)
yang mengajukan sejumlah Hukum Gerak dan Orbit benda-benda langit.
• Galileo mencoba menandaskan kebenaran sistem Heliosentris dengan
menggunakan teorinya sendiri yang ia anggap lebih kuat. Galileo
berpendapat bahwa Bumi bergerak mengitari Matahari dan bahwa
sistem Kopernikan “lebih mendekati kenyataan daripada pandangan lain
yang dikemukakan Aristoteles dan Ptolomeus.” Teori Heliosentris
Kopernikus memberi penjelasan sederhana atas gerak-gerak planet yang
telah membingungkan kaum cerdik cendekia. Sambil menata ulang
susunan planet-planet yang sudah dikenal saat itu, sistem heliosentris
menawarkan diri sebagai sistem yang lebih masuk akal dibandingkan
dengan sistem tradisional Geosentris.
• Selain menggugat pandangan religius klasik atas posisi manusia di alam
semesta yang menganggap bahwa Bumi adalah pusat jagat raya, dan
Vatikan adalah pusat dunia, sistem Heliosentris tampak absurd dilihat dari
sudut pandang pengetahuan fisika yang dipahami pada waktu itu. Sistem
ini juga menentang pengalaman indrawi manusia yang dengan mata
telanjang melihat Matahari mengedari Bumi dengan terbit di timur dan
surut di barat.
• Sampai pada persimpangan abad ke-16 dan ke-17, para pemikir tumbuh
dan terdidik dalam pemikiran Aristotelian. Dalam faham fisika Aristoteles,
benda-benda selalu bergerak menuju tempat mereka yang alami. Batu
jatuh karena tempat alami benda-benda yang berbobot adalah pada
pusat alam semesta, dan itu pula sebabnya maka Bumi yang berat ini ada
di tempatnya, yakni di pusat alam semesta itu. Menerima sistem
Kopernikan bukan saja berarti menampik fisika Aristoteles dan
membuang sistem geosentris Ptolomeus. Itu juga berarti membantah
kitab suci Injil yang dengan tegas menyebutkan bahwa bumi dipasak di
tempatnya. “Oh, Tuhanku, Kau-lah yang Maha Besar… Kau pancangkan
bumi pada fondasinya, tiada bergerak untuk selamanya.” (Mazmur
103:1,5).
• Konflik Galileo Galilei dengan Gereja Katolik Roma adalah sebuah
contoh awal konflik antara otoritas agama dengan kebebasan
berfikir pada masyarakat Barat. Sejarah pertentangan Galileo
dengan Gereja seringkali hanya ditafsirkan sebatas ketertutupan
agama terhadap sains. Padahal inti persoalannya adalah
pertanyaan tentang kebenaran. Apakah sains memberi landasan
bagi kita memperoleh kepastian mengenal dunia? Apakah sains
bisa membawa kita untuk sampai pada kebenaran? Hukum
agama kerapkali diterapkan dalam kehidupan manusia secara
harafiah, sehingga penerapan tulisan dalam Kitab Suci mampu
mengesampingkan argumen ilmu pengetahuan sebagaimana
terjadi dengan Galileo Galilei.
• Sebuah kasus merarik lainnya adalah menyangkut bagaimana
sebuah ayat di Al Quran diinterpretasi secara sangat berbeda
oleh kalangan agama (dalam hal ini Departemen Agama RI), dan
oleh seorang ahli matematika dan fisika dari Mesir.
• Ayat tersebut adalah QS As Sajdah Ayat 5: “Dia mengatur urusan
dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepadaNya dalam
satu hari yang kadarnya adalah seribu tahun menurut
perhitunganmu.”
• “Maksud urusan itu naik kepadaNya ialah beritanya yang
dibawa oleh malaikat. Ayat ini suatu tamsil bagi kebesaran
Allah dan keagunganNya.”
• Pandangan agamawan dalam menafsirkan ayat di atas
tergambar dari penafsiran yang dilakukan oleh Departemen
Agama Republik Indonesia sebagaimana terdapat dalam
catatan kaki pada terjemahan Al Quran versi Departemen
Agama RI, bahwa ayat tersebut hanyalah merupakan tamsil
atau perumpamaan semata atas keagungan dan kebesaran
Tuhan.
• Contoh penafsiran yang dilakukan oleh Departemen Agama
RI ini adalah contoh nyata betapa penafsiran ayat-ayat yang
terdapat dalam kitab suci belum dilakukan dengan
pendekatan rasionalitas ilmu pengetahuan modern.
Penafsiran seperti itu bisa dimafhumi karena tentu
dilakukan dengan dasar pandangan dogmastis yang lebih
sempit dari suatu otoritas tradisional yang mempunyai
keterbatasan pemahaman sains dan ilmu pengetahuan alam
modern seprti matematika, fisika maupun astronomi.
• Dr. Mansour Hassab Elnaby, seorang ahli matematika dan fisika
dari Mesir, dengan pemahaman fisika dan matematikanya
mencoba menginterpretasikan ayat di atas dari sudut pandang
teori fisika, matematika dan astronomi. Mengacu pada QS As
Sajdah Ayat 5, Dr. Mansoer menyampaikan bahwa jarak yang
dicapai “sang urusan” selama satu hari adalah sama dengan
jarak yang ditempuh Bulan selama 1.000 tahun atau 12.000
bulan. Dr. Mansour menyatakan bahwa “sang urusan” inilah yang
diduga sebagai sesuatu “yang berkecepatan cahaya “.
• Dr. Mansour Hassab Elnaby menguraikan secara jelas dan
sistematis tentang cara menghitung kecepatan cahaya
berdasarkan ayat Al Quran di atas. Dalam menghitung kecepatan
cahaya ini, Dr. Mansour menggunakan sistem yang lazim dipakai
oleh ahli astronomi yaitu sistem Siderial. Dengan pendekatan ini
Dr. Mansoer membuktikan secara matematis bahwa hubungan
“sehari = seribu tahun” membawa pada hubungan matematika
fisika yang menghasilkan angka kecepatan cahaya. Deskripsi detil
mengenai pembuktian dan perhitungan yang dilakukan oleh Dr.
Mansoer dapat dilihat dalam Lampiran.
• Dalam dua kasus yang penulis paparkan di atas, nampak sangat
jelas bahwa perbedaan pandangan antara kalangan agama dan
sains disebabkan oleh ketidakpahaman kalangan agama
mengenai ilmu pengetahuan. Oleh karena itu sangat penting
bagi para agamawan untuk juga melakukan kajian ilmiah dan
melakukan pembelajaran, tidak hanya pada apa yang tersurat
dalam kitab suci, tetapi juga menyangkut segala hal yang dapat
diobservasi secara fisik di alam semesta ini.
• Apa yang terjadi pada kasus Galileo maupun kasus rasionalisasi
“Satu hari = seribu tahun” tidak terlepas dari faham pendekatan
rasionalisme yang diterapkan dalam ilmu pengetahuan manusia.
Ilmu-ilmu modern telah berkembang berdasarkan prisip
rasionalitas ini. Sebelumnya, pemahaman ilmu pengetahuan
seperti mandul ketika semua pengetahuan manusia dijalankan
secara dogmatis berdasarkan dalil-dalil dari ahli-ahli Yunani
kuno yang disampaikan oleh Aristoteles, Ptolemaeus, dan lainlain, maupun sebagaimana tersurat dalam kitab suci (yang juga
diinterpretasikan secara dogmatis).
III. KESIMPULAN
• Pada kenyataannya kita memang tidak bisa
mencampuradukkan pola pikir sains dengan agama.
Terdapat perbedaan cara pikir agama dengan sains. Agama
memang mengajarkan untuk menjalani agama dengan
penuh keyakinan. Sedangkan sebaliknya dalam sains,
skeptisme dan keragu-raguan justru menjadi acuan untuk
terus maju, mencari dan memecahkan rahasia alam.
• Sains seharusnya memang dapat diuji dan diargumentasi
oleh semua orang tanpa memandang apapun
keyakinannya. Semua penganut agama harus memahami
bahwa bumi berputar mengelilingi matahari, dan bukan
sebaliknya. Semua penganut agama harus paham bahwa
sinar matahari dapat dikonversi menjadi energi. Karena hal
ini memang terbukti melalui pendekatan sains.
• Belajar sains adalah juga belajar untuk memahami hakekat kehidupan
manusia, dengan segala kekurangan dan keterbatasannya. Dengan
belajar sains, kita belajar untuk rendah hati. Oleh karena itu,
pembelajaran sains seyogyanya ditujukan untuk peningkatan harkat
kehidupan manusia sebagai penghuni alam semesta ini. Dan hal ini telah
secara eksplisit dikemukakan dalam semua kitab suci agama, tanpa perlu
diperdebatkan atau dikait-kaitkan dengan kaedah sains.
• Sains sebenarnya dapat mempertebal keyakinan dan keimanan. Namun
demikian iman juga dapat digoyahkan oleh sains seaindainya
dicampuradukkan dengan pemahaman agama. Pengkaitan fenomena
alam dengan ayat-ayat suci secara serampangan bisa jadi malah akan
memberikan pemahaman yang salah. Bagi para agamawan yang kurang
memahami sains, tindakan ini akan menyesatkan. Sebaliknya,
mengkaitkan sains dengan agama oleh mereka yang tidak atau kurang
dibekali agama, bisa membuat kesimpulan yang diambil menjadi konyol
dan menggelikan.
• Selain para ilmuwan perlu mempelajari dan mendalami agama, para
agamawan seharusnya juga mempelajari ilmu pengetahuan alam.
Dengan demikian tidak terjadi benturan yang terlalu besar, atau jarak
yang terlalu lebar, yang memisahkan kedua prinsip dan sudut pandang
antara sains dan agama.
• Agama dan sains memang menerangi realitas yang sama, namun dengan
perspektif yang berbeda. (F. Budi Hardiman dalam“Sains dan Pencarian
Makna: Menyiasati Konflik Tua antara Sains dan Agama”)
Pengertian Agama
 Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah
sistem atau prinsip kepercayaan kepada Tuhan, atau juga
disebut dengan nama Dewa atau nama lainnya dengan
ajaran kebhaktian dan kewajiban-kewajiban yang
bertalian dengan kepercayaan tersebut.
 Kata "agama" berasal dari bahasa Sansekerta āgama yang
berarti "tradisi". Sedangkan kata lain untuk menyatakan
konsep ini adalah religi yang berasal dari bahasa Latin
religio dan berakar pada kata kerja re-ligare yang berarti
"mengikat kembali". Maksudnya dengan berreligi,
seseorang mengikat dirinya kepada Tuhan.
Kajian Agama
• Agama menempatkan kebenaran tidak hanya
meliputi hal-hal yang terjangkau oleh indra
tetapi juga yang bersifat non indrawi. Sesuatu
yang datangnya dari Tuhan harus diterima
dengan keyakinan, kebenaran di sini akan
menjadi rujukan bagi kebenaran-kebenaran
yang lain.
Pengertian Sains
• Sains menurut kamus Webster`s New Word
Dictionary, kata "science" berasal dari bahasa
latin "scire" yang berarti mengetahui. Secara
bahasa, sains pada awal berarti data atau
keadaan mengetahui, dan sering diambil dalam
pengertian pengetahuan (Knowladge) yang
dikontraskan dengan intuisi atau kepercayaan.
Perkembangan maknanya kemudian menjadi
pengetahuan sistematis yang bersumber dari
observasi, kajian, dan analisis yang dilakukan
untuk menentukan sifat dasar atau prinsip dari
apa yang dikaji
Kajian Sains
• selama ini menunjukkan bahwa sains didominasi
oleh aliran positivisme, yaitu sebuah aliran yang
sangat mengedepankan metode ilmiah dengan
menempatkan asumsi-asumsi metafisis,
aksiologis dan epistemologis. Menurut aliran ini,
sains mempunyai reputasi tinggi untuk
menentukan kebenaran, sains merupakan ‘dewa’
dalam beragam tindakan sosial, ekonomi, politik,
dan lain-lain. Menurut sains, kebenaran adalah
sesuatu yang empiris, logis, konsisten, dan dapat
diverifikasi. Sains menempatkan kebenaran pada
sesuatu yang bisa terjangkau oleh indra manusia.
Kerangka Pemikiran
• Pembahasan mengenai ilmu pengetahuan dan
agama tidak terlepas dari masalah dasar dari
perdebatan, yaitu persoalan “kebenaran“ dan
persoalan “etika“ dalam kehidupan. Oleh
karena itu, diperlukan kearifan manusia untuk
bersikap rendah hati dalam memahami esensi
kebenaran dan etika dalam kehidupan ini.
• Dengan pemahaman rasionalitas, ilmu pegetahuan
telah tumbuh berkembang dan mendasarkan pada
kegiatan pengamatan, eksperimen, dan deduksi
menurut ilmu ukur. Dengan demikian manusia semakin
bersikap rasional dalam memandang alam semesta.
Gerakan-gerakan yang terjadi di alam, misalnya, tidak
lagi diyakini sebagai disebabkan oleh kekuatankekuatan gaib yang menggerakan dan berada di
belakangnya. Pergerakan itu diyakini terjadi didasarkan
kekuatan-kekuatan objektif alam itu senndiri yang
dikenal sebagai hukum alam.
• Etika dalam interpretasi dan implementasi
hukum alam, dalam hal ini sains merupakan
bahasan yang lebih rumit karena hal ini
menyangkut hakekat penguasaan penentuan
kehidupan maupun hal lain terkait dengan
proses penciptaan. Diperlukan pembelajaran
etika, terutama dari kalangan saintis untuk
terus melakukan observasi dan eksplorasi
alam semesta ini.
Hakekat Mempelajari Sains
• Tuhan mempersilahkan manusia untuk
memikirkan alam semesta berikut isinya dan
segala konteksnya. Kecuali – jangan pernah
memikirkan Dzat Tuhan, karena alam pikiran
manusia tidak akan pernah mencapainya. Hal
ini adalah sebagaimana tercantum dalam
sebuah hadits Nabi: “Pikirkanlah ciptaan Allah
dan jangan memikirkan Dzat Allah, sebab
kamu tak akan mampu mencapaiNya”.
• QS Ar Rahmaan Ayat 33, Tuhan berfirman:
“Hai jama’ah jin dan manusia, jika kamu
sanggup menembus (melintasi) penjuru langit
dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat
menembusnya kecuali dengan kekuatan“.
ِ ‫• قُل َّل ْو َكانَ ا ْل َب ْح ُر مِدَ اداً ِّل َكلِ َما‬
َ‫ت َر ِّبي َل َنفِدَ ا ْل َب ْح ُر َق ْبل َ أَن َتن َفد‬
ً‫ات َر ِّبي َو َل ْو ِج ْئ َنا ِب ِم ْثلِ ِه َمدَ دا‬
ُ ‫َكلِ َم‬
• Katakanlah:”Kalau sekiranya lautan menjadi
tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku,
sungguh habislah lautan itu sebelum habis
(ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun
Kami datangkan tambahan sebanyak itu
(pula). (QS 18:109)
Kasus Pertentangan Sains Dan Agama
• Galileo Galilei (15 Februari 1564 – 8 Januari 1642) adalah
seorang astronom, filsuf, dan fisikawan Italia yang memiliki
peran besar dalam revolusi ilmiah. Ia diajukan ke
pengadilan gereja Italia pada 22 Juni 1633. Pemikirannya
tentang matahari sebagai pusat tata surya bertentangan
dengan keyakinan gereja bahwa bumi adalah pusat alam
semesta. Pemikirannya ini menyebabkan Dinas Suci Inkuisisi
Gereja Katolik mengucilannya. Otoritas tertinggi Gereja
Katolik bahkan ingin menghapuskannya dari sejarah
perkembangan ilmu pengetahuan manusia. Semua ini
terjadi karena ilmuwan yang juga menulis puisi dan kritik
sastra ini menyuarakan sebuah pandangan yang waktu itu
dianggap sebagai sebuah kekafiran besar yang akan
merusak akidah umat.
• Galileo mencoba menandaskan kebenaran sistem
Heliosentris dengan menggunakan teorinya sendiri
yang ia anggap lebih kuat. Galileo berpendapat bahwa
Bumi bergerak mengitari Matahari dan bahwa sistem
Kopernikan “lebih mendekati kenyataan daripada
pandangan lain yang dikemukakan Aristoteles dan
Ptolomeus.” Teori Heliosentris Kopernikus memberi
penjelasan sederhana atas gerak-gerak planet yang
telah membingungkan kaum cerdik cendekia. Sambil
menata ulang susunan planet-planet yang sudah
dikenal saat itu, sistem heliosentris menawarkan diri
sebagai sistem yang lebih masuk akal dibandingkan
dengan sistem tradisional Geosentris.
• Selain menggugat pandangan religius klasik atas
posisi manusia di alam semesta yang
menganggap bahwa Bumi adalah pusat jagat
raya, dan Vatikan adalah pusat dunia, sistem
Heliosentris tampak absurd dilihat dari sudut
pandang pengetahuan fisika yang dipahami pada
waktu itu. Sistem ini juga menentang pengalaman
indrawi manusia yang dengan mata telanjang
melihat Matahari mengedari Bumi dengan terbit
di timur dan surut di barat.
Allah S.W.T. menjadikan :
Penuh dengan peraturan-peraturan dan
hukum-hukum
Alam
Semesta
Rahasia dan hikmah kejadian hanya dapat
diketahui oleh manusia melalui sains
Oleh karena Islam menyadari keterbatasan
intelek manusia untuk mengkaji :
Wahyu
Dijadikan rujukan tertinggi dalam
kehidupan termasuk sains
Allah S.W.T. berfirman :
Surah Ibrahim : Ayat 1
Artinya
“Alif, Laam, Raa'. Ini ialah Kitab (Al-Quran)
Kami turunkannya kepadamu (wahai
Muhammad), supaya engkau
mengeluarkan umat manusia seluruhnya
dari kufur kepada cahaya iman dengan izin
Tuhan mereka ke jalan Allah Yang Maha
Kuasa lagi Maha Terpuji”.
Sains di dalam Islam :
Tidak
mengabaikan
Bimbingan
wahyu
Terdapat segelintir di kalangan kita yang
menginginkan agar semua perkara termasuk ibadah
dibuktikan melalui sains
Konsep sains di dalam Islam ialah :
TAUHID
Tunduk kepada prinsip-prinsip
yang ditetapkan oleh Allah
melalui
RasulNya
Al-Quran
Konsep sains di Barat :
Menolak sains yang
disandarkan kepada
Tuhan
Wahyu
ghaib
Contoh
Artinya :
“Kemudian Kami ciptakan air benih itu menjadi
seketul darah beku. Lalu Kami ciptakan darah beku
itu menjadi seketul daging, kemudian Kami
ciptakan daging itu menjadi beberapa tulang,
kemudian Kami balut tulang-tulang itu dengan
daging. Setelah sempurna kejadian itu Kami bentuk
dia menjadi makhluk yang lain sifat keadaannya.
Maha Suci Allah sebaik-baik Pencipta”.
AGAMA VS SAINS
HUBUNGAN SAINS DAN AGAMA
• SAINS dan agama, merupakan dua entitas yang sama
sama telah mewarnai sejarah
kehidupan umat manusia. Sebab, keduanya telah
berperan penting dalam membangun
peradaban. Dengan lahirnya agama, tidak saja telah
menjadikan umat manusia
memiliki iman, tapi hal lain yang tidak bisa dipandang
sebelah mata adalah
terbangunnya manusia yang beretika, bermoral dan
beradab yang menjadi pandangan
hidup bagi manusia dalam menjalani hidup di dunia.
• Sementara sains dengan puncak perkembangan yang
telah dicapai, juga telah
menjadikan kemajuan dunia dengan berbagai
penemuan yang gemilang.
• Tetapi, sepanjang sejarah kehidupan umat manusia itu
pula, hubungan sains dan
agama tak bisa dikata selalu harmonis. Sejarah
mencatat, bagaimana klaim
sepihak lembaga agama telah menjadikan Galileo
(1564-1642) jadi korban setelah
ia dengan lantang bersuara bahwa matahari adalah
pusat alam semesta (sementara
dalam kitab suci Kristen justru sebaliknya), dan sikap
"sentimen" agama dalam
melihat teori evolusi Darwin.
REVOLUSI PENGETAHUAN ILMIAH
• Revolusi Ilmiah pada abad ke 17 di Eropa Barat
yang menjadi “cikal bakal” munculnya sains
moderns sebagai sistem pengetahuan
“universal.”
• Tidak ada larangan dalam al-qur’an maupun
al-hadits untuk mengembangkan keilmuan
khususnya “sains”
AYAT TENTANG PENCIPTAAN LANGIT
• "Dan apakah orang-orang yang kafir tidak
mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu
keduanya dahulu adalah suatu yang padu,
kemudian Kami pisahkan antara keduanya.
Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang
hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga
beriman?" (Al Qur'an, 21:30)
• Kata "ratq" yang di sini diterjemahkan sebagai "suatu
yang padu" digunakan untuk merujuk pada dua zat
berbeda yang membentuk suatu kesatuan. Ungkapan
"Kami pisahkan antara keduanya" adalah terjemahan
kata Arab "fataqa", dan bermakna bahwa sesuatu
muncul menjadi ada melalui peristiwa pemisahan
atau
pemecahan
struktur
dari
"ratq".
Perkecambahan biji dan munculnya tunas dari dalam
tanah adalah salah satu peristiwa yang diungkapkan
dengan menggunakan kata ini
LANGIT SEBAGAI ATAP BAGI BUMI
(ATMOSFIR)
• "Dan Kami menjadikan langit itu sebagai atap yang
terpelihara, sedang mereka berpaling dari segala
tanda-tanda (kekuasaan Allah) yang ada padanya." (Al
Qur'an, 21:32)
• Sifat langit ini telah dibuktikan oleh penelitian ilmiah
abad ke-20.
• Atmosfir yang melingkupi bumi berperan sangat
penting bagi berlangsungnya kehidupan. Dengan
menghancurkan sejumlah meteor, besar ataupun kecil
ketika mereka mendekati bumi, atmosfir mencegah
mereka jatuh ke bumi dan membahayakan makhluk
hidup.
GARIS EDAR
• "Dan Dialah yang telah menciptakan malam dan
siang, matahari dan bulan. Masing-masing dari
keduanya itu beredar di dalam garis edarnya." (Al
Qur'an, 21:33)
• Disebutkan pula dalam ayat yang lain bahwa
matahari tidaklah diam, tetapi bergerak dalam
garis edar tertentu:
• "Dan matahari berjalan di tempat peredarannya.
Demikianlah ketetapan Yang Maha Perkasa lagi
Maha Mengetahui." (Al Qur'an, 36:38)