Konsep Wahyu

Download Report

Transcript Konsep Wahyu

Dekonstruksi Konsep Wahyu
• al-Qur`an haruslah dilihat dari perspektif teologi dan
filsafat linguistik. Sebuah pandangan teologis
menyebutkan bahwa al-Qur`an
adalah suci,
kebenarannya absolut, berlaku di mana dan kapan saja,
sehingga ia tidak mungkin bisa diubah dan
diterjemahkan.
• Namun demikian, dari sudut historis dan filsafat
linguistik, begitu kalam Tuhan telah membumi dan
sekarang malah menjelma ke dalam teks, maka alQur`an menjadi sebuah teks biasa yang dibuat oleh
bangsa Arab.
Komaruddin Hidayat, Menafsirkan Kehendak
Tuhan. Jakarta: Teraju, 2004, Cet. II, hlm. 150.
Dekonstruksi Konsep Wahyu
al-Qur`an yang telah tersaji saat ini, setidaknya telah
melalui dua proses penafsiran.
Pertama, penafsiran al-Qur`an yang dilakukan oleh
Jibril dan kemudian didiktekan kepada Muhammad saw.
Kedua, penafsiran yang mungkin terjadi dalam diri
Muhammad Rasulullah. Bukankah Muhammad sebuah
sosok pribadi yang cerdas, jujur, amanah (bisa dipercaya),
dan bukan sebuah kaset kosong untuk diisi rekaman?
Jadi, ketika menerima wahyu, Muhammad bertindak aktif
memahami, menyerap dan kemudian mengungkapkannya
dalam bahasa Arab.
Komaruddin Hidayat, Menafsirkan Kehendak
Tuhan. Jakarta: Teraju, 2004, Cet. II, hlm. 150.
Dekonstruksi Konsep Wahyu
Teologi: al-Qur`an wahyu Allah
Jibril
Muhammad
Historis/Linguistik: al-Qur`an berbahasa Arab. AlQur`an buatan Muhammad dan bangsa Arab
Komaruddin Hidayat, Menafsirkan Kehendak
Tuhan. Jakarta: Teraju, 2004, Cet. II, hlm. 150.
Makna Wahyu secara Bahasa
‫ُك ُّل َما أَلْ َقْيتَهُ إِ ََل َغ ِْْي َك‬
Setiap yang kamu alihkan kepada selainmu
Maka dari itu, jelas Ibn Manzhur, maknanya
mencakup berisyarat (isyârah), menulis (kitâbah),
menyampaikan surat/pesan (risâlah), memberi
ilham (ilhâm), dan berbicara dengan pelan (kalam
khafiy).
[Muhammad ibn Mukram ibn Manzhur, Lisan al-'Arab,
Beirut: Dar Shadir, t.th., jilid 15, hlm. 379]
Makna Wahyu secara Istilah
• Wahyu adalah sumber ajaran para Nabi 'alaihimussalam. Yang membedakan Nabi dari manusia lainnya
adalah wahyu itu sendiri, karena memang para Nabi
adalah seorang manusia biasa.
• Wujud wahyu itu sendiri adalah kalam (firman) Allah
swt yang ditransferkan kepada Nabi-Nya, baik secara
langsung ataupun melalui perantaraan malaikat. Dan
Allah swt menjamin Nabi-Nya tidak akan salah satu
huruf pun dalam menghafal firman Allah swt tersebut.
Makna Wahyu secara Istilah
Manna' al-Qaththan memberikan ta'rîf wahyu
sebagai berikut:
ِ
ِ
‫ِب ِم ْن أَنْبِيَائِِه‬
‫ن‬
‫ى‬
‫ل‬
‫ع‬
‫ل‬
‫ز‬
‫ن‬
‫م‬
‫ل‬
‫ا‬
‫اَل‬
‫ع‬
‫ت‬
‫اهلل‬
ٍّ َ ََ ُ َّ َ ُ ْ َ َ َ ‫َكالَ ُم‬
Firman Allah Ta'ala yang diturunkan (langsung)
kepada seorang Nabi.
(Manna' al-Qaththan, Mabâhits fî 'Ulûm al-Qur`ân, Riyadl :
Mansyurat al-'Ashr al-Hadits, 1393 H/1973 M, hlm. 33)
Wahyu adalah Tanzil
• Wahyu adalah tanzil/munazzal; diturunkan langsung.
Artinya, apa yang diterima Nabi adalah murni sebagai
firman Allah swt secara utuh. Tidak terkandung di
dalamnya penafsiran dan pengalihan bahasa oleh
malaikat atau oleh Nabi sendiri.
• Dari Allah swt-nya sudah berbahasa Arab, bukan
dialihbahasakan ke dalam bahasa Arab oleh Nabi saw
• Oleh karenanya teks al-Qur`an, walau
bagaimanapun, tidak akan sama dengan teks buatan
penyair, ataupun jampi-jampi paranormal.
Wahyu adalah Tanzil
Dengan sendirinya wahyu ini pun metahistoris;
tidak terikat sejarah, tidak terikat oleh ruang dan
waktu. Ia jelas tidak tunduk pada budaya Arab yang
ada waktu itu, melainkan melintasinya. Kalau
memang wahyu, khususnya al-Qur`an, merupakan
hasil kreasi manusia tepatnya Nabi Muhammad
saw, tentu manusia-manusia yang lainnya pun bisa
membuat karya yang serupa dengan al-Qur`an.
Akan tetapi fakta berbicara lain, al-Qur`an tidak bisa
tersamai oleh karya manusia yang ada waktu itu,
bahkan sampai hari ini.
Hermeneutika Tidak Dibutuhkan
• Pertama, hermeneutika menuntut kita meyakini bahwa al-Qur`an
buatan Muhammad dan bangsa Arab.
• Kedua, praktisi hermeneutika dituntut untuk bersikap skeptis, selalu
meragukan kebenaran dari mana pun datangnya. Konsekuensinya,
al-Qur`an menjadi susah untuk diamalkan karena semuanya
menjadi direlatifkan. Padahal al-Qur`an dari sejak awal menolak
skeptisisme dan relativisme. Al-Qur`an hadir membawa haqq dan
hudan untuk dijadikan pegangan dan diamalkan manusia.
• Ilmu tafsir yang dikembangkan oleh para ulama sudah mendahului
teori-teori yang dikemukakan dalam hermeneutika. Hanya tentu
bedanya, ilmu tafsir berawal dari keyakinan bahwa al-Qur`an kalam
Allah swt dan kebenaran dalam al-Qur`an ada serta dapat
ditemukan, sementara hermeneutika berawal dari kesangsian alQur`an sebagai kalam Allah dan keraguan yang tiada akhir akan
ditemukannya kebenaran dalam al-Qur`an.
Mushaf ‘Utsmani
Nashruddin Syarief
Kodifikasi al-Qur`an (Jam’ul-Qur`an) I
(Periode Nabi saw)
• Pada masa Nabi saw mencakup dua kegiatan;
penghafalan dan penulisan. Dan Nabi saw
langsung menjadi pengawas dalam keseluruhan
kegiatannya.
• Dari Zaid ibn Tsabit, ia berkata: "Kami menyusun
al-Qur`an di samping Rasulullah Saw dari
lembaran kulit/daun." (Sunan at-Tirmidzi kitab al-manaqib bab fi
fadlli as-Syam wa al-Yaman, no. 3954; Musnad Ahmad ibn Hanbal no. 21647;
Shahih Ibn Hibban bab dzikr ibahah ta`lif al-'alim kutub Allah, no. 114; alMustadrak 'ala as-Shahihain, kitab at-tafsir dzikr as-shahabah alladzina jama'u alQur`an wa hafizhuhu, no. 2901)
Kodifikasi al-Qur`an (Jam’ul-Qur`an) I
(Periode Nabi saw)
• 'Utsman berkata: "… apabila turun wahyu
beliau memanggil sebagian sekretarisnya
sambil bersabda: "Letakkanlah ayat-ayat
ini dalam surat yang menyebutkan ini
dan itu." Dan apabila turun kepadanya
satu ayat, beliau bersabda: "Letakkanlah
ayat ini dalam surat yang menyebutkan
ini dan itu." (Sunan at-Tirmidzi, kitab tafsir al-Qur`an bab wa min
surat at-Taubah, no. 3086)
Kodifikasi al-Qur`an (Jam’ul-Qur`an) II
(Periode Abu Bakar ra)
• Pada masa Abu Bakar r.a, kodifikasi al-Qur'an
dilakukan dengan menyalinnya ke dalam
shuhuf; lembaran-lembaran daun yang tidak
terikat (belum dibukukan). Surat-surat belum
tersusun rapi seperti sekarang, walau semua
ayat dalam masing-masing suratnya sudah
disusun secara rapi sebagaimana diarahkan
Rasul saw di periode sebelumnya (Ibn Hajar, Fath alBari, hlm. 22).
Kodifikasi al-Qur`an (Jam’ul-Qur`an) II
(Periode Abu Bakar ra)
Zaid ibn Tsabit sebagai koordinator yang ditunjuk Abu Bakar,
memberlakukan syarat “dua saksi”, yaitu:
• Menukil dari hafalan dan catatan sekaligus.
• Harus ada dua saksi bahwa ayat yang disetorkan kepada
panitia benar-benar talaqqî (menerima langsung) dari Nabi
saw dalam hal pencatatannya. Ini terlihat dari pernyataan
'Umar yang menegaskan talaqqâ min Rasûlillâh dan
pengakuan Zaid bahwa akhir surat at-Taubah, catatannya
hanya ditemukan di Abu Khuzaimah al-Anshari, tidak pada
yang lainnya. Sebelum Zaid menemukan bentuk otentik
tulisannya, walau ia tahu ayat-ayat itu ada, ia tidak
memasukkannya dulu ke dalam shuhuf. (Ibn Hajar, Fath al-Bari,
hlm. 18-19)
Kodifikasi al-Qur`an (Jam’ul-Qur`an) III
(Periode ‘Utsman ra)
• Pada periode ini al-Qur`an disalin ulang dari shuhuf
ke dalam sebuah mushhaf dengan mengurutkan
surat-suratnya menjadi seperti yang sekarang ada.
(Fath al-Bari, hlm. 22)
• Zaid yang ditunjuk kembali menjadi koordinator,
menerapkan manhaj yang sama. Buktinya, ketika ia
kehilangan satu ayat dari surat al-Ahzab ia
menelusurinya sampai menemukannya pada
Khuzaimah ibn Tsabit (Ibn Hajar, Fath al-Bari, hlm. 26)
Kodifikasi al-Qur`an (Jam’ul-Qur`an) III
(Periode ‘Utsman ra)
• ‘Ali ra: "Jangan kalian berkata tentang 'Utsman kecuali kebaikan.
Karena demi Allah, tidaklah yang ia lakukan dalam hal mushhaf
itu kecuali berdasarkan persetujuan kami. Waktu itu 'Utsman
berkata, 'Bagaimana pendapat kalian tentang qirâ`at ini?
Sungguh telah sampai kepadaku bahwasanya sebagian dari
mereka berkata, qirâ`atku lebih baik dari qirâ`atmu. Dan ini
hampir-hampir mengarah pada kufur.' Kami bertanya kembali,
'Menurut anda sendiri bagaimana?' Ia menjawab, 'Aku
berpendapat, manusia disatukan dalam satu mushhaf. Sehingga
tidak ada perpecahan dan perselisihan.' Kami pun menjawab,
'Bagus sekali pendapat anda." (Ibn Hajar, Fath al-Bari, hlm. 22.
Mengutip riwayat dari Ibn Abi Dawud dalam al-Mashâhif, dari jalan Suwaid
ibn Ghaflah dengan sanad yang shahih)
Kodifikasi al-Qur`an (Jam’ul-Qur`an) III
(Periode ‘Utsman ra)
• Ibn 'Abbas bertanya kepada 'Utsman, mengapa al-Anfal yang masuk
golongan al-matsânî disambungkan dengan al-Bara`ah yang masuk
golongan al-mi`ûn tanpa menuliskan basmalah di antara keduanya,
lalu dirangkaikan ke dalam as-sab'ut-thuwal (tujuh surat yang
panjang)? Maka 'Utsman menjawab: "Surat al-Anfal itu memang
diturunkan di awal periode Madinah, sedangkan al-Bara`ah di
akhirnya. Tapi kisahnya serupa dengan al-Bara`ah. Aku mengira
bahwa al-Anfal itu bagian dari al-Bara`ah. Rasulullah Saw wafat
tanpa sempat menjelaskannya kepada kita. Oleh karena itu aku
menyandingkan keduanya dan aku tidak tuliskan bismillâhirrahmânir-rahîm. Aku pun lalu memasukkannya pada as-sab'utthuwal." (Sunan at-Tirmidzi kitab tafsir al-Qur`an min Rasulillah bab wa
min surat at-Taubah no. 3086. Juga dalam al-Mustadrak al-Hakim 2 : 241,
360; as-Sunan al-Kubra an-Nasa`iy 5 : 10; dan Musnad Ahmad 1 : 57).
Alasan Logis Kodifikasi
• Jika al-Qur`an sudah benar-benar tertulis semuanya,
mengapa kemudian timbul kekhawatiran ketika banyak
huffazh meninggal dunia?
• Pengumpulan al-Qur`an ketika meninggalnya para
huffazh, berkaitan dengan persaksian. Yakni bahwa
suatu tulisan diakui sah sebagai ayat al-Qur`an karena
adanya saksi. Kalau kemudian orang-orang yang hafal
al-Qur`an terus meninggal, dan al-Qur`an tidak segera
dikumpulkan, siapa yang akan menjadi saksi dan
mengesahkan bahwa tulisan-tulisan itu benar alQur`an. (Al-A'zhami, Sejarah Teks Al-Quran, hlm. 339)
Penyeragaman Qira`ah
Kenapa qira`ah harus diseragamkan? Bukankah al-Qur`an itu
diturunkan dalam tujuh huruf?
• Diturunkannya al-Qur`an dalam tujuh ahruf (gaya membaca) bukan
berarti sebuah kewajiban yang harus dikuasai oleh setiap individu.
• Ia hanya sebuah rukhshah bagi yang tidak mampu membacanya
dalam salah satu ahruf tertentu. Oleh karena itu, meninggalkan
sebagiannya pun tidak menjadi dosa.
• Terlebih dengan memperhatikan situasi yang tengah mengarah
pada perpecahan umat disebabkan beragamnya ahruf tadi.
Ditambah dengan telah banyak beredar ahruf yang tidak bersumber
dari Nabi Saw. Maka kesepakatan shahabat untuk menetapkan satu
rasm dengan pertimbangan kemaslahatan, seperti yang terjadi pada
periode 'Utsman, sangat tepat. (Al-Qaththan, Mabâhits fî 'Ulûm alQur`ân, hlm. 132)
Rasm ‘Utsmani
• Menurut Ibn al-Jazari, jumhur 'ulama salaf dan khalaf sepakat
bahwa rasm 'utsmani itu adalah rasm yang mencakup semua jenis
al-ahruf as-sab'ah. Dan yang masuk kategori al-ahruf as-sab'ah itu
adalah qira`at-qira`at yang mutawatirah bersumber dari Rasul Saw
dalam al-'urdlah al-akhirah (setoran terakhir). Hal tersebut sangat
memungkinkan mengingat para shahabat menetapkan rasm
'utsmani tanpa syakal dan titik, sehingga sifatnya ihtimal
(memungkinkan untuk semua jenis qira`at yang ada).
• Hanya untuk ayat-ayat tertentu yang tidak memungkinkan untuk
diakomodir dalam satu tulisan, maka tulisan yang dipakai adalah
tulisan yang sesuai dengan bacaan orang Quraisy, sebagaimana
titah ’Utsman kepada panitia kodifikasi al-Qur`an. ('Ali ibn Sulaiman
al-'Abid, Jam' al-Qur`an al-Karim Hifzhan wa Kitabah, al-Maktabah asSyamilah al-Ishdar 2, hlm. 59)
Rival Codices
• Rival codices (mushhaf-mushhaf tandingan) merupakan
istilah baru yang dikemukakan oleh Arthur Jeffery; seorang
orientalis yang memfokuskan diri pada penelitian mushhafmushhaf al-Qur`an. Berdasarkan penelitiannya, Jeffery
mengatakan, setidaknya terdapat 15 mushhaf primer dan
13 mushhaf sekunder, walau kemudian Jeffery hanya
mempopulerkan Mushhaf Ibn Mas’ud dan Ubay. Menurut
Jeffery, banyaknya mushhaf pra- 'Utsmani menunjukkan
bahwa pilihan 'Utsman terhadap tradisi teks Madinah tidak
berarti pilihan terbaik.
• Pendapat ini terbantahkan dengan kesepakatan semua
shahabat atas mushhaf 'Utsmani (arjah dan ashah),
termasuk Ibn Mas’ud dan Ubay
Kelemahan Orientalis
• Pertama, meremehkan sistem sanad.
• Kedua, pada prinsipnya al-Qur`an bukanlah
"tulisan" (rasm atau writing) tetapi merupakan
"bacaan" (qira`ah atau recitation) dalam arti
ucapan atau sebutan. Baik proses turunnya,
maupun penyampaian dan periwayatannya. Oleh
karena itu sangat tidak tepat kalau kemudian para
orientalis membidik teks dengan metode-metode
filologi yang lazim digunakan pada Bibel. Apalagi
setelah sebelumnya menggugurkan sistem sanad.
Kelemahan Orientalis
• Ketiga, tulisan yang sifatnya sebagai penunjang
pun begitu terpelihara sejak dari zaman Nabi Saw,
Abu Bakar dan Utsman. Pada masa Abu Bakar,
ketika terdesak untuk melakukan jama', maka
metode yang digunakan pun sangat ketat. Selain
harus sesuai dengan hafalan, harus ada dua saksi
yang mengesahkan tulisan tersebut. Hal yang
sama ditempuh lagi pada masa 'Utsman, guna
menganalisa qira`ah mutawatirah. Semuanya
didasarkan pada sanad dengan pengesahan ijma'
shahabat.
Kelemahan Orientalis
• Keempat, salah paham tentang rasm dan qira`ah. Sebagaimana
diketahui, tulisan Arab atau khath mengalami perkembangan
sepanjang sejarah. Pada kurun awal Islam, al-Qur`an ditulis
gundul tanpa tanda baca sedikit pun. Sistem vokalisasi baru
diperkenalkan kemudian. Meskipun demikian, rasm 'utsmâni
sama sekali tidak menimbulkan masalah, mangingat kaum
muslimin saat itu belajar al-Qur`an langsung dari shahabat,
dengan cara menghafal, dan bukan dari tulisan. Mereka tidak
bergantung pada manuskrip atau tulisan. Maka dari itu keliru
kalau orientalis menyatakan adanya banyak tulisan berarti
banyak bacaan. Mereka tidak tahu bahwa dalam hal ini
kaidahnya adalah: tulisan harus mengacu pada bacaan yang
diriwayatkan dari Nabi saw (ar-rasmu tabi'un li ar-riwayah), dan
bukan sebaliknya. (Syamsuddin Arif, al-Qur`an, Orientalisme, dan
Luxemberg dalam Jurnal Kajian Islam al-Insan Vol. 1, No. 1, Januari 2005,
hlm. 11-17.