WARIS CUCU mhs - WordPress.com

Download Report

Transcript WARIS CUCU mhs - WordPress.com

RISMA RAHMAWATI
SURIYANTI NASUTION
(20110730009)
(20110730041)
Penjelasan Sebelumnya Mengenai :
1. PEWARIS
2. AHLI WARIS
3. WARISAN
4. BAGIAN MASING-MASING AHLI WARIS
5. CARA PEMBAGIANNYA
Penjelasan jawaban dari pertanyaan warisan atas
pernikahan BERBEDA AGAMA
 Agama Pewaris berbeda dengan agama Ahli Waris.
Misalnya, Pewaris beragama Islam sedangkan Ahli
Warisnya beragama non muslim (selain Islam).
 Demikian pula sebaliknya. Hal ini didasarkan pada
Hadist Nabi, “Orang Islam tidak dapat mewarisi harta
orang kafir, dan orang kafir tidak dapat mewarisi harta
orang Islam.”(HR. Bukhari Muslim).
 Pasal 172 KHI, “Ahli Waris dipandang beragama Islam
apabila diketahui dari Kartu Identitas atau pengakuan
atau amalan atau kesaksian, sedangkan bagi bayi yang
baru lahir atau anak yang belum dewasa, beragama
menurut ayahnya atau lingkungannya.”
 Apabila antara Pewaris dengan Ahli Waris berbeda
agama, apabila salah satunya menghendaki agar
diantara mereka ikut menikmati harta peninggalan,
maka bisa dilakukan dengan jalan wasiat atau wasiat
wajibah, yang bagiannya tidak melebihi 1/3 bagian
harta peninggalan yang siap dibagikan kepada para
Ahli
Waris
yang
lain
(Lihat
Pts
PA
No.377/Pdt.G/1993/PA Jkt, 4 Nopember 1993; Pts No.
1/Pdt.G/1994/PTA Jkt, 25 Oktober 1994; Pts No.
368K/G/1995/MA, 16 Juli 1998).
PEMBAHASAN
Prinsip-prinsip Hukum Waris Islam
Prinsip ijbari
2. Prinsip individual
3. Prinsip bilateral
4. Prinsip kewarisan hanya karena kematian
1.
PRINSIP IJBARI
 peralihan harta seseorang yang telah meninggal dunia
kepada mereka yang masih hidup berlaku dengan
sendirinya.
 Hal ini berarti, bahwa peralihan harta dari seseorang yang
telah meninggal dunia kepada Ahli Warisnya, berlaku
dengan sendirinya sesuai dengan kehendak Allah, tanpa
bergantung kepada kehendak Pewaris atau Ahli Waris.
 Dengan demikian, antara Pewaris dan Ahli Waris dalam hal
ini “dipaksa” menerima dan membagikan harta warisan
sesuai dengan ketentuan bagian yang ada
PRINSIP INDIVIDUAL
 warisan dapat dibagi-bagikan kepada Ahli Waris
untuk dimiliki secara perorangan.
 Hal ini berarti setiap Ahli Waris berhak atas bagian
warisan yang didapatkan tanpa terikat oleh Ahli Waris
PRINSIP KEWARISAN HANYA KARENA
KEMATIAN
 Peralihan harta seseorang kepada orang lain dengan
sebutan kewarisan, berlaku setelah yang mempunyai
harta tersebut meninggal dunia.
 Dengan demikian tidak ada pembagian warisan
sepanjang Pewaris masih hidup.
 Segala bentuk peralihan harta seseorang yang masih
hidup, baik secara langsung maupun tidak langsung,
tidak termasuk ke dalam persoalan kewarisan
menurut hukum waris Islam.
HIJAB
 Terhalangnya atau terdindingnya atau tertutupnya seorang
Ahli Waris karena adanya Ahli Waris yang lain.
 Hijab Hirman adalah terhijabnya Ahli Waris dalam
memperoleh seluruh bagian warisan akibat adanya Ahli
Waris lain.
 Hijab Nuqshan adalah hijab sebagian yaitu berkurangnya
bagian yang semestinya diperoleh oleh Ahli Waris karena
adanya Ahli Waris yang lain. Dengan demikian Ahli Waris
ini masih memperoleh bagian, tetapi jumlah bagiannya
berkurang dari jumlah bagian semula.
GOLONGAN AHLI WARIS
 DZAWIL FURUDL
 ASHABAH BI NAFSHI
 ASHABAH BIL GHAIRI
 ASHABAH MA’AL GHAIRI
 DZAWIL ARKHAM
 MAWALI/AHLI WARIS PENGGANTI
DZAWIL FURUDL
 ahli waris yang mempunyai bagian-bagian tertentu sebagaimana
disebutkan dalam Al Qur’an dan Sunnah. Bagian-bagian
tertentu tersebut ialah: ½,1/3,1/4,1/6,1/8, dan 2/3.
 Ahli waris yang termasuk golongan ini ada 12 orang, yaitu:












Suami.
Isteri.
Ayah.
Ibu.
Anak perempuan.
Cucu perempuan (dari anak laki-laki).
Saudara perempuan kandung.
Saudara perempuan seayah.
Saudara perempuan seibu.
Saudara laki-laki seibu.
Kakek.
Nenek.
ASHABAH
 ahli waris yang tidak memperoleh bagian tertentu,
tetapi mereka berhak mendapatkan seluruh harta
warisan jika tidak ada ahli waris dzawil furudl sama
sekali; jika ada ahli waris dzawil furudl, berhak atas
sisanya; dan apabila tidak ada sisa sama sekali, tidak
mendapat bagian apapun.
ASHABAH BIN NAFSHI
 ahli waris ashabah dengan sendirinya, tidak karena ditarik oleh ahli
waris lain atau tidak karena bersama-sama dengan ahli waris lain.
 Ahli waris ini adalah:
 Anak laki-laki.
 Ayah.
 Kakek.
 Cucu laki-laki dari anak laki-laki.
 Saudara laki-laki kandung.
 Saudara laki-laki seayah.
 Paman kandung.
 Paman seayah.
 Anak laki-laki paman kandung.
 Anak laki-laki paman seayah.
ASHABAH BIL GHAIRI
 ahli waris ashabah karena ditarik atau bersama ahli waris
lainnya. Ashabah bil ghairi ini adlah seorang wanita yang
menjadi ashabah karena ditarik oleh ahli waris laki-laki.
 Ahli waris ini adalah:
 Anak perempuan yang mewaris bersama-sama dengan
anak laki-laki.
 Cucu perempuan (dari anak laki-laki) yang mewaris
bersama-sama dengan cucu laki-laki (dari anak laki-laki).
 Saudara perempuan kandung yang mewaris bersama-sama
dengan saudara laki-laki kandung.
Saudara
perempuan seayah yang mewaris bersama-sama
dengan saudara laki-laki seayah.
ASHABAH MA’AL GHAIRI
 ahli waris ashabah karena bersama-sama dengan ahli
waris keturunan perempuan.
 Adapun ahli waris ini adalah:
 Saudara perempuan kandung yang mewaris bersamasama dengan anak perempuan atau cucu perempuan
(dari anak laki-laki).
 Saudara perempuan seayah yang mewaris bersamasama dengan anak perempuan atau cucu perempuan
(dari anak laki-laki).
DZAWIL ARKHAM
 ahli waris yang mempunyai hubungan darah dengan Pewaris melalui anggota keluarga
perempuan.
 Adapun ahli waris yang termasuk Dzawil Arkham adalah:
 Cucu laki-laki atau cucu perempuan (dari anak perempuan).
 Kemenakan laki-laki atau kemenakan perempuan (anak-anak saudara perempuan
kandung, seyah, seibu).
 Kemenakan perempuan (anak-anak perempuan saudara laki-laki kandung atau seayah).
 Saudara sepupu perempuan (anak-anak perempuan paman/saudara laki-laki ayah).
 Paman seibu (saudara lakilaki ayah seibu).
 Paman (saudara laki-laki ibu).
 Bibi (saudara perempuan ayah).
 Bibi (saudara perempuan ibu).
 Kakek (ayah ibu).
 Nenek buyut (ibunya kakek).
 Kemenakan seibu (anak-anak saudara laki-laki seibu).
MAWALI
 Konsep Mawali yang ditawarkan QS. An Nisa ayat 33
diartikan sebagai ahli waris pengganti, yaitu anak
menggantikan
kedudukan
ayah/ibunya
yang
meninggal lebih dulu sebagai ahli waris ketika
neneknya/kakeknya meninggal dunia. Adapun
ketentuan bagiannya mengikut pada jumlah
ketentuan yang ditetapkan bagi orang yang digantikan
kedudukannya.
MAWALI
 Mawali adalah ahli waris yang menggantikan seseorang
untuk memperoleh bagian warisan yang tadinya akan
diperoleh oleh orang yang digantikan itu seandainya ia
masih hidup. Orang yang digantikan itu ialah penghubung
antara ahli waris pengganti dengan pewaris.
 Contohnya cucu yang orang tuanya meninggal dunia lebih
dahulu daripada kakeknya. Cucu tersebut mewaris dari
kakeknya. Orangtua cucu yang meninggal dunia itu
merupakan penghubung antara cucu dengan kakeknya.
 Menurut Hazairin, penggantian tempat dapat terjadi
bagi ahli waris dalam garis lurus ke bawah (cucu
menggantikan orangtuanya yang meninggal terlebih
dahulu), ahli waris dalam garis lurus ke samping
(kemenakan/anak dari saudara perempuan), ahli waris
dalam garis lurus ke atas (kakek/ayahnya ibu).
Menurut Hazairin, Garis pokok penggantian tempat
adalah suatu cara untuk menentukan siapa-siapa ahli
waris. Tiap-tiap ahli waris berdiri sendiri sebagai ahli
waris. Dia bukan menggantikan ahli waris yang lain.
 Di dalam Pasal 185 KHI juga dikenal mewaris karena
penggantian tempat (mawali), yaitu: (1) Ahli waris
yang meninggal lebih dahulu daripada si Pewaris
maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya,
kecuali mereka yang tersebut dalam Pasal 173 KHI; (2)
Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari
bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti.
Dasar Hukum Warisan
 Berdasar Al-Quran
 An-Nisa:7

Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya,
dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan
kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.
An-Nisa ayat 11
11. Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anakanakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian
dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan
lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia
memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masingmasingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang
meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak
mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya
mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa
saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian
tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan)
sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu,
kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat
(banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
An-nisa ayat 12
12. dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteriisterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika isteri-isterimu itu mempunyai
anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya
sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar
hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika
kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka Para isteri
memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi
wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika
seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan
ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki
(seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masingmasing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika saudarasaudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang
sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah
dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah
menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah,
dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun.
Cucu Sebagai Ahli Waris
Ahli waris yaitu orang-orang yang berhak menerima warisan (harta
pusaka) dari orang yang meninggal dunia. Ahli waris itu banyak
jumlahnya, dan pada garis besarnya dapat dikelompokkan
sebagai berikut:
 Ahli waris laki-laki
Cucu laki-laki dari anak laki-laki dan terus ke bawah, asal
pertaliannya masih terus laki-laki
 Ahli waris perempuan
Cucu perempuan dari anak laki-laki dan terus ke bawah, asal
pertaliannya dengan yang meninggal masih terus laki-laki.
 Ahli waris furudul-muqaddarah
Yang dimaksud dengan ahli waris furudul-muqaddarah yaitu ahli
waris yang mendapat bagian tertentu dari harta warisan orang
yang meninggal dunia. Atau disebut dengan “zawil-furud”
 Bagian yang sudah ditentukan yaitu:
 Separoh/ setengah (1/2)
 Cucu perempuan dari anak laki-laki, apabila tidak ada anak






perempuan (berdasarkan ijma’ ulama)
Seperempat (1/4)
Seperdelapan (1/8)
Dua pertiga (2/3)
Dua orang cucu perempuan atau lebih dari anak laki-laki,
apabila tidak ada anak perempuan. Artinya cucu
perempuan dari anak laki-lai kalau berbilang, sedangkan
anak perempuan tidak ada, maka mereka mendapat
warisan dari datuk mereka sebanyak 2/3 harta, berdasar
qiyas, yaitu diqiyaskan dengan anak perempuan, karena
cucu perempuan dari anak laki-laki dalam beberapa hal
seperti hukum anak sejati.
Sepertiga (1/3)
Seperenam (1/6)
Kedudukan cucu sebagai ahli waris
‘ashabah ada tiga golongan, yaitu:
 ‘ashabah bi nafsihi
Yakni ahli waris yang karena dirinya sendiri berhak menerima
‘ashabah. Mereka adalah semua orang laki-laki yang nasabnya
dengan si mayat tidak diselingi oleh perempuan. Cucu laki-laki
dari anak lak-laki.
 ‘ashabah bi gairihi
Yaitu setiap ahli waris perempuan yang mempunyai bagian
tertentu, terdapat saudara laki-laki. Artinya apabila ahli waris
perempuan yang mempunyai bagian tertentu itu ada saudara
laki-laki, maka di saat itu mereka menjadi ‘ashabah dengan
adanya saudara laki-laki. Seperti cucu perempuan dari anak lakilaki bersama dengan cucu laki-laki.
 ‘ashabah ma’a gairihi
 Saudara perempuan sekandung (seorang atau lebih)
bersama dengan anak perempuan atau cucu
perempuan (seorang atau lebih)
 Saudara perempuan sebapak (seorang atau lebih)
bersama dengan anak perempuan aau cucu
perempuan.
 Ahli waris Zawil arham
Yaitu orang-orang yang masih ada hubungan nasab
(keturunan) dengan orang yang meninggal dunia, tetapi
bukan/tidak termasuk golongan ahli waris furudul
muqaddarah dan bukan pula termasuk golongan ahli waris
‘ashabah.
 Cucu (laki-laki atau perempuan) dari anak perempuan.
Kedudukannya dalam masalah warisan sama dengan anak
perempuan. Misalnya kalau anak perempuan mendapat
separoh (1/2) maka mereka juga mendapat separoh (1/2).
 Anak laki-laki dan anak perempuan dari cucu perempuan,
kedudukannya sama dengan cucu perempuan.
Penafsiran QS. An-Nisa ayat 11
dan 12
 Dalam QS. An-Nisā ayat 11 dan 12, Ayat tersebut di atas telah
menampilkan secara lengkap jumlah fard yaitu bagian-bagian para ahli
waris yang kemudian disebut oleh para ulama dengan istilah ashab alfurūd. Mereka beroleh hak yang pasti dengan angka bagian (fard) yaitu
1/2, 1/4, 1/3, 2/3, 1/6, 1/8 dan angka berhak menghabisi sisa harta
(`asabah). Namun demikian ayat-ayat tersebut tidak memuat
perolehan hak para cucu. Berkata Zayd ibn Sabit
Anak dari anak laki-laki (cucu dari anak laki-laki) menempati kedudukan
anak-anaknya (bapaknya) apabila tidak ada yang lain selain mereka.
Anak-anak laki-laki mereka (cucu laki-laki) seperti laki-laki mereka
(bapaknya) dan perempuan mereka (cucu perempuan) seperti
perempuan mereka (ibunya). Mereka mewariskan sebagaimana mereka
mewariskan dan mereka menghijab (menghalangi) yang lain,
sebagaimana mereka menghijab.(H.R. Bukhari)
Berdasarkan pendapat Zayd ibn Sabit, maka cucu memperoleh hak warisnya sebagai
pengganti dari orang tua mereka yaitu anak dari anak lelaki menempati kedudukan
ayahnya (lelaki), demikian pula cucu dalam garis perempuan menempati garis
perempuan. Pendapat ini sudah sangat baik dan dipandang sebagai kemaslahatan.
Hanya jadi persoalan sistem ini mengakibatkan para cucu dari garis turun
perempuan (Perempuan) sangat sulit memperoleh hak kewarisan. Para cucu dari
lelaki terhalangi jika ada anak lelaki kakek (paman). Sedang para cucu dari
perempuan lebih lagi di mana mereka terhalangi selama ada ada ahli waris żū alfurūd.
Anak-anak dari lelaki (para cucu dari lelaki) memperoleh `ushubah (mengambil
semua sisa) jika si pewaris tidak mempunyai anak dan tidak ada ahli waris yang
lain. Jika ia bersama dengan cucu lelaki dari lelaki lain maka ia berbagi sama dan
jika bersama dengan cucu perempuan dari lelaki, maka cucu lelaki dari lelaki
memperoleh dua bagian (2:1). Sedangkan cucu perempuan dari lelaki memperoleh
bagian separoh (½) bila ia hanya sendirian dan 2/3 bila ia dua orang atau lebih. Jika
ia bersama dengan cucu lelaki dari lelaki maka ia memperoleh bagian separoh dari
saudaranya lelaki (cucu dari lelaki). Ini merupakan dialektis atas pemahaman
terhadap anak lelaki dan anak perempuan pewaris dengan metode berfikir qiyās
(analogi).
Mereka juga memperkuat pendapat tersebut dengan dasar pendapat Ibn Mas`ūd
(sahabat Rasul Allah s.a.w) yang mengatakan bahwa Nabi saw memahamkan
demikian, sbb :
Huzail Ibnu Surajil berkata, ditanyai Abu Musa tentang anak perempuan, cucu
perempuan dari lelaki dan saudara perempuan kandung maka Abu Musa
berkata bahwa anak perempuan memperoleh separoh (1/2) dan saudara
perempuan separohnya (1/2). Lalu aku datang kepada Ibnu Mas`ud ra maka
ditanyakan kepadanya, lalu Ibnu Mas`ud ra mengabarkan perkataan Abu Musa
ra berkata, sungguh aku sesat jika tidak termasuk orang yang diberi petunjuk,
aku memutus dengan apa yang diputus oleh nabi saw yaitu anak perempuan
separoh (1/2), cucu perempuan dari lelaki seperenam (1/6) sebagai penyempurna
dua pertiga sdan sisanya untuk saudara perempuan. Maka aku datang kepada
Abu Musa ra dan aku kabarkan perkataan Ibnu Mas`ud maka Abu Musa
berkata, aku tidak pernah ditanyai tentang itu selama ini. H.R. Bukhari
Selanjutnya tentang cucu lelaki atau perempuan dari
perempuan, mereka dianggap tidak berhak atas waris
bila masih ada far`u waris berupa ashab al-furūd
(orang-orang yang telah ditentukan bagiannya) dan
`asabah (orang yang menghabisi sisa). Mereka
digolongkan termasuk sebagai żū al-arham yakni
golongan yang bukan ashab al- furūd dan as}abah.
Alasan umum pendapat mereka adalah bahwa para
cucu perempuan dari perempuan tidak dibicarakan
dalam teks-teks al-Qur'an. Kelompok ini disponsori
oleh mayoritas jumhur ulama dalam mażhab Sunni
(terutama Imam empat mażhab).
Pergantian Ahli Waris Menurut
Kompilasi Hukum Islam
Aturan ini tercantum dalam Pasal 185 KHI yang bunyi lengkapnya adalah
sebagai berikut:
 Ahli waris yang meninggal dunia lebih dahulu dari pada si pewaris,
maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka
yang tersebut dalam Pasal 173. (Pasal 173 Seorang terhalang menjadi
ahli waris apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai
kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena: a. dipersalahkan telah
membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat para
pewaris; b. dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan
pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang
diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih
berat.)
 Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris
yang sederajad dengan yang diganti.
KHI juga memberi batasan bahwa harta yang didapat oleh sang cucu
bukanlah keseluruhan dari harta yang seharusnya didapat sang ayah,
melainkan hanya 1/3 bagiannya saja. Walaupun demikian, dalam
pembaharuan yang terjadi di beberapa Negara muslim lainnya seperti
Mesir, Tunisia dan Pakistan, dalam konteks ini sang cucu bisa berlaku
menghabiskan seluruh warisan ayahnya yang beralih kepadanya karena
sang ayah sudah meninggal dunia terlebih dahulu. Sebaliknya, di dalam
kitab-kitab Fiqih Mawaris (Faraidh), khususnya kitab-kitab fiqih klasik,
ketentuan ahli waris pengganti seperti demikian tidak dijumpai, kecuali
hanya dalam menentukan besarnya bagian ahli waris dzawil arham bagi
madzhab Ahlut Tanzil apabila tidak dijumpai ahli waris dzawil furud dan
ahli waris ashabah.
Pendapat-pendapat
Besarnya bagian yang seharusnya diterima oleh cucu adalah sejumlah bagian yang
seharusnya diterima orangtuanya jika mereka masih hidup. Menurut Alyasa’ Abubakar,
dosen pascasarjana Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ar-Raniry Banda Aceh, istilah
penggantian tempat ini hanya dikenal dalam hukum barat (BW) dan hukum adat namun
tidak dikenal dalam hukum Islam. Walaupun demikian, dengan adanya pembaharuan
penafsiran hukum waris ini, istilah penggantian tempat pun kini sudah dibukukan
dalam Kompilasi Hukum Islam, yang kini digunakan dalam setiap penyelesaian sengketa
di Mahkamah Syar’iyah. Syahrizal, Dosen Fakultas Syariah IAIN Ar-Raniry, dalam
disertasinya mengenai Penggantian Ahli Warisdalam Hukum Islam mengatakan bahwa
jika dikaji secara mendalam, kitab fiqih klasik sebenarnya juga memberi peluang adanya
pemberian saham waris kepada cucu walaupun konteksnya tidak sama dengan konteks
hukum adat. Dalam disertasinya Syahrizal juga menyatakan pendapat Professor di
bidang hukum, Ismuha, yang menjelaskan bahwa dalam kitab fiqih terdapat istilah
penggantian tempat ahli waris namun dengan bentuk penggantian yang berbeda dengan
apa yang terdapat dalam hukum adat. Selain itu, masih menurut Ismuha seperti dikutip
Syahrizal, hak ahli waris pengganti pun tidak tentu sama dengan yang diganti. Dia
mencontohkannya dalam Khulasah Ilmu Faraidh karya Amin al-Asyi dan Nihayat alMuhtaj karya ar-Ramly.
Dalam kitab Nihayat al-Muhtaj, ar-Ramly menuliskan bahwa
cucu laki-laki dari anak laki-laki dapat menggantikan ayahnya
yang telah meninggal dunia terlebih dahulu, sedangkan cucu
dari anak perempuan tidak mungkin. Cucu dari anak laki-laki
baru dapat menggantikan orangtuanya apabila pewaris tidak
meninggalkan anak laki-laki lain yang masih hidup. Namun
demikian, jika anak laki-laki lain masih ada, cucu tersebut tidak
mendapatkan apa-apa. Selain itu, sebut Syahrizal, satu-satunya
pendapat yang mengatakan adanya penggantian tempat dalam
hukum Islam adalah Hazairin. Pendapatnya hanyalah sekedar
untuk menggugah para ahli hukum baik ahli hukum Islam
maupun ahli-ahli hukum lain agar mau mengkaji dan meneliti
lebih lanjut persoalan penggantian tempat ini. Hazairin
memberikan penafsiran tentang adanya penggantian ahli waris
dalam hukum Islam dengan mengambil dalil Ayat 33 Surah anNisa tersebut
Hirtoris yang melatar belakangi lahirnya pasal 185 KHI ini, yang
tidak lain adalah adanya pemikiran, pembelaan dan perhatian
yang ditujukan kepada “ cucu” kalau keberadaannya bersama
dengan “ anak laki laki “, sebab menurut fiqih madzhab sunni ,
cucu dalam posisi yang demikian, terhijab hirman ( tertutup
total ) oleh anak laki laki. Semangat pembelaan tersebut sejalan
dengan keadaan yang berkembang di negara negara Islam lain
seperti Mesir dan Pakistan, bahkan bergulirnya masaalah
tersebut jauh lebih dahulu daripada apa yang dilakukan oleh
ulama’ di Indonesia. Mesir, misalnya, dalam memecahkan
masalah “ cucu “ ini memeilih jalan dengan memberikan porsi
dari tirkah melalui lembaga “ wasiat wajibah “, sebagaimana
tertuang dalam Undang Undang Mesir Tahun 1946 M. Dalam
salah satu pasalnya berbunyi :
Jadi Mesir tetap memandang “cucu“ terhijab oleh anak laki laki kakek (Paman),
lalu dicari jalan keluarnya dengan cara diberi bagian dari tirkah melalui
“wasiatwajibah“. Sedang Pakistan sebagaimana tertuang dalam Undang
undang Tahun 1961 memberi porsi kepada “cucu“ dengan jalan “penggantian
tempat“, yakni menempatkan cucu kalau bersama dengan anak laki laki dapat
menggantikan kedudukan orang tuanya yang meninggal lebih dahulu daripada
pewaris. Ternyata dalam memecahkan masalah cucu ini, Indonesia tidak
mengikuti jejak Mesir dengan jalan memberi hak bagian kepada cucu dari
harta peninggalan / warisan melalui wasiat wajibah, tapi mengikuti Pakistan
dengan metode “penggantian tempat”, sebagaimana dituangkan dalam pasal
185 KHI. Sekiranya dalam masalah pemberian bagian warisan terhadap cucu
ini, KHI mengikuti jejak Mesir dengan jalan memberi hak bagian dari harta
peninggalan melalui wasiat wajibah, maka penyelesaiannya menjadi mudah,
karena sudah terlepas dari aturan dan ketentuan ketentuan hukum kewarisan
Islam yang berlaku, sehingga di sana tidak menghadapi persoalan persoalan
yang kemungkinan berbenturan dengan aturan dan ketentuan ketentuan
dalam hukum kewarisan Islam dimaksud.
SEKIAN