ASPEK HUKUM DAN POLITIK RUU KEPERAWATAN

Download Report

Transcript ASPEK HUKUM DAN POLITIK RUU KEPERAWATAN

ASPEK HUKUM DAN POLITIK
RUU KEPERAWATAN
Oleh Hasyim Asy’ari
Dosen Hukum Tata Negara
Fakultas Hukum
Universitas Diponegoro
Semarang
Training Pencerdasan Sosial Politik
Diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Ilmu Keperawatan
Program Studi Ilmu Keperawatan
Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro
Semarang, 24 April 2011
1
Partisipasi Politik
• Partisipasi politik adalah keterlibatan warga negara dalam segala
kegiatan politik, terutama dalam penentuan kebijakan publik.
Partisipasi politik dapat dibedakan menjadi dua.
• Pertama, partisipasi konvensional (conventional participation),
seperti keterlibatan warga negara dalam partai politik,
keikursertaan dalam pemilu, ikut mempengaruhi proses
perumusan kebijakan lewat media massa dan ikut menyalurkan
aspirasi melalui lembaga perwakilan rakyat. Partisipasi politik ini
biasanya terjadi bila lembaga-lembaga seperti partai politik,
lembaga perwakilan rakyat dan media massa dapat berperan aktif
dan tidak mandul.
• Kedua, partisipasi tidak konvensional (unconventional
participation), seperti demonstrasi, mogok, pemberontakan, huru
hara dan segala kegiatan politik yang menggunakan kekerasan.
Biasanya partisipasi macam ini terjadi bila mekanisme politik
berjalan tidak normal dan lembaga-lembaga politik konvensional
tidak mampu menjalankan peranannya secara baik.
2
Faktor Partisipasi Politik
• Partisipasi politik ditentukan oleh dua faktor utama, yaitu tingkat
kesadaran politik masyarakat, dan tingkat kepercayaan masyarakat kepada
sistem politik. Berdasarkan dua faktor tersebut dapat dilihat adanya
empat model partisipasi politik.
• Pertama, bila kesadaran politik yang tinggi diikuti dengan kepercayaan
pada sistem politik juga tinggi, maka akan menimbulkan partisipasi politik
yang aktif.
• Kedua, bila kesadaran politik yang tinggi dibarengi dengan kepercayaan
yang rendah kepada sistem politik, maka akan melahirkan perilaku
membangkang (dissiden) atau militan-radikal.
• Ketiga, bila kesadaran politik rendah diikuti dengan kepercayaan yang
tinggi pada sistem politik, maka model partisipasinya pasif.
• Keempat, bila kesadaran politik dan kepercayaan pada sistem politik samasama rendahnya, maka partisipasi politiknya cenderung pasif-tertekan
(apatis) dan secara politik menimbulkan keterasingan (political alienation).
3
Faktor Partisipasi Politik
Kesadaran
Politik
II
Pembangkangan (Dissiden)/
Militan-Radikal
III
Partisipasi Politik Aktif
I
Pasif-Tertekan (Apatis)/
Keterasingan (Political
Alienation)
IV
Partisipasi Politik Pasif
Kepercayaan Politik
4
Partisipasi Politik dan Demokrasi
• Partisipasi politik merupakan inti dari demokrasi.
• Demokratis tidaknya suatu sistem politik, ditentukan oleh adatidaknya atau tinggi-rendahnya tingkat partisipasi politik warganya.
• Standar minimal demokrasi :
1. adanya pemilu reguler yang bebas untuk menjamin terjadinya
rotasi pemegang kendali negara tanpa adanya penyingkiran
terhadap suatu kelompok politik manapun.
2. adanya partisipasi aktif dari warga negara dalam pemilu itu dan
dalam proses penentuan kebijakan.
3. terjaminnya pelaksanaan hak asasi manusia yang memberikan
kebebasan bagi para warga negara untuk mengorganisasi diri
dalam organisasi sipil yang bebas atau dalam partai politik.
4. mengekspresikan pendapat dalam forum-forum publik maupun
media massa.
5
Demokrasi: Partisipasi dan Kompetisi
1. Bila kompetisi rendah dan partisipasi politik
juga rendah, maka akan menghasilkan sistem
politik closed hegemony.
2. Bila kompetisi tinggi dan partisipasi politik
rendah akan melahirkan sistem politik yang
bercorak competitive oligarchy.
3. Bila kompetisi tinggi dan partisipasi politik
tinggi, maka akan muncul sistem politik
polyarchy (demokrasi).
4. Bila tingkat kompetisi rendah dan partisipasi
politik tinggi, maka akan muncul sistem politik
competitive hegemony.
6
Demokrasi: Partisipasi dan Kompetisi
II
Competitive Oligarchy
III
Polyarchy
I
Closed Hegemony
IV
Competitive Hegemony
Kompetisi
Partisipasi
7
Tipe Rezim & Karakter Produk Hukum
• Apabila sebuah rezim bertipe democratic, maka akan ditandai dengan
mekanisme pembentukan produk hukum secara penuh persaingan
(competitive), dan mengakomodir munculnya keragaman gagasan
(pluralistic). Sebagai konsekuensi dari mekanisme yang demokratis, maka
akan dihasilkan produk hukum yang cenderung berkarakter lebih memihak
kepada kepentingan masyarakat (populist), lebih memperhatikan
kepentingan masa depan dan tidak segan-segan untuk mengikuti
perkembangan (progressive), dan membatasi munculnya multi-tafsir
(limited interpretation) dan pada gilirannya lebih memberikan jaminan
kepastian hukum.
• Sebaliknya, pada rezim yang bertipe non-democratic, mekanisme
pembentukan produk hukum lebih cenderung terpusat (centralistic), dan
tentu saja sangat kurang nuansa persaingan gagasan dalam merumuskan
produk hukum (non-competitive). Pada rezim yang demikian ini, akan
ditemukan karakter produk hukum yang cenderung mengakomodir
kepentingan kalangan elit saja (elitist), kurang mengakomodir
perkembangan dan kepentingan jangka panjang ke depan (conservative),
dan membuka ruang munculnya multi-tafsir (open to multi-interpretation)
dan kurang memberikan jaminan kepastian hukum.
8
Tipe Rezim dan Karakter Produk Hukum
Regime Types
Democratic
Karakter Produk Hukum
- Populist
- Progressive
- Limited
Interpretation
- Elitist
- Conservative
Non-Democratic
- Open to MultiInterpretation
Mekanisme
- Pluralistic
- Competitive
- Centralistic
- Non-Competitive
9
Polity
LEVEL-ENTITAS
ARENA BERMAIN
1.
STATE
2.
3.
4.
POLITICAL SOCIETY
CIVIL SOCIETY
sistem administratif, legal, birokratis
dan koersif;
mengelola aparat negara;
menyusun hubungan antara kekuasaan
sipil dan pemerintah;
menyusun hubungan mendasar dalam
political society dan civil society.
AKTOR
Pemerintah, Birokrasi, Militer, dan
Polisi;
Lembaga Peradilan;
Lembaga Legislatif.
1. repressive state-apparatus 
domination and coercion
2. ideological state-apparatus 
hegemony
1. mengatur diri dalam persaingan politik
(political contestation);
2. memperoleh kontrol atas kekuasaan
pemerintah dan aparat negara
Partai Politik.
1.
individu,
organisasi sipil (yang mandiri, bebas
dari kooptasi, hegemoni dan
korporatisme negara),
pers,
masyarakat kampus/akademis, dan
kelompok-kelompok diskusi.
menyatakan ekspresi diri dalam bentuk
organisasi sipil yang bebas dan otonom;
2. menyatakan diri dalam bentuk kebebasan
berpendapat.
Karakter Civil Society :
1. Memiliki otonomi (autonomy)
2. memiliki wilayah publik yang bebas (a free
public sphere)
3. mempunyai wacana publik (public discourse)
4. interaksi berdasarkan prinsip-prinsip
kewarganegaraan (citizenships).
10
Norma Hukum
• Norma adalah suatu nilai ukuran atau
patokan bagi seseorang dalam bertindak
atau bertingkah laku dalam masyarakat.
• Norma Hukum adalah suatu ukuran atau
patokan yang dibentuk atau ditentukan
oleh suatu otoritas resmi (negara), berlaku
mengikat bagi semua warga negara, dan
bagi warga negara yang tidak mematuhinya
akan dikenakan sanksi pidana atau sanksi
pemaksa.
11
Hierarki Norma Hukum
Tiga Asas Norma Hukum :
• Lex superior derogat legi inferior (norma hukum yang
lebih tinggi kedudukannya harus diutamakan daripada
norma hukum yang lebih rendah kedudukannya).
• Lex specialis derogat legi generalis (norma hukum
yang bersifat khusus harus diutamakan daripada norma
hukum yang lebih umum sifatnya).
• Lex posterior derogat legi priori (norma hukum yang
terbaru keberadaannya harus diutamakan daripada
norma hukum yang terdahulu keberadaannya).
12
Hierarki Peraturan Perundang-undangan
di Indonesia
• Peraturan Perundang-undangan adalah
peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga
negara atau pejabat yang berwenang dan
mengikat secara umum.
• Hierarki Peraturan Perundang-undangan
adalah penjenjangan setiap jenis Peraturan
Perundang-undangan yang didasarkan pada
asas bahwa Peraturan Perundang-undangan
yang lebih rendah tidak boleh bertentangan
dengan Peraturan Perundang-undangan yang
lebih tinggi.
13
Hierarki Peraturan Perundang-undangan
di Indonesia
Jenis dan Hierarki Peraturan Perundang-undangan
di Indonesia adalah :
• Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
• Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (Perpu);
• Peraturan Pemerintah;
• Peraturan Presiden;
• Peraturan Daerah.
14
Hierarki Peraturan Perundang-undangan
di Indonesia
•
•
Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana tersebut, diakui keberadaannya
dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi.
Jenis Peraturan Perundang-undangan yang diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan
hukum mengikat tersebut, antara lain, peraturan yang dikeluarkan oleh :
 Majelis Permusyawaratan Rakyat;
 Dewan Perwakilan Rakyat;
 Dewan Perwakilan Daerah;
 Mahkamah Agung;
 Mahkamah Konstitusi;
 Badan Pemeriksa Keuangan;
 Bank Indonesia;
 Menteri;
 Kepala Badan, Lembaga atau Komisi yang setingkat yang dibentuk oleh undang-undang
atau pemerintah atas perintah undang-undang;
 DPRD Provinsi;
 Gubernur;
 DPRD Kabupaten/Kota;
 Bupati/Walikota;
 Kepala Desa atau yang setingkat.
15
Materi Muatan
Peraturan Perundang-undangan
Adalah materi yang harus dimuat dalam
Peraturan Perundang-undangan sesuai
dengan jenis, fungsi, dan hierarki Peraturan
Perundang-undangan.
16
Materi Muatan Undang-undang
•
Mengatur lebih lanjut ketentuan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
meliputi :
 Hak Asasi Manusia;
 Hak dan Kewajiban Warga Negara;
 Pelaksanaan dan Penegakan Kedaulatan Negara
serta Pembagian kekuasaan Negara;
 Wilayah Negara dan Pembagian Daerah;
 Kewarganegaraan dan Kependudukan;
 Keuangan Negara.
• Diperintahkan oleh suatu Undang-Undang untuk
diatur dengan Undang-Undang.
17
Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan
• Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
adalah proses pembuatan Peraturan
Perundang-undangan yang pada dasarnya
dimulai dari:
perencanaan,
persiapan,
teknik penyusunan,
perumusan,
pembahasan,
pengesahan,
pengundangan; dan
penyebarluasan.
18
Kerangka Peraturan Perundang-undangan
Bentuk suatu peraturan perundang-undangan, agar memenuhi fungsinya
sebagai sumber pengenal, memiliki kerangka sebagai berikut :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Judul
Pembukaan
a. Frase Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa
b. Jabatan Pembentuk Peraturan Perundang-undangan
c. Konsiderans
d. Dasar Hukum
e. Diktum
Batang Tubuh
a. Ketentuan Umum
b. Materi Pokok yang Diatur
c. Ketentuan Pidana (jika diperlukan)
d. Ketentuan Peralihan (jika diperlukan)
e. Ketentuan Penutup
Penutup
Penjelasan (jika diperlukan)
Lampiran (jika diperlukan)
19
Bahasa Peraturan Perundang-undangan
• Bahasa peraturan perundang-undangan pada
dasarnya tunduk kepada kaidah tata Bahasa
Indonesia, baik yang menyangkut pembentukan
kata, penyusunan kalimat, teknik penulisan, maupun
pengejaannya.
• Namun demikian, bahasa peraturan perundangundangan mempunyai corak tersendiri yang
bercirikan kejernihan atau kejelasan pengertian,
kelugasan, kebakuan, keserasian, dan ketaatan asas
sesuai dengan kebutuhan hukum.
20
Bahasa Peraturan Perundang-undangan
• Dalam merumuskan ketentuan peraturan
perundang-undangan, digunakan kaidah tata
Bahasa Indonesia yang baku.
• Dalam merumuskan ketentuan peraturan
perundang-undangan digunakan kalimat yang
tegas, jelas, singkat, dan mudah dimengerti.
• Hindari penggunaan kata atau frase yang
artinya kurang jelas atau konteksnya dalam
kalimat kurang jelas.
21
Naskah Akademik RUU
• Naskah akademik adalah naskah yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai konsepsi yang
berisi latar belakang, tujuan penyusunan, sasaran yang ingin
diwujudkan dan lingkup, jangkauan, objek, atau arah pengaturan
substansi rancangan peraturan perundang-undangan.
• Penyusunan Naskah Akademik adalah pembuatan Naskah
Akademik yang dilakukan melalui suatu proses penelitian hukum
dan penelitian lainnya secara cermat, komprehensif, dan sistematis.
• Naskah Akademik memuat dasar filosofis, yuridis, sosiologis, pokok
dan lingkup materi yang akan diatur, serta konsep awal Rancangan
Peraturan Perundang-undangan.
• Maksud/tujuan dan kegunaan penyusunan naskah akademik yakni
sebagai landasan ilmiah bagi penyusunan rancangan peraturan
perundang-undangan, yang memberikan arah, dan menetapkan
ruang lingkup bagi penyusunan peraturan perundang-undangan.
22
Naskah Akademik RUU
 Judul Naskah Akademik
 Bab I Pendahuluan
A. Latar Belakang
B. Identifikasi Masalah
C. Tujuan dan Kegunaan
D. Metode Penelitian
 Bab II Asas-Asas Yang Digunakan Dalam Penyusunan Norma
 Bab III Materi Muatan RUU dan Keterkaitannya Dengan
Hukum Positif
 Bab IV Penutup
 Lampiran Konsep Awal Rancangan Undang-undang
23
Naskah Akademik RUU
•
1.
2.
3.
•
Latar Belakang Pemikiran mengenai alasan atau landasan filosofis, sosiologis, yuridis, yang mendasari
pentingnya materi hukum yang bersangkutan segera diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Landasan Filosofis Memuat pandangan hidup, kesadaran dan cita-cita hukum serta cita-cita moral yang
luhur yang meliputi suasana kebatinan serta watak dari bangsa Indonesia yang termaktub dalam
Pancasila dan Pembukaan UUD 1945.
Landasan Yuridis Memuat suatu tinjauan terhadap peraturan perundang-undangan yang ada kaitannya
dengan judul Naskah Akademik Peraturan Perundang-Undangan yang telah ada dan masih berlaku
(hukum positif). Yang termasuk dalam peraturan perundang-undangan pada landasan yuridis adalah
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan.
Landasan Sosiologis Memuat suatu tinjauan terhadap gejala-gejala sosial-ekonomi-politik yang
berkembang di masyarakat yang mendorong perlu dibuatnya Naskah Akademik. Landasan/alasan
sosiologis sebaiknya juga memuat analisis kecenderungan sosiologis-futuristik tentang sejauh mana
tingkah laku sosial itu sejalan dengan arah dan tujuan pembangunan hukum nasional yang ingin dicapai.
Identifikasi Masalah Memuat permasalahan apa saja yang akan dituangkan dalam ruang lingkup
naskah akademik.
Identifikasi masalah ini diperlukan untuk mengarahkan agar penelitian/kajian Naskah Akademik ini dapat
menjelaskan urgensi perlunya disusun Naskah Akademik peraturan perundang-undangan tersebut.
Identifikasi masalah dapat dirumuskan dalam bentuk pointer-pointer pertanyaan atau deskripsi secara
umum yang mencerminkan permasalahan yang mana harus diatasi dengan norma-norma dalam suatu
peraturan perundang-undangan.
24
Naskah Akademik RUU
•
•
Metode Penelitian ini terdiri dari metode pendekatan dan metode analisis data.
Metode penelitan di bidang hukum dilakukan melalui pendekatan Yuridis Normatif
maupun Yuridis Empiris dengan menggunakan data sekunder maupun data
primer.
1. Metode yuridis normatif dilakukan melalui studi pustaka yang menelaah
(terutama) data sekunder, baik yang berupa perundang-undangan maupun hasilhasil penelitian, hasil pengkajian dan referensi lainnya.
2. Sedangkan pendekatan Yuridis Empiris dapat dilakukan dengan menelaah data
primer yang diperoleh/dikumpulkan langsung dari masyarakat. Data primer dapat
diperoleh dengan cara: pengamatan (observasi), diskusi (Focus Group Discussion),
wawancara, mendengar pendapat narasumber atau para ahli, menyebarkan
kuestioner dan sebagainya.
3. Pada umumnya metode penelitian pada Naskah Akademik menggunakan
pendekatan yuridis normatif yang utamanya menggunakan data sekunder, yang
dianalisis secara kualitatif. Namun demikian, data primer juga sangat diperlukan
sebagai penunjang dan untuk mengkonfirmasi data sekunder.
25
Naskah Akademik RUU
Asas-asas Yang Digunakan Dalam Penyusunan Norma
• Memuat elaborasi berbagai teori, gagasan, pendapat ahli dan konsepsi
yang digunakan sebagai pisau analisis dalam menentukan asas-asas (baik
hukum maupun non hukum) yang akan dipakai dalam peraturan
perundang-undangan.
Analisis terhadap penentuan asas-asas ini juga memperhatikan berbagai
aspek bidang kehidupan terkait dengan peraturan perundang-undangan
yang akan dibuat, yang berasal dari hasil penelitian.
Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan dan Keterkaitannya
Dengan Hukum Positif
• Berisi materi muatan yang akan diatur dalam Peraturan Perundangundangan dan kajian/analisis keterkaitan materi dimaksud dengan hukum
positif, sehingga Peraturan Perundang-undangan yang dibuat tidak
tumpang tindih dengan hukum positif.
• Kajian/analisis tentang keterkaitan dengan hukum positif terkait dapat
disajikan dalam bentuk matriks atau secara deskriptif, dalam rangka
mengharmonisasikan dengan hukum positif yang telah ada, sehingga tidak
tumpang tindih.
26
RUU Keperawatan
UU yang berkaitan dengan Keperawatan:
• UU No. 29/2004 tentang Praktik Kedokteran.
• UU No. 36/2009 tentang Kesehatan.
• UU No. 44/2009 tentang Rumah Sakit.
• UU No. 7/1963 tentang Farmasi (?)
• UU No. 419/1949 tentang Obat Keras (?)
27
Materi Muatan RUU Keperawatan
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
Siapa Perawat?
Siapa (apa) saja pihak terkait (stakeholders) perawat?
Apa tugas, wewenang, hak dan tanggung jawab perawat?
Apakah perawat perlu pengetahuan dan keterampilan khusus?
Apa standar minimal pengetahuan dan keterampilan perawat?
Apa tugas, wewenang dan kewajiban Pemerintah berkaitan dengan
keperawatan?
Apakah perawat harus memiliki kualifikasi minimum keahlian tertentu?
Apakah praktik keperawatan wajib memiliki izin pemerintah?
Apakah diperlukan larangan tertentu bagi layanan keperawatan?
Apakah diperlukan kode etik perawat?
Apakah diperlukan standar profesi perawat?
Apakah diperlukan standar pelayanan perawat?
Apakah diperlukan standar prosedur operasional perawat?
Apakah diperlukan pengawasan terhadap perawat?
Apakah diperlukan sanksi bagi perawat yang melanggar kode etik, standar
profesi, standar pelayanan, standar prosedur operasional? Apa bentuk sanksi
terhadap masing-masing pelanggaran tersebut? Siapa yang berwenang
memberi sanksi?
28
Materi Muatan RUU Keperawatan
•
•
•
•
•
•
Sumber daya di bidang kesehatan adalah segala bentuk dana, tenaga, perbekalan
kesehatan, sediaan farmasi dan alat kesehatan serta fasilitas pelayanan kesehatan dan
teknologi yang dimanfaatkan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan yang dilakukan
oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.
Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan
serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang
kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya
kesehatan.
Pemerintah mengatur perencanaan, pengadaan, pendayagunaan, pembinaan, dan
pengawasan mutu tenaga kesehatan dalam rangka penyelenggaraann pelayanan
kesehatan.
Tenaga kesehatan harus memiliki kualifikasi minimum, berwenang untuk
menyelenggarakan pelayanan kesehatan sesuai dengan bidang keahlian yang dimiliki,
dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan, tenaga kesehatan wajib memiliki izin dari
pemerintah, dan selama memberikan pelayanan kesehatan dilarang mengutamakan
kepentingan yang bernilai materi.
Tenaga kesehatan harus memenuhi ketentuan kode etik, standar profesi, hak pengguna
pelayanan kesehatan, standar pelayanan, dan standar prosedur operasional.
Ketentuan mengenai kode etik dan standar profesi diatur oleh organisasi profesi.
29
Sekian
Terima Kasih
Semoga Manfaat
30