Analis Jurisprudensi Positivisme dan Konsep Hukum

Download Report

Transcript Analis Jurisprudensi Positivisme dan Konsep Hukum

Analis Jurisprudensi Positivisme dan Konsep Hukum
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN - 2010
Alam Pikiran Kuno
Anaximander
Herakleitos
Parmenides
Protagoras
Filsafat Klasik
Sokrates
Plato
Aristoteles
Stoa
Cicero
Seneca
Thomas Aquinas
(1225-1275)
Hukum sebagai Wahyu
dan
Akal Budi
William dari Occam
(1290/1300 -1350)
Nominalisme (nomen=nama)
(ide dari pengetahuan
tidak pasti kebenarannya)
Marsilius dari Padova
(1270 -1340)
Tentang negara
sebagai masyarakat yang lengkap
Desiderius Erasmus
(1469-1536)
Pendapatnya tentang
hidup bermasyarakat
dan tentang gereja
Thomas More
(1478 -1535)
Satu untuk semua, semua untuk satu
Marciavelli
(1469-1536)
Sang Raja
Jean Bodin
(1530 -1596)
Seorang Raja mempunyai
Kedaulatan;
Absolutisme negara
Hugo Grotius
(1583-1645)
Hukum bangsa-bangsa
Ius gentium
Thomas Hobbes
(1588 -1679)
Mendahulukan
Pengetahuan Empiris
Samuel Pufendorf
(1632-1694)
Moral merupakan
bentuk dari fisik
Christian Thomasius
(1655 -1728)
Hukum yang sungguh-sungguh adalah tata hukum;
Thomasius membedakan 3 macam norma:
Norma moral; norma adat istiadat; norma hukum
Christian Wolff
(1679-1754)
Sikap keadilan
John Locke
(1632 -1704)
Perintis empirisme modern
Jean Jacques Rousseau
(1712-1778)
Kebebasan dan perasaan moral manusia diancam oleh situasi
Masyarakat yang ditandai oleh kebudayaan
Dan ilmu pengetahuan;
Immanuel Kant
(1724 -1804)
Kritiknya yang mendalam
atas pengetahuan dalam segala bentuknya
Georg Wilhelm Friedrich Hegel
(1770 - 11831)
Idealisme Jerman
Perwujudan dari Roh
Marx
(1478 -1535)
Penentang liberalisme
maupun
kapitalisme
Milik masyarakat, dibuat oleh masyarakat dan bagi masyarakat
Engels
(1820 - 1895)
Capitalism
F. Von Savigny
(1779 -1861)
Tidak terdapat manusia individu
Keluarga ; bangsa; negara
Puchta
(1798-1846)
Negara mengesahkan
hukum sebagai UU
Auguste Comte
(1798 -1857)
Perintis ilmu sosiologi modern
Herbert Spencer
(1820 - 1903)
Hidup bermasyarakat yang kompleks
Itu terwujud dalam masyarakat industri modern
Rudolf von Jhring
(1818 -1892)
Teknik hukum (menguasai hukum positif secara rasional)
Adolf Merkl
(1836 - 1896)
Filsafat hukum harus menjadi bagian
Dari ilmu hukum sendiri,dengan tugas
Untuk menyelidiki dasar dan ide-ide
Dasar hukum positif
John Austin
(1790 -1859)
Ajaran hukum analis;
Hukum dari Tuhan untuk manusia
Jeremy Bentham
(1760 - 1826)
Utilitarianism, legal positivism, liberalism
“Greatest Happiness principle”
John Stuart Mill
and
Helen Taylor.
Herbert Lionel Adolphus Hart (1907–1992)
was an influential legal philosopher
of the 20th century.
He was Professor of Jurisprudence at Oxford University.
He authored The Concept of Law
and made major contributions to political philosophy.
Philosophy /
Metaphysics Of
David Hume (1711 - 76)
Ronald Dworkin (born 1931)
20th/21st-century philosophy
Law As Integrity
Hans Kelsen
Abad Pertengahan 500 – 1400 (hukum + Agama)
Peristiwa Roma Barat (476)
Peristiwa Codex Iustinianus (543)
Agama Islam (622)
Eropa Kristiani (900)
Peristiwa Akhir kekaisaran Byzantium (1453)
Aliran;
Skolastik
Nominalisme
Tokoh;
Thomas
Aquinas
William dari
Occam
Marsilius dari
Padova
Zaman Modern 1500 – 1850 (hukum +pribadi; negara; ratio; sejarah; il. Pengetahuan)
Zaman Renaissance 1500 – 1600 (hukum + Pribadi)
Peristiwa Humanisme (1500)
Peristiwa Reformasi (1517)
Peristiwa Negara Nasional
Zaman Renaissance (hukum + Negara)
Peristiwa Hukum Internasional (1600)
Erasmus, More
Luther,Calvin
Macchiavelli
Jean Bodin
Hugo Grotius
Thomas Hobbes
Zaman Aufklaerung 1650 – 1750 (hukum + Ratio)
Aliran;
Rasionalisme
Empirisme
Peristiwa Revolusi Perancis (1789)
Tokoh;
Decartes
Locke
Pufendorf,
Thomasius,
Wolff
Rousseau
Kant
Zaman Abad XIX 1800 – 1850 (hukum + sejarah; Il. Pengetahuan)
Idealisme
Hegel
Materialisme Historis
Marx, Engels
Mazhab Hukum Historis
Positivisme Sosiologis
Von Savigny,
Puchta
Comte, Spencer
Positivisme Yuridis
Von Jhering
Ajaran Hukum Umum
Merkl, Austin dll
Peristiwa Revolusi Industri (1800)
Summary from page 152 to page 175
Utilitarianisme secara utuh
dirumuskan oleh
Jeremy Bentham
dan dikembangkan secara
lebih luas oleh James Mill
dan John Stuart Mill
Hukum adalah : Perintah;Sanksi;
Kewajiban:Kedaulatan
ia memisahkan secara tegas antara
hukum dengan moral dan agama
Tugas
Kelompok
1
Utilitarianisme adalah sebuah
teori yang diusulkan oleh
David Hume untuk menjawab
moralitas
Hart membedakan antara moral
dan hukum, karena sebagai seorang
positivis ia tidak percaya bahwa
hukum berasal dari moral,
Liberal kualitas kehidupan
tergantung pada sifat
komunitas dimana mereka
berintegrasi
RESUME
POSITIVISME, STUDI HUKUM ANALITIS
DAN KONSEP HUKUM
KEDAULATAN (SOVEREIGNTY) DAN ASAL MULANYA
Bahwa konsep kedaulatan satu negara merupakan sebuah doktrin
modern yang mulai berkembang pada abad pertengahan.
Pada awalnya terjadi dua pemahaman, disatu sisi pemahaman yang
muncul adalah sebuah konsep kedaulatan total dan independen dengan
mengaitkannya dengan unsur ekonomi dan melepaskan diri dari paham
kuasa penuh feodal intervensi Paus.
Sehingga pembuatan undang-undang hanya sebagai satu bentuk
pendeklarasian eksistensi kebiasaan (custom) baru dimana satu Negara
harus menempatkan beberapa kekuatan tertinggi yang mempunyai
kapasitas yang tidak terbatas untuk membuat hukum baru dengan
mengadopsi teori sebelumnya yaitu rex est imperator in regno suo.
Sedangkan pemahaman yang lain masih mengaitkannya dengan unsur
keuskupan dan feodal. Paham yang baru ini bersifat sekuler dan masuk
dalam kategori hukum positif.
BENTHAM DAN PAHAM UTILITARIANISME
Bentham yang dikenal sebagai pencipta negara persemakmuran modern
(kolektifitas) atau federal menegaskan bahwa hukum adalah sebuah standard
yang didasarkan pada kepentingan dan kepuasan manusia, dia menyediakan apa
yang mungkin belum dipikirkan banyak orang. Sebagai penganut paham
utilitarian, Bentham mengatakan bahwa tujuan hukum adalah memberikan
kebahagian sebesar-besarnya bagi masyarakat.
Bentham membedakan studi ilmu hukum (jurisprudence) menjadi dua kategori
yaitu censorial jurisprudensi (studi hukum sensorial) atau ilmu pengetahuan
pembentukan undang-undang, dan expository jurisprudence (studi hukum
ekspositori), yang terakhir ini berhubungan dengan hukum apa adanya, tanpa
mempertimbangkan karakter moral dan immoralnya.
Ilmu Hukum Sensorial merupakan studi kritis tentang hukum (dikenal
juga sebagai deontology) untuk meningkatkan efektifitas hukum dalam
pengoperasiannya
Ilmu Hukum Ekspositor ini tidak lebih dari studi hukum sebagaimana
adanya. Objek studi ini adalah menemukan dasar-dasar dari asas-asas hukum
melalui penganalisaan sistem hukum sebagaimana ia ada.
HUKUM BENTHAM SECARA UMUM
Untuk studi hukum analitis, Bentham memiliki kontribusi utama dan
sangat berpengaruh. Pemikiran Bentham juga merupakan isolasi dari
teori hukum sensorial (censorial jurisprudence).
Bentham adalah pembuat hukum sepanjang masa, dia yakin (Austin
juga penganutnya) bahwa tidak ada pembentukan hukum yang berdiri
sendiri yang dapat disampaikan tanpa satu pembentukan bentuk dan
strukturnya. Jadi, kerangka konsep ilmiah berlaku dalam pembentukan
hukum itu sendiri.
Disini Bentham menekankan arti penting censorial jurisprudence atau
science of legislation (ilmu pengetahuan pembentukan undang-undang).
Teori kekuasaan menurut Bentham sama dengan teori Austin yang
menyatakan bahwa kekuasaaan itu adalah sebuah entitas yang tidak
terbatas, tidak dapat terbagi. Akan tetapi Bentham lebih menekankan
kepada keinginan sosial dan kebutuhan logis. Lebih jauh lagi dia
membahas batas legal yang dapat dibebankan pada kekuatan kekuasaan.
Bentham berfikir bahwa sebuah kekuasaan dapat mengikat
penggantinya.
Teori kedaulatan Austin disampaikan sebagai sebuah entitas yang tidak
terbatas, tidak terlihat : tidak demikian halnya dengan teori Bentham.
Mungkin ada bunyi alasan-alasan praktis untuk mendapatkan satu
kedaulatan dengan kekuatan penuh (dengan alat-alat negara/paksaan),
tetapi Bentham melihat perbedaan antara kepentingan sosial dan
kebutuhan logika.
Bentham disini menekankan arti penting kedaulatan untuk
mensejahterakan masyarakat banyak, dengan mengedepankan cara
berpikir yang realistis.
Tetapi Austin tidak melihat perbedaan ini. Menurut Bentham, tidak ada
kebutuhan untuk mempertahankan pendapat bahwa kedaulatan adalah
sesuatu yang tidak terbatas.
AUSTIN
Austin dikenal sebagai seorang penganut paham positivisme. Dia
menyatakan bahwa hukum bertentangan dan atau tidak bisa dihubunghubungkan dengan konsep moral sebagaimana yang menjadi pemikiran
mazhab hukum alam.
Sedangkan pandangan Bentham terhadap hukum positif adalah bahwa
kita secara logika bebas untuk memaksakan pemisahan hukum dari
moral, selagi menolak teori perintah.
Pandangan Bentham positivisme kelihatannya membutuhkan penjelasan
empiris yang sederhana menghindari metafisik atau ilmu kebatinan.
KECAMAN
Banyak kecaman yang diarahkan pada Austin berhubungan dengan
ketidak alamiahan cara berpikir deduksinya, dimana Austin membuat
kesalahan fundamental dengan cara menyetujui konsep kedaulatan
yang tidak terbatas dan tidak dapat dibagi , yang sangat ditentang oleh
Bentham.
HUKUM SEBAGAI SATU PERINTAH
Austin memiliki pemahaman bahwa hukum adalah perintah yang
memaksa orang atau badan untuk patuh, dan Austin menganggap
bahwa perintah adalah sebuah bentuk latihan keinginan orang-orang
tertentu.
Tetapi justifikasi untuk penyebutan hukum sebagai satu perintah benarbenar cukup berbeda yang menunjukkan bahwa klasifikasi dalil logika
yang benar sebagai “perintah” adalah pernyataan normatif yang
meletakkan peraturan sebagai pedoman tingkah laku manusia yang
dibedakan dari pernyataan fakta.
Teori Austin menyampaikan bahwa ada satu perintah dimana beberapa
organ kedaulatan (negara) diperintahkan.
Namun harus diakui bahwa seluruh dalil negara atau kedaulatan tidak
mampu untuk memerintah sendiri (tanpa organ-organnya) adalah satu
hal yang tidak realistis kacamata hukum publik modern.
KEDAULATAN
Kecaman yang paling tajam lebih diarahkan melawan teori Austin daripada
pandangan yang kaku tentang kedaulatan alami. Jadi dalilnya bahwa kedaulatan
tidak dapat dibagi atau tidak terbatas.
Kesalahannya adalah bahwa kedaulatan mempunyai satu kealamian yang
melekat yang tidak dapat dihindari. Kedaulatan yang tidak terbatas hanya dapat
ditujukan pada satu badan yang menjadi superior dalam struktur negara.
Austin gagal membedakan antara kedaulatan de jure (wewenang untuk
membuat hukum ) dan kedaulatan de fakto (kekuatan untuk memaksakan
kepatuhan).
Usaha Austin untuk mendasarkan kedaulatan pada kepatuhan alamiah telah
dikritisasi, sebagai penolakan yang sah atas kedaulatan de facto atau kekuasaan
politik.
Austin dikenal seperti Kelsen bahwa hukum tidak dapat dengan sendirinya
didasarkan pada hukum tetapi harus didasarkan pada sesuatu diluar hukum.
Oleh karena itu dia mendasarkannya pada fakta, kepatuhan alamiah masyarakat.
Austin dalam hal ini tidak pernah membayangkan bahwa badan pemilih
(lembaga pemilihan umum, penulis) sendiri adalah kedaulatan de facto negara.
HUKUM DAN MORAL
Aspek positivisme Austin yang terpenting adalah pada pemisahan
hukum dan moral yang kaku.
Pendekatan lain adalah klaim bahwa hukum adalah sejenis perintah
yang memiliki struktur moral internal yang harus menyesuaikan diri
pada perintah untuk menjadi hukum.
Banyak pemikiran jenis ini dihidupkan oleh versi yang kuat pada
pengenalan beberapa hasil dari sistem hukum sebagai “hukum”.
Hal ini untuk mendirikan jenis hukum moral objektif sebagai bagian
yang natural dan melibatkan penolakan pembedaan teori Hume diantara
keberadaan proposisi objektif (“is“) dan penafsiran (“ought to”) dan
menyatakan bahwa kebenaran nilai keputusan pada moral dapat
ditetapkan sebagai kebenaran fakta fisik.
SANKSI
Teori Austin tentang sanksi sebagai satu tanda hukum sering ditolak sebagai
penyembunyian atau penyimpangan karakter yang sebenarnya dan fungsi
hukum dalam masyarakat.
Sanksi tidak dapat menjelaskan mengapa hukum dirubah dan menempatkan
satu penekanan yang tak pantas pada ketakutan pada ketakutan. Inti sebuah
sistem yang sah adalah fakta yang melekat berdasarkan pada berbagai faktor
psikologi bahwa hukum diterima oleh masyarakat sebagai keseluruhan sebagai
ikatan, dan dasar sanksi bukanlah satu inti atau barangkali satu elemen penting
dalam fungsi sistem.
Karena satu aturan dianggap sebagai kewajiban karena ukuran paksaan yang
dilekatkan padanya; bukan kewajiban karena ada paksaan.
Terdapat dua kesalahan pada konsepsi teori sanksi Austin.
Pertama, pertanyaan yang sarat psikologi yang menjelaskan mengapa orang
mematuhi hukum. Ini adalah masalah psikologi sosial bukan hukum.
Kedua, walaupun individu tertentu dapat mematuhi hukum tanpa memikirkan
sanksi, pada prakteknya pasti hukum berhenti untuk mengaplikasikan sanksi
(masyarakat patuh pada hukum karena sanksi), bukan karena akibat adanya
kepatuhan alamiah.
KONSEP HUKUM TEORI HART DAN AUSTIN
Kecaman yang paling dicari pada posisi Austin di tahun-tahun
belakangan ini berasal dari Profesor Hart, yang menghubungkan
kecamannya pada konsep hukum asli dilihat dari sudut pandang
positivis.
Hart menolak satu model hukum yang hanya berbasis pada perintah
paksa, yang hanya berasal dari pola hukum kriminal dan tidak dapat
diterapkan pada sebagian besar sistem hukum moderen yang melahirkan
kekuasaan hukum pribadi dan publik, misalnya, dalam kasus hukum
yang berkenaan dengan keinginan, kontrak, mandat kuasa pengadilan
atau kekuatan badan pembuat undang-undang.
Hart mendukung keberadaan dua tipe peraturan. Ini dia gambarkan dengan
sebutan primary dan secondary rules.
Primary rules lebih menekankan kepada kewajiban manusia untuk bertindak
atau tidak bertindak. Hal ini akan ditemukan dalam seluruh bentuk dari hukum
(forms of law).
Primery rules akan eksis bila dipenuhi syarat-syarat yaitu: (1) adanya suatu
keteraturan perilaku di dalam kelompok sosial; dan (2) aturan itu harus
dirasakan sebagai suatu kewajiban oleh sebagian anggota kelompok sosial.
Hart melihat aturan diatas sebagai satu kesatuan seperti dua muka dalam satu
mata uang, dimana setiap aturan memiliki aspek internal dan aspek eksternal.
Bagi Hart kedua-duanya penting. Kewajiban sebagai sesuatu jelmaan dari hal
yang bersifat internal dan perilaku yang sesuai merupakan jelmaan dari aspek
eksternal. Sedangkan;
Secondary rules, atau yang sering juga disebut dengan rules about rules (aturan
tentang aturan). Secondary rules ini meliputi rules of recognition (aturan yang
menetapkan aturan yang dapat dianggap sah), rules of change (bagaimana dan
oleh siapa dapat diubah), dan rules of adjudication (bagaimana dan oleh siapa
dapat ditegakkan/dipaksakan).
ASPEK INTERNAL HUKUM
Pada tahap ini referensi perlu dibuat pada penghapusan pembahasan
teori professor Hart dengan apa yang disebut “aspek internal” atau
“sudut pandang dalam” bahwa manusia dibawa menuju aturan satu
sistem hukum.
Hukum Hart menunjukkan tidak hanya tergantung pada tekanan sosial
eksternal yang dibawa untuk memikul umat manusia pada pencegahan
penyimpangan dari peraturan, tetapi juga pada sudut pandang internal
bahwa manusia dibawa menuju satu aturan yang dikandung sebagai
penetapan sebuah kewajiban.
Dalam hal satu masyarakat yang tidak memiliki lebih dari sekumpulan
peraturan pokok perlu untuk warga negara pada umumnya untuk
mematuhi aturan pokok tetapi juga dengan sadar melihat peraturan
tersebut sebagai standart umum tingkah laku.
HART TENTANG KEDAULATAN
Hart juga mempunyai beberapa kecaman yang tepat terhadap pandangan
kedaulatan Austin.
Jadi dia menunjukkan bahwa “kepatuhan alamiah/kebiasaan“ atau
kepatuhan yang terbentuk karena kebiasaan tidak dapat menjelaskan
keberlanjutan hukum untuk menyatakan fakta bahwa kepatuhan tidak
hanya ada pada saat pengaturan awal tetapi kepatuhan itu sudah
terbentuk dan berlangsung pada pendahulunya (nenek moyang) yang
merupakan mewariskan aturan tersebut.
Ini tidak dapat dijelaskan hanya dengan istilah “kebiasaan” tetapi
berkaitan dengan penerimaan (masyarakat) terhadap sebuah aturan,
sebagaimana yang telah kita lihat pada teori analisa Hart bahwa sebuah
peraturan (rules) adalah peraturan, sebagaimana telah kita lihat pada
teori analisa Hart yang menyebut peraturan sebagai undang-undang.
BEBERAPA KOMENTAR PADA PENDEKATAN TEORI HART
Uraian teori Hart pada pengembangan sistem hukum dalam hal
perjanjian utama dan aturan tambahan yang benar-benar bernilai,
sebagaimana Hart sendiri, sebagai alat untuk analisa banyak teka-teki
hukum dan teori politik.
Professor Hart sendiri mengakui sistem ini bukan kebutuhan
komprehensif, dia menunjukkan ini karena dia menyarankan bahwa ada
elemen lain dalam satu sistem hukum, dan khususnya “textur terbuka”
(sifat terbuka) dari peraturan hukum yang dibedakan dengan moralitas
dan keadilan.
Lebih mendasar dari ini adalah pertanyaan apakah mungkin untuk
mengurangi semua aturan sistem hukum - pada peraturan yang
menyatakan tugas peraturan yang bersifat menaklukkan kekuasaan.
Ini kelihatan sebagai sesuatu yang sangat disederhanakan. Contohnya
dapat dikatakan bahwa banyak yang disebut peraturan yang diakui yang
tidak banyak menaklukkan kekuasaan tetapi kriteria khusus yang
diterapkan dalam hal-hal tertentu sebagaimana aturan prosedur (acara)
dan pembuktian.
Juga sangat diragukan apakah semua peraturan tambahan (secondary
rules) dapat benar-benar diberlakukan sebagai satu kesatuan,
kelihatannya ada sedikit perbedaan antara satu peraturan dengan
peraturan lain mengenai validitas formal.
Satu aturan menginginkan adanya batasan konstitusional dari sebuah
undang-undang.
Professor Hart sendiri kelihatannya mengakui ini ketika dia
menyampaikan bahwa “taksonomi rinci yang penuh berbagai hukum
masih tetap dilaksanakan.”
Prof. Dworkin telah menolak usaha untuk membawa prinsip-prinsip atau
kebijakan tersebut dibawah kategori yang sama sebagai aturan hukum
yang mengikat pengadilan yang menciptakan kesulitan logis untuk
hukum model positivis.
Untuk prinsip dan kebijakan yang dengan jelas sesuai kebijaksanaan
luar negeri untuk sebuah keputusan dan tidak dapat mengikat satu
keputusan, dalam hal peraturan sama (bahwa dia harus mengikuti aturan
jika diterapkan).
Prof. Dworkin menyatakan beberapa test pengesahan seperti teori
kedaulatan Austin atau teori pengakuan aturan Hart yang menyimpan
status hukum prinsip dan kebijakan.
Untuk keasliannya sebagai sisa prinsip legal bukan diatas keputusan
tertentu atau pengundangan, tetapi dalam hal kecocokan perkembangan
pada profesi dan publik lebih dari masa waktu tertentu.
Poin argumen tersebut kurang tidak hanya dari analisa hukum secara
murni dalam istilah aturan tetapi satu usaha untuk memperluas analisa
tersebut dalam istilah peraturan yang dipasangkan dengan prinsip bebas
menentukan dan kebijakan.
Dworkin berhenti menawarkan satu solusi segar dan kandungan dirinya
dengan sebutan satu pertimbangan kembali, beberapa asumsi dasar tesis
positifis.
Dalam pembelaan Hart bahwa dapat dikatakan kecaman teori Dworkin
berdasarkan pada model positivisme yang membayar kekurangan
dengan mempertimbangkan kecanggihan pemikiran teori Hart.
Model adalah konstruksi yang berbahaya untuk penyampaian
penyederhanaan yang perlu sebanyak kemauan penemu.
Akan lebih mudah untuk mengurangi pemikiran teori Dworkin pada
model sederhana yang akan melihat gambarnya pada proses yudisial
sebagai satu prosedur dua tingkat , dimana peranan aturan dominan
masih belum eksklusif dan aplikasi prinsip-prinsip ditambah pada
meniadakan masalah yang sulit.
Jelasnya proses yudisial bekerja dengan cara ini maupun dengan cara
dalil Dworkin yang dipikirkan posistifis. Dworkin belum
menghancurkan penjelasan konsep teori Hart.
Apa yang telah dia lakukan menghidupkan kembali minat kita dalam
melihat konsep hukum dari sudut proses yudisial.
Observasi lain yang dapat dibuat pada pendekatan umum teori Hart adalah
sesuatu yang berhubungan dengan banyak usaha untuk mengungkapkan sistem
hukum dan hubungannya dengan istilah analisis, tetapi satu kecaman pada Hart
khususnya kepekaan sebagaimana dia mengklaim analisanya menjadi “sebuah
essay dalam sosiologi deskriptif”.
Usaha untuk mengurangi sistem hukum tidak lebih dari sebuah timbunan
peraturan yang dihubungkan pada masyarakat yang mengoperasikannya dengan
fakta bahwa primary rules diapatuhi atas dasar kebiasaan dan secondary rules
diakui sebagai aturan oleh pegawai telihat untuk mengabaikan pondasi sosiologi
sistem hukum tertentu tanpa konsep hukum sendiri mampu sepenuhnya dicapai.
Jadi telah ditunjukkan dengan beberapa paksaan bahwa satu ciri sistem hukum
yang nampak tertinggal dari analisa teori Hart adalah konsep sebuah institusi.
Seorang pemimpin Amerika Liewellyn telah menekankan bahwa satu ciri yang
paling penting dari sebuah sistem hukum adalah “cara bekerjanya hukum”.
Tidak sekedar menyampaikan aturan tetapi kerangka institusional dalam
mengoperasikan aturan sangat penting dikedepankan. Jadi satu sistem hukum
mengandung tidak hanya aturan (substansi) tetapi juga satu institusi
(kelembagaan) diperlukan seperti profesi hukum, lembaga peradilan, hirarki
yudisial, berbagai jenis badan pembuat hukum, administrasi resmi yang dibagi
antara kementerian dan seterusnya dan struktur aturan hukum yang terdiri dari
sistem tidak dapat dicapai dengan aman berhubungan dengan kerangka
institusional.