Kerukunan Umat Dalam Perspektif Buddha

Download Report

Transcript Kerukunan Umat Dalam Perspektif Buddha

GUPAYA MEWUJUDKAN
GERAKAN BUDAYA RUKUN DI
MASYARAKAT
( DLM PERSPEKTIF AGAMA BUDDHA )
TRIROSO, S.Ag.,MA
( Pembimas Buddha Kanwil
Kemenag Sumsel)
• Pendahuluan
• Pengertian rukun adalah baik, damai, tidak
bertengkar. Sedangkan kerukunan adalah
perihal hidup rukun, rasa rukun, kesepakatan
hidup beragama.
KBBI, Departemen Pendidikan Nasional, Palai Pustaka, jakarta 2005, hal 966
Kebencian tidak akan berakhir bila di
balas dengan kebencian, kebencian
akan berakhir bila di balas dengan
tidak membenci/cintakasih
(Dhammapada)
Sidharta Gautama mencapai Bodhi (mendapatkan penerangan
sepurna/mendapatkan kesucian) yang kemudian disebut Buddha
artinya seseorang yang telah mencapai kesempurnaan/kesucian
tepatnya pada tahun 588 SM, setelah beliau mencapai kesucian
kemudian mengajarkan ajarannya keseluruh penjuru dunia dengan di
bantu oleh para siswanya. Dalam Kitab Suci Tipitaka Sang Buddha
telah menyampaikan ajaran kepada siswanya dengan amat jelas, dan
dalam penyampaian ajarannya tidak pernah dilakukan dengan
pertumpahan darah walaupun cuma setetes, tak pernah ada anjuran
perang, perkelahian, bahkan tidak pernah menjelek-jelekan atau
merendahkan ajaran lain, Sang Buddha selalu menerapkan cintakasih
bukan hanya kepada manusia melainkan kepada semua makhluk.
Masuknya agama Buddha di Indonesia juga dilakukan dengan
tanpa kekerasan penindasan ataupun intimidasi, agama Buddha
berkembang selalu mengedapan tingkah laku yang nyata atau karya
nyata didalam kehidupun bermasyarakat, sehingga agama Buddha
dapat diterima oleh seluruh lapisan masyarakat yang terdiri dari
banyak suku dan ras.
Masyarakat Buddhis
Umat Buddha apabila dilihat dari cara untuk menjalankan
kehidpuan dibedakan menjadi dua kelompok besar yaitu:
• Gharavasa (perumahtangga) adalah orang yang
menjalani hidup keluarga atau tidak, mempunyai
pekerjaan seperti: petani, pedagang, militer dan lain
sebagainya yang memberikan penghasilan untuk biaya
kehidupan mereka.
• Pabbajitta (bhikkhu) adalah orang yang meninggalkan
kehidupan
berumah
tangga(keduniawian)
dan
menjalankan hidup suci (brahmacarya)untuk mencapai
Nibbana. Pabbajjita menerima dana yang layak dari
gharavasa yang memiliki sadha, bhakti, sila dan simpati
[1]
Dari dua kelompok umat Buddha, mempunyai
perbedaan cara dalam menjalani kehidupan yaitu
Pabbajjita
meninggalkan
keduniawiaan
sedangkan
Gharavasa
masih
belum
meninggalkan kehidupan duniawi. Perbedaan
dalam menjalani kehidupan ini bukan berarti
membedakan tujuan akhir agama Buddha.
Tujuan akhir agama Buddha hanya satu yaitu
merealisasikan Nibbana. Seorang Gharavasa
dapat mencapai kesucian walaupun tanpa
menjalani kebhikkhuan. Kedua masyarakat
Buddhis ini saling mendukung satu sama lainya,
kelompok gharavasa menyokong kelangsungan
kehidupan para Pabbajitta (Bhikkhu), para
Bhikkhu bertugas membimbing dan menuntun
gharavasa
[1] Rasid, S.M.,Teja “Sila dan Vinaya” Buddhis Bodhi, Jakarta, 1995, Hal.5
•
•
Sila sebagai dasar tingkah laku oleh
masyarakat Buddhis dalam mewujudkan
kerukunan umat beragama
Sila dalam masyarakat Buddhis merupakan
hal yang mendasar yang harus dimiliki oleh
setiap umat Buddha baik itu perumah tangga
(gharavasa)
seperti
petani,
pedagang
nelayan, pegawai dan lain-lainya, maupun
pabbajjita yaitu orang yang meninggalkan
kehidupan rumah tangga (keduniawiaan) dan
menjalankan hidup suci (brahmacari) untuk
merealisasikan Nibbana. Sila adalah sikap
batin atau kehendak yang tercetus sebagai
ucapan benar, perbuatan benar dan
penghidupan benar benar.[1]
• Dari definisi diatas menunjukan bahwa bila seseorang dalam
menjalani kehidupan sehari-hari tidak waspada, bertingkah
laku tidak sesuai dengan sila, maka seseorang tersebut telah
melanggar sila sebagai pedoman dasar umat Buddha. Sang
Buddha telah menjelaskan sila tersebut secara rinci dan jelas
dalam Kutandanta Sutta bagian dari Sutta Pitaka Digha
Nikaya sebagai beriklut: Jika seseorang dengan keyakinan
melaksanakan sila yaitu menghindarkan diri dari
• pembunuhan makluk hidup,
• mengambil barang yang tidak diberikan,
• pemuasan nafsu dengan cara yang salah,
• Berbicara kasar atau tidak pantas, fitnah, dusta dll
• minum-munuman
yang
dapat
menyebabkan
ketidakwaspadaan : inilah cara yang menghasilkan pahala
dan manfaat yang lebih besar…4
•
•
[1] Rasid, S.M.,Teja “Kitab Suci Vinaya Pitaka I” Dirjend Bimas Hindu dan Buddha & UT,
Jakarta, 1995, Hal.23
4 Tim Penterjemah “Kitab Suci Sutta Pitaka Digha Nikaya IV” Proyek Sarana Keagamaan
Buddha Departemen Agama RI, Jakarta, 1993, hal.17
•
•
•
•
Hiri dan otapa pendukung kerukunan
Dalam agama Buddha ada faktor pendukung untuk dapat
terlaksananya sila dengan baik, sehingga seseorang tidak
melakukan perbuatan jahat atas dasar karena takut dari
aturan suatu Negara dan sebagainya. Namun agama Buddha
sudah menanamkan budaya malu untuk berbuat jahat dan
takut akan akibat perbuatan jahat yang akan diterima bukan
hanya dalam kehidupan sekarang melainkan juga dalam
kehidupan yang akan datang. Sang Buddha telah
mengajarkan dalam Dasuttara Sutta yang terdapat dalam
Digha Nikaya 34 sebagai berikut: Dalam hal ini, kawankawan seorang Bhikkhu berdiam dekat seorang guru atau
seorang teman kehidupan suci yang menggantikan
kedudukan guru, sehingga ia menjadi teguh dalam rasa
malu untuk berbuat jahat (hiri)
takut akan akibat perbuatan jahat (ottapa),
memiliki rasa hormat dan cinta kepada mereka. Inilah sebab
pertama, kondisi
pertama yang membantu untuk
memperoleh kebijaksanaan dalam unsur-unsur kehidupan
suci
yang
belum
diperoleh;
untuk
menambah,
memperbanyak,
mempertinggi,
memperbesar,
mengembangkan dan menyempurnakan apa yang telah
dicapai.5
•
Pada saat Sang Buddha berada di Nalanda (India
Utara), seorang hartawan terpandang, Upali, siswa
Nighatha Nataputta (seorang guru ajaran Jaina Mahavira)
yang termashyur, diutus oleh gurunya untuk menemui
Sang Buddha dengan maksud berdebat tentang beberapa
pandangan yang bverbeda antara ajaran Jaina Mahavira
dengan ajaran Buddha. Di luar dugaan, pada akhir
perdebatan, Upali menyadari bahwa ajaran Buddha yang
benar dibandingkjan dengan ajaran Jaina Mahavira. Upali
memeohon kepada Sang Buddha agar diterima sebagai
murid. Sang Buddha memperingatkan Upali untuk berpikir
masak
masak
mengenai
hal
itu.
Setelah
mempertimbangkan dengan seksama, Upali tetap
memohon kepada Sang Buddha agar dijadikan murid-Nya.
Akhirnya Sang Buddha menerima permohonan tersebut
dengan syarat agar Upali tetap memberi penghormatan
dan membantu kebutuhan hidup gurunya yang terdahulu.
(Sumeddha Widyadharma, 1994).
•
•
•
Musyawarah salah satu cara menyelesaikan masalah yang
timbul
Sebagai manusia yang mempunyai pemikiran dan wawasan serta
analis yang tinggi dibandingkan makhluk lain, diharapkan tidak
bosan dengan kata-kata dialog, dialog karya ataupun musyawarah.
Agama Buddha yang muncul di tengah-tengah masyarakat plural
yang terdiri dari berbagai suku, ras dan kepercayaan lebih dari
2500 tahun yang lalu, sudah tentu banyak menghadapi beraneka
ragam pula permasalahan yang timbul pada waktu itu. Untuk
menyelesaikan masalah-salah yang timbul Sang Buddha telah
menemukan formula yang ampuh yang sampai sekarang metode
itu masih dipakai dan sangat relevan dimasa seperti ini, metode
tersebut adalah musyarawarah. Sang Buddha telah mengajarkan
tentang syarat-syarat kesejahteraan suatu bangsa kepada suku
Vajji, kemudian suku Vajji melaksanakan syarat-syarat tersebut
dengan baik dan benar maka terjadilah apa yang telah
disampaikan Sang Buddha yaitu kesejahteraan dan kemakmuran
didapat oleh suku Vajji sehingga keadaan tersebut dijadikan contoh
oleh Sang Buddha kepada bangsa-bangsa lain. Hal itu
disampaikan kembali oleh Sang Buddha kepada Bhikkhu Ananda
di hadapan Brahmana Vaskara yang berkunsultasi kepada Sang
Buddha berkaitan dengan rencana penyerangan terhadap Negara
tersebut. Sang Buddha menjelsakan demikian;
• “Pernahkah kau mendengar bahwa suku Vajji itu
sering berkumpul untuk mengadakan musyarawarah,
dan musyawarah mereka berlangsung lancer serta
selalu dicapai kata mufakat;
• Pernahkah kau mendengar, apakah suku Vajji itu
dalam permusyawaratannya selalu menganjurkan
perdamaian, dan dalam nyelesaikan berbagai
masalah yang mereka hadapi selalu dapat
menyelesaikan dengan damai;
• Pernahkah kau mendengar bahwa suku Vajji telah
menetapkan adanya hukum-hukum yang baru dan
telah merubah tradisi yang lama yang tidak sesuai
atau mereka meneruskan pelaksanaan peraturanperaturan yang lama yang sesuai dengan dhamma;
• Pernahkah kau mendengar selalu menunjukan
rasa hormat dan bhakti serta menghargai orang
yang lebih tua dan menganggap sangat
berhargadan
bermanfaat
untuk
selalu
mengindahkan mereka;
• Pernahkah kau mendengan bahwa suku Vajji
melarang keras penculikan dan penahan
wanita-wanita atau gadis-gadis;
• Pernahkah kau mendengar bahwa suku Vajji
sangat menghormati dan menghargai tempattampat suci atau tempat-tempat ibadah dan
mereka selalu taat dan melaksankan puja
bhakti, baik di tempat suci yang ada di kota
maupun yang ada di luar kota;
• Pernahkah kau mendengar bahwa suku Vajji
melindungi serta menjaga orang-orang suci itu
dengan sepatutunya, bagi yang belum punya
pekerjaan diusahakan supaya memiliki pekerjaan,
hidup dengan aman dan damai.
• Demikianlah yang pernah aku dengar bhante, kalau
demikian halnya, perkembangan dan kemajuan suku
waji yang terjadi bukan sebaliknya.”[1]
• Demikianlah Sang Buddha selalu menganjurkan
kepada umatnya untuk senantiasa bermusyawarah
dalam menyelesaikan masalah, dan musyawarah
tersebut dalam rangka perdamaian bukan saling
mencari kesalahan satu dengan lainya. Sang Buddha
juga selalu menganjurkan untuk menghormati tempattempat suci ataupun tempat ibadah karena tempat itu
sebagai salah satu sarana untuk mengolah batin
menjadi berkwalitas.
•
[1] Wowor Cornelis, “Maha Parinibbana Sutta” CV. Lovina Indah, Jakarta, 1989, hal. 3-5.
DANDA VAGGA, 3; DHAMMAPADA; X : 131
•
Barang siapa mencari kebahagiaan dari
diri sendiri dengan jalan menganiyaya
makhluk lain yang juga mendambakan
kebahagiaan, maka setelah mati ia tidak
akan memperoleh kebahagiaan (sorga)
BUDDHA VAGGA, 7; DHAMMAPADA XIV :
185
•
Tidak menghina, tidak menyakiti, dapat
mengendalikan diri sendiri sesuai dengan
peraturan, memiliki sikap madya (seimbang)
dalam hal makan, berdiam di tempat yang
sunyi serta giat mengembangkan batin nan
luhur; inilah ajaran Para Buddha”
HA VAGGA, 5; DHAMMAPADA XV : 201
•
Kemenangan menimbulkan kebencian,
dan yang kalah hidup dalam penderitaan.
Setelah dapat melepaskan diri dari
kemenangan dan kekalahan, adalah orang
yang penuh damai akan hidup bahagia”
• Agama Buddha mengajarkan kepada umat
manusia agar senantiasa menempatkan
persatuan dan kesatuan bagi kepentingan
dan keslamatan bangsa diatas kepentingan
pribadi maupun golongan. Dalam Kitab Suci
Sutta Pitaka : Brahmajala Sutta, Sang
Buddha dilukiskan sebagai seorang yang
cinta persatuan, seorang yang pemersatu
dan
yang
selalu
mengembangkan
persahabatan. Ajaran mengenai persatuan
dan kesatuan tersebut terdapat pada Culla
Sila dalam Brahmajala Sutta yaitu : “Tidak
memfitnah”.
•
• Samana Gotama menjauhkan diri dari
memfitnah. Apa yang didengar disini, tidak
akan diceriterakan di tempat lain, terutama
yang menyebabkan timbulnya pertentangan.
Apa yang ia dengar di sana tidak akan
diceriterakan di sini, lebih-lebih yang dapat
menimbulkan
pertentanggan.
Sepanjang
hidupnya,
ia
selalu
berusaha
untuk
mempersatukan mereka yang berlawanan,
selalu mengembangkan persahabatan diantara
semua golongan .Ia memang pemersatu, yang
benar-benar dapat menghayati dengan hati
nurani mengenai hakekat persatuan, karena ia
cinta persatuan dan tidak henti-hentinya
mengumandangkan ajaran untuk bersatu.
• Menurut Sang Buddha berkembangnya
perpecahan dan hancurnya persatuan dan
kesatuan (kerukunan) mengakibatkan
pertentangan dan pertengkaran, karena orang
tidak menyadari akibatnya. Jika setiap orang
menyadarinya semestinyalah mereka akan
berdamai kembali, sehingga disebutkan dalam
Dhammapada, 6 : “ Mereka tidak tahu
bahwa dalam pertikaian mereka akan
hancur dan musnah, tetapi mereka yang
melihat dan menyadari hal ini, akan damai
dan tenang.”
•
•
•
•
•
•
•
Oleh karena itu pada masa sekarang corak kerukunan hidup umat
beragama harus lebih diwarnai dengan pengamalan sifat-sifat baik “Paramitta“,
karena paramitta merupakan faktor yang sangat penting bagi seluruh manusia
untuk mencapai kesucian, yang apa bila setiap batin manusia senantiasa dihiasi
dengan sifat-sifat suci maka hal ini dapat merupakan pegangan bagi umat untuk
mewujudkan kehidupan beragama yang rukun. Paramitta tersebut adalah :
1)
Dana Paramitta, sifat-sifat luhur untuk beramal, berkorban, membantu
orang lain, tangap dan peka terhadap penderitaan setiap mahkluk.
2)
Sila Paramitta, sifat-sifat luhur yang senantiasa mendorong setiap umat
manusia untuk selalu berbuat baik, melakukan perbuatan-perbuatan bermoral.
3)
Viriya Paramitta, sifat-sifat luhur yang senantiasa mendorong manusia
untuk senantiasa bekerja giast, aktif, kreatif dan inovatif menghadapi tantangan
zaman yang penuh dengan pergeseran nilai-nilai hidup.
4)
Sacca Paramitta, Sifat-sifat luhur yang senantiasa mendorng kepada
manusia untuk selalu mengembangkan perbutan baik dalam pikiran, ucapan
maupun perbuatan.
5)
Metta paramitta, sifat-sifat luhur cinta kasih tanpa keinginan untuk
memiliki, tanpa membedakan ras, bangsa dan agama, yang mendorong manusia
untuk saling tenggang rasa.
Sifat-sifat luhur “ Paramitta “ tersebut merupakan jati diri yang harus
dikembangkan didalam menghadapi tatangan pergeseran nilai, pegeseran moral
dan etik manusia. Dalam menghadapi pergesaran-pegesaran tersebut
masyarakat luas hendaknya mampu mempertahankan moral etik yang
berdasarkan metta dan karuna yang terwujud melalui pikiran, ucapan dan
perbuatan yang bajik.
• orang sudah membuang jauh rasa permusuhan,
membenci, curiga dan prasangka yang lain. Syairsyair atau Sabda-sabda Sang Buddha yang telah
dijelaskan di atas adalah merupakan sebagian contoh
tentang kerukunan antar umat beragama yang patut
dijadikan teladan bagi bagi umat Buddha semua
sehingga kerukunan antar umat beragama akan dapat
terpelihara sepanjang masa. Dalam memantapkan
kerukunan antar umat beragama dapat diwujudkan
dalam kehidupan bermasyarakat dengan tidak
memandang latar belakang, asal-usul, suku, ras dan
agama. Agama dijadikan sebagi dasar moral dari
masing-masing individu dalam berinteraksi dan
berkomunikasi dalam mewujudkan kerukunan. Agama
bukan
untuk
diperdebatkan
atau
dibandingbandingkan melainkan dijalankan dan diamalkan.
• Kerukunan setelah Sang Buddha Parinibbana
(mangkat) Pada masa Maharaja Asoka
• Sikap hormat menghormati dan bekerjasama antara
pemeluk agama yang berbeda-beda itu merupakan
sikap umat Buddha diseluruh dunia sejak zaman
dahulu, seperti apa yang telah dilakukan oleh
seorang Maharaja penganut Buddha yang saleh dan
tekun yaitu Raja Asoka. Beliau memimpin suatu
negar yang besar yang berlandaskan ajaran Sang
Buddha yang selalu menerapkan sikap gotongroyong dan kebersamaan dalam melaksanakan
seutu pekerjaan tanpa pernah membedakan satu
dengan yang lainya. Hal ini terbukti dengan adanya
Prasasti Batu Kalingga No. XXII dari raja Asoka yang
telah menjadi murid Sang Buddha dan dalam
memerintah negara Jambudhipa selalu mengacu
pada ajaran Buddha. Prasasti didirikan pada abad III
sebelum masehi yang berbunyi sebagai berikut :
Pilar Asoka
• janganlah kita menghormat agama (mazhab) sendiri dan
mencela agama (mazhab) orang lain tanpa sesuatu dasar yang
kuat …. Sebaliknya, agama (mazhab) orang lain pun
hendaknya dihormati atas dasar-dasar tertentu. Dengan
berbuat demikian, kita telah membantu agama (mazhab) kita
sendiri untuk berkembang, di samping menguntungkan pula
agama (mazhab) orang lain. Dengan berbuat sebaliknya, maka
kita telah merugikan agama (mazhab) kita sendiri, di samping
merugikan agama (mazhab) orang lain. Oleh karena barang
siapa menghormati agama (mazhab)-nya sendiri dan mencela
agama (mazhab) orang lain semata-mata karena terdorong
oleh rasa bakti kepaada agama (mazhab)-nya sendiri dengan
berpikir : Bagaimana aku dapat memuliakan agama (mazhab)ku sendiri’, dengan berbuat demikian ia malah merugikan
agama (mazhab)-nya sendiri. Oleh karena itu, kerukunanlah
yang dianjurkan, dengan pengertian bahwa semua orang
hendaknya mendengarkan dan bersedia mendengarkan ajaran
yang dianut oleh orang lain.[1]
[1] Widyadharma Sumedha, MP. “Dhamma Sari” Yayasan Pendidikan Tinggi Buddhis Nalanda,
Jakarta, 1994, hal. 140.
•
Raja Asoka telah menunjukkan bahwa
penghormatan
terhadap
agama
sendiri
bukanlah berarti dengan cara mencela agama
orang lain. bahkan menghormat agama lain
sampai “batas-batas tertentu” atas “dasar
tertentu” pula merupakan penghormatan
terhadap agama sendiri. Kepentingan hidup
bermasyarakat dan bernegara dapat dijadikan
“dasar tertentu” bagi penghiormatan agama lain
• kerukunan Agama Buddha di Indonesia pada masa kerajaan
• Doktrin gotong-royong dan saling membantu sesama makluk hidup
sudah diajarkan oleh Sang Buddha, kemudian doktrin tersebut juga
menjadi dasar penganut Buddhis dalam kehidupan sehari-hari, dan
itu juga dijadikan landasan dalam pemerintahan pada masa
kerajaan yang dimping oleh raja penganut Buddhis. Dalam hal
mengerjakan suatu pekerjaan dengan kebersamaan ini juga bukan
hanya konsep belaka melainkan telah terbukti. Contoh yang masih
tampak jelas dan sebagai bukti sejarah adalah pendirian Candicandi di Indonesia adalah merupakan merupakan ujud kerja sama
atau hidup dengan gotong royong saling mambantu satu dengan
lainnya. Hal ini tidak hanya candi-candi Buddhis saja melainkan
candi hindu dan tempat pemujaan atau tempat ibadah lain pun
dikerjakan secara bersama sama. Kita tahu pada masa itu sudah
beragam pula agama dan keyakinannya, maka munculah
semboyan kebersamaan dan saling membantu yang sangat
terkenal dan sampai sekarang masih dipakai dalam simbul negara
yaitu: dalam buku Sotasoma yang ditulis oleh pujangga Buddhis
yang agung Mpu Tantular dengan syair sebagai berikut: Ciwa
Buddha Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa.[1]
Semboyan ini sampai sekarang oleh umat Buddha masih dipegang
teguh di seluruh tanah air Indonesia.
•
[1] Tim Penyusun “Kuliah Agama Buddha untuk Perguruan Tinggi” Yayasan Sanata Dharma Indonesia, Jakarta, 1997, hal.227.
• Kerukunan zaman Sriwijya
Dalam prasasti Talang Tuo
Kemakmuran, keberuntungan Tahun Saka, hari kedua
paruh terang bulan Caitra: pada saat itulah taman ini
(yang dinamai) Srikerta dibuat di bawah pimpinan Sri
baginda Sri Jayanasa. Inilah niat Sri Baginda: semoga
segala yang ditanam disini, pohon kelapa, pinang,
aren, sagu dan bermacam-macam pohon, buahnya
dapat dimakan, demikian pula bambu haur wuluh dan
pattum, dan sebaginya; dan semoga juga tnamantnaman lainnya dengan bendungan-bendungan dan
kolam-kolamnya dan semua amal yang saya berikan,
dapat dipergunakan untuk kebaikan semua makhluk,
yang dapat pindah tempat dan yang tidak...
• Dan semoga semua hamba mereka setia
kepada mereka dan berbakti, lagi pula semoga
temen-temen mereka tidak menghianati mereka
dan semoga istri bagi mereka istri yang setia.
Lebih-lebih lagi di manapun mereka berada,
semoga tempat itu tidak ada pencuri, atau
orang yang mempergunakan kekerasan, atau
pembunuh, atau berzinah. Selain itu semoga
mereka mempunyai seorang kawan sebagi
penasehat baik; semoga dalam pikiran dia lahir
dengan bodhi dan persahabatan...
• Banyak hal yang dapat dilakukan masyarakat
untuk memantapkan kerukunan antar umat
beragama yang tidak bersinggungan dengan
doktrin agama masing-masing agar senantiasa
melaksanakan kegiatan bersama. Dalam
kegiatan-kegiatan tersebut orang jangan
melihat perbedaan-perbedaan sara melainkan
saling bahu membahu untuk menyukseskan
kegiatan tersebut, tapi perlu diingat untuk
memulai seatu kegiatan masing-masing
individu sudah dibekali moral yang baik sesuai
dengan doktrin agama masing-masing.
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
Dari uraian di atas dapat disimpulkan sesungguhnya budaya dialog karya sudah
sudah menjadi nafas kehidupan nenek moyang, namun pada saat ini budaya
tersebut sudah mulai luntur. Untuk itu perlu dibangkitkan kembali tradisi-tradisi yang
baik untuk dpat dilestarikan dan dikenalkan kepada generasai muda, agar kelak
penerus bangsa ini tidak lupa denga budaya dialog karya warisan nenek moyang
kita.
Budaya kebersamaan atau gotong-royong patut kita bangkitkan kembali dengan
menanamkan nilai-nilai kepada anak usia dini antara lain:
Meberikan Pengertian Agama secara Benar
Menanamkan Etika dan moral yang baik
Menggali Budaya tradisional yang sesuai
Memberikan pendidikan yang baik
Dengan mengembangkan keempat hal tersebut untuk membentuk manusia dan
berintegritas sehingga akan menekan permasalahan-permaslahan yang ada pada
umat di masa mendatang.
Agama Buddha mempunyai dasar-dasar dialog karya untuk menjaga kerukunan
umat beragama penulis mengidentifikasikan menjadi dua pendekatan yang dapat
memecahkan problematika umat yaitu:
Mencegah terjadinya permasalah yang terjadi di masyarakat dengan selalu
menjalankan sila.
Mengadakan musyawarah dan dialog karya untuk memecahkan permasalahan
dalam kerangka perdamaian
Pada kitab agama Buddha banyak kotbah yang menekankan tentang kerukunan ini
karena agama Buddha memandang kerukunan ini merupakan suatu yang mutlak
dan tidak boleh ditawar-tawar lagi untuk dijunjung tinggi dan dilestarikan, hal ini
selalu ditekankan oleh Sang Buddha kepada siswanya, kerukunan dan