hibriditas raden saleh - Seminar Great Thinkers

Download Report

Transcript hibriditas raden saleh - Seminar Great Thinkers

HIBRIDITAS RADEN SALEH
Disampaikan pada Seminar “Great Thinkers” di
Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada,
Selasa, 10 Desember 2013
Suwarno Wisetrotomo
Fakultas Seni Rupa & Pascasarjana ISI Yogyakarta
Mahasiswa S3 Kajian Budaya dan Media
Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada
• Raden Saleh adalah salah satu bukti pertama
yang menarik mengenai “pesona” Barat
(Denys Lombard, 1996; 112).
• Raden Saleh sebagai ikon atas “tanda-tanda
munculnya pemikiran-pemikiran baru” dalam
bidang seni rupa (M.C. Ricklefs, 1998; 193).
1. Raden Saleh Sjarief Boestaman (Raden Saleh/
RS), dilahirkan pada 1807 (Werner Kraus
menyebutnya tahun 1811, Harsja W. Bachtiar
menyebut 1814. Pada 1829 ia berangkat ke Eropa
ketika berusia 22 th, atau 18 th, atau 15 th). Th
1830-1833 belajar melukis potret pada Cornelis
Kruseman (1797-1857), dan melukis panorama
pada Andreas Schelfhout (1787-1870). Tahun
1834, bulan September RS Pameran Tunggal
lukisan di National Exhibition in Amsterdam.
Dilahirkan di Terbaya, Semarang. Orang tuanya adalah
Bupati Terbaya, Semarang. Lingkaran pergaulan sejak
anak-anak lapisan elite bangsawan dan kolonial. Ayah
bernama Sayid Husen bin Alwi bin Awal, Ibu bernama
Mas Ajeng Zarip Husen. Keduanya, cucu Kyai Ngabehi
Kertoboso Bustam (1681-1759), seorang asisten
Residen Terboyo, pendiri keluarga besar Bustaman
yang keturunannya banyak menjadi residen, patih, dan
anggota utama kelas priyayi bangsawan
(Bachtiar,2009;3).
Masa kecil RS dihabiskan di kediaman pamannya, Kyai
Adipati Soero Menggolo, Bupati Semarang di Terboyo,
hingga tahun 1822 (ibid.).
Pamannya ini disebut pula Kanjeng Terboyo
Bustam, menantu Pangeran Ario
Mangkunegoro I. Sejak usia tujuh tahun, RS
dididik oleh G.A.G. Baron van der Capellen
atas usaha pemerintah Belanda (Algadri, 1984;
54). Dari sini ia belajar melukis pada Antoine
Auguste Joseph Payen (AAJ Payen), pelukis
kelahiran Brussel, Belgia (1792-1853), yang
bekerja di Pusat Penelitian Pengetahuan dan
Kesenian Pemerintah Belanda di Bogor.
Pelukis AAJ. Payen meminta RS ke Bogor,
bertugas mendokumentasi (dengan gambar)
kekayaan hayati di Kebun Raya Bogor. Payen
pula yang mengusulkan kepada Pemerintah
Belanda, agar RS di kirim ke Eropa (Belanda)
untuk belajar melukis.
Pada 1829-1839 belajar melukis pada Cornelius
Krusseman dan Andreas Schelfhout. Situasi
Belanda ketika itu biasa disebut ‘pasca
kegemilangan’ pencapaian Rembrandt van
Rijn, Rubens, atau Vermeer.
Pada 1839, RS tiba di Dresden, Jerman (tinggal
selama 5 th). Kemudian melakukan perjalanan
ke Paris, mengikuti beberapa pameran lukisan
(Salon in Paris), dan tinggal di Paris hingga
1850.
Th 1851 melakukan perjalanan (kembali) ke
Jawa, dengan aktivitas ke Batavia, Bogor,
Semarang, Magelang, termasuk naik ke
gunung Merapi (1865).
Th 1867 menikahi Raden Ayu Danudiredjo,
kerabat dari pangeran Diponegoro. Kemudian
tinggal di Bogor. Th 1877 melakukan
perjalanan ke Paris. Th 1879 kembali ke Jawa
(Batavia), kemudian menetap di Bogor.
Pada 23 April 1880, RS meninggal di Bogor, di
Kampung Empang. Raden Ayu Danudiredjo
meninggal pada 1 Agustus 1880.
Meninggalnya RS menjadi berita besar.
Koran Java Bode menulis laporan; “... Pada hari
Minggoe tanggal 26 April djam 6 pagi maitnya
Raden Saleh diiringi oleh banjak toean-toean
ambtenar, kandjeng toean Assistant, toean
Boetmy dan lain-lain toean tanah, hadji-hadji,
satoe koempoelan baris bangsa Islam, baik
jang ada pangkat jang tiada berpangkat dan
orang Djawa, sampe anak-anak Djawa dari
Landbouwschool semoea anter itoe mait ke
koeboer” (Java Bode, 28 April 1880).
Reportase jurnalistik dari Java Bode (dan HindiaNetherland) tentang meninggalnya RS
merupakan penanda yang menarik terkait
dengan posisi masa akhir kehidupan RS.
Mengawali kehidupan hingga pencapaian di
lapis elite, tetapi di hari kematiannya di
hormati oleh seluruh lapisan masyarakat.
• Foto-foto RS dan isterinya
Patung Raden Saleh karya B. Van Hove, tinggi 165 cm (gips/plaster, dilukis),
koleksi pribadi di Harlem, Belanda (Haks & Guus Maaris, 1995)
Dalam kajian Harry A. Poeze, pada awal abad ke18 muncul pemikiran pemerintah kolonial
untuk mengirim orang-orang Hindia-Belanda
khususnya dari Jawa dan Sumatera untuk
belajar ketrampilan di Belanda, Brussel, dan
Belgia. Th 1835, Raden Ngabehi Poespa Wilaga
dikirim ke Belanda untuk mengawasi
pembuatan huruf Jawa di percetakan huruf
Joh. Enschede en zoonen di Haarlem.
Th 1858 seorang bernama Kadjo, 21 tahun, anak
seorang opsir bawah dari tentara (kavaleri) Sri
Sunan dari Surakarta, dikirim ke Brussel untuk
belajar membuat arloji dan ornamen (seni
hias). Ia mendapat hadiah utama dari akademi
seni di Brussel (1859), dan memiliki keahlian
membuat arloji.
Nama lainnya adalah Raden Mas Ismangoen
Danoe Winoto dari Yogyakarta, dan Raden
Moentajib Moeda.
Raden Mas Ismangoen menyelesaikan
pendidikan di HBS (Hogore Burder School) dan
pada 1875 diterima sebagai pegawai tinggi di
Institut untuk Ilmu Bahasa, Ilmu Bumi, dan
Ilmu Bangsa-bangsa dari Hindia Belanda di
Delft. Tentang Raden Moentajib hanya
disebutkan sebagai pribumi pertama yang
menulis cerita perjalanan ke Nederland
(Poeze, 1600-1900; 15).
Meski terdapat nama lain, hanya RS yang
namanya melegenda, dan menunjukkan
pencapaian kreatif (seni lukis) dan pergaulan
yang luas, dan bahkan berpengaruh. Mengapa
nama-nama lain tidak populer?
Karena itu Denys Lombard dan Ricklefs hanya
menyebut RS sebagai contoh. Di bidang seni
rupa, khususnya seni lukis, pada abad ke-19,
RS dapat dikatakan masih merupakan satusatunya contoh tanda lambatnya selera baru
itu melembaga (Lombard,1996;186).
Spatula, Ladle, Bamboo, Pipe.
(1822 – 1824), cat air, kertas.
Agricultural Tools / Alat-Alat Pertanian,
(1822 – 1824), cat air, kertas.
(Werner Kraus, 2012; 176, 181)
Horse Attacked by a Lion
(1842), graphite on paper,
(Kraus, 2012; 192)
Kepala Singa
(1840), tinta coklat, kertas,
(Kraus, 2012; 201)
• Pohon Aren
• Pohon Durian
• Pohon Rasamala
(1864), gambar RS, lithography oleh W.D. Wiemans.
Bushfire
(1863 – 76), Lukisan RS, lithography oleh C.W. Mieling.
2. Menengarai Hibriditas Raden Saleh
‘Hibrid’  metafora untuk menggambarkan
bergabungnya dua bentuk (jenis) budaya yang
memunculkan sifat-sifat tertentu dari masingmasing bentuk, sekaligus meniadakan sifatsifat tertentu yang dimiliki keduanya.
 ‘Postkolonialitas bukan hanya menciptakan
budaya atau praktek hibridasi, tetapi sekaligus
menciptakan bentuk-bentuk resistensi dan
negosiasi baru bagi sekelompok orang dalam
relasi sosial dan politik mereka (Bhaba, 1994;
113-114).
 Hibriditas tidak hanya berfokus pada produkproduk paduan budaya, tetapi lebih pada cara
bagaimana produk-produk budaya ini
diproduksi, penempatannya pada ruang sosialhistoris di bawah kolonialisme, dan menjadi
bagian penting dari penolakan hubungan
kekuasaan kolonial (Day, 2008; 13).
“Mimikri”  konsep yang menggambarkan
proses peniruan atau peminjaman berbagai
elemen kebudayaan. Bentuk perlawanan
dengan cara meniru, menikmati, dan bermain
dengan ambivalensi yang terjadi dalam proses
imitasi  strategi melalui proses
‘mengimitasi’ sekaligus ‘mensubversi’;
melanggengkan sekaligus menegasi (cara RS
berbusana dan sejumlah karya lukisan). Di
dalam mimikri terdapat unsur mockery;
meniru sekaligus untuk memperolok-olok.
Membicaraka RS setidaknya melihat beberapa
hal yang menarik; pertama, seorang pribumi
Jawa – dari lapis elite – yang memiliki
pergaulan elite (bangsawan, pemerintah
kolonial); kedua, perlawatan seorang pribumi
Jawa di tengah latar belakang sosial-politik
kolonial (di Jawa) yang penuh pergolakan dan
represif; ketiga, seorang pribumi Jawa di
tengah “pergaulan Barat” (sosial, dan
profesional sebagai pelukis), hingga mendapat
predikat “Pelukis Kerajaan” dan bintang
kehormatan dari pemerintah kolonial Belanda;
keempat, karya-karya lukisan RS sebagai
penanda tumbuhnya pemikiran, kesadaran,
dan sikap RS terhadap kolonialisme Belanda.
Dalam diri RS dapat dilihat terjadinya “proses
pembentukan diri yang otentik”, yang dipicu
oleh posisinya yang sulit, sebagai ‘pribumi
Jawa’, terkoloni, dicurigai. Pada titik ini RS
“ngulir budi”/olah jiwa dan akal, dengan cara:
• Menguasai teknik dan bahasa seni lukis: inilah
alat yang efektif untuk memasuki dunia yang
luas. RS diterima secara istimewa sebagai
pelukis (dan ia manfaatkan sebagai media
komunikasi dengan baik).
• Menampilkan diri secara “berbeda” melalui
busana (“politik pakaian”). RS memiliki selera
baik dan istimewa dalam berpakaian, dan
selalu menjadi pusat perhatian, karena tampak
eksotis.
3. Raden Saleh dan Karya-karyanya
“Sesungguhnya, dalam bidang lukisan dapat
dikatakan bahwa Barat tidak berlaku sebagai
“pengaruh”. Yang terjadi adalah keterputusanketerputusan dalam hal teknik: cat minyak,
perspektif, penggunaan model; dan terutama
keterputusan inspirasi: pemandangan, potret,
adegan-adegan cerita, tokoh drama. Raden
Saleh tentu memainkan peran utama di sini”
(Lombard, 1996; 186)
Cara berpikir, cara pandang, cara kerja RS tentu
dipengaruhi oleh ‘para guru’ dan
pengalamannya di Eropa.
Karya-karya lukisan RS dapat dikategorikan
menjadi:
a. Lukisan Potret. Karya jenis ini hampir
seluruhnya terdiri atas orang-orang lapis elite
bangsawan, elite birokrasi kolonial, atau
potret orang-orang yang dianggap
berpengaruh.
Melalui lukisan potret, RS melakukan
pendekatan (lobi), untuk berbagai kepentingan
(tambahan dana, kedekatan, dan membangun
posisi; surat-surat RS merupakan salah satu
indikator). Surat RS untuk J.C. Baud, tertanggal
1 Februari 1845; “...satoe perkara, saja mistie
radjin, doea perkara, idoep jang patoet,
soepaja bolih ada mampoe kenalan sama
orang jang baek2 dan orang asal2. Dari itoe
saja minta dengan soengoe2 Attie Padoeka
boleh toeloeng, dan kasjian, jang soepaja saja
poenja. Radja boleh djadie kasjian pada saja, ...
satoe perkara, saja minta barang f. 800, soepaja
saja bolih belie apa jang saja beloem ada, dan
djoega ada sedikit wang dalem tangan”
(Raden Saleh Bulletin, No. 2/1998). Surat ini
ditulis pada waktu diselesaikan lukisan Potret
Jean Chretein Baud (1840), ketika sedang
menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia
Belanda. Dugaan yang sama ketika RS melukis
Potret Sultan HB IV, VI, VII (1867).
•
•
•
Potret Herman Willem Daendels dengan seragam, (1838), cat minyak, kanvas, 120 x 98 cm
Potret Herman Willem Daendels, (1838), cat minyak, kanvas, 77 x 61 cm
Potret Bupati Cianjur, Raden Adipati Kusumaningrat,
(1852), cat minyak, kanvas, 27.5 x 22.5 cm
•
•
Potret Gubernur Jenderal Van Den Bosch, (1836), cat minyak, kanvas, 115 x 97 cm
Potret Gubernur Jenderal Jean Chretien Baud,
(1837), cat minyak, kanvas, 119.5 x 97.5 cm
•
•
Potret Gubernur Jenderal Mijer, (t.t), cat minyak, kanvas, 46.5 x 42 cm
Potret Gubernur Jenderal Jean Philippe Hubert Desire Bosch, (1867),
cat minyak, kanvas, 122.5 x 89.5 cm
b. Lukisan Tema “Panorama”: karya RS jenis ini
menunjukkan perkembangan yang menarik 
dari sekadar merekam panorama, ke
merepresentasikan ketegangan jiwa (karena
kesadaran sebagai makhluk yang kecil di
hadapan semesta). Lukisan Badai (1840), atau
Letusan Gunung Merapi (1865), mulai terasa
aspek drama dan religiositasnya.
Megamendung (Puncak
Poss), (1862), cat minyak,
kanvas, 90 x 53 cm
Pemandangan Gunung Gede
dan Pangrango, (1857?),
Cat minyak, kanvas, 26. 4 x
35.8 cm
Jalan Melewati Megamendung (Pos Jawa),
(1876), cat minyak, kanvas, 106 x 155 cm
Merapi, Letusan pada Siang
Hari, (1865), cat minyak,
kanvas, 75 x 114 cm
Merapi, Letusan pada Malam
Hari, (1865), cat minyak,
kanvas, 74 x 114 cm
• Tema “Binatang”: karya-karya dalam tema ini
menunjukkan tingkat kemasteran RS. Ciri
utamanya; adegan dramatik, suasana kritis,
menegangkan, pertarungan antara hidup dan
mati (mengingatkan karya-karya era
Romantisisme). Kekuatan rupa karya-karya ini
merupakan pencapaian; penaklukan RS
terhadap ‘apa yang seharusnya dicapai’ dalam
realisme. Analisis terhadap karya-karya ini bisa
politis (pertarungan antara ‘pribumi’ dan
‘barat’, antara ‘timur’ dan ‘barat’), atau
bisa spiritual; tentang pertarungan antara nafsu
duniawi, dan kesadaran religiositas; yang
provan dengan yang spiritual.
Adegan-adegan penuh drama dalam karya-karya
ini memancing pemahaman seperti itu.
Sepasang Singa dan Ular di
Mulut Goa, (1839),
121 x 175 cm
Sepasang Singa, Bangkai Kuda
dan Ular,
(1839), cat minyak, hard
board, 30 x 40 cm
Perburuan Singa dengan Orang
Badui, (1840),
42 x 57 cm
Perburuan Singa,
(1840), 85 x 140 cm
Pemburu Diserang Harimau,
(1845), 40 x 45 cm
Kuda Diserang Singa
dan Dibela Seekor Ular,
(1841), 50 x 65 cm
Penunggang Kuda Arab
Diterkam Singa di Tepi Jurang,
(1842), 154 x 168.5 cm
Pelukan Terakhir,
(1844), 33 x 51 cm
Penunggang Kuda Arab Diterkam Singa
(1870), 265 x 193 cm
Mengintai (Pemandangan Jawa dengan Borobudur)
(1849), 112 x 156.5 cm
Banjir di Jawa
(1863 – 1876), dilukis oleh Raden Saleh, litography oleh C.W. Mielin, 32 x 44 cm
Karya Tema “Manusia dalam Lingkaran Drama”:
Karya-karya jenis ini sebenarnya kombinasi
antara manusia dan binatang, yang dihadirkan
dalam format relasi antarsubjek. Manusia dan
binatang tidak dihadirkan secara tunggal,
tetapi berkelompok, misalnya karya Berburu
Singa (1845), Mengintai (1849), Banjir di
Pulau Jawa, dan Penangkapan Pangeran
Diponegoro (1857).
Karya-karya ini peneguhan kemasteran RS; aspek
dramatisasi situasi kritis, antara hidup dan
mati. Komposisi, sama seperti karya-karya
romantisisme pada umumnya; subjek-subjek
disusun secara diagonal, yang menguatkan
citra gerak. Karya-karya ini dapat dilihat
sebagai metafora, dan peneguhan terhadap
sikap dan upaya ‘penaklukan’.
Puncak dari dramatika manusia ini terdapat
pada karya RS bertajuk Historisches Tableau:
die Gefangennahmen des Javanischen
Hauptling Diepo Negoro (Lukisan Bersejarah:
Penangkapan Pemimpin Jawa, Dipanegara; di
Magelang, 30 Maret 1830) – tahun 1857, cat
minyak di atas kanvas, 112x179 cm. Karya ini
merupakan interpretasi ulang (bisa kita
pahami sebagai manifestasi “mimikri” tanpa
sedikitpun olok-olok)
atas lukisan “resmi” pemerintah kolonial
Belanda karya Nicolas Pieneman, bertajuk The
Submission of Dipo Negoro to General de Kock,
karya tahun 1835, 77 x 100 cm (kini koleksi
Rijksmuseum Amsterdam). Karya Pieneman
dibuat sebagai ‘dokumentasi historis’.
Karya RS “Penangkapan Pangeran Diponegoro”
dapat dianggap sebagai manifestasi hibriditas
yang demikian kuat, terutama dari aspek
ideologis dan tendensinya.
Nicolas Pieneman,
Penyerahan Diri Dipo Negoro
kepada Jenderal de Kock,
28 Maret 1830 (1835),
77 x 100 cm
Raden Saleh,
Penangkapan
Pangeran Diponegoro
(1857),
112 x 179 cm
Karya Nicolas Pieneman
Karya Raden Saleh
Detail karya Raden Saleh
(terdapat dua atau lebih wajah Raden Saleh sebagai pengawal Pangeran Diponegoro)
Sebagai karya interpretasi, RS melakukan
rekonstruksi dan reposisi aktor-aktor (subjek)
dalam lukisan. Karya Pieneman “dikoreksi”
total; muka gedung residen di balik, bendera
Belanda dihapus, pose Pangeran Diponegoro
diubah. Judul karya secara substansial
berbeda; antara ‘penyerahan diri’ atau
‘kepatuhan’ (submission) pada karya Pineman
dengan ‘penangkapan’ atau ‘penahanan’ (the
arrest) pada karya RS.
Pada aspek ‘adegan’ (pose) dan ekspresi figurfigurnya, kedua lukisan itu menunjukkan
karakter berlawanan. Pada karya Pieneman:
Diponegoro menyerah tak berdaya. Pada karya
RS: mengisyaratkan perlawanan.
Karya RS: menunjukkan gejala visual tak lazim;
figur/tubuh orang-orang Belanda tampak
pendek (cebol). RS seperti ingin menunjukkan
sikap ‘kerdil’ atas peristiwa penangkapan
Diponegoro.
Fakta yang paling ‘keras’ adalah, bahwa karya
tersebut oleh RS diberikan kepada Raja Willem
III. Tentu ini ‘hadiah’ yang tendensius,
memperolok-olok pemerintah kolonial dalam
memperlakukan Diponegoro; menyuarakan
pandangan pribadinya, dan menegaskan posisi
dirinya (saat itu) sebagai manusia yang bisa
kritis terhadap ketidakadilan. Sebuah karya
‘mengimitasi’ sekaligus ‘mensubversi’.
• Analisis Peter Carey terhadap lukisan RS,
Penangkapan Pangeran Diponegoro,
menegaskan tumbuhnya pandangan dan sikap
RS terhadap pemerintah kolonial. Dalam
barisan pengikut Diponegoro, diselipkan
wajah/potret diri RS.
• Pikiran, ucapan, sikap, dan tindakan RS adalah
tumbuh, seiring dengan konteks peristiwa,
yang mempengaruhinya.
• Penguasaan teknik melukis, meniru (bukan
mengcopy), gaya busana: penaklukan,
membangun posisi tawar, dan mendapat
pengakuan.
• Karya Manusia dalam lingkaran drama:
pergulatan batin, antara dunia fana dan alam
baka, antara nafsu badaniah dan spiritualitas.
• Karya “Penangkapan Pangeran Diponegoro”:
puncak mimikri, dan olok-olok (diserahkan ke
Raja Willem II).
Rumah Raden Saleh di Cikini, Batavia, sekitar 1860
Referensi:
Algadri, Hamid., Snouck Hurgronje, Politik
Belanda Terhadap Islam dan Keturunan Arab,
Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1984.
Bachtiar, Harsja W., Peter B.R. Carey,
Onghokham, Raden Saleh, Anak Belanda,
Mooi Indie & Nasionalisme, Jakarta:
Komunitas Bambu, 2009.
Carey, Peter, Asal-usul Perang Jawa,
Pemberontakan Sepoy & Lukisan Raden Saleh,
Yogyakarta: LKIS, 2004.
Kraus, Werner., Irina Vogelsang, Raden Saleh The
Begining of Modern Indonesian Painting,
Jakarta: Goethe Institut Indonesia, 2012.
Lombard, Denys, Nusa Jawa: Silang Budaya,
Kajian Sejarah Terpadu, Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 1996.
Poeze, Harry A., Met Bijdragen van Cees van Dijk
en van der Meulen, In Het Land van de
Overheerser I, Indonesiers in Netherlands
1600-1950.
Ricklefs, M.C., Sejarah Indonesia Modern (penj:
Dharmono Hardjowidjono), Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 1998.
Java Bode, Rabo, 28 April 1880 (Arsip Koleksi
Keluarga H.arsja W. Bachtiar, Jakarta)
Suwarno-Wisetrotomo, Raden Saleh Syarief
Bustaman (1807-1880): Sebuah Biografi, Tesis
(Belum Diterbitkan), Program Pascasarjana,
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 2001.